WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 30 Oktober 2013

Aspek Hukum Konflik Keraton

Dimuat di Harian Joglosemar, edisi Kamis, 31 Oktober 2013
Oleh : DR. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
 
Bermula dari tekad FX Hadi Rudyatmo sebagai Walikota Surakarta menjalankan tugas dari Mendagri untuk merukunkan Kraton Surakarta. Guna mewujudkan upaya tersebut Rudy menempuh cara elegan dengan tidak memihak pada salah satu pihak yang tengah bertikai. Awalnya (Rudy) akan menyelenggarakan Kirab Mangayubagya Sinuhun Pakubuwono (PB) XIII. Upaya itu alih-alih didukung,Rudy justru dituduh menjalankan pesan sponsor dari Tedjowulan. Terang saja ia berang. Dan seperti biasa Rudy justru meladeni tuduhan itu , caranya ia malah meminta agar pihak yang menolak perannya untuk membuat surat yang intinya tidak mau diselesaikan oleh orang di luar Kraton Surakarta.
        Konflik Kraton ini memang seolah tak pernah habis bak cerita sinetron selalu ada lakon baru. Saya pun juga tidak ingin menjadi bagian dari lakon konflik itu. Tulisan ini sebagai wujud kegeraman saya sebagai warga Sala yang selalu bingung pula saat ditanya kapan prahara ini akan berakhir? Memang tidak bisa dipungkiri konflik ini bagian dari sejarah panjang pergolakan politik di tanah Jawa pasca kemerdekaan. Yang oleh sebab pertimbangan tertentu Kota Sala atau Surakarta tidak dijadikan daerah istimewa sebagai mana Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
     Fakta ini bisa kita lihat dari tuntutan Kuasa Hukum Kraton Surakarta yang menuntut sebagai Daerah Istimewa seperti halnya  Yogyakarta, Keraton Surakarta mengajukan uji materi UU No. 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Provinsi Jawa Tengah. Tercatat sebagai pemohon Gusti Raden Ayu Koes Isbandiyah (putri Susuhunan Paku Buwono XII) dan Kanjeng Pangeran Eddy S Wirabhumi (ahli waris dinasti Keraton Surakarta) yang diwakili tim kuasa hukumnya.  
Mereka memohon pengujian Bagian ‘Memutuskan’ angka I dan Pasal 1 UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah yang memasukkan Surakarta bagian dari Jawa Tengah. Sebab, sesuai Penetapan Pemerintah No. 16/SD Tahun 1946 dan Surat Wakil Presiden Tahun 12 September 1949, dan UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah mengakui dan menetapkan status Surakarta dan Yogyakarta sebagai daerah istimewa.  
 Alasan pemohon uji materi berawal dari “Ketidakjelasan status hukum Daerah Istimewa Surakarta ,” maka Keraton Surakarta telah kehilangan haknya mengelola atau mengatur tanah-tanah Sunan Ground dan tidak pernah dilibatkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah,” kata salah satu kuasa hukum pemohon, Zairin Harahap dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Gedung MK, beberapa waktu lalu . 
 Menurut pemohon yang mengutip bagian memutuskan angka I menyebutkan “menghapus Pemerintahan Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banjumas, Kedu, dan Surakarta, serta membubarkan Dewan Perwakilan Rakjat Daerah Karesidenan-Karesidenan te sebut”. Sementara Pasal 1 ayat (1) menyebutkan “Daerah jang meliputi Daerah Karesidenan Semarang, Pati, Pekalongan, Banjumas, Kedu, dan Surakarta ditetapkan mendjadi Provinsi Djawa Tengah.”    
YANG DITUNTUT HARUS JELAS
Para pemohon yang diwakili kuasanya Zairin berargumen bahwa  hingga kini Penetapan Pemerintah dan surat Wakil Presiden itu masih tetap berlaku. Sebab, tak ada satu pasal atau ayat pun dalam UU No. 22 Tahun 1948 dan UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah yang mencabut status Surakarta sebagai Daerah Istimewa. Karena itu, berlakunya Penetapan Pemerintah yang telah ditandatangani Presiden Soekarno pada 15 Juli 1946 itu sampai sekarang,menurut tafsir pemohon dianggap masih masih sah menurut hukum.
Permohonan yang mereka ajukan kepada peradilan konstitusi ini bukanlah untuk menuntut pembentukan Daerah Istimewa Surakarta, tetapi lebih tepat menuntut pemulihan atau pengembalian status Surakarta sebagai daerah istimewa, itu alasan hukum yang disebut para pemohon. 
Di hadapan majelis panel yang diketuai Arief Hidayat, para pemohon mengakui meski UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah tidak menghilangkan status Surakarta sebagai daerah istimewa, tetapi secara de facto status keistimewaan Surakarta tidak jelas. Padahal, fakta sejarah dan dasar hukum yang dimiliki Surakarta Hadiningrat sama dengan Ngayogyakarta Hadingrat. Terlebih, keberadaan daerah yang bersifat istimewa dijamin Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.  
 Namun yang harus dipahami, bahwa  status Surakarta sebagai daerah istimewa secara yuridis belum dibentuk dan tertuang dalam undang-undang, seperti Yogyakarta. Ini bentuk perlakuan yang tidak sama di hadapan hukum dan ketidakpastian hukum yang dialami pemohon selama 63 tahun. Para pemohon berdalih ,bahwa apa yang mereka tuntut atau gugat dijamin kuat dan diatur Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.    
Untuk itu, pemohon meminta MK membatalkan frasa “dan Surakarta” dalam Bagian Memutuskan angka I dan Pasal 1 pada UU Pembentukan Provinsi Jawa Tengah karena menurut pendapat mereka hal itu bertentangan dengan UUD 1945.
Pada bagian lain menanggapi permohonan yang diajukan pihak Kraton Surakarta. Anggota Panel Hakim Maria Farida Indrati mengutip permohonan tersebut ia menemukan fakta  bahwa pemohon tidak meminta Surakarta sebagai daerah istimewa.  Menurut hemat penulis,jika demikian yang dimohonkan tentu ada hal substansial yang terlewatkan? Karena kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak mengadili hal-hal yang faktual terjadi, tetapi menguji norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Seharusnya hal itu yang justru harus dituntut atau diperjuangkan oleh para pemohon.
Mengutip pendapat hakim konstitusi Maria Farida Indrati  menyarankan agar permohonan uji materi itu lebih tegas dan rinci menguraikan adanya pertentangan antara norma yang dimohonkan pengujian dengan konstitusi. “Jika dikaitkan dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 ini, letak pertentangannya dimana? Ini yang harus dijelaskan dan diperbaiki,” . Intinya  permohonan uji materi yang dimohonkan haruslah terhadap sebuah peraturan atau undang-undang yang bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945.
Jika ditelaah secara cermat ,  petitum permohonan  di Mahkamah Konstitusi yang sekedar meminta menghilangkan frasa “dan Surakarta”, terasa hambar dan janggal. Sebab, jika frasa dihilangkan, Surakarta mau masuk daerah mana?, apakah Surakarta tetap masuk Jawa Tengah atau provinsi tersendiri? Jadi permohonan kepada Mahkamah Konstitusi bukan sekedar meminta penghapusan frasa “ dan Surakarta “ . Kalau hanya menghapus itu suatu perbuatan yang mudah, tetapi memiliki implikasi hukum ketatanegaraan yang sangat mendasar . Sehingga akibatnya sangat bermakna, hal demikian harus dipikirkan agar muncul argumen berbobot. Sehingga gugatan ini tidak sia-sia. Pada akhirnya bermanfaat bagi hukum tata negara dan bukan kehendak apa lagi kepentingan orang perorang.

Senin, 28 Oktober 2013

Seragam Tak Bikin Malu Koruptor

Dimuat di Harian SOLOPOS edisi Sabtu, 26 Oktober 2013

Saat ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KP) disibukkan pemeriksaan sejumlah tokoh penting. Para tokoh yang berstatus tersangka itu disiapi seragam berwarna oranye. Langkah-langkah teknis itu memang diambil sebagai pilihan KPK untuk menjawab tudingan bahwa lembaga itu mandul dalam menyidik sejumlah kasus korupsi skala besar seperti dana talangan Bank Century dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Langkah KPK ini sesungguhnya bukan hal atau ide baru. Pada masa Ketua KPK Antasari Azhar ide ini pernah akan dicoba, namun urung dilakukan karena banyak yang menentang. Baju atau rompi warna oranye awalnya dikenakan tersangka saat diperiksa atau di dalam tahanan. Sekarang juga dipakaikan saat sidang.
Memakaikan seragam terhadap tersangka koruptor atau koruptor tidak semudah orang mengenakan seragam daerah layaknya upacara bendera atau karnaval hari jadi sebuah kota. Asas hukum pidana yang dianut secara universal menyatakan suspect atau tersangka adalah orang yang masih memiliki hak perdata sebagaimana warga masyarakat lain.
Artinya dalam status tersangka itu belum ada hukuman tambahan yang bisa dikenakan kepadanya sebelum majelis hakim di dalam persidangan terbuka membuktikan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman. Wajar bila pada awalnya ada sebagian masyarakat yang menolak pemakaian seragam khusus tahanan KPK karena soal seragam tahanan bukan monopoli kalangan penegak hukum.
Masyarakat yang sangat pintar hukum sekalipun tidak bisa mengesampingkan apa yang disebut kekuatan publik atau public opinion, sebab ia berada pada wilayah tersendiri. Opini publik bisa disebut hukum yang hidup karena punya kekuatan memengaruhi pola pikir institusi penegak hukum. Hal itu sejalan dengan konsensus Friedrich Auguts von Hayek tentang masyarakat bebas sebagai sebuah catalaxy, memiliki penilaian tersendiri tentang hukum.
Kekuatan itu berada pada masyarakat yang tidak bisa ditepis oleh komunitas hukum seperti KPK sekalipun. Masyarakat punya hak menilai kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Ini sama seperti penilaian kalangan awam soal seragam dan pemberantasan korupsi sudah tepat apa belum. Dalam hukum formal dikenal asas presumption of innocent yang juga diadopsi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita sebagai asas praduga tidak bersalah.
Pengenaan seragam atau baju khusus bagi koruptor harus mempertimbangkan hal teknis hukum seperti kapan seragam itu dipakai, apa tulisan yang boleh dicantumkan pada seragam tersebut, dan sebagainya. Warga masyarakat mana pun boleh mendukung ide itu tak terkecuali Indonesia CorruptionWatch (ICW). Jauh-jauh hari ICW telah menyiapkan tidak kurang delapan contoh seragam untuk tahanan KPK.
Namun, yang mengkritik tentu saja boleh, dan pengkritik itu tidak bisa diartikan pro koruptor. Persoalan mendasar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia sesungguhnya bukan pada seragam atau baju atau cara berdandan seorang tersangka atau terdakwa. Persoalan mendasar pemberantasan korupsi di Indonesia pada sikap dasar aparat penegak hukum itu sendiri, khususnya perangkat KPK, seperti jaksa, hakim, dan penyidik KPK.
Tidak bisa dimungkiri bahwa mayoritas penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan sesungguhnya merupakan produk dari seleksi di masa kepolisian dan kejaksaan yang korup. Alhasil banyak penanganan kasus korupsi jalan di tempat justru oleh sikap mendua dan tebang pilih para penyidik KPK.
Kondisi ini semakin buruk manakala eksponen KPK yang kebanyakan dari unsur lembaga swadaya masyarakat terkesan gemar beradu opini dan mencari dukungan lewat media massa ketimbang berupaya mengembalikan kerugian negara dengan membuat terobosan hukum.
Terobosan hukum itu misalnya KPK mengumumkan apa yang telah disita dari Miranda Goeltom, Nazaruddin, Nunun Nurbaety, dan lainnya. Kita memang tidak bisa menafikan keberhasilan KPK mengungkap kekayaan Irjen Pol. Joko Susilo yang nilai ratusan miliar rupiah itu.
Pada bagian lain tumpang tindih perekrutan hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang dilakukan Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berakibat rendahnya kualitas pemidanaan terdakwa kasus korups. Hal ini bisa diukur dengan banyaknya koruptor yang bebas. Ini lebih diperparah lagi dengan banyaknya hakim nonkarier Pengadilan Tipikor yang justru tersandung kasus hukum (suap).

Pencepatan
KPK masih terkesan pandang bulu dan cari aman. Dalam kasus Bunda Putri yang disebut banyak pihak, KPK terkesan tidak peduli. Dalam kasus tutup buku BLBI, KPK hanya berani menyentuh Urip Tri Gunawan, sementara Jaksa Agung Muda lainnya yang terungkap dalam persidangan ikut membantu skenario pelarian Arthalyta Suryani alias Ayin sama sekali tidak dijadikan tersangka hingga sekarang.
Dalam rangka pencepatan pemberantasan korupsi, tugas KPK yang utama selain memenjarakan pelaku korupsi sesungguhnya adalah mengembalikan harta hasil korupsi ke negara. Pasal 10 KUHP tentang sanksi tambahan jika dimaksimalkan KPK sebenarnya cukup efektif untuk membuat malu koruptor dan koleganya. Pasal tersebut memungkinkan KPK mengumumkan harta negara yang dikorupsi.
Harta itu tidak saja yang dikuasai pelaku, tetapi juga yang dikuasai menantu, anak, istri, kolega bisnis, dan mungkin juga istri simpanan serta partai yang menaunginya. Dengan demikian, menurut hemat saya, cara-cara sensasional yang ditempuh KPK seperti mengumumkan nama-nama perempuan yang menerima ”bingkisan” dari Ahmad Fathonah kurang tepat.
Mengajak simpati untuk saweran dana terkait rencana pembangunan gedung baru baru KPK, tampil di beberapa acara talk show, terkesan sekadar alat mencari popularitas agar dikenal. KPK bukan tempat berkumpulnya selebritas hukum. KPK adalah lembaga superbody atau perangkat negara yang dibentuk guna mencegah korupsi, menangkap koruptor, dan mengembalikan harta koruptor ke kas negara.
Saya yakin masyarakat akan mendukung jika KPK menampilkan langkah ”berani”, yakni lewat media massa, baik cetak mapun elektronik, mengumumkan harta para koruptor saat dia ditangkap pertama kali, saat berstatus tersangka. Dengan cara ini keluarga dan para kroni malu karena telah ikut menikmati harta negara yang didapat dari hasil korupsi.
Di disi lain, masyarakat dan terutama notaris akan berpikir berkali-kali untuk mencatat pemindahan hak. Pada bagian lain  ini juga semakin memperjelas bahwa musuh KPK cuma satu, yaitu koruptor, bukan lembaga lain. Jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa membuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) tentang syarat khusus hakim Mahkamah Konstitusi, tentu juga mampu membuat perpu untuk membuat malu koruptor.