WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 19 September 2012

SIDANG WALET DAN PENCITRAAN

Dimuat di Harian Joglosemar, Opini, Selasa, 18 September 2012
Oleh :Muhammad Taufiq, SH, MH*

Sidang kasus bentrokan Gandekan dengan terdakwa Koes Setiawan Danang Mawardi alias Iwan Walet dan Mardi Sugeng alias Gembor, akhirnya dipindah ke Semarang. Pemindahan tersebut menyusul turunnya fatwa Mahkamah Agung (MA), berdasarkan Nomor 102/KMA/SK/VII/2012, tanggal 20 Agustus 2012 tentang penunjukan Pengadilan Negeri (PN) Semarang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana atas nama terdakwa Koes Setiawan Danang Mawardi alias Iwan Walet dkk, yang tersandung kasus bentrok yang terjadi di Gandekan. Peristiwa itu sama sekali tidak berhubungan dengan Pilkada DKI, namun berimplikasi pada kesuksesan langkah salah satu kandidat Calon Gubernur DKI Jakarta, yang kebetulan merupakan Walikota Solo.
Dari semula, memang sejumlah elite politik menginginkan Solo kondusif dalam segala hal. Bukan karena dicitrakan sebagai Kota Pariwisata dan Budaya. Melainkan ada kondisi subjektif yang tengah diperjuangkan oleh sejumlah elite politik di Solo yang luput dari pengamatan, yakni keinginan orang nomor satu di Solo, Joko Widodo (Jokowi) untuk berpindah menjadi orang nomor satu di Jakarta. Karena itu diakui atau tidak, skenario pemindahan sidang Iwan Walet bagian dari mengamankan pencitraan Solo sebagai kota yang aman. Agar langkah Jokowi mulus sehingga tidak tersandung akibat dari peristiwa bentrok Iwan Walet, baik langsung maupun tidak langsung.
Soal bentrok sebenarnya bukan kali ini saja terjadi di Solo. Sebelumnya kasus Joyontakan, pada tahun 2009 juga terjadi konflik antara pemuda masjid dan warga setempat, malah mengakibatkan korban tewas dari pihak warga yakni Kipli. Meski demikian, karena tidak ada target politik apapun kala itu, akhirnya sidang tetap digelar di Solo dan tidak terjadi apa-apa, saat itu tentu saja pengamanannya tidak sebanyak sidang Iwan walet.
Di sisi lain banyak yang belum tahu mengapa ia disebut Iwan Walet? Pemilik cucian motor di Pasar Gandekan itu memang dikenal pemberani. Guna mengamankan bisnis walet di daerah itu oleh beberapa pemilik sarang walet, ia diberikan tugas sebagai penjaga sarang walet di beberapa rumah. Itulah asal usul mengapa ia disebut Iwan Walet. Kenapa ia diberikan pekerjaan itu? Sebagai mantan anggota TNI di Madiun yang dipecat karena tersandung masalah kriminal, ia dianggap punya nyali dan cukup disegani di daerahnya. Maklum, Iwan memang lahir dan dibesarkan di daerah Gandekan.

Alasan Pemindahan
Melihat latar belakang bentrok dihubungkan dengan kredibilitas Iwan Walet, maka kita perlu menganalisis mengapa persidangan itu harus pindah ke Semarang? Selanjutnya jika kita lihat dari kajian hukum acara pidana khususnya pasal 85, pemindahan tempat persidangan adalah hal yang diperbolehkan dengan limitasi tertentu. Namun demikian alasan pemindahan yang objektif, hanya dimungkinkan jika di tempat kejadian perkara dimaksud pengadilan tidak mampu untuk mengadili suatu perkara dikarenakan kondisi keamanan, bencana alam.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Solo memiliki alasan objektif sesuai pasal itu, bahwa Solo tidak aman dan sebagainya? Membandingkan dengan kasus Joyontakan yang memakan korban dan Gandekan tidak memakan korban, tentu menyisakan pertanyaan. Di mana kondisi objektif bahwa Pengadilan Negeri Surakarta dinyatakan tidak bisa menyidangkan? Kasus ini tentu berbeda dengan John Kei preman dari Tual pada tahun 2008 memotong jari saudara sepupunya di Ambon, namun persidangan di Surabaya. Atau kasus Sihabudin Temanggung pada tahun 2011 yang juga dipindah ke Semarang.
Pemindahan John Kei atau Sihabudin memang sesuai pasal 85, di mana jika disidangkan di tempat kejadian perkara akan sangat rawan mengingat keduanya punya banyak pengikut. Dua alasan, bencana alam dan keamanan tidak terdapat pada kasus Iwan Walet. Terang kepada kita bahwa pemindahan sidang kasus Gendekan dari PN Surakarta ke PN Semarang sangatlah sarat dengan kepentingan politik.
Secara teori tidak ada alasan secuil pun dalam kasus bentrok Gandekan yang memenuhi syarat pasal 85 KUHAP. Namun demikian dalam praktiknya sangat sulit untuk dibedakan apa yang menjadi penyebab pemindahan tempat persidangan. Namun dalam praktiknya persoalan SARA sering kali memicu konflik. Apalagi jika pelakunya adalah orang memiliki latar belakang historis yang bermusuhan serta secara kultural dan agama berbeda. Pada kasus ini kebetulan Iwan memang berbeda keyakinan dengan lawan atau seterunya.
Sebagaimana diketahui sidang kasus bentrok Gandekan itu telah berlangsung di Pengadilan Negeri Surakarta, selama dua kali. Setiap sidang berlangsung, ribuan petugas berjaga karena dikhawatirkan PN akan didatangi massa dalam jumlah banyak, meskipun pada kenyataannya tidak pernah terjadi aksi pengerahan massa.
Dalam persidangan, Selasa (11/9) dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, Hartono, Muhammad Misran dan Pramono. Tiba-tiba terjadi keganjilan, lantaran sidang mendadak dihentikan. Majelis Hakim yang dipimpin Budhi Hertantyo yang sekaligus Humas PN Surakarta membacakan fatwa MA tersebut. Sidang terpaksa dihentikan, karena fatwa MA tertanggal 29 Agustus 2012 yang ditandatangani oleh Ketua MA M Hatta Ali tersebut dengan berbagai pertimbangan memerintahkan PN Surakarta supaya sidang lanjutan atas perkara dengan terdakwa Iwan Walet dipindahkan ke PN Semarang. Majelis Hakim sudah membacakan dengan landasan yang sudah diuraikan tadi. Selanjutnya PN Surakarta melempar handuk dan menyerahkan seluruh berkas perkara ke PN Semarang.
Terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri Surakarta, Ricard Sitinjak yang menyaksikan langsung proses persidangan mengatakan, pihaknya tidak mempersoalkan pemindahan lokasi sidang dengan terdakwa Iwan Walet ke PN Semarang. Menurutnya, pihaknya juga sudah siap untuk menyerahkan barang bukti dan terdakwa ke PN Semarang.
Saat disinggung, apakah pemindahan tersebut tidak melanggar Pasal 85 KUHAP, kata dia, pemindahan tersebut sudah sesuai dengan usulan Muspida meliputi Pemerintah Kota Surakarta dan Polresta Surakarta yang tercantum dalam surat nomor 730/2.264 tertanggal 20 Juni 2012 serta surat dari Kepolisian nomor: Res 1.24/4384/VI/2012/Resta Ska tanggal 21 Juni 2012. Dalam Pasal 85 KUHAP juga disebutkan, pemindahan lokasi sidang dapat dilakukan atas permintaan dengan pertimbangan tertentu. ”Dari awal karena pertimbangan dari rapat Muspida, serta adanya masukan dari masyarakat tentang pertimbangan penanganan persidangan itu, maka kita sepakati, kita ajukan pemindahan itu, persyaratannya sesuai dengan KUHAP, usulan Dandim, Kapolres, dan Walikota,” terang Ricard. Dikatakan Ricard, dalam pasal ini mengesampingkan asas locus delicti dan tempus delicti, jaksa yang akan menangani kasus tersebut akan tetap ditangani oleh tim JPU yakni Bima Suprayoga, M Hambalianto dan Budi Sulistyono. Kemudian untuk hakim, dijelaskan Ricard biasanya tidak sama. Sedangkan penasihat hukum itu nanti urusan dari pihak PN Semarang.
Dari penjelasan Kajari Surakarta di atas, jelas bahwa kemauan atau keinginan pindah adalah kehendak elite politik dalam hal ini orang nomor satu di Solo bersama Muspida. Meski demikian, lepas dari alasan apapun kita jangan terjebak pada apa yang disebut teori agenda setting. Yakni ketika media massa menganggap dan menampilkan suatu isu sebagai yang terpenting, maka publik akan tergiring untuk mempersepsikan isu itu sebagai hal yang terpenting. Oleh karena kita harus sama jujur bahwa Solo itu kota yang aman dan kondusif. Ada atau tidak ada sidang Iwan Walet atau bentrok Gandekan, kita tetap yakin bisa hidup wajar di Solo, tanpa takut kerusuhan massa atau aksi terorisme.   
*Muhammad Taufiq, SH, MH

Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Jumat, 14 September 2012

Audit Hukum Pemberantasan Teroris


Dimuat di Harian Solopos, Gagasan, edisi Rabu, 12 September 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*

Harian ini sepekan lalu, Rabu (5/9/2012), pernah menulis judul yang sangat kontroversial di halaman utama “Peneror Solo Orang Dekat Polisi “. Analisa itu sangat masuk akal, mengingat cara pemberantasan teroris selama ini tidak menyisakan bukti maupun saksi kecuali dari unsur polisi itu sendiri. Sehingga Ketua Presidium Indonesian Police Watch menyangsikan bahwa yang dibunuh atau ditembak mati di Solo adalah teroris yang sebelumnya menembaki pos-pos polisi.
Memang sungguh tidak masuk akal melihat sepak terjang polisi terutama Densus 88 yang memiliki bukan saja senjata yang canggih tetapi juga pola kerja yang tidak bisa dianut lembaga mana pun. Pasukan khusus Polri benar-benar extra ordinary kalau tidak boleh dibilang misterius. Artinya dia tidak bisa tunduk pada hukum umum seperti KUHP, KUHAP dan lain-lain.
Semua bentuk pemerintahan sesungguhnya memiliki satu sifat yang sama, yaitu kewenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang tidak demokratis terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat. Sementara di dalam sistem yang tidak demokratis, kesepakatan rakyat bukan merupakan persyaratan. Di dalam sistem yang demokratis, rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Mereka berhak mengganti sebuah pemerintahan yang dipandang sudah tidak lagi mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, melalui pilihan umum yang bebas. Di dalam konteks ini, lebih lanjut perlu dipahami bahwa sistem pemerintahan yang demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas dan kelompok mayoritas benar-benar siap untuk menghormati hak-hak minoritas. Ini merupakan salah satu dari kesepakatan-kesepakatan etis yang mutlak hadir dalam demokrasi.
Sepertinya dalam praktik ini tidak berlaku terhadap persoalan yang mengkait Islam entah dari kelompok mana pun, bercorak garis keras,lemah atau tanpa garis. Dalam bahasa dunia yang dipelopori Amerika Serikat, mereka disebut teroris. Dan itulah saat ini yang diperankan Pemerintah Indonesia lewat institusi kepolisian melalui lembaga extra ordinary yang disebut Densus 88.
Di dalam konteks pemerintahan demokrasi, prinsip-prinsip yang relevan dibicarakan adalah pemisahan kekuasaan (separation of power ), supremasi hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum (law supremasi atau the rule of law ) serta kesederajatan (equality) dan kebebasan (liberty). Dalam konteks pemisahan kekuasaan diasumsikan bahwa pemerintah pada dasarnya berkenaan dengan urusan membuat hukum, melaksanakan hukum dan memutuskan apakah hukum telah dilanggar dalam kasus–kasus tertentu. Ini yang kemudian memberi inspirasi tentang perlunya melakukan pemisahan atas kekuasaan –kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuan dari pemisahan-pemisahan itu adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan pada satu tangan, entah itu dalam artian institusi ataupun pribadi. Alhasil dengan memisahkan tiga cabang kekuasaan itu diharapkan adanya saling ketergantungan dan saling kontrol dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka (checks and balances), sehingga kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan kesewenang- wenangan dapat dihindari seperti dengan seenaknya mempersangkakan orang sebagai teroris dan tak pernah ada persidangan yang bersifat scientific justice.
Seperti yang kita lihat dan berulang baca klaim keberhasilan menumpas teroris hanya muncul sepihak, sebab para teroris ini sudah mati. Asumsi di balik penerapan prinsip ini adalah manusia (termasuk polisi dengan Densus 88) bukanlah malaikat atau makhluk suci yang tidak tunduk pada hukum umum. Pada hakikatnya siapa pun dia pasti memiliki kecenderungan untuk melanggar aturan jika duduk dalam kekuasaan. Selain itu mereka cenderung menumpuk dan menggunakan kekuasaan itu secara semena–mena. Menurut pandangan ini betapa pun baiknya seseorang sebelum duduk di dalam suatu posisi kekuasaan, sekali ia berkuasa akan terbuka kemungkinan untuk tergoda oleh hawa kekuasaan yang cenderung mengajaknya menyeleweng. Maka hebatnya pemerintah tidak bisa dijaminkan atau digaransi sekadar pada iktikad baik orang seorang, tanpa hukum bisa menyentuhnya

Cek Kosong
Kewenangan pemerintah yang baik harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan dan batasan otoritas yang selalu membatasi saling mengawasi dan saling tergantung satu sama lain. Ini yang dimaksud dengan sistem, termasuk sistem pengadilan di mana polisi merupakan salah satu bagiannya. Artinya penguasa bisa datang dan pergi namun sistem jalan terus. Hanya dengan memperkuat sistem, kelangsungan pemerintah yang bebas dari kemungkinan diselewengkan akan dapat diupayakan. Mempertaruhkan nasib pemerintahan yang juga berarti nasib rakyat kepada kekuasaan orang seorang bukan kepada sistem yang solid akan sangat riskan karena tidak akan mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan sebuah pemerintahan.
Selaras dengan ide pemisahan kekuasaan, demokrasi juga menjadikan hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintah, hukum sebagai panglimanya . Dalam pengertian ini pemerintah bukan saja harus menjadikan dirinya sebagi hukum yang berbicara tetapi juga menjamin dan memelihara independensi lembaga-lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya termasuk lembaga kepolisian dengan tim Densus 88 harus bersedia diaudit segala pendanaanya. Pada akhirnya tidak ada seorang pun dapat ditahan untuk diperiksa oleh polisi kecuali ia dicurigai telah melanggar hukum dan tidak seorang pun dapat dipenjarakan kecuali ia telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Dengan demikian kesewenang-wenangan Densus 88 sebagai “pemain tunggal” pemberantasan teroris harus diakhiri. Dengan sendirinya pemerintah juga tidak dapat mengambil hak milik orang seorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar. Ringkasnya setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku. Prinsip tentang hak-hak dasar negara ini sudah berlaku di Inggris sejak tahun 1215 sebagaimana termuat di dalam Magna Charta. Itulah sebabnya maka negara demokrasi selalu diidentikan dengan negara berasas hukum.
Adab Berdemokrasi
Tentang kesederajatan dan kebebasan batas-batas penerapan atas dua nilai dasar demokrasi senantiasa menjadi topik perdebatan. Secara teoretik, kesederajatan diartikan sebagai kesamaan hak dari setiap pribadi untuk menikmati kehidupan dan mengejar kebahagiaan. Ini berkenaan dengan kesederajatan hukum (legal equality), yaitu jaminan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara di hadapan hukum, kesederajatan politik (political equality), yaitu kesamaan hak dari setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, dan kesederajatan ekonomi (economic equality) yaitu kesamaan hak bagi setiap warga negara untuk bergiat di bidang ekonomi dan memperoleh pelayanan dari negara di dalam memajukan kehidupan ekonominya. Untuk yang terakhir ini banyak penganjur demokrasi berpendapat keberhasilan demokratisasi juga harus diukur dari sejauh mana sistem ekonomi yang berlaku mampu menjembatani kesenjangan tingkat kesejahteraan antara warga negara yang kaya dan yang miskin.
Ini menjelaskan mengapa pemerintah di negara-negara yang menganut paham demokratis cenderung menerapkan kebijakan perpajakan yang secara progresif membebani para orang kaya dan pada saat yang sama meluncurkan program-program bantuan meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin. Semakin berkurangnya jumlah yang miskin, dan semakin sempitnya jarak antara mereka yang kaya dan yang miskin dalam masyarakat, merupakan salah satu ukuran penting dari keberhasilan pemerintahan. Pada akhirnya seberapa pun hebatnya teroris diberantas jika tidak ada audit hukum tentang aktivitas penegak hukum sama artinya memberantas teroris dengan cara teroris. Model itulah sekarang yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia dengan Densus 88. Membunuh dan menghabisi teroris, baru kemudian dilakukan tes DNA. Selama ini kita dibohongi dengan kehebatan Densus 88 tanpa pernah ada pembuktian apakah yang dibunuh benar-benar seorang teroris.

*Muhammad Taufiq,
Dosen Pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS