WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 29 Maret 2010

Jihad Versus Terorisme Negara

Dimuat di Harian Joglosemar, Rabu 24 Maret 2010 hal 16


Oleh : Muhammad Taufiq*

Sebagai warga negara Indonesia saya sungguh tidak faham strategi apa yang sedang dibangun pemerintah dengan Densus ‘88 yang begitu gencar dan bangga telah melakukan penumpasan terhadap apa yang mereka sebut teroris. Kita bisa bertanya kepada negeri-negeri yang sekarang tengah berkonflik. Tiada satu pun kata tentang teroris yang tidak melibatkan USA atau Amerika dalam konflik mereka. Artinya selalu ada peran Amerika Serikat di sana. Yang menjadi pertanyaan apakah keberadaan super power itu hanya sekedar menjadi wasit atau dewa penyelamat konflik itu? Karena sebuah kenaifan hanya sebuah alasan kemanusiaan tiba-tiba Amerika Serikat berada di negara konflik. Justru imperialismelah yang sesungguhnya menonjol di sana. Ketika mengumumkan pendudukan Afghanistan Presiden George W Bush menyebut Afghanistan sebagai negara yang mensponsori pelanggaran hukum dan pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa, maka pantas bagi mereka balasan yang setimpal dan predikat bagi negara perusuh Afghanistan adalah teroris. Dan selama pendudukan Amerika Serikat berlangsung sudah banyak orang-orang tak berdosa dan anak-anak yang terbunuh. Maka ,menjadi sebuah kewajaran jika demonstran di Indonesia seperti Hizbut Tahrir, Kisdi( Komite Indonesia untuk Solidaritas Islam) dan sejumlah ormas Islam lain menyebut Pemerintah Amerika Serikat sebagai The Real Terorist. Dan secara fakta setiap penyebutan nama terorisme selalu tidak bisa dipisahkan dengan penyebutan jihad dan kelompok Islam. Meski sesungguhnya perilaku teroris bisa diperankan oleh siapa saja,tanpa memandang agama dan kebangsaan.

Akhirnya dua kata terorisme dan jihad tindak henti-hentinya menjadi bahan sorotan, menghiasi media massa. Dibahas dalam diskusi-diskusi dan seminar, digunjingkan di kaki lima, dalam bis kota, di masjid hingga pengajian kampung dan di sela kesibukan aktivitas kantor. Hasilnya wajah Islam Nampak mengerikan karena diidentikan dengan kekerasan, bahkan oleh banyak media digambarkan sebagai suatu agama yang dengan mudah mengobarkan perang dengan dalih jihad? Dengan demikian, jihad-dalam benak mereka- menjelma terror yang amat mencekam. Padahal, sesungguhnya tidak demikian. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia (1999 ), pengertian pertama tentang jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan. Arti lain jihad, adalah usaha sungguh- sungguh untuk membela ioslam dengan mengorbankan harta benda jiwa dan raga. Jihad juga berarti perang suci melawan orang kafir untuk mempertahankan agama Islam . jadi jelas, jihad menafikan kekerasan atau peperangan. Tapi itu bukan jalan satu-satunya untuk mengimplementasikan semangat.

Spektrum jihad dalam ajaran Islam sebetulnya sangat luas. Sayangnya dalam kenyataan tidak jarang orang melakukan simplifikasi makna jihad semata-mata untuk dijadikan alat pembenar bagi tindakannya yang justru melenceng dari konteks jihad itu sendiri. Distorsi jihad semacam itu menjadi amunisi bagi media barat dan kalangan anti islam laniinya untuk memojokkan umat Islam, terutama terhadap gerakan yang bermaksud kembali kepada ajaran Islam dan mengintensifkan nilai-nilai ke-Islamannya. Mereka dengan serampangan dicap sebagai fundamentalis dalam persepsi fundamentalisme Kristen.

Seperti halnya jihad dalam istilah teroris atau terorisme pun sering begitu mudah dilekatkan pada seseorang, sekelompok orang , atau sebuah negara yang dalam “ diplomasi” nya suka menggunakan istilah-istilah kekerasan bahkan menantang perang terhadap lawannya. Karena sudah diciptakan image sedemikian rupa bahwa negara barat khususnya Amerika Serikat . Negara-negara yang berperadaban dan mengklaim sebagai panutan dunia, maka siapa yang berkonfrontasi dengannya berarti anti peradaban, nila-nilai kemanuasiaan dan demokrasi sehingga sah utuk dihancurkan contohnya dengan dalih untuk memberantas terorisme yang ditempelkan pada Osama yang ditempelkan di Afganistan, Amerika telah mengobarkan perang terhadap negeri miskin itu yang tidak bersedia untuk tunduk terhadapnya. Demikian juga nantinya terhadap negara-negara lain yang dinilai akan mengancam hegemoni global barat, seperti Irak yang sebelumnya adalah sekutu AS dalam perang melawan Iran. Dan sekarang dengan seribu macam cara mencoba mensahkan hukuman pada Iran.

Melalui politik stigmatisasi inilah Amerika Serikat yang mengawali serangannya terhadap negara-negara yang dianggap musuh terhadap kepentingannya. Semua media-media massa dikerahkan untuk membombardir resistensi rakyat Afganistan dan masyarakat mulim dunia, sehingga terpecah-pecah kekuatan moral dan sentimen agamanya. Menurut klasifikasi Deplu AS, beberapa Negara Timur Tengah yang kebetulan mayoritas muslim seperti Sudan , Libya, Iran dan Irak adalah termasuk negara pendukung atau sponsor terorisme Internasional, sehingga menunggu giliran dan momentum yang tepat untuk mendapatkan ganjaran dari AS. Serangan itu bisa dilakukan lewat resolusi DK PBB dalam bentuk menjatuhkan embargo ekonomi dan militer terhadap negeri yang memusuhi AS, sebagaimana yang sudah diterapkan terhadap Iran dan Libya.

Sejauh ini politik labelisasi itu merupakan salah satu cara atau senjata yang digunakan AS khususnya dan barat pada umumnya untuk menekan banyak negara yang tidak sejalan kebijakan politiknya. Melalui politik labalisasi yang didukung oleh kampanye hampir seluruh media terutama televisisecara sitematis dan besar-besaran. Maka besar kemungkinan sesuatu yang sebelumnya hanya prasangka (praduga) bisa berubah menjadi fakta. Apa yang dilakukan oleh Mabes Polri dengan Densus-88 tentang latihan militer di Poso sesungguhnya sejak tahun 2000 sudah ada. Sejak jaman BIN dipimpin oleh Ahmad Mahmud Hendro Priyono. Yang kenyataannya hanya isapan jempol belaka. Dan sekarang diulang begitu Barack Obama akan datang. Isu itu diangkat lagi, yang menjadi pertanyaan benarkah sparatis GAM sudah habis? Sekali lagi isu teroris Aceh hanyalah kamulflase atau pengalihan isu belaka tidak lebih tidak kurang.

Surakarta, 22 Maret 2010

Muhammad Taufiq, SH MH, advokat pendiri Tim Pengacara Muslim, sekarang tengah menyelesaikan Program Doktor Ilmu Hukum FH -UNS

Minggu, 14 Maret 2010

Berteman Wartawan, Miliki Banyak Hobi


Harian Joglosemar edisi Minggu, 14/03/2010 09:00 WIB - Dwi Hastuti

Untuk menangani kasus-kasus yang pantas dia bela, Muhammad Taufiq tak pernah melupakan peran wartawan. Dia selalu akrab dan kerap diberikan informasi berbagai hal kasus hukum yang layak dia bela.
Untuk wartawan, Taufiq pun mengaku meluangkan waktu khusus untuk melampiaskan hobinya bermain bola.”Setiap seminggu sekali bermain sepakbola bersama teman-teman wartawan dari berbagai macam media di Solo. Biasanya setiap Jumat pagi,” kata Taufiq.
Tak hanya sepakbola, suami dari Dwi Andiningsih ini ternyata juga memilki banyak hobi. Dia menyebutkan beberapa hobi yang masih dia jalani di antaranya bersepeda, touring, serta baca buku tentang otomotif dan tentang interior ruangan.
Untuk hobi bersepeda, Taufiq sering terlihat menelusuri jalan dari kediamannya di perumahan Gentan, Sukoharjo hingga ke Sangiran, Sragen. ”Ya, kadang-kadang bersepeda bersama anak-anak di sekitar rumah,” ujarnya.
Untuk hobi membaca buku otomotif dan interior rumah, Taufiq kini jago memperbaiki berbagai mesin sepeda motor yang rusak. ”Kebetulan bapak saya dulunya juga membuka usaha montir, bapak bisa membiayai keenam anaknya dari hasil montir. Lalu dari pengalaman bapak tersebut, saya menjadi senang dengan dunia otomotif. Selain itu saya juga senang baca majalah yang berkaitan dengan interior,” ceritanya.
Sedangkan untuk hobi membaca majalah interior, rumah Taufiq pun tampak lebih unik ketimbang rumah-rumah lain di sekitarnya. ”Memang saya sendiri yang mendesain rumah. Meski saya tidak kuliah ambil interior, namun, karena saya sering baca buku interior, maka saya menjadi senang mendesain ruangan yang ada di rumah. Bahkan kantor saya pun yang mendesain juga saya sendiri,” akunya. (Dwi Hastuti)

http://harianjoglosemar.com/berita/berteman-wartawan-miliki-banyak-hobi-11491.html

Penerang Peradilan Sesat



Harian Joglosemar Minggu, 14/03/2010 09:00 WIB - Dwi Hastuti


Tanpa pengacara ini, mungkin Lanjar Sriyanto, korban peradilan sesat di Pengadilan Negeri (PN) Karanganyar atas kasus kecelakaan kontroversinya tak akan bebas seperti saat ini. Dialah, Muhammad Taufiq. Pengacara asal Solo yang populer karena memberikan bantuan hukum secara gratis untuk kasus yang membelit Lanjar.
Baginya, menangani kasus Lanjar, adalah panggilan nurani seorang advokat untuk menerangi gelapnya peradilan sesat untuk orang-orang kecil. ”Negara ini telah rugi jika harus menahan seorang Lanjar. Rugi karena harus mengurus dan memberikan makan. Masih banyak orang-orang yang lebih pantas dipenjara, ketimbang Lanjar ini,” ujarnya mengomentari perkara Lanjar yang ia tangani.
Sekadar diketahui, Lanjar adalah korban kecelakaan bersama istri dan anaknya saat melaju dengan sepeda motornya di jalur Colomadu, Karanganyar. Istrinya meninggal akibat kecelakaan itu, nahasnya lanjar justru ditahan karena dianggap sebagai orang yang bertanggungjawab atas kelalaiannya hingga menyebabkan istrinya meninggal.
Taufiq pun sebenarnya mengetahui kasus Lanjar tidak secara langsung. Namun dari beberapa media di Solo. Dia menilai kasus Lanjar merupakan dari sekian kasus hukum yang unik dan wajib untuk dibela. ”Khusus untuk Lanjar, saya menerimanya di rumah. Sebelumnya dan sampai kapan pun saya tidak pernah menerima klien di rumah,” tutur Taufiq.
Dia berprinsip, pantang bagi seorang pengacara menawarkan diri untuk membela sebuah kasus. ”Seorang advokat tidak boleh langsung menawarkan diri. Sehingga saya meminta bantuan salah seorang jurnalis untuk menginformasikan kalau butuh pengacara saya siap,” ujarnya.
Taufiq begitu memahami orang-orang kecil yang tertimpa masalah hukum, sering kebingungan karena tak punya biaya. Begitu pun dengan Lanjar. Menurutnya, awalnya keluarga Lanjar takut bukan kepayang terkait biaya yang harus disiapkan jika membawa pengacara. Namun Taufiq memberikan ketenangan batin untuk keluarga Lanjar dengan menyatakan tidak memungut biaya sepeser pun untuk pekerjaannya membela Lanjar.

Diteror
Sudah 18 tahun Taufiq bergelut dengan kasus hukum. Tak jarang godaan pun mampir untuk menggoyahkan prinsipnya. ”Menjadi seorang lawyer itu tidak mudah. Oleh karena itu, hingga saat ini saya selalu memegang teguh tiga prinsip, yaitu ilmu, keberanian serta kejujuran,” papar Taufiq.
Menurut bapak tiga putri ini, ilmu itu sangat diperlukan karena merupakan pedoman untuk membela klien. Selain itu, keberanian juga harus dimiliki karena bergelut dengan hukum membutuhkan keberanian disamping juga sebuah kejujuran. ”Mayoritas sekarang ini kan penegak hukum khususnya lawyer jarang yang memiliki ketiganya,” ujarnya. ”Sehingga hampir 60 persen advokat di negeri ini, berprinsip maju tak gentar membela yang bayar.”
Kandidat Doktor Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) ini berpendapat, seorang yang berkecimpung di pengadilan, kewajiban utamanya bukanalah menghukum orang namun memberikan keadilan. ”Sudah saatnya, pengadilan itu menegakkan keadilan, bukan menegakkan hukum. Jika keadilan telah ditegakkan maka dengan sendirinya hukum juga akan ditegakkan. Hal ini bersumber pada penguasa yang terdiri dari polisi, hakim dan jaksa,” tegasnya.
Bekerja sebagai pengacara, Taufiq pun mengaku sering menerima pengalaman pahit. ”Kalau tekanan dari pihak tertentu tidak pernah. Tapi jika diteror sudah tidak terhitung lagi,” ungkapnya. Akibat dari teror ini, istrinya pernah ketakutan, namun lambat laun perasaan itu hilang karena saking terbiasanya.
Dia bangga dengan membela kasus Lanjar, ternyata mendapat dukungan dari masyarakat luas. Dukungan itu pula yang memberikan motivasi lebih untuk membebaskan Lanjar dari jeruji besi buah peradilan sesat. ”Saya tidak menyangka, jika kasus Lanjar ini bakal menyita perhatian publik, padahal saya tidak pernah membayangkan sebelumnya,” katanya. (Dwi Hastuti)

http://harianjoglosemar.com/berita/penerang-peradilan-sesat-11492.html

Kamis, 11 Maret 2010

Produk Legislasi yang berakhir di Mahkamah Konstitusi


Oleh : Muhammad Taufiq *

“Seminar Nasional Arah dan Strategi Kebijakan Legislasi Nasional di Sahid Jaya Hotel Solo“

Meskipun norma atau aturan merupakan pemikiran untuk menentukan sesuatu dan sebagai panduan untuk melakukan suatu tindakan, secara teratur. Namun terkadang tidak sama dan sebangun dengan ide pembuatannya. Acap kali dalam pelaksanaan menimbulkan kehebohan tak jarang sebuah kontroversi yang muncul. Sebagai contoh sebuah Undang Undang yang telah disahkan tak jarang menyimpan banyak permasalahan. Entah karena substansi yang diatur seringkali tidak sejalan dengan aspirasi masyarakat. Atau memang pembentukannya menyalahi prosedur formal. Lebih jauh lagi terkadang akibat yang ditimbulkan oleh terbitnya undang undang menimbulkan masalah baru di masyarakat atau sekelompok tertentu.[1]

Peran Mahkamah Konstitusi dikaitkan dengan proses legislasi oleh Parlemen.rasanya memiliki pertautan yang sangat strategis. Di mana Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan uji materiil, apakah suatu peraturan perundang undangan ini sejalan atau bertentangan dengan UU di atasnya. Dengan demikian dimilikinya kewenangan melakukan uji materiil oleh Mahkamah Konstitusi, sebagai konsekuensinya maka DPR sebagai lembaga yang berwenang membentuk Undang undang dituntut berhati hati di setiap proses pembentukannya. Kepatuhan terhadap prosedur formal, penyerapan aspirasi masyarakat dan akhirnya kualitas susbstansi dari sebuah undang undang teramat penting mendapat perhatian dari legislator. Dengan sifat kehati-hatian dan ketaatan pada proses formal dimaksudkan bisa mencegah konflik dan munculnya permasalahan dalam masyarakat tidak mengiringi disahkannya UU. Yang pada akhirnya berbuntut pada munculnya permohonan uji materiil atas uu tersebut.[2]

Bagaimanapun juga ,dengan adanya Mahkamah Konstitusi sehingga melahirkan proses uji materiil dalam suatu konstitusi menjadi titik pencerahan, di tengah carut marut proses legislasi. Uji materiil menjadi tuntutan untuk adanya pembaharuan dalam bidang legislasi. Dan yang teramat penting untuk dilakukan adalah proses rekruitmen ini harus dilalui. Artinya untuk bisa memiliki lembaga yang berkualitas harus didukung oleh anggota yang berkualitas pula.

Performa DPR yang jelek diperparah pula misalnya dengan banyaknya yang mangkir dalam persidangan dan jumlah kehadiran yang rendah. Imbas dari itu berakibat pula rendahnya out put berupa undang undang yang dimaui masyarakat,artinya undang undang yang lahir sepertinya untuk kepentingan kalangan DPR itu sendiri. Tahun 2003 dari 63 uu yang dihasilkan DPR-RI maka 35 diantaranya adalah pemekaran wilayah. Dengan banyaknya penundaan dan lesgilasi hanya semata untuk kepentingan politik jangka pendek mengakibatkan utang legislasi menjadi begitu panjang.[3] Dalam masa masa menjelang kampanye atau pemilu produk yang sangat politik( pemekaran wilayah) banyak dihasilkan DPR. Pertimbangan utamanya karena berhubungan dengan interaksi langsung caleg dengan daerah pendukungnya .

Selain permasalahan di atas fakta lain performa yang jelek ini disebabkan setidaknya oleh dua hal. Pertama, kelompok kepentingan (interest group) yang terdiri terutama kelompok pemodal , baik asing maupun lokal yang menjadi komprador bagi kepentingan asing. [4] Dan Kedua adalah pemegang kekuasaan, yang memproteksi dirinya sedemikian rupa untuk kepentingan kroni-kroninya.

Akhirnya dalam perbincangan ini terlihat ada dua kebutuhan yang harus diupayakan pemenuhannya untuk peningkatan kualitas proses legislasi ke depan. Pertama , kebutuhan untuk membuka peluang partisipasi masyarakat sipil (civil society). Untuk ikut memperjuangkan kepentingannya dalam pembentukan undang-undang. Kedua, kebutuhan untuk menguatkan kapasitas masyarakat sipil dalam melakukan partisipasi tersebut. Salah satu bentuknya adalah hadirnya situs-situs tentang parlemen yang banyak dijadikan rujukan/ sumber referensi adalah merupakan salah satu produk pemantauan legislasi yang merupakan bagian dari pemberdayaan masyarakat.(PSHI,2007).

Surakarta, 25 Februari 2010

DAFTAR PUSTAKA

Lilik Prilian Ari Pramono.2009. 30 Tokoh Penemu Indonesia Indonesia. Yogyakarta : Penerbit Narasi.

Yoshihara Kunio. 1997. Kapitalisme Semu Asia Tenggara (The Rise of Ersazt ... University of Oklahoma Press, 1991). Jakarta : Pustaka Utama Grafiti, 1997

Info Sheet Prolegnas 2010-2014 dan Prolegnas Prioritas 2010, www.parlemen.net

M.Nur Sholikin,2005,Mahkamah Konstitusi dan Tuntutan Reformasi. www.parlemen.net

Program Legislasi Nasional (Prolegnas). www.parlemen.net

Rapor DPR 2004-2009: Kejar Target, Perebutan Sektor, dan Formalitas Belaka. www.hukumonline.com

Winata, Reni. (2003). Politik Luar Negeri Asia Pasifik .www.pustakabersama.net

* Penulis adalah advokat dan mantan anggota DPRD Solo sekarang Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Hukum UNS

Web : www.mtp-lawfirm.com

e-mail : taufiq_advocate007@yahoo.co.id



[1] M.Nur Sholikin,2005,Mahkamah Konstitusi dan Tuntutan Reformasi.

[2] Ibid,hal-2

[3] Reni Rawasita,2003

[4] Yoshihara Kunio,1991,Kapitalisme Semu Asia Tenggara

Selasa, 09 Maret 2010

Mafia hukum dan revitalisasi tugas polisi )*

Oleh : Muhammad Taufiq**

Seperti biasanya SBY melontarkan ide segar yang sebenarnya mubazir. Baru – baru ini ada gagasan bergulir tentang perlunya Satgas Mafia Hukum. Satgas ini harus berkoordinasi dengan penegak hukum. Jika bicara dengan menyebut penegak hukum. Maka pintu pertama yang harus dilalui adalah lembaga kepolisian. Sebab kepolisian di manapun, lebih-lebih di negara yang hukum belum menjadi panglima, keterlibatan polisi begitu penting. Karena semua aspek melibatkan polisi.

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengkernyitkan dahi membaca awal tulisan ini. Namun jika mencermati undang-undang Kepolisian baik yang lama (UU No.13 tahun 1961) lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.

Dalam sistem hukum nasional kita ,ketika berbicara soal penegakkan hukum. Korp polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut. Menurut Sacipto Rahardjo(177: 1988) kalau hukum sebagaimana dituliskan dalam peraturan itu disebut sebagai hukum yang “tidur”, maka polisi itu hukum yang hidup. Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara , bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya, tetapi baru di tangan polisilah janji tersebut menjadi kenyataan. Polisilah yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu semua wewenang polisi. Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa Polisi dalam satu perkara menahan tersangka sementara dalam perkara yang lain tidak dikenakan tindakan apa-apa. Bisa dilihat perbandingan kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah dengan kasus Anggodo Widjojo. Tekanan apapun untuk meminta menahan Anggodo tidak membuat polisi bergeming.

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku disini dan oleh karena itulah disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir. Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut di atas . Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.

Penulis asing Jerome H. Skolnick (178:1988), memakai istilah “justice without trial” untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut. Dengan ungkapan doing justice tersebut ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif dengan kenyataan sehari-hari , polisi tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian saja melainkan pada hakekatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan. Dalam kasus yang dihadapi oleh polisi ketika aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur , kita menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus. Sebagai contoh kasus adalah dibuatnya ketentuan wajib lapor. Meski banyak ahli hukum menentang terutama advokat,mereka tidak berani menyarankan kliennya untuk tidak datang dalam wajib lapor. Sebab meski KUHAP tidak mengatur, jika seorang tersangka tidak datang dan tidak melakukan wajib lapor seringkali ia ditahan .

Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada kedudukan pos terdepan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Artinya perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti mafia hukum. Yang pertama sekali dibenahi adalah polisinya.

Revitalisasi polisi
Pertanyaan selanjutnya bagaimana peran yang demikian ini dibatasi untuk proses penegakkan hukum yang lebih baik ? Keinginan mereposisi dan merevitalisasi polisi sesungguhnya sudah berlangsung dari waktu ke waktu . Dan jika dirunut sama tuanya dengan usia negara ini. Pada masa Kerajaan Majapahit, patih Gajah Mada untuk melindungi keselamatan raja dan kerajaan membentuk pasukan yang diberi nama Bhayangkara. Pada masa pendudukan Belanda dibentuk Corps Politiedenaar. Pembentukan ini bertujuan melindungi pemerintah pendudukan dari ancaman orang-orang pribumi. Begitu pula di masa pendudukan Jepang, polisi dan kejaksaan dijadikan satu di bawah induk Organisasi Departemen Kehakiman. Pada pra kemerdekaan PPKI( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) menempatkan polisi dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nama Jawatan Kepolisian. Presiden Soekarno dengan Maklumat Pemerintah No.11/SD/1946 tanggal 25 Juni 1946 menyatakan bahwa Kepolisian tidak lagi berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri,tetapi sesuai corak pemerintahan saat itu polisi langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri. Dengan Keppres Nomor.290 tahun 1946 polisi memasuki fase luar biasa. Kesatuan polisi yang kala itu bernama AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) dimasukkan ke dalam ABRI sebagai angkatan keempat(buku pintar calon/anggota polisi:5,2009). Polisi saat itu benar-benar tidak mandiri,karena polisi selalu disebut anak bungsu dalam tubuh ABRI. Di masa Pemerintahan BJ Habibie tepatnya tanggal 1 April 1999 polisi direposisi sepenuhnya menjadi orang sipil dengan maksud polisi lebih professional dan sejajar dengan polisi di negara beradab lainnya. Namun keinginan tersebut tidak sejalan dengan idealisme yang tumbuh dan berkembang di kalangan internal polisi sendiri. Wewenang luar biasa dalam tertib sipil menjadikan polisi sebagai pemain tunggal dalam proses pemidanaan menurut konsep ketatanegaraan kita. Kemandirian polisi menjadikan institusi itu tertutup dan seolah bekerja sendiri. Polisi yang modern mestinya tidak hanya sekedar harus bependidikan S1 dan S2 . Melainkan ia mampu mengelola tanggung jawab keamanan dalam negeri dalam bentuk memberikan rasa aman pada negara, harta benda masyarakat dari tindakan kriminal dan melindungi masyarakat dari bencana alam. Tuntutan reposisi dan revitalisasi hendaknya bukan dianggap sebagai ancaman eksistensi polisi. Di masa SBY polisi memperoleh keleluasaan luar biasa baik anggaran dan terutama peran. Dalam sejarah BIN ( Badan Intelejen Negara ) baru kali ini seorang Purnawirawan Polisi( Jend.Sutanto) menduduki pos tersebut, karena memang job itu lebih cocok untuk tentara. Paradigma polisi mesti diluruskan bukan sebagai alat penguasa melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kegagalan Gus Dur menjadikan polisi sebagai alat penguasa janganlah diulang di era SBY. Reposisi dan revitalisasi tugas polisi haruslah dijawab dengan perilaku dan tampilan sebagai pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat. Sehingga fungsi penegak hukum yang bersumber pada kepentingan penguasa atau alat kontrol negara kepada masyarakat berubah menjadi penegak keadilan. Jika demikian menjadikan polisi dan jaksa dalam satu wadah di salah satu kementrian bukan hal aneh. Jika semangat itu dimiliki niscaya peradilan sesat seperti dalam kasus Imam Hambali di Jombang dan Minah di Purwokerto bisa dieliminir. Dan Satgas pemberantas Mafia Hukum tidak diperlukan, karena titik lemah penegakan hukum sudah dibenahi.

Surakarta,15 Desember 2009

*Disampaikan dalam seminar akademik “ MEREFORMASI PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA MEMBERANTAS MAFIA PERADILAN” yang diselenggarakan BEM FH UNS,15 Desember 2009
** Muhammad Taufiq, SH MH , Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH – UNS
















Selasa, 02 Maret 2010

EKSISTENSI DAN HAK IMUNITAS ADVOKAT DALAM PENEGAKKAN SUPREMASI HUKUM**

Oleh : Muhammad Taufiq*

Tahun 2006 lalu sejumlah advokat beramai-ramai mendatangi Kejaksaan Agung dan DPR- RI, kala itu mereka bukan bersidang atau mendeklarasikan sesuatu yang baru. Kedatangan mereka ke dua lembaga tinggi negara tersebut sebagai bentuk solidaritas dan suara penolakan atas penahanan yang menimpa Gubernur Sulawesi Tenggara,Ali Mazi,SH. Kata para advokat itu Ali Mazi yang sebelum Gubernur Sulawesi Tengah adalah seorang advokat karenanya layak dibela. Sebagaimana diketahui Ali Mazi ditahan karena semasa berprofesi advokat dan menjadii kuasa hukum PT.Indo Bulid & co, perusahaan yang mengelola Hotel Hilton pernah ditahan karena dianggap bersekongkol atau terlibat dalam manipulasi data tanah.

Sesungguhnya penahanan terhadap advokat juga pernah dialami oleh Elza Syarif, Popon, Harini Indra Wiyoso (mantan hakim tinggi DIY) yang menjadi makelar kasus Probo Sutedjo, Peter Talaway (di Surabaya) Ign. Edy Cahyono( di Solo), Heru Subandono N, SH., MH di tahan karena menggunakan gelar Doktor Palsu (Ketua KAI Solo) dan sekarang sedang di adili dalam kasus APBD Kota Surakarta. Alasan penahanannya sangat beragam, namun kebanyakan karena dianggap bersekongkol atau melindungi kliennya yang melakukan kejahatan. Rata-rata mereka masih tetap praktek sampai sekarang. Kecuali Ign. Edy Cahyono yang terpuruk, sehingga gagal eksis. Yang menjadi pertanyaan, sesungguhnya kapan seorang advokat dianggap memiliki hak imunitas( kekebalan )?. Jika ditanyakan hal tersebut kepada advokat jawabannya sudah pasti hampir sama akan mengatakan bahwa imunitas tersebut diperoleh saat advokat bekerja atau menjalankan tugasnya. Meski demikian jawaban tersebut akan disambung denga pertanyaan lain. Menjalankan tugas seperti apa? Apakah selama bersidang sebagaimana halnya anggota DPRD atau selama bekerja sebagai advokat ,berarti termasuk di luar persidangan. Kalau mengacu pada pengertian original intend / bunyi asli UU No.18/2003 tentang Advokat pasal 16, imunitas itu hanya berlaku pada saat persidangan. Karena di dalam penjelasannya tegas dikatakan bahwa pengertian persidangan itu adalah pada tingkatan,pengadilan negeri,pengadilan tinggi dan Mahkamah Agung. Sesungguhnya jika mengacu pada UU tersebut imunitas yang diberikan tidaklah cukup. Mengingat tugas dan tanggung jawab advokat bukan hanya pada saat persidangan. Melainkan 24 jam selama ia bekerja membela atau mewakili kepentingan kliennya. Barangkali pada saat UU itu dibuat tidak pernah terpikir bahwa profesi advokat juga sama dan sederajat dengan polisi, hakim dan jaksa, maklum dari catatan yang ada. Di mana mereka punya imunitas dalam pekerjaan sehingga tidak was-was atau khawatir dianggap melanggar hukum saat bekerja. Asas legalitas yang diadopsi KUHP kita dalam pasal 1 ayat 1 . Tegas menyebutkan bahwa tidak bisa dipidana seseorang jika tidak ada aturan yang melarang sebelumnya atas perbuatan hukum seseorang. Artinya, perbuatan pidana seseorang hanya bisa dihukum jika perbuatan yang disangkakan itu sudah diatur dalam sebuah undang-undang yang sudah ada sebelum perbuatan itu terjadi.

Membandingkan imunitas advokat dalam ketentuan hukum internasional membuat kita iri atau merasa sedih. Setidaknya ada tiga perbandingan di sini. Pertama, Basic Principles on the role of lawyer. Kedua, aturan yang dibuat International Bar Association Standart for the Independence ot the Legal Profession. Dan ketiga, The world Conference of the Independence of justice. Di ketiga ketentuan tersebut advokat benar-benar mendapat perlindungan penuh termasuk dari kemungkinan ancaman pembunuhan,tekanan ekonomi seperti tidak dibayarnya honorarium dan pemeriksaan harta pribadi advokat.

Bagaimana dalam praktek sehari-hari di Indonesia mengenai imunitas ini. Secara prinsip yang harus dipahami oleh para advokat di Indonesia adalah bahwa apapun perbuatan seorang advokat dalam membela kepentingan klient atau menjalankan profesinya harus didasarkan pada iktikat baik. Artinya imunitas itu berlaku sepanjang ia menjalankan pekerjaan secara benar dan terhormat. Misalnya tidak menyogok penegak hukum, tidak merekayasa sebuah alat bukti/ memalsukan alat bukti, tidak memfitnah lawan perkara, tidak membuat putusan palsu, secara garis besar tidak melakukan persekongkolan jahat untuk memenangkan sebuah perkara. Seorang advokat tentu saja tidak bisa diidentikkan dengan perbuatan hukum klien atau orang yang dibelanya, terkecuali ia menjadi bagian dari kejahatan itu misalnya advokat ikut menyogok dan mengantar uang suap atau membantu untuk melarikan diri.

Bagaimana jika advokat diperiksa oleh polisi? Sepanjang pemeriksaan itu terkait dengan pekerjaan atau profesinya, maka polisi baru bisa bertindak jika sebelumnya telah meminta keterangan dari organisasi advokat tentang sah dan tidaknya pekerjaan seorang advokat. Misalnya advokat diadukan menipu klientnya sehingga klienntya kalah. Yang pertama sebelum polisi memeriksa advokat ia mesti meminta organisasi advokat tersebut menjelaskan apakah yang dilakukan seorang advokat tersebut sesuai standar profesi atau tidak. Sehingga perbuatan tersebut termasuk kategori penipuan atau pelanggaran etika profesi. Misalnya advokat diadukan karena memberikan janji bahwa perkara yang ditangani sudah pasti menang. Jika advokat yang bersangkutan sudah diperiksa dewan etik atau dewan kehormatan advokat dan ditemukan kesalahannya maka hukumannya dua. Oleh organisasi advokat bisa dijatuhi sanksi administrasi bahkan dipecat dan memperoleh sanksi pidana dari penegak hukum. Namun jika tidak ditemukan bukti dalam pemeriksaan dewan kehormatan tentang apa yang diadukan, maka ia tidak bisa diproses pidana. Terkecuali pada hal-hal yang jelas dalam kesalahannya yang telah diatur dalam UU yang sudah ada seperti advokat mabuk, nyabu, menggelapkan uang klient dengan dalih untuk menyogok hakim atau advokat melakukan tindak pidana di luar profesinya. Terlibat pencurian, transaksi barang-barang haram, jelas itu semua bukan pelanggaran etika tetapi pidana biasa. Tetapi advokat yang menjadi penasihat hukum koruptor atau teroris kemudian laptopnya ikut disita karena dianggap bersekongkol jelas itu pelecehan terhadap profesi advokat. Karena perbuatan klientnya bukanlah tanggungjawab advokat.

**Disampaikan dalam Diskusi pada acara Pembukaan Rakercab PERADI Cabang Kediri, Hotel Insumo,Sabtu 30 Agustus 2008. * Muhammad Taufiq, SH MH Ketua Peradi Cabang Surakarta, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta

Malpraktik Hukum Kasus Imam Hambali

* Dimuat di Harian JogloSemar Selasa, 23 September 2008

Oleh : Muhammad Taufiq**

Sepanjang pengadilan kita masih menggunakan metode deduksi dalam pengambilan benar dan salah tentang tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa dalam hal ia dituduh melakukan tindak kejahatan. Akan banyak ditemukan kejanggalan. Metode ini memang syarat dengan kelemahan , sebab hanya menyandarkan pada hasil pemeriksaan polisi yang berupa BAP ( Berita Acara Pemeriksaan ) dan kesaksian dari orang-orang dalam BAP. Metode deduksi tidak berupaya mengungkap fakta apa yang ada di balik pembuatan BAP tersebut. Artinya ia tidak akan berbicara dalam area meta-yuridis. Dalam artian apakah orang yang memberikan keterangan tersebut ditekan,disiksa atau diteror menjadi tidak penting, sebab jaksa dan hakim memang tidak melihat wilayah itu. Sebagai “ penegak hukum “ para hakim dan jaksa hanya melihat bahwa orang tersebut telah mengaku bersalah. Dan kesalahan itu pembuktiannya cukup dengan hukum formal sebagaimana dipersyaratkan KUHAP pasal 184. Dan celakanya dalam praktek KUHAP ditafsirkan seragam oleh polisi,jaksa dan hakim bahwa BAP menjadi alat penentu kesalahan seseorang. Ini dapat dibuktikan bahwa Hakim dan Jaksa sering memarahi dan mengamcam terdakwa manakala ia mencabut BAP di depan persidangan. Ujung-ujungnya ia dianggap mempersulit pemeriksaan, dengan memberikan ketarangan yang bebelit-belit. Dengan demikian maka apapun hasil pemeriksaan itu akan dianggap sah. Metode ini lebih diperburuk dengan perilaku penyidik yang mengejar target, harus ada orang bersalah yang dihukum. Metode ini dikenal pula sebagai Silogisme Aristoteles. Karena menggunakan Kesimpulan Deduktif,maka harus ada ( Premis Mayor) yang menjadi sandaran dasar berpijak dari kesimpulan khusus. Dalam kasus kematian Asrori ada Premis Mayor : Semua orang yang diperiksa polisi adalah bersalah. Premis Minornya Hambali dan kawan-kawan diperiksa polisi. Maka Hambali dan kawan-kawan mesti bersalah. Jika metode setengah ilmiah itu tetap dipakai untuk mengurai kejahatan. Maka sepanjang itu pula akan ditemukan banyak kejanggalan. Salah periksa,salah tangkap dan akhirnya salah pula tentang siapa yang bersalah dan layak dihukum. Sebelumnya pernah ada Sengkon dan Karta di Bekasi, setelah 16 tahun mendekam dalam tahanan barulah polisi menemukan pelaku yang sesungguhnya. Sebelumnya di Gorontalo Sulawesi terjadi hal yang sama sepasang suami isteri dituduh membunuh anaknya sendiri, namun ternyata sang anak pulang dalam keadaaan segar bugar. Dan sekarang terulang di Jombang pada Imam Hambali dan David Eko( sudah divonis) serta Sugik( dalam proses persidangan ). Mereka bukan pelakunya setelah test DNA membuktikan bahwa pelaku sebenarnya adalah Ryan, sang Jagal Jombang.

Kasus Ryan memang menjadi sebuah kajian yang menarik bagi berbagai disiplin ilmu. Bukan karena jumlah korban yang telah ia habisi,melainkan alasan ia membunuh yang begitu sepele. Juga beragam profesi korbannya. Dan dari sini pula ketahuan bahwa mayat yang sebelumnya dinyatakan Mr. X setelah melalui proses idenitifkasi ilmiah beruapa test DNA ketahuan bukan mayat orang yang dituduh telah dibunuh Imam Hambali dkk melainkan mayat Asrori yang dibunuh Ryan. Seperti uraian di muka metode deduksi tidak berbicara sama sekali latar belakang terbitnya pengakuan yang tertuang dalam BAP. Dalam kasus salah tangkap terungkap jelas bahwa selama proses penyidikan pasti disertai dengan tindakan buruk dan cenderung melanggar HAM. Di Solo pernah terjadi 6 polisi anggota Poltabes dihukum karena menginterogasi pemuda bernama Rony yang dituduh mencuri tape mobil. Dalam pemeriksaan “ polisi kelewat aktif “ sampai Rony tewas dengan luka di kepala bagian belakang . Alasan penyidik saat itu Rony terjatuh. Meski demikian apapun dalihnya tindakan polisi yang menyebabkan Rony mati tetap sebuah kesalahan yang disengaja dan ke-enamnya tetap dibui antara 1,5 sampai 2,5 tahun . Dalam keadaan nyata seseorang tersangka yang diduga pelaku diminta untuk mengaku sebagai pelaku tindak kejahatan dengan mengikuti skenario penyidik. Bagi tersangka pengakuan itu disertai harapan urusannya cepat selesai. Dalam kasus Hambali cs ia memberikan pengakuan dalam surat yang dikirimkan pada ibunya bahwa selama proses pemeriksaan di kantor polisi mereka mengalami penyiksaan pisik dan psikis. Malahan sempat dibawa ke pinggir kali untuk dihabisi dengan todongan pistol. Akhirnya daripada mengalami penyiksaan berulang-ulang dengan terpaksa mereka mengaku sebagai pembunuhnya.

Belajar dari OJ Simpson

Sebagai negara yang telah ikut meratifikasi konvensi HAM sudah selayaknya Indonesia merubah secara mendasar cara-cara memperoleh keterangan dari tersangka. Metode pemeriksaan polisi yang berakibat buruk pada fisik tersangka telah menjadi catatan Komite Anti Penyiksaan Internasional tentang betapa buruknya kondite polisi kita .Pengalaman penulis yang telah mendampingi dalam banyak kasus pidana termasuk Laskar Jihad dan kasus terorisme. Penyiksaan itu merata dalam segala tingkatan bisa di Polsek,Polres,Poltabes maupun Polda . Melihat perkembangannya memang telah ada upaya sungguh-sungguh dari Kapolri dengan merekrut polisi dari kalangan S1 san S2. Tetapi itu saja tidak cukup jika atmosfir polisi masih bergaya militer. Artinya dalam praktek pendidikan polisi pun tidak luput dari tindak kekerasan bahkan berujung kematian. Tuntutan yang lebih penting dari itu semua bahwa Polri harus membenahi diri dalam proses penyidikan. Cara –cara kuno dengan memakai penyiksaan harus ditinggalkan agar tidak terjadi korban salah tangkap. Kita mungkin belum lupa bagaimana hakim Amerika membebaskan seorang pemain base ball kenamaan OJ Simpson yang didakwa membunuh isterinya seorang wanita kulit putih. Untuk menjaga suasana rasialis yang mungkin timbul,hakimnya bukan negro dan juga bukan kulit putih melainkan kulit kuning( Orang Jepang ). Ketika itu dari bukti primer terungkap bahwa ada bekas jejak sepatu seukuran kaki OJ Simpson di dekat genangan darah mayat sang isteri. Namun karena polisi gagal mendapatkan saksi tentang siapa pelaku yang sebenarnya. Akhirnya sang hakim berujar base on my long experience you are guilty but there is not any evidence you did it so we release you. Apapun upaya polisi untuk menuduh OJ Simpson pelakunya namun karena polisi tidak dapat menghadirkan bukti kuat yang menunjukkan OJ Simpson pelakunya hakim akhirnya melepaskan OJ Simpson dari tuduhan membunuh dan ia melenggang bebas.

Kalau saja para penegak hukum kita mau belajar dari kasus OJ Simpson bahwa ada adagium hukum pidana internasional yang menyatakan presumtion of innosence atau asas praduga tak bersalah. Maka tentunya tidak setiap orang yang diperiksa oleh polisi atau diadili oleh hakim sekalipun dianggap sebagai orang bersalah kecuali ada putusan berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Dalam kasus salah tangkap seperti yang menimpa Imam Hambali dkk sudah seharusnya pihak Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia secara ksatria melakukan rehabilitasi nama baik keduanya dengan cara membebaskan dari tahanan LP Jombang dan meminta maaf serta memberi ganti rugi. Bagaimana teknis hukumnya atas upaya itu semua. Pertama, pihak Kepolisian Republik Indonesia segera memeriksa kedua terpidana dan dari hasil pemeriksaan tegas disebutkan bahwa keduanya tidak bersalah. Dengan surat keterangan tidak bersalah tersebut maka berkas tersebut diserahkan ke Kejaksaan selanjutnya Kejaksaan menyerahkan pada Pengadilan Negeri Jombang untuk segera membuat penetapan yang menyatakan berdasarkan surat tersebut kedua terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan memerintahkan Jaksa untuk membebaskan dan mengeluarkan kedua terpidana dari tahanan. Terhadap terdakwa Sugik polisi cukup menerbitkan berita acara pemeriksaan yang menerangkan dia tidak bersalah, selanjutnya berkas tersebut diserahkan pada Kejaksaan dan jaksa membawanya ke persidangan agar hakim membuat perintah penghentian persidangan dan membuat penetapan yang isinya memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Kedua, secara singkat Polisi menyatakan ketiganya korban salah tangkap,kemudian dengan dasar itu penasihat hukum mempraperadilankan Polisi dan selanjutnya atas permohonan itu hakim mengabulkan pra peradilan dan memutus bahwa penangkapan dan penahanan polisi salah . Atas dasar itu Hakim memerintahkan jaksa mengeluarkan ketiganya dari tahanan. Memang terhadap vonis pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap upaya yang pas adalah mengajukan Peninjauan Kembali atas dasar bukti baru bahwa hasil DNA ada yang salah atau keliru dengan banrang bukti. Namun harus dicatat itu hanya terjadi pada kasus yang normal bukan yang dark justice sebagaimana yang menimpa ketiganya. Sebab PK tidak pas bagi ketiganya karena memang yang bersangkutan korban salah tangkap sebagai akibat polisi tidak profesional . selain itu PK jelas memakan waktu yang sangat lama. Jadi unsur yang pertama ketidakprofesionalan terlebih dahulu yang dipakai bukan karena ada bukti baru. Sebab saat menentukan mayat yang sudah hancur polisi hanya mendasarkan pada asumsi bukan scientific justice, jadi tanpa test DNA keduanya disuruh mengakui telah membunuh Asrori. Menurut cerita Jaksa orang tua “ korban “ mengaku bahwa mayat itu adalah mayat anaknya. Namun fakta ilmiah menentukan lain. Apapun argumennya lebih bagus membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kepolisian dan Kejaksaan tidak perlu malu mengakui ada yang salah dalam sistem mereka. Sebaik apapun seorang jaksa jika ia berpatokan pada metode deduksi saja maka terang itu tidak ilmiah karena lebih mendasarkan pada asumsi-asumsi belaka. Jika demikian sudah semestinya polisi jaksa yang salah dihukum baik menurut peradilan etika maupun peradilan umum. Hanya itu satu-satunya cara mengembalikan kredibilitas hukum dan meningkatkan derajat polisi dan jaksa serta hakim bahwa selain penegak hukum ketiganya adalah penegak keadilan. Jadi untuk sebuah keadilan memang tidak layak memenjarakan orang yang tidak bersalah.


**Muhammad Taufiq, SH MH (Ketua Peradi Surakarta, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.)