WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 26 April 2010

Makelar kasus Bergentayangan di Solo

Harian Joglosemar edisi Minggu, 25/04/2010

Sejumlah nama makelar kasus, bukan hal yang asing lagi bagi para advokat di Solo. Aksi mereka di ranah institusi penegak hukum cukup meresahkan para advokat yang serius dalam penegkan hukum dan keadilan. Beberapa makelar kasus ini sering terlihat di pengadilan, khususnya untuk kasus-kasus penyimpangan dana dari yayasan dan koperasi.

Dari berbagai sumber, tercatat ada tiga makelar kasus yang berkeliaran di wilayah Solo dan sekitarnya. Mereka berinisial Y, S dan SH.

Dengan aksi mereka, beberapa pihak yang tersandung kasus penyimpangan dana, bisa tuntas dan sekejap kasusnya ditutup. Anehnya, aksi mereka seperti membuat aparat penegak hukum seperti tak berdaya. Untuk membungkam aparat penegak hukum, tentunya dengan intimidasi dan pemberian uang suap.

Dalam menjalankan aksinya, mereka berkedok sebagai konsultan hukum gadungan. Karena setelah ditelusuri dari data Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) serta asosiasi para advokat seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), nama para makelar kasus itu jelas tidak tercatat. Aksi mereka, jelas membuat geram para advokat di Solo, karena akses mereka ke institusi penegak hukum terhalang-halangi.

Keberadaan ketiga makelar kasus itu bukanlah isu belaka. Karena para advokat resmi pun membenarkan keberadaan dan ulah nakal mereka. Seperti yang diungkapkan Muhammad Taufiq, Ketua (Peradi) Cabang Solo. Peradi Solo yang beranggotakan 283 advokat ini, terang-terangan menyatakan perang terhadap para makelar kasus itu. ”Saya membenarkan ketiga makelar kasus itu memang ada. Mereka pengacara gadungan. Mereka tidak memakai istilah pengacara tapi konsultan hukum,” ungkap Taufiq saat ditemui di Kantor Peradi Solo.
”Mereka sering berkeliaran di pengadilan, kejaksaan, bahkan di kepolisian. Seharusnya aparat penegak hukum tahu itu.”

Berkedok Konsultan Hukum
Taufik mengatakan, sebenarnya, keberadaan para makelar kasus di wilayah Solo dan sekitarnya sudah ada sejak belasan tahun silam. Pihak Peradi mengaku sering memberikan masukan pada para aparat penegak hukum, namun itu terbukti tidak mempan. Karena hingga saat ini, aksi mereka masih berlangsung. ”Sayangnya hingga sekarang belum ada tindak lanjutnya,” kata Taufiq.
Ciri-ciri keberadaan para makelar kasus ini, sebenarnya sangat mudah dikenali, karena bisa dipastikan, mereka selalu terlihat dalam setiap acara sertijab pejabat hukum. Bahkan untuk meyakinkan para mangsanya, ketiga makelar kasus ini mendirikan kantor konsultan hukum, layaknya advokat. ”Tapi, mereka itu tak pernah beracara dalam hukum,” kata Taufiq.

Sedangkan modus operandinya, mereka mencari kasus dari media massa, atau dari jaringannya untuk kemudian merayu tersangka dengan iming-iming keringanan hukuman bahkan vonis bebas. Setelah tersangka termakan rayuan, para makelar kasus ini pun bergerilya untuk mengintervensi proses hukum yang sedang berjalan.

”Untuk pengacara baku hantamnya, biasanya pakai dari Semarang. Sedangkan jenis kasus biasanya mereka pilih perkara koperasi atau badan usaha yang mau bangkrut karena tersandung masalah hukum. Tapi tak tertutup kemungkinan semua jenis kasus kejahatan bisa mereka makelarkan,” ungkap Taufiq.

Bahkan di lini kepolisian, kata Taufiq, para makelar kasus juga leluasa mengintervensi proses pembuatan BAP untuk para kliennya.”Ya, sampai ke pembuatan BAP segala,” ujarnya.
Terkait ongkos jasa sang makelar kasus, Taufiq mengatakan, berkisar antara puluhan hingga ratusan juta rupiah, tergantung jenis dan tingkatan kasus yang ditanganinya. Selain dikenal licin, dan rapi dalam bekerja, Taufiq mengungkapkan para makelar kasus ini juga sangat rakus dalam mencari korbannya. Bahkan dia mengaku, sudah berkali-kali ditawari kerjasama oleh para makelar kasus tersebut, tetapi selalu ditolaknya. ”Saya pernah dihubungi markus, dan terang-terangan mereka menawarkan diri untuk bekerjasama. Tapi saya tolak dan tidak saya temui,” tegasnya.

Taufik pun menegaskan jika Peradi tidak akan pernah menoleransi anggotanya yang terlibat kerjasama dengan makelar kasus. Dia berharap pihak kepolisian bisa secepatnya meringkus para makelar kasus ini, sebelum mencoreng citra kepolisian itu sendiri. ”Kami siap bekerjasama untuk itu, dan jika terbukti ada anggota Peradi yang terlibat markus, silakan tangkap dan pasti tidak akan kami lindungi,” janjinya.

Polisi Membantah
Meski ada data keberadaan markelar kasus di solo dan sekitarnya, seperti dibenarkan Peradi, namun pihak kepolisian membantahnya. Ketika dikonfirmasi Joglosemar terkait keberadaan makelar kasus seperti yang dibenarkan Peradi, Kasat Reskrim Poltabes Surakarta, Kompol Susilo Utomo mewakili Kapoltabes Kombes Pol Joko Irwanto mengatakan, belum menerima informasi apa pun dari Peradi. Selain itu, dia pun mengaku jika pihaknya, juga belum pernah mencium gelagat keberadaan makelar kasus di wilayah hukumnya.
Susilo mengatakan, dirinya terus memantau langsung aktivitas anggotanya dalam menjalankan tugas. Sehingga, dia menjamin tidak terjadi penyimpangan dari prosedur hukum yang ada. ”Sejauh yang kami tahu, sepertinya Kota Solo masih aman dari markus,” ujarnya.

Polisi Siap Memberangus
Dia menegaskan, jika semua tugas dan kewenangan yang dijalani kesatuannya semaksimal mungkin masih tetap berada dalam koridor yang benar, dan menjunjung tinggi martabat hukum itu sendiri. Bahkan Susilo menjamin, jika, semua hasil dari proses hukum yang ada bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya. ”Kami dalam bertugas selama ini masih bersifat normatif. Jika menemukan adanya penyimpangan, silakan lapor kepada kami,” tegasnya.
Terkait dengan makelar kasus berkedok konsultan hukum, Susilo menyatakan, juga tak pernah absen memantau perkembangan siapa saja advokat resmi di wilayah hukumnya. Selain itu, sebelum beracara, pihaknya pun selalu menanyakan identitas resmi si pengacara. Termasuk jika diperlukan juga berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk Peradi untuk mengecek keabsahan sang pengacara. ”Kami banyak kenal dengan pengacara resmi di Kota Solo. Jadi kalau ada pengacara palsu sepertinya akan sangat mudah kami ketahui,” tandasnya.
Akan tetapi jika Peradi berniat serius untuk mengungkap keberadaan makelar Kasus, Susilo menyatakan pihaknya siap untuk bekerjasama kapan saja. Bahkan, kerjasama untuk memberangus makelar kasus juga akan melibatkan aparat penegak hukum lain baik di kejaksaan maupun di pengadilan.”Silakan, kami siap bekerjasama dengan Peradi untuk memberantas markus. Dan kami juga tidak menoleransi apa pun bentuk markus itu sendiri,” pungkasnya. (***)

”Karena Markus, Mau Ajak Makan Kapoltabes Saja Susah”

Joglosemar edisi Minggu, 25/04/2010

Keberadaan para makelar kasus yang dibantah pihak kepolisian, tetap saja masih meresahkan para advokat resmi. Akses ke penegak hukum yang dijalani para advokat resmi ini terhalang. Para makelar kasus, seolah-olah membayangi keberadaan para advokat serta penegak hukum untuk mencari celah dan memakelarkan kasus dari mangsanya.
”Memang ada makelar kasus di Solo ini. Karena aksi para markus inilah, kami mau ajak makan pak Kapoltabes saja sekarangnya susahnya minta ampun,” keluh Suharsono, advokat yang membenarkan keberadaan makelar kasus di Solo dan sekitarnya.
Suharsono yang ikut tergabung dalam Peradi ini, juga membenarkan sepak terjang para makelar kasus serta modus-modusnya. ”Mereka cari kasus itu dengan baca koran.
Setiap ada sidang di pengadilan untuk kasus-kasus tertentu, mereka hadir sebelum sidang digelar,” kata Suharsono.
Menurutnya, sejak Peradi mengikrakan perang dengan makelar kasus, keberadaan para advokat resmi untuk akses di institusi hukum kian sulit, dan para makelar kasus semakin membenci para advokat tersebut.

Penyimpangan Interaksi Sosial
Di sisi lain, Sosiolog UNS, RB Sumanto, mengatakan, fenomena keberadaan makelar kasus yang terungkap ini, sebagai sebuah penyimpangan interaksi sosial. Menurutnya, pemberantasan makelar kasus, tidak hanya bisa dilakukan secara sepihak. Sebab, sesuai perannya yaitu sebagai perantara, makelar kasus ini hadir karena ada yang membutuhkan.
”Karena sesuai dengan hukum pasar, penjual itu hadir karena ada pembelinya. Ini sebuah penyimpangan interaksi sosial, dan terjadi karena adanya kesepakatan berbagai pihak. Jadi meski markus dibabat, tapi jika masih ada permintaan dari pasar ya percuma saja,” jelasnya.
Penyimpangan itu terjadi, lanjut Sumanto, karena adanya pengabaian terhadap norma dan etika hukum, baik secara agama, adat, maupun hukum formal itu sendiri. Selain itu, adanya toleransi dari masyarakat terhadap perilaku suka mencari jalan pintas, meski itu dilakukan dengan menghalalkan segala cara juga turut memberikan kontribusi kehadiran makelar kasus.
”Pada dasarnya tidak ada satu orangpun yang ingin terkena masalah, terutama masalah hukum. Nah, celah inilah yang dimanfaatkan para markus, untuk memeras mereka yang baru tersandung kasus hukum,” paparnya.
Untuk itu, dirinya pun menegaskan jika kunci penyelesaian keberadaan makelar kasus ini adalah kesadaran masyarakat itu sendiri untuk patuh pada norma dan etika. Tanpa adanya itu, maka ibarat peribahasa patah satu tumbuh seribu para makelar kasus itu akan selalu bergentayangan menghantui instiusi hukum di Indonesia. ”Pahami aturan hukum, norma, dan etika sosial serta taatilah prosesnya maka markus itu akan hilang dengan sendirinya,” pungkasnya. (***)

Selasa, 06 April 2010

Remunerasi dan Penegak Hukum Yang Mati Rasa


Dimuat di Harian Suara Merdeka, hari Selasa 6 April 2010

Oleh : Muhammad Taufiq *

Belum juga terungkap ke mana arah bola panas Century pasca Paripurna . Kini jagad hukum disibukkan perbincangan tentang seorang pegawai golongan tiga Dirjen Pajak bernama Gayus Tambunan. Sudah menjadi kelaziman agar dianggap peduli semua aparat penegak hukum seolah berupaya keras menangkap Gayus. Meski kita tahu Gayus berada di negeri yang hanya butuh waktu kurang dari sejam dengan pesawat udara untuk menjangkaunya, yakni Singapura. Sebuah negeri yang dihuni pesakitan korupsi Indonesia ,namun karena buruknya kinerja penegak hukum, kita tidak pernah mampu menangkap apalagi mengembalikan kerugian negara. Meski dari Batam negeri pencuri pasir Riau ini terlihat dengan mata telanjang, namun karena alasan tidak ada perjanjian ekstradisi. Kita tidak pernah menangkap pencuri uang negara. Pertanyaannya seriuskah kita ingin menangkap koruptor seperti Gayus Tambunan?

Seumpama penegak hukum ingin menangkap Gayus sesungguhnya bisa dan mudah. Semua institusi penegak hukum pernah memeriksa Gayus Tambunan ,mulai dari Mabes Polri, Kejaksaan,Pengadilan bahkan Satgas Mafia Hukum bentukan SBY pernah disinggahi Gayus Tambunan. Sesuai pengakuan Gayus dua hari sebelum dinyatakan buron. Ia sempat curhat kepada Satgas Mafia Hukum, bahwa ia hanyalah ikan teri di lautan markus yang disebut Kantor Pajak. Artinya perbuatan yang ia lakukan adalah hal biasa di tempat kerjanya dan ia tidak merasa bersalah dengan tindakannya itu. Sebagai teri ia punya simpanan 24 milyar, tentunya ikan paus di tempat kerja memiliki simpanan yang jauh lebih besar dari sekedar 24 milyar. Menghubungkan perilaku hukum aparat negara seperti polisi,jaksa dan hakim dengan remunerasi tentulah hal yang menarik.

Remunerasi yang berasal dari bahasa Inggris Remuneration itu diartikan sebagai gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja. Pertanyaannya apa relevansinya dengan upaya penegakkan hukum? Dan apa pengaruhnya bagi peningkatan kinerja ? Pertanyaan itu wajar di tengah krsisis kepercayaan kepada institusi penegak hukum yang ditunjukkan dengan menguaknya jaringan makelar kasus dalam perpajakan . Seperti yang dibongkar Susno di Mabes Polri dan sebelumnya oleh Machfud MD dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Semua sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dan jaksa dalam menangani perkara korupsi. Terbukti dalam kasus penanganan Bibit dan Candra selaku pimpinan KPK non aktif kala itu. Sebelumnya saat urip Tri Gunawan tertangkap bersekongkol dengan Markus Arthaliya Suryani meloloskan Joko Candra di mana Kejaksaan Agung dituding tidak becus menangani korupsi . Jaksa Agung Hendarman Supanji alih-alih memperbaiki kinerja. Dia justru meminta tambahan kepada Komisi III DPR-RI anggaran Rp.10 triliun,- dengan maksud untuk memperbaiki fasilitas jaksa sehingga tidak tergoda. Untuk meneliti lebih jauh coba kita telusuri lahirnya berbagai aturan terkait remunerasi . Sesuai dengan Undang-undang NO. 17 tahun 2007, tentang Rencana pembangunan Nasional jangka panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN, Nomor : PER/15/M.PAN/7/2008, tentang Pedoman umum Reformasi birokrasi. Kebijakan Remunerasi diperuntukan bagi seluruh Pegawai negeri di seluruh lembaga Pemerintahan. Yang berdasarkan urgensinya dikelompokan berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok :

a. Prioritas pertama adalah seluruh instansi Rumpun penegak hukum, rumpun pengelola keuangan Negara, rumpun pemeriksa dan pengawas keuangan Negara serta lembaga penertiban aparatur Negara.

b. Prioritas kedua adalah kementrian/lembaga yg terkait dg kegiatan ekonomi, system produksi, sumber penghasil penerimaan Negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung termasuk Pemda.

c. Prioritas ketiga adalah seluruh kementrian/lembaga yg tidak termasuk prioritas pertama dan kedua.

Dengan demikian sesungguhnya remunerasi yang diterima penegak hukum seperti hakim Pengadilan Negeri Tangerang yang kemudian memvonis bebas Gayus pada tanggal 12 Maret 2010 bukanlah kontroversi baru. Sebab , mulai 1 April 2008 kontroversi itu sudah terjadi. Saat itu, tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi naik sangat fantastis. Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen. . Dalam Perpres No 19/2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Peradilan di bawahnya disebutkan, besaran tunjangan untuk ketua MA Rp 31,1 juta dan wakil ketua MA Rp 25,8 juta. Sementara untuk ketua pengadilan tinggi Rp 13 juta, hakim biasa pengadilan tinggi Rp 10 juta, dan hakim pengadilan tinggi kelas II Rp 4,2 juta. Dalam hal ini, yang perlu dicermati, kenaikan tersebut tidak termasuk gaji pokok. Perpres-perpres kontroversi itu tidak akan pernah bisa diakses masyarakat karena selama ini penyusunan dan publikasinya cenderung tertutup. Oleh karena itu, wajar kalau beberapa pihak, terutama kalangan pegiat antikorupsi, menilai kenaikan tunjangan tersebut sangat berlebihan. Apa yang dituangkan dalam perpres itu senyatanya memang tidak kondusif dan terkesan mengabaikan ketentuan di atasnya. Bukan karena disampaikan dalam waktu yang tidak tepat, yakni di saat krisis bahan pokok melanda tanah air, melainkan juga sifat perpres yang tidak mengikuti ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Dalam Pasal 3 Ayat 1 UU Keuangan Negara jelas disebutkan, keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Di negara-negara yang sudah maju seperti Jepang dan China, remunerasi yang berarti tunjangan atau imbalan sudah menjadi hal yang biasa baik di kantor pemerintah maupun swasta. Alasan remunerasi tentu harus berdasar pertimbangan agar mereka bekerja lebih efisien dan maksimal sehingga memberikan out put yang setara pula. Pada gilirannya, itu akan mencegah perilaku korupsi atau menyimpang lainnya. Intinya, tujuan remunerasi adalah membuat setiap pegawai berhasrat kerja tinggi karena yakin semakin efisien dan profesional, dia akan memperoleh imbalan yang tinggi pula. Dalam konteks pemerintahan SBY, remunerasi di lingkungan MA dan PT tentunya bertujuan mewujudkan reformasi birokrasi dengan cara sistem penggajian jelas dan terbuka. Yang pada gilirannya, itu menghindarkan para wakil Tuhan di muka bumi dari berperilaku atau berbuat menyimpang. Yang menjadi pertanyaan, benarkah hakim-hakim kita telah bertindak dan bekerja dengan hasrat yang tinggi dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara belakangan ini sehingga layak memperoleh imbalan yang pantas pula? Seiring dengan masih banyaknya dijumpai putusan yang dalam pandangan pemerhati hukum dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan begitu tingginya perkara yang belum terselesaikan di MA, tentu remunerasi itu mengundang setumpuk kontroversi. Apakah itu bukan sebuah disorientasi pemahaman reformasi birokrasi, yang berarti lebih menyederhanakan proses yang bertele-tele pada birokrasi hukum dengan out put keadilan yang baik karena menjadi cepat dan murah. Dalam pandangan hakim, remunerasi tersebut tentu tidak salah karena parameter hakim sekarang, kesejahteraan itu dinilai dari seberapa besar penghasilan seorang hakim sehingga dia menjadi hidup layak di tengah-tengah masyarakat yang serba mengukur keberhasilan seseorang dari kacamata kesuksesan materi. Dalam kasus mantan Jaksa Agung Muda Kemas Yahya -yang diduga memiliki rumah bernilai miliaran- untuk syukuran naik pangkat saja menghabiskan ratusan juta rupiah, padahal dia cuma punya gaji Rp 7 juta (Tempo, 24 Maret 2008). Karena itu, terjawab sudah bahwa remunerasi di lingkungan birokrasi keadilan saat ini tidak identik dengan peningkatan mutu keadilan. Berdasarkan PP No.21 tahun 2009 tentang tabel gaji anggota Polri terendah Golongan I Tamtata Bayangkara II sebesar Rp.1.090.000,- dan perwira tinggi golongan IV Rp.3.525.000,- . Sebab, dengan gaji yang rendah, toh dia mampu membeli dan memiliki barang-barang mewah. Dalam eksaminasi BLBI, yang muncul justru tindakan konglomerat yang merugikan uang negara triliunan rupiah itu bukan tindak pidana korupsi. Artinya, kalau toh model remunerasi itu diberlakukan di Indonesia dan diawali dari gaji hakim, kemudian dilberlakukan di kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya model itu hanya berlaku bagi pemberantasan korupsi kelas teri. Semacam Hakim PN Jakarta Selatan Herman Alesitondi yang dihukum karena memeras saksi Jamsostek dan AKP Suparman penyidik KPK yang dihukum 6 tahun karena memeras saksi. Atau tidak beda dengan seorang jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap karena diduga menerima uang haram dari Arthalyta. Sementara perkara pokoknya, kasus korupsi triliunan rupiah yang dilakukan Samsul Nursalim, dianggap sudah selesai. Memang tidak bisa disalahkan jika muncul pertanyaan ada apa di balik remunerasi yang fantastis itu? Sebab, pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu hanya sebatas pada retorika. Di sisi lain, terjadi pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Yakni,banyak orang miskin tidak mampu menyekolahkan anaknya. Bahkan, ada yang mati kelaparan karena membeli beras atau nasi aking sekalipun, mereka tidak mampu. Ironis memang, Perpres tentang Remunerasi di Lingkungan MA dan Hakim Tinggi serta di lingkungan kepolisian muncul justru pada saat ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Apakah kita memang telah mati rasa atas semua ketimpangan itu. Perpres No 19/2008 akan sangat berarti bila telah dibarengi dengan peningkatan kinerja hakim yang ditandai dengan out put keadilan yang jauh lebih baik. Misalnya, koruptor BLBI dihukum mati atau dihukum seumur hidup. Dan menyeret penerima dan pembagi traveler check pemilihan Miranda Goeltom. Bukan hukumannya dibebaskan seperti Gayus Tambunan atau dikorting seperti David Nusa Wijaya dan Aulia Pohan.


Surakarta, 30 Maret 2010

Muhammad Taufiq SH MH, advokat Mahasiswa S-3 Ilmu Hukum UNS dan penerima beasiswa Study Remuneration dan Corporate Governance di Tokyo, 2008 .

Markus dan peran polisi yang super power

Dimuat di Harian Joglosemar hari Selasa, 6 April 2010


Oleh : Muhammad Taufiq*

Istilah markus ( makelar kasus) sesungguhnya sudah ada sejak dahulu kala. Dan dalam segala urusan yang berkenaan dengan persoalan hukum markus selalu mengambil peran. Kalau dalam istilah bangunan ia berfungsi seolah arsitek. Seorang markus harus memiliki ketrampilan teknis,karena selain seorang perencana ia sekaligus juga seorang juru runding. Di sini dikehendaki adanya keahlian untuk menafsirkan kasus, memecahkan kasus yang berujung pada selesainya kasus. Maka sebuah perkara berakhir di pengadilan atau tidak sangat bergantung pada kemampuan “ teknis “ sang markus. Mungkin sangat tidak nyaman jika kita harus berkata bahwa proses penegakan hukum yang berarti menyelesaiakan perkara hingga ke pengadilan memang dimulai dari cara polisi menyelesaiakan kasus. Mengapa harus dari kepolisian? Karena dengan model penegakan hukum formal, jika kita menyebut penegak hukum, pintu pertama yang harus dilalui adalah lembaga kepolisian. Sebab kepolisian di manapun, lebih-lebih di negara yang hukum belum menjadi panglima keterlibatan polisi begitu penting. Karena semua aspek melibatkan polisi.

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengkernyitkan dahi membaca awal tulisan ini. Namun jika mencermati undang-undang Kepolisian baik yang lama

(UU No.13 tahun 1961) lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.

Dalam sistem hukum nasional kita ,ketika berbicara soal penegakkan hukum. Korp polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut. Menurut Satjipto Rahardjo(177: 1988) kalau hukum sebagaimana dituliskan dalam peraturan itu disebut sebagai hukum yang “tidur”, maka polisi itu hukum yang hidup. Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara , bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya, tetapi baru di tangan polisilah janji tersebut menjadi kenyataan. Polisilah yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu semua wewenang polisi. Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa Polisi dalam satu perkara menahan tersangka sementara dalam perkara yang lain tidak dikenakan tindakan apa-apa. Bisa dilihat perbandingan kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah dengan kasus Anggodo Widjojo. Tekanan apapun untuk meminta menahan Anggodo kala itu tidak membuat polisi bergeming.

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku disini dan oleh karena itulah disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir.

Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum. Dalam posisi inilah markus memiliki peran luar biasa membantu tugas polisi. Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi dan markus memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi dan markus. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan markus berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara. Di mana masyarakat awam menyebutnya sebagai sebuah kejanggalan.

Penulis asing Jerome H. Skolnick (178:1988), memakai istilah “justice without trial” untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut. Dengan ungkapan doing justice tersebut ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif dengan kenyataan sehari-hari , polisi tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian saja melainkan pada hakekatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan. Dalam kasus yang dihadapi oleh polisi ketika aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur , kita menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus. Sebagai contoh kasus adalah dibuatnya ketentuan wajib lapor. Ketentuan itu tidak akan ditemukan dalam KUHAP.

Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada kedudukan pos terdepan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Dalam lapangan hukum yang begitu luas inilah polisi merasa terbantu dengan peran markus, seolah ada hubungan simbioses mutualisme. Kerja polisi dan markus yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi dan markus sengaja tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Akhirnya perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti makelar kasus. Yang pertama sekali dibenahi adalah memang polisinya. Kalau ingin menyapu tempat kotor ya gunakan sapu yang bersih.