WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 26 Mei 2010

Belajar hukum di Negeri Kuching ( Malaysia)



di depan Mahkamah Kuching, Malaysia


oleh : Muhammad Taufiq*

Seusai mengikuti Munas (Musyawarah Nasional ) Peradi di Pontianak tanggal 1 Mei 2010 lalu saya memang sudah merencanakan untuk bermuhibah/mengunjungi Negara tetangga terdekat yakni Sarawak. Rencana ini sudah saya susun matang-matang,sehingga sebelum berangkat saya sudah bawa paspor. Kenapa saya ingin ke Kuching, ibukota Negara bagian Sarawak? Selain window shopping( cuci mata) memang ada rencana khusus yakni belajar tentang behavior of law masyarakat Melayu yang serumpun dengan kita namun memiliki ketaatan yang berbeda dalam menghargai hukum. Dugaan atau rasa penasaran terhadap Negara jajahan Inggris itu mulai terjawab secara perlahan. Pertama ,saat kereta(mobil ) kami Toyota Innova, sebelum memasuki border line/ garis perbatasan di Pos terakhir Indonesia yakni Entikong ,kami berhenti rehat sarapan mengisi formulir sebagai orang pendatang dan mencuci mobil. Anda tentu bertanya kenapa harus cuci mobil? Sebelumnya kami menempuh delapan jam perjalanan dan seperempatnya jalanan berlobang dan berlumpur. Di Negara kita cuek saja masuk kota dengan kendaraan penuh lumpur karena tidak ada larangan. Tapi jangan coba masuk ke Malaysia termasuk Kuching bila mobil kotor, anda akan kena tilang dan harus bayar sekitar Rp.275.000,- setara seratus ringgit. Selain itu semua kendaraan Indonesia yang masuk ke wilayah Malaysia harus membayar asuransi sebesar 80 RM( Ringgit Malaysia) fungsinya untuk mengcover jika terjadi kecelakaan, asuransi ini dikelola oleh perusahaan asuransi Malaysia. Saya yakin aturan ini untuk mengantisipasi sikap ugal-ugalan kebanyakan pengemudi di Indonesia. Usai mencuci wajah dan sarapan kami mengeluarkan paspor dan perlahan kereta memasuki Tebedu, pos perbatasan paling ramai milik Malaysia. Di sinipun pengalaman baru kami rasakan. Ternyata tidak boleh sembarang memakai kaca film, dan benar polisi perbatasan yang tidak ramah itu menghentikan mobil kami . Sejurus kemudian ia menempelkan alat di kaca mobil kami. Menurutnya mobil kami kaca filmya 46 persen,padahal aturan yang berlaku hanya boleh 30 persen, tapi karena baru pertama melintas mobil Innova sewaan itu dimaafkan. Sambil ngomel petugas itu berujar kalau anda melakukan pelanggaran pertama anda didenda 300 ringgit,kemudian memasuki Malaysia dan melakukan pelanggaran lagi anda didenda 500 ringgit atau penjara tambahan dua minggu. Naluri jurnalis saya muncul saya keluarkan HP BB saya yang memiliki kemampuan 3,2 mega pixels untuk memotret perbatasan itu. Tapi belum selesai klik,klik petugas keamanan yang jauh dari gagah dibanding rata-rata polisi Indonesia menghalau saya dari kejauhan. Intinya meneriaki untuk tidak memotret di wilayah terlarang. Daripada ribut dengan petugas yang mirip satpam pabrik itu saya iseng-iseng masuk Tandas( bhs: melayu yang artinya WC) . Saya terkejut ternyata sama joroknya dengan Indonesia toilet itu ,bedanya toilet perbatasan Indonesia tidak mengalir airnya,toilet atau Tandas Malaysia airnya lancar.

Usai melintasi perbatasan yang cukup lama pemeriksaannya ,kami berlima dengan Rikawati (bendahara Peradi Surakarta), Fadhil Mansurudin ( Ketua KPU Sragen), Gartono ( Ketua Peradi Bogor) dan sopir sekaligus guide kami Mastok menyusuri jalanan freeway ( bebas hambatan) yang lebar dan mulus serta tanpa bayar. Yang kami rasakan adalah perbedaan mencolok dengan Pontianak. Selain jalanan sepanjang seratus lima puluh kilo meter itu lebar dan mulus infrasturktur tertata rapi, di kanan kirinya terdapat parit kecil tapi dalam sehingga jika hujan air tidak mungkin menggenang. Di sana orang mendirikan bangunan berjarak satu kilo meter dari pinggir jalan tol atau ring road seperti Semarang, Mojosongo. Coba bandingkan dengan kebanyakan jalan tol atau freeway di Indonesia,selain padat bangunan hampir pasti tidak ada parit. Maka tingkat kerusakan jauh kebih tinggi. Sepanjang jalan yang kami lalui kami sedikit bangga pasalnya kami banyak berpapasan dengan mobil yang diimport dari Indonesia seperti Daihatsu Kancil, Kijang Innova, Toyota Avanza dan Toyota Rush, tapi tak satupun kamu menemukan merek tiruannya seperti Terios dan Xenia. Bagaimana dengan sepeda motor ? Berbanding terbalik dengan Indonesia, di sini jumlah sepeda motor yang melintas di jalanan bisa dihitung dengan jari , artinya pemilik mobil lebih banyak. Hal ini dimungkinkan karena selain fasilitas kredit didapatkan untuk beli mobil sangat mudah,kendaraan umum juga banyak tersedia dari angkot( di sana disebut Kereta Sewa) serta bis Kota( di sana disebut Bas Berhenti-henti). Sehingga orang jika tidak punya mobil memilih naik angkutan umum daripada naik motor karena lebih murah dan nyaman.

Sesudah berkeliling Kuching dengan mengunjungi beberapa tempat penting seperti Masjid Negara Sarawak berkapasitas 15 ribu orang dan ada penjaganya, Museum Kuching,Museum Etnik( saya menyebut museum Jiplakan) karena di sini yang dipajang hampir semua milik Indonesia seperti batik Pekalongan,Keris dari Mojokerto, relief manusia Purba Sangiran dan rumah suku Iban( Dayak ) yang semasa berkuasa suka mengayau(memenggal kepala orang),Orang Hutan yang diawetkan. Ketika kami coba memotret untuk perbandingan dengan yang ada di Indonesia tiba-tiba ada security melarang . Dia menerangkan di setiap sisi museum ada CCTV yang memantau semua aktifitas di dalam museum termasuk hal kecil seperti memotret. Coba bandingkan Museum Radya Pustaka Surakarta berapa banyak benda peninggalan sejarah yang penting dan tentu nilainya lebih mahal dengan leluasa hilang dicuri. Di Museum di Kuching benda-benda tiruan saja begitu ketat dilindungi seperti melindungi Negara. Saya pun punya keyakinan larangan memotret itu bukan semata-mata aspek komersial tapi juga security, karena mereka takut kita complain telah mencuri budaya Indonesia. Sepanjang kota yang kami kelilingi termasuk Mahkamah atau Pengadilan Kuching, nama Borneo begitu gencar dipromosikan. Intuisi saya jika tidak hati-hati Malaysia akan menggunakan Borneo sebagai ikon baru pengganti Kalimantan. Jika demikian apa yang bisa kita perbuat. Sekelumit perjalanan itu untuk menggambarkan bahwa perilaku hukum yang baik menyebabkan Negara ini mudah ditata. Jika Jokowi (Walikota Surakarta) dinilai berhasil menertibkan kaki lima, anggapan itu belum tepat benar. Sebab city walk dan trotoar di Indonesia sudah jadi milik pengusaha. Kalau bukan dealer kendaraan,pemilik Mall,hotel dan ditempati PKL. Di Kuching memang ada PKL tetapi mereka tetap memfungsikan trotoar, bersih dan mencantumkan harga. berbagai tenis di sana mengais rejeki di trotoar tapi tertib. saya makan Canai masakan India dari roti tipis yang dicolekkan kuah gulai cuma 1,7 RM. Saya berharap di era Jokowi kedua fasilitas public seperti trotoar benar-benar dimaksimalkan,BRT ( bus rapid transportation) mudah menjangkau ke seluruh pelosok Surakarta termasuk bandara internasional Adi Soemarmo. Jokowi mampu memaksimalkan bandara Adisoemarmo dengan cara membuat MOU dengan seluruh kepala daerah di wilayah Surakarta di mana mewajibkan menggunakan bandara itu untuk setiap tujuan ke luar negeri maupun domestic. Sisi lain bahwa pemerintah daerah harus siap berpromosi dan membuat otak masyarakat ( sopir taksi,tukang becak,kusir dokar) otak pariwisata,sehingga dengan demikian setiap orang asing yang datang ke daerah ditawari potensi wisata. jika demikian niscaya bandara itu tidak seperti kuburan.

Surakarta, 11 Mei 2010

· Muhammad Taufiq, SH MH Advokat- Ketua peradi Surakarta dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS dengan penelitian behaviour of law.

Senin, 10 Mei 2010

Hadapi persaingan, Lawyer harus berkemampuan global

Solo (Espos)–Dalam era globalisasi, lawyer atau advokat di daerah dituntut mengembangkan diri agar bisa bersaing dengan lawyer asing. Lawyer semestinya tidak hanya berkutat pada masalah hukum dalam negeri tentang pidana dan perdata.

“Advokat yang hanya belajar tentang perdata dan pidana tidak akan mampu bersaing dengan lawyer asing. Padahal dalam pergaulan dunia yang tanpa batas atau borderless world ini mereka (lawyer asing) sudah banyak yang masuk ke negeri ini. Lalu kalau kita tidak siap, kita akan jauh ketinggalan,” ujar Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surakarta, M Taufik kepada Espos di sela-sela acara ‘Sosialisasi Persetujuan Umum Tentang perdagangan Jasa (GATS/WTO) Dan Tantangan Bagi Profesi Hukum’, Sabtu (8/5) di RM Pringsewu Solo.

Oleh sebab itu, mulai sekarang advokat harus membuka diri untuk belajar tentang hukum global. Pihaknya juga mengakui adanya beberapa kelemahan lawyer lokal yang menjadi penghambat pengembangan karir mereka. Di antaranya adalah minimnya lawyer lokal yang menguasai bahasa asing sehingga sulit memahami hukum global.

Selain itu, firma hukum juga masih minim, padahal firma ini yang akan lebih dipercaya pihak asing. Para advokat lebih banyak yang membuka praktik sendiri. Sehingga dia menyarankan agar para lawyer ini bersinergi membuat firma.

Sementara itu, pakar Hukum Ekonomi Bisnis Internasional Undip Dr FX Joko Priyono SH MHum yang menjadi pembicara dalam acara tersebut juga menyampaikan beberapa solusi. Di antaranya adalah mengundang lawyer asing dan mengajaknya bergabung dalam firma. Diharapkan akan ada interaksi di dalamnya. “Interaksi tidak hanya menyangkut ilmu-ilmu hukum, tetapi juga Bahasa Inggris,” ujar pria yang merampungkan kuliah S3 di Unair.

Sementara itu, Ketua Bagian Hubungan Internasional pada Fakultas Hukum Undip Semarang, Kholis Roisah mengatakan kegiatan seminar tersebut merupakan upaya pemberdayaan lawyer, khususnya di Solo. Apalagi volume perdagangan di Solo sangat besar dan lebih besar dibandingkan dengan Ibukota Jawa Tengah, Semarang. Fakta ini memungkinkan kian bertambahnya investor asing yang masuk ke Solo dan membutuhkan jasa lawter.

“Nah, siapkah para lawyer khusunya Peradi Surakarta ini menghadapi globalisasi, misalnya menangani masalah bisnis-bisnis intermasional, perjanjian-perjanjian internasional dan sebagainya,” kata dia.

alo