WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 30 September 2010

Keterpurukan Diplomasi Indonesia

Harian Joglosemar, Jumat, 01/10/2010 09:00 WIB - Muhammad Taufiq

Oleh Muhammad Taufiq

Mahasiswa Program Doktor
Ilmu Hukum UNS, peminat hubungan bilateral.

Akhir bulan ini Indonesia kembali berunding dengan Negeri Jiran yang paling dekat yakni Malaysia di New York apalagi yang diperbincangkan kalau bukan perbatasan. Beberapa waktu sebelumnya media massa meramaikan polemik Malaysia dan Indonesia tentang klaim perbatasan ke dua negara menyusul makin maraknya insiden penangkapan nelayan ke dua negara. Sudah bisa diprediksi bahwa Pemerintah Indonesia terkesan lamban, kalau tidak boleh dibilang ketinggalan, dalam sengketa perbatasan yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun ini.
Seolah tidak ingin dituduh sebagai ayam sayur pascagelombang protes yang marak di Tanah Air menyusul penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh Police Marine Malaysia. SBY di Markas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menggelar jumpa pers yang intinya meminta perundingan perbatasan RI-Malaysia dipercepat. Sepintas permintaan ini rasional dan taktis. Namun banyak pihak justru menilai langkah ini bisa blunder. Banyak pakar justru berharap Pemerintah Indonesia tidak terburu-buru mempercepat perundingan perbatasan dengan Malaysia. Sebab, setidaknya ada empat alasan untuk penundaan itu. Pertama, Indonesia lemah dalam hal kearsipan. Kedua, kerja sama antardepartemen di Indonesia buruk, ketiga Indonesia banyak menelantarkan pulau-pulau dan keempat Indonesia tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara internasional yang menguasai hukum laut dan perbatasan.
Tidak usah jauh-jauh, kita pernah gagal dengan DCA (Defence Cooperation Agreement). Ini adalah perjanjian kerja sama pertahanan antara RI dan Singapura yang ditandatangani di Bali 27 April 2007 lalu urung dilaksanakan. Pasalnya Perumusan implementasi dari kesepakatan tersebut berkaitan sangat erat dengan Kedaulatan Republik Indonesia. Memang dari awal pembahasan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan selain terkesan diam-diam juga butir-butir perjanjian tersebut sangat kontroversial. Sebab DCA mengekor perjanjian ekstradisi. Entah siapa yang berinisiatif, semestinya Perjanjian Kerja Sama Pertahanan haruslah dipisahkan dari ekstradisi. Karena terkesan asal-asalan maka dalam taraf pelaksanaan (implementing arrangement), DCA tersebut sulit direalisasikan. Kerja Sama Pertahanan RI-Singapura hingga kini masih alot. Terutama menyangkut daerah dan pengaturan latihan bersama kedua negara. Pemerintah RI lewat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kala itu berkeinginan pengaturan tempat latihan tempur kedua negara ditentukan secara bersama-sama antara TNI dan Tentara Singapura, namun sebaliknya Singapura justru ngotot ingin menentukan sendiri. Alhasil, ini yang mengakibatkan DCA gagal dalam implementasi, namun demikian kegagalan ini justru menguntungkan kita. Sebab secara teritorial wilayah kita tidak sepadan dengan Singapura.
Tanpa mengecilkan arti Menlu Marty Nata Legawa, secara performance Marty tidak sehebat pendahulunya Hasan Wirayudha dan Menlu-menlu sebelumnya seperti Ali Alatas atau Mochtar Kusumaatmadja. Ini tercermin dari pernyataan Kementerian Luar Indonesia yang disampaikan Wakil Menlu Triyono Wibowo terkesan tidak siap saat perundingan di Kinibalu. Ia hanya mengatakan batas wilayah kita adalah eks jajahan Belanda, tanpa mampu memerinci. Kondisi ini jelas keuntungan besar bagi Malaysia, ditambah upaya pembiaran terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Ketiadaan arsip dan seolah berlepas dari pulau terluar adalah biang kegagalan diplomasi kita atas klaim sepihak Malaysia terhadap Sipadan dan Ligitan kala itu. Sebagai negara anggota Persemakmuran, Malaysia jelas memiliki arsip dan sejarah atas pulau-pulau itu. Kita yang pernah dijajah 350 tahun oleh Belanda tidak memiliki kearsipan yang baik.
Tour of Duty
Sisi lain yaitu tidak adanya perubahan paradigma di kalangan pejabat birokrasi kita. Diplomat kita terkesan seperti tour of duty saja. Semestinya diplomat kita dibekali keberanian untuk menyatakan klaim perbatasan dan pulau-pulau terluar saat berada di meja perundingan. Yang terjadi justru sebaliknya kita terkesan menunggu dan seolah Mahkamah Internasional adalah langkah terbaik. Seorang diplomat yang andal yang duduk mewakili negara besar seperti Indonesia sebelum mengajukan klaim sudah barang tentu ia telah melengkapi diri dengan bukti dan saksi yang akurat. Sikap seperti itulah yang tidak dimiliki kebanyakan diplomat kita.
Kondisi ini semakin diperparah dengan sikap Pemerintah Indonesia yang terkesan ambigu dalam menjaga kedaulatannya. Jika benar kedaulatan adalah harga mati seperti bunyi pidato SBY selama ini, tentulah itu tidak berhenti sekadar ucapan. Namun secara nyata Indonesia menjaga dan merawat dalam bentuk menempatkan pasukan, menjadikan tempat latihan perang atau jika ingin sejuk memasukkan wilayah tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Jumlah penduduk yang besar, tenaga kerja yang mendominasi serta besarnya investasi Malaysia di Indonesia, adalah modal kuat untuk memperoleh recognation international. Sebab dengan sedikit gertakan seperti pemutusan hubungan diplomatik, tidak mudah bagi Malaysia untuk misalnya memulangkan TKI sebanyak 2,2 juta orang atau 10 persen dari penduduk mereka, atau menarik modalnya dari Indonesia.
Diplomasi ekonomi dan pertahanan jauh lebih ampuh dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ketimbang memaklumatkan perang atau mengajukan klaim ke Mahkamah Internasional. Pencurian ikan atau illegal fishing per tahun mengakibatkan kerugian Rp 30 triliun. Sebuah angka yang tidak kecil dan sangat paradoks dengan jumlah nelayan kita yang ditangkap Malaysia atau Australia. Selama kita belum mampu membayar pengacara internasional dan tidak punya nyali memaklumatkan perang. Agaknya, diplomasi pertahanan dan pariwisata adalah jalan murah menyatakan klaim atas kedaulatan kita. Ditambah dukungan publik di Tanah Air adalah perpaduan kekuatan yang tidak tertandingi. (***)

Senin, 27 September 2010

Kualitas Kurang, 14 Calon Tetap Diajukan Pansel KY


Mereka yang memiliki integritas mesti masuk yang diajukan ke Presiden.

Panitia seleksi komisioner Komisi Yudisial tetap mematuhi peraturan yang ada untuk memilih 14 nama untuk diajukan pada Presiden sebelum diserahkan pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sekalipun pada kenyataannya nama-nama yang bakal diajukan tak memiliki kemampuan untuk memimpin KY.

“Empat belas itu kata Undang-undang,” sebut Ketua Pansel Harkristuti Harkrisnowo usai tes wawancara hari terakhir 23 calon komisioner di Gedung Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Jumat (17/9) sore.

Dia sampaikan pula, nama calon yang lolos tes seleksi akan diserahkan pada Presiden pada Senin, 20 September 2010.

Ketua Pansel mengakui, hanya sedikit calon yang memenuhi harapan untuk memimpin KY jilid kedua. Dia juga mengaku sulit untuk memenuhi keterwakilan unsur seperti disyaratkan UU.

“Itu juga sulit. Pastinya pansel akan kerja keras dan akan ada perdebatan dinamis untuk menentukan keterwakilan unsur seperti diamanatkan undang-undang,” tutur Tuti, sapaan ketua pansel ini.

Menurut pasal 28 UU No 22 Tahun 2004 tentang KY, disebutkan komisioner mewakili unsur kehakim, akademisi, kejaksaan, dan masyarakat.

Adapun kriteria komisioner menurut pansel adalah mereka yang memiliki integritas, rekam jejak yang mendukung. Ditambah lagi kepribadian calon harus tegar serta mampu berkomunikasi dan mampu mendengar orang lain.

“Saya pribadi menginginkan komisioner memiliki integritas dan kualitas. Tapi keduanya minim ditemukan pada mereka yang mengikuti tes wawancara,” kata Tuti.

Asep Rahmat Fajar dari Indonesia Legal Roundtable yang mengawal proses seleksi berpendapat peserta tes wawancara memang minim pengetahuan akan KY. Terutama akan kewenangan KY. Hal ini diperparah dengan minimnya pengetahuan pansel tentang KY. Bahkan, anggota pansel tampak tidak padu dalam memberikan pertanyaan pada para calon saat wawancara.

Ketidakpaduan itu juga tampak dengan adanya keberpihakan pansel pada calon dari unsur tertentu. Semisal, beberapa anggota pansel dari birokrasi tidak bertanya pada mantan Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM, Hasanuddin.

Mereka adalah Aidir Amin Daud (Dirjen AHU), Suhartoyo (Deputi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Bidang Hukum danHak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan), Iman Santoso (Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum, Sekretariat Kabinet), Ramly Hutabarat (Staf Ahli Menhukham), dan Hamzah Tadja (Jamwas). Padahal kekayaan calon oleh KPP dinilai mencurigakan.

Beberapa anggota pansel juga tidak hadir selama tes wawancara. Seperti Satya Arinanto yang selalu datang pada sore hari. Satu diantaranya tak pernah hadir dalam tiga hari tes wawancara berlangsung, yaitu praktisi hukum Muchyar Yara.

Karena banyak kekurangan itu, KPP meminta pansel mengutamakan integritas untuk menentukan 14 nama ketimbang kriteria kompetensi dan pengetahuan. “Porsi tertinggi adalah integritas,” terang Asep Rahmat Fajar dari KPP.

Sedangkan kompetensi dan pengetahuan dapat dibentuk saat mereka terpilih menjadi komisioner, sambungnya lagi.

Bermesraan dengan MA

Banyak pula dari calon yang menawarkan bermesraan dengan MA agar tugas mengawasi hakim oleh lembaga eksternal, yaitu KY dapat dilakukan. Diantaranya disampaikan Taufiqqorahman S pada pansel.

Mantan staf ahli Mahkamah Konstitusi dan staf Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) itu mengatakan, “Jangan langsung tembak, harus koordinasi tapi bukan subordinasi sehingga mudah mengawasi hakim,” ujar akademisi dari sebuah perguruan tinggi di Bengkulu.

Mayoritas dari para calon komisioner juga menawarkan hal serupa. Tawaran tersebut dikritik anggota pansel, diantaranya Luhut MP Pangaribuan. “Koordinasi bisa punya arti lain.”

Selain itu Taufiqqorahman dan banyak calon mengajukan upaya pencegahan dalam mengawasi hakim. Semisal menyelenggarakan pendidikan bagi calon hakim tentang kemandirian dan moral. “Setelah mendapat pendidikan tapi tetap nakal, baru ditindak,” sarannya.


Minggu, 26 September 2010

14 Nama Calon Anggota KY Menuai Kritik Pengelompokkan Calon Tak Jelas

NASIONAL - HUKUM
Minggu, 26 September 2010 , 11:33:00

JAKARTA - 14 nama calon anggota Komisi Yudisial (KY) yang diajukan Panitia Seleksi (Pansel) KY ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuai kritik. Direktur Indonesian Legal Roundtable Asep Rahmat Fajar menilai Pansel tak jelas dalam menentukan latar belakang para calon.

Undang-Undang nomor 22/2004 tentang KY memang memerintahkan agar para anggota KY dipilih dari kalangan mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat (pasal 6 ayat 3). Namun, hasil seleksi Pansel memberi porsi tidak sama untuk setiap kelompok profesi.

Rinciannya, dua orang dari kalangan mantan hakim, sembilan orang dari akademisi, dua orang dari masyarakat, dan seorang dari praktisi hukum. "Kami tidak habis pikir, apa dasar pansel dalam membagi kelompok profesi itu," kata Asep saat dihubungi Sabtu (25/9).

Hal itu, kata Asep, membuat Pansel tak memberi banyak pilihan kepada DPR yang akan memilih tujuh anggota KY. Asep khawatir, hanya gara-gara tak ada pilihan, beberapa orang yang mewakili kelompok profesi tertentu langsung lolos. Misalnya, kelompok praktisi hukum yang hanya ada satu calon bernama Mangasa Manurung. Kemudian, kelompok mantan hakim yang hanya ada dua calon, yakni hakim agung Abbas Said dan hakim JMT Simatupang.

Pengelompokkan calon juga mengundang pertanyaan. Calon Hasanuddin, misalnya. Hasil tracking aktivis Komisi Pemantau Peradilan (KPP) menyebutkan bahwa dia adalah mantan pegawai negeri sipil (PNS). Mestinya, kata Asep, dia masuk kelompok masyarakat. "Kenapa dimasukkan ke kelompok praktisi?" katanya.

Sejumlah calon, kata Asep, juga masih memiliki catatan yang harus dikonfirmasi ke yang bersangkutan. Antara lain, jumlah kekayaan Hasanuddin dan Manurung yang menurut KPP di luar profil. Selain itu, citra Abbas dan Simatupang yang dianggap kurang berintegritas.

Abbas dianggap memiliki tafsir hukum melindungi koruptor. Dalam putusan PK terhadap terpidana korupsi alat-alat balai latihan kerja Taswin Zein, Abbas berpedapat bahwa PK bisa diajukan dari luar negeri kendati negara tersebut tak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Indonesia.

Padahal dalam KUHAP, PK harus dimohonkan langsung oleh terpidana agar mereka tak bisa mengajukannya dari tempat persembunyian atau dari luar negeri. Sehingga bila PK ditolak, mereka langsung bisa dieksekusi. Karena itu, Asep berharap DPR akan mengkonfirmasi informasi yang sempat lolos dari Pansel. "Kami harap DPR akan mengkonfirmasi catatan-catatan tersebut pada fit and proper test nanti," katanya (aga)

Jumat, 24 September 2010

Ucapan Terima Kasih



Saya, M. Taufiq dengan ini mengucapkan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya atas dukungan rekan-rekan selama ini berkaitan dengan keikutsertaan saya dalam seleksi calon komisioner Komisi Yudisial Republik Indonesia dari awal hingga masuk 24 besar. Namun, saya mohon maaf pada rekan-rekan semua karena pada akhirnya saya tidak termasuk dalam daftar 14 Nama calon yang diusulkan Pansel ke Presiden.


Surakarta, 24 September 2010



M. Taufiq

Jumat, 17 September 2010

Masuk 24 Besar


KOMISI Yudisial (KY) saat ini tengah menyeleksi calon-calon pimpinan. Salah satu nama yang masuk dalam 24 besar tersebut adalah Mohamad Taufiq SH MH.

Salah satu pengacara kondang di Solo yang namanya sempat melejit saat menjadi penasihat hukum Lanjar, dalam kasus kecelakaan di Karanganyar yang menyebabkan istrinya meninggal merupakan satu-satunya calon dari Solo.

“Besok itu sesi wawancara di Jakarta untuk nantinya diambil 14 orang. Setelah 14 nama lolos akan diserahkan ke DPR untuk selanjutnya dipilih tujuh orang,” ungkap Taufik.

Dia menjelaskan, dirinya memang punya cita-cita dan obsesi bila nantinya menjadi pimpinan KY akan memberantas praktik yudicial coruption yang selama ini tidak tersentuh.

Praktik itu sebenarnya selalu terjadi, terutama di proses pengadilan, mulai dari pemeriksaan polisi, tuntutan jaksa hingga di pengadilan. Padahal, praktik seperti ini jauh lebih berbahaya dibanding dengan kejahatan lainnya.

“Ini yang selama ini jarang diperhatikan. Padahal, dari sini bisa saja terjadi praktik-praktik kotor. Misalnya, merekayasa pasal, hukuman dan lain sebagainya,” ujarnya.

Nyalon KY, Taufik Minta Dukungan


Joglosemar Rabu, 15/09/2010 09:00 WIB - riz

SOLO—Advokat ternama di Kota Solo, Muhammad Taufik meminta doa dan dukungan dari masyarakat Solo terkait pencalonannya menjadi anggota Komisi Yudisial (KY). Hal tersebut disampaikan oleh M Taufik kemarin, Selasa (14/9) sebelum menjalani tes wawancara di gedung Tipikor Jakarta hari ini (15/9).
Ketua Peradi Solo ini mengatakan dirinya saat ini telah masuk ke dalam 24 besar dan akan disusutkan menjadi 14 besar pada tes wawancara hari ini. “Sebagai warga Solo yang juga akan membawa nama kota Solo, saya meminta doa serta dukungan dari masyarakat agar saya dapat terpilih,” kata Taufik kemarin (14/9).
Taufik menjelaskan dalam pencalonannya menjadi anggota KY tersebut dirinya mengusung misi untuk memperbaiki sistem peradilan di Indonesia. Dirinya berniat memberantas korupsi di peradilan atau yang disebutnya sebagai Yudicial Corruption.
“Kita biasa bicara korupsi tentang kasus GLA, kasus buku ajar atau yang besar kasus mengenai Sisminbakum. Tapi kita tidak pernah bicara mengenai korupsi proses peradilan,” ujar Taufik. Bahkan, lanjut Taufik, untuk kasus narkoba yang terdakwanya meminta agar hukumannya dikurangi dan akhirnya mendapat vonis ringan, ternyata harus membayar ratusan juta rupiah.
Menurut Taufik korupsi di dalam proses peradilan dimulai dari tingkap kepolisian, kejaksaan, hingga pada saat proses persidangan. Visi yang diemban Taufik untuk maju ke KY tersebut di antaranya, dirinya akan mengawasi hakim serta proses peradilan mulai dari tingkat Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.
“Sebab saat ini, KY telah mengalami penurunan dengan hanya memiliki wewenang mengawasi hakim-hakim di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Sedangkan untuk Hakim Mahkamah Agung tidak pernah diawasi,” terang Taufik kepada Joglosemar.
Lebih jauh, Taufik menyatakan bahwa ke depan dirinya juga akan membawa kewenangan KY agar dapat juga mengawasi Hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab menurut Taufik, MK sampai saat ini tidak ada yang mengawasi. Padahal dalam hal Impeachment terhadap Presiden merupakan kewenangan MK. “Saat ini untuk menurunkan seorang Presiden bukan lewat demo, tetapi melalui MK. Jadi juga harus ada yang mengawasi,”ujar Taufik. (riz)

Senin, 06 September 2010

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1431 H




MUHAMMAD TAUFIQ, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1431 H.


Minal aidin wal fa idzin
Mohon Maaf Lahir dan Batin,



Selanjutnya mohon doa restu serta dukungannya karena pada tanggal 15 September 2010 mendatang M. Taufiq akan mengikuti Tes wawancara dalam rangka seleksi calon Komisioner Komisi Yudisial Republik Indonesia.

Pimpinan UNS harus pintar Bahasa Inggris


Harian Solopos, Sabtu 4 September 2010

Solo (Espos)–Pimpinan Universitas Sebelas Maret (UNS) diharapkan pintar berbahasa Inggris.

Warga kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo menginginkan ada debat Bahasa Inggris yang diikuti setiap calon rektor UNS.

Pasalnya, UNS telah mengikrarkan dirinya sebagai world class university. Sehingga pimpinan UNS juga harus pintar berbahasa Inggris.

Salah satu mahasiswa program Doktor Ilmu Hukum, Muhammad Taufiq, mengatakan dengan adanya debat Bahasa Inggris, akan diketahui kualitas masing-masing rektor.

Menurutnya, sangat aneh jika sebuah perguruan tinggi yang akan menjadi world class university dipimpin oleh rektor yang tidak fasih berbahasa Inggris.

“Sebaiknya ada debat Bahasa Inggris,” terangnya saat menghubungi Espos, Jumat (3/9).