WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 22 Februari 2021


PERADI SURAKARTA INGIN LEBIH PROFESIONAL DAN BERMARTABAT




Persatuan Advokat Indonesia (PERADI) gelar acara pelantikan Pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Kota Surakarta periode 2021- 2026. Acara tersebut digelar di Puri Kencono Ball Room Lor Inn Hotel Karanganyar pada hari Jumat, 19 Februari 2021, Pukul18.30.

Dalam acara tersebut dihadiri kurang lebih oleh 100 tamu undangan, diantaranya tamu undangan VIP seperti Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka, Wakil Ketua DPN Peradi H. Sutrisno, SH.Mhum, Korwil Peradi Jawa Tengah Dr. HD. Djunaedi SH. SPn, beserta Forkompimda Solo Raya.

Menyinggung sepinya yang hadir Harno, SH selaku Sekretaris DPC Peradi menyebut “Kami tidak memanage secara langsung dan menyerahkan kepada panitia siapa yang diundang dan anggota yang tidak diundang” tuturnya memberi alasan.

Meski demikian, sebelum memulai acara pelantikan, Korwil Peradi Jawa Tengah Dr. HD. Djunaedi SH. SPn terlebih dahulu membacakan Surat Keputusan Dewan Pimpinan Nasional Nomor : Kep/004/PERADI/DPN/I/2021 tentang Pengangkatan Pengurus Dewan Pimpinan Cabang Perhimpunan Advokat Indonesia Kota Surakarta Masa Jabatan 2021-2026 yang menetapkan M. Zainal Abidin sebagai Ketua terpilih untuk masa jabatan periode 2021-2026 berdasarkan Surat Laporan Hasil Muscab Ketiga DPC Peradi Kota Surakarta Nomor : 01/LHP-PP/PERADI-SKA/I/2021 tertanggal 5 Januari 2021.

Selanjutnya acara pelantikan dilaksanakan dan dipimpin langsung oleh Prof. Otto Hasibuan, SH MM, selaku Ketua Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi melalui zoom meet.

“Dengan memohon ijin Tuhan Yang Maha Kuasa, dengan ini saya melantik rekan-rekan semua sebagai pengurus Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia Kota Surakarta. Kiranya rekan-rekan dapat melaksanakan tugas sehingga PERADI menjadi jaya dan advokat menjadi baik”. Ungkap Dr. Otto Hasibuan dalam virtualnya (19/02).

Sementara itu M. Zainal Abidin sebagai Ketua DPC Peradi Kota Surakarta yang baru berharap semoga selama masa kepemimpinannya mampu membawa marwah PERADI kepada yang lebih baik.

“Semoga dengan kepengurusan ini DPC Peradi Kota Surakarta semakin solid dan semakin jaya. Mari kita jadikan PERADI Kota Surakarta menjadi organisasi yang bermartabat, bermanfaat, transparan dan mewujudkan peradi menjadi single bar. Harapan saya kepada seluruh pengurus dan anggota DPC Peradi Surakarta untuk tetap memiliki jiwa integritas profesional, dan kritis dalam membantu masyarakat dalam mencari keadilan”ungkapnya (20/02).

Selain itu hadir juga perwakilan dari PBH Peradi Pusat  yakni Alex Argo Hernowo SH yang memberikan sambutan dan ucapan selamat pada kepemimpinan DPC Peradi Kota Surakarta Periode 2021-2026.

“Saya mewakili PBH Peradi Pusat mengucapkan selamat kepada ketua beserta kepengurusan yang baru. PBH Pusat berharap semoga PBH Kota Surakarta nantinya mampu berkontribusi secara nyata dalam memberikan keadilan bagi masyarakat miskin khususnya dalam wilayah Kota Surakarta, sehingga keadilan masyarakat miskin di Kota Surakarta terpenuhi” pungkasnya. []

Rabu, 10 Februari 2021

 

Otoritas Jasa Keuangan dan Pengawasan Pasar Modal

Oleh

Dr. Muhammad Taufiq, S.H.,M.H.

 

Secara historis, ide untuk membentuk lembaga khusus untuk melakukan pengawasan perbankan telah dimunculkan semenjak diundangkannya UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia. Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa tugas pengawasan terhadap bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.Dengan melihat ketentuan tersebut, maka telah jelas tentang pembentukkan lembaga pengawasan sector jasa keuangan independen harus dibentuk. Dan bahkan pada ketentuan selanjutnya dinyatakan bahwa pembentukkan lembaga pengawasan akan dilaksanakan selambatnya 31 Desember 2002. Dan hal tersebutlah, yang dijadikan landasan dasar bagi pembentukkan suatu lembaga independen untuk mengawasi sector jasa keuangan.

Akan tetapi dalam prosesnya, sampai dengan tahun 2010. Perintah untuk pembentukkan lembaga pengawasan ini, yang kemudian dikenall dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), masih belum terealisasi. Kondisi tersebut menyebabkan dalam kurun waktu hampir satu decade, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tidah dapat menjadi pengawas perkembangan perbankan yang belakangan ada banyak fenomena-fenomena negative. Seperti Kasus Bank Century yang melakukan penyimpangan tanpa ada ketakutan bertindak dan dikarenakan memang tidak ada lembaga tertentu yang menjadi pengawas. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini bisa menjadi penting, apabila dalam perkembangan praktek perbankan dan pengawasan perlu dilakukan dengan cara yang tepat dan sesuai dengan kepentingan.

Disisi yang lain, para pakar ekonomi mengemukakan pendapat mengenai OJK ini, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mutlak dibentuk guna mengantisipasi kompleksitas sistem keuangan global. Namun, RUU OJK harus dibahas simultan dengan paket RUU Keuangan lain, sperti RUU Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK), RUU Pasar Modal serta amandemen UU Bank Indonesia, Perasuransian dan Dana Pensiun. Hal tersebut terungkap dalam seminar Reformasi. Sektor Keuangan memperkuat Fondasi, Daya Saing dan Stabilitas Perekonomian Nasional. Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia. Pemerintah mempunyai komitmen tinggi dan menjalankan mandat untuk melakukan reformasi di sektor keuangan.

Dan sebelum Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan diberlakukan di januari 2013, maka perlu adanya sosialisai kepada masyarakat Indonesia tentang keberadaan OJK ini nantinya sekaligus untuk memberitahukan tentang tujuan dan fungsi OJK itu sendiri yang termuat didalam UU RI Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. Sedangkan untuk pembentukkan Dewan Komisioner atau pimpinan tertinggi OJK akan dilaksanakan pada desember 2012.

Dengan melihat kehadiran OJK nantinya, dapat dimaksudkan untuk menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah. Akan tetapi meskipun OJK memiliki fungsi pengaturan dan pengawasan dalam satu tubuh, fungsinya tidak akan tumpang tindih, sebab OJK secara organisatoris akan terdiri atas tujuh dewan komisioner. Ketua Dewan Komisioner akan membawahkan tiga anggota dewan komisioner yang masing-masing mewakili perbankan, pasar modal dan lembaga keuangan nonbank (LKNB). Kewenangan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia akan dikurangi, namun Bank Indonesia masih mendampingi pengawasan. Kalau selama ini mikro dan makro prudensialnya di Bank Indonesia, nanti OJK akan fokus menangani mikro prudensialnya.

Berdasarkan Pasal 34 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (BI), pemerintah diamanatkan membentuk lembaga pengawas sektor jasa keuangan yang independen, selambat-lambatnya akhir tahun 2010. Lembaga ini bertugas mengawasi industri perbankan, asuransi, dana pensiun, pasar modal, modal ventura, dan perusahaan pembiayaan, serta badan-badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat

Alasan pembentukan OJK ini antara lain makin kompleks dan bervariasinya produk jasa keuangan, munculnya gejala konglomerasi perusahaan jasa keuangan, dan globalisasi industri jasa keuangan. Disamping itu, salah satu alasan rencana pembentukan OJK adalah karena pemerintah beranggapan bahwa BI, sebagai Bank Sentral telah gagal dalam mengawasi sekor perbankan.[1]

Kegagalan tersebut dapat dilihat pada saat krisis ekonomi yang melanda Indonesia mulai pertengahan tahun 1997, dimana sebanyak 16 bank dilikuidasi pada saat itu. Tujuan OJK dibentuk antara lain agar keseluruhan kegiatan didalam sektor jasa keuangan terselenggara secara teratur, adil, transparan, dan akuntabel; mampu mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil; dan mampu melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat. Disamping itu tujuan pembentukan OJK ini agar BI fokus kepada pengelolaan moneter dan tidak perlu mengurusi pengawasan bank karena bank itu merupakan sektor perekonomian. Adapun kronologis lahirnya OJK dapat dijabarkan sebagai berikut:

a.    Tahun 1999, Pasca krisis ekonomi yang melumpuhkan industri perbankan pada tahun 1997-1998, pemerintah langsung berbenah. Gagasan pembentukan otoritas dimasukkan dan menjadi perintah UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Didalam Pasal 34 disebutkan bahwa:

1.    Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan undang-undang.

2.    Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2002

b.    Tahun 2004, Tenggat waktu yang diberikan sampai tahun 2002 dalam pembentukan OJK tak juga lahir di Indonesia. Pada tahun 2004, pemerintah dan DPR hanya bisa merevisi UU BI. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank Indonesia telah lahir. Didalam Pasal 34 ayat 1 dan 2 terdapat bahasan tentang OJK, yaitu:

1.    Tugas mengawasi Bank akan dilakukan oleh lembaga pengawasan sektor jasa keuangan yang independen, dan dibentuk dengan Undang-Undang.

2.    Pembentukan lembaga pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) akan dilaksanakan selambat-lambatnya 31 Desember 2010

 

Banyak pendapat yang mengatakan bahwa, amandemen UU BI tersebut merupakan sebuah perselisihan pandangan antara BI dengan Departemen Keuangan (Kementrian Keuangan). Objek dari perselisihan ini berupa perebutan wewenang dalam mengontrol industri perbankan. Hal inilah yang mati-matian dilawan BI dan akhirnya berhasil. Dalam rumusan amandemen yang telah disepakati, pemindahan kekuasaan industri perbankan dari BI ke OJK masih dapat diulur selambat-lambatnya sampai akhir 2010.

c.    Tahun 2010, Lagi-lagi amandemen UU itu meleset dari yang diharapkan. Batas waktu kembali terlewati. Sampai tutup buku tahun 2010, UU OJK masih belum juga selesai. RUU OJK yang akan disahkan dalam rapat paripurna pada 17 Desember 2010 malah menemui jalan buntu, karena pemerintah dan DPR tak menemukan kata sepakat terhadap struktur dan tata cara pembentukan Dewan Komisioner OJK.

d.    Tahun 2011, Tahun ini menjadi sejarah baru bagi Indonesia, terutama bagi sistem keuangan di Indonesia. Pimpinan DPR, Priyo Budi Santoso, akhirnya mengetuk palu tanda disetujuinya pengesahan Rancangan Undang-Undang Otoritas Jasa keuangan (RUU OJK) menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna DPR, pada Kamis 27 Oktober 2011. Dalam keputusan tersebut disebutkan supaya panitia seleksi DK OJK harus terbentuk awal 2012.

e.    Tahun 2012, Pada awal tahun 2012, Presiden telah membentuk Panitia Seleksi dalam pemilihan calon anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa keuangan yang secara keseluruhan terdiri dari 9 orang. Menteri Keuangan Agus Martowardojo terpilih menjadi ketua seleksi sekaligus anggota, sedangkan anggota lainnya adalah Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin nasution, Direktur Jendral Pajak Fuad Rahmany, Wakil Menteri BUMN Mahmuddin Yasin, dan Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah. Kemudian Komisaris Bank Mandiri Gunarni Soeworo mewakili lembaga keuangan/perbankan, mantan Direktur BEI Mas Achmad Daniri mewakili pasar modal, Komisaris Wana Arthalife Ariyanti Suliyano mewakili asuransi/lembaga jasa keuangan non bank, dan akademisi Muhammad Chatib Basri. Pada pertengahan tahun 2012, anggota sekaligus Ketua DK OJK terpilih. Seluruhnya berjumlah 9 orang dan dengan melewati proses seleksi yang ketat. Pada bulan ini pula seluruhnya disahkan oleh Paripurna DPR.

f.       Tahun 2013, Bapepam-LK akan melebur ke OJK dan sebagian besar pekerja dari lembaga ini juga akan berubah status kepegawaiannya. Pada tahun ini jugalah OJK akan mulai dalam penarikan iuran dari industri keuangan non bank.

g.    Tahun 2014, Setelah masa transisi satu tahun Bapepam-LK melebur ke OJK, diharapkan tahun ini adalah serah terimanya pengawasan perbankan dari tangan bank sentral ke OJK

 

Dasar Hukum Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan

 

Pembentukan Otoritas Jasa Keuangan di Indonesia telah diatur dalam sebuah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan yang diundangkan pada tanggal 22 November 2011. Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa definisi dari Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam UU OJK ini.

Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia ditetapkan bahwa Otoritas Jasa Keuangan akan dibentuk paling lambat tahun 2010. Namun sebelum diamandemen Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia menjadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia bunyi ketentuannya adalah “Lembaga Pengawas Jasa Keuangan/LPJK (yang kemudian menjadi Otoritas Jasa Keuangan) paling lambat sudah harus dibentuk pada akhir Desember 2002”.

Pasal 34 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia merupakan respon dari krisis yang terjadi di Asia pada tahun 1997-1998 yang sangat berpengaruh terhadap Indonesia, khususnya pada sektor perbankan. Krisis pada tahun 1997-1998 yang melanda Indonesia mengakibatkan banyaknya bankbank yang mengalami koleps sehingga banyak yang mempertanyakan pengawasan Bank Indonesia terhadap bank-bank. Kelemahan kelembagaan dan pengaturan yang tidak mendukung diharapkan dapat diperbaiki sehingga tercipta kerangka sistem keuangan yang lebih tangguh. Lembaga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ini akan mengambil alih kewenangan pengawasan perbankan yang selama ini dipegang oleh Bank Indonesia (BI).

Dalam UU Nomor 21 Tahun 2011 disebutkan, lembaga-lembaga yang akan berada di bawah pengawasan OJK adalah perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan atau multifinance, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Lembaga jasa keuangan ini mencakup pergadaian (PT Pegadaian), lembaga penjaminan, lembaga pembiayaan ekspor Indonesia, lembaga pembiayaan sekunder perumahan dan lembaga yang menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat yang bersifat wajib, yaitu penyelenggaraan program jaminan sosial, pensiun, dan kesejahteraan.

Akan tetapi OKJ sebagai lembaga baru tentunya tidak luput dari sejumlah pro dan kontra. Sebagian kalangan melihat OJK masih memiliki banyak kelemahan yang sangat berpotensi menimbulkan konflik. Hal ini terutama ditunjukkan dalam sumber pembiayaan dan susunan dewan komisioner OJK.

Dalam aturan penjelasan OJK, disebutkan bahwa sumber pembiayaan OJK berasal dari APBN dan pungutan. OJK berhak mengambil pungutan dari lembaga perbankan yang diawasi. Hal ini tentunya sangat berpotensi menimbulkan masalah. Ketika lembaga pengawasan menerima pembiayaan dari bank-bank yang diawasi maka tidak akan menutup kemungkinan materi pengawasan akan sesuai dengan ‘order’ dari lembaga atau bank yang diawasi. Pengawasan akan lebih bersifat tebang pilih tergantung dari jumlah pungutan yang diterima.

Selanjutnya, masih terkait dengan pendanaan, aturan OJK menyebutkan bahwa kelebihan dana yang diperoleh OJK akan diserahakan kepada pemerintah. Hal ini akan membuka peluang yang sangat besar bagi pemerintah untuk menempatkan OJK sebagai sumber pendapatan. Dengan adanya keganjilan dalam hal pendanaan ini mengakibatkan independensi OJK yang akan semakin dipertanyakan.

Sebagai lembaga baru, tentunya OJK tidak luput dari beberapa kelemahan. Untuk itu penting untuk meninjau kembali OJK, baik dalam aturan hukum maupun implementasi tugas dan fungsinya. Adanya pengalihan tugas pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke OJK diharapkan menjadi dorongan bagi kedua lembaga untuk dapat bekerja dengan optimal dan professional.[2] OJK bertugas untuk mengatur dan mengawasi semua kegiatann yang berhubungan dengan jasa keuangan di sektor berbankan. Diharapkan dengan adanya pengawasan yang serius dari OJK tersebut, tidak ada lagi penyelewengan pada jasa keuangan di sektor perbankan. Selain bertugas untuk mengawasi jasa keuangan di sektor perbankan, tugas lain yang tidak kalah penting yang harus diemban oleh OJK adalah melakukan pengawasan pada kegiatan jasa keuangan di sektor pasar modal. Pengawasan lain yang juga merupakan tanggung jawab dari OJK adalah pengawasan pada lembaga peransuransian, lembaga pembiayaan, lembaga dana pensiun, dan jasa keuangan lain.[3] Dalam melaksanakan kewenangan pengawasannya, OJK bertanggung jawab kepada publik melalui DPR sebagai reprentatif atau perwakilan publik. Berdasarkan UU 21 tahun 2011, OJK dibekali kewenangan pemeriksaan dan penyidikan, baik secara rutin maupun insidentil, onside maupun offside.[4]

 

Fungsi, Tugas, dan Wewenang Otoritas Jasa Keuangan

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memiliki fungsi untuk menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi dengan keseluruhan kegiatan dalam sektor jasa keuangan. OJK bertugas mengatur dan mengawasi kegiatan jasa keuangan di sektor perbankan, pasar modal, perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Kegiatan OJK yang bersifat mengatur (regulative) dan mengawasi (controlling) jasa keuangan pada lembaga perbankan terutama berkaitan dengan:

·         Perizinan untuk mendirikan bank; pembukaan kantor bank; penyusunan anggaran dasar dan rencana kerja bank; kepemilikan, kepengurusan dan sumber daya manusia di bank; merger, konsolidasi dan akuisisi bank; serta pencabutan izin usaha bank.

·        Kegiatan usaha bank, antara lain, sumber dana, penyediaan dana, dan produk atau jasa yang ditawarkan.

·         Pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi likuiditas (kemampuan dalam memenuhi kewajiban jangka pendek), rentabilitas (kemampuan menghasilkan laba), solvabilitas (kemampuan untuk melunasi seluruh utang dengan menggunakan seluruh aset yang dimiliki), kualitas aset, rasio kecukupan modal, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan pencadangan bank; laporan bank yang terkait dengan kesehatan dan kinerja bank; sistem informasi debitur; pengujian kredit (credit testing) dan standar akuntansi publik.

·        Pengaturan dan pengawasan terhadap penerapan prinsip kehati-hatian, meliputi manejemen resiko, tata kelola bank, prinsip mengenal nasabah dan anti pencucian uang, pencegahan pembiayaan terorisme dan kejahatan perbankan, serta pemeriksaan bank.

 

Dalam hal pengaturan, OJK memiliki wewenang :

·        menetapkan peraturan pelaksanaan dari UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan

·         menetapkan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

·        menetapkan peraturan dan keputusan OJK;

·        menetapkan peraturan mengenai pengawasan di sektor jasa keuangan;

·        menetapkan kebijakan mengenai pelaksanaan tugas OJK;

·        menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan perintah tertulis terhadap Lembaga Jasa Keuangan dan pihak tertentu;

·        menetapkan peraturan mengenai tata cara penetapan pengelola pada Lembaga Jasa Keuangan;

·        menetapkan struktur organisasi dan infrastruktur, serta mengelola, memelihara, dan menatausahakan kekayaan dan kewajiban; serta

·        menetapkan peraturan mengenai tata cara pengenaan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan.

Sedangkan dalam hal pengawasan, OJK mempunyai wewenang:

·        menetapkan kebijakan operasional pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan;

·        mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan oleh Kepala Eksekutif (anggota Dewan Komisioner yang bertugas memimpin pelaksanaan pengawasan kegiatan jasa keuangan dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner);

·        melakukan pengawasan, pemeriksaan, penyidikan, perlindungan konsumen, dan tindakan lain terhadap Lembaga Jasa Keuangan, pelaku, dan/atau penunjang kegiatan jasa keuangan sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan;

·        memberikan perintah tertulis kepada Lembaga Jasa Keuangan dan/atau pihak tertentu;

·        melakukan penunjukan pengelola

·        menetapkan sanksi administratif terhadap pihak yang melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan; dan

·        memberikan dan/atau mencabut izin usaha; izin orang perseorangan; efektifnya pernyataan pendaftaran; surat tanda terdaftar; persetujuan melakukan kegiatan usaha; pengesahan; persetujuan atau penetapan pembubaran; dan penetapan lainnya.

 

Untuk melaksanakan kegiatannya, OJK mempunyai asas-asas tertentu yang dijadikan pedoman yaitu:

a.    Asas Independensi, mengatur tentang sifat kemandirian OJK dalam melaksanakan kegiatannya

b.    Asas Kepastian Hukum, bahwa OJK senantiasa berlandaskan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan kegiatannya.

c.       Asas Kepentingan Umum, yakni semua kegiatan OJK dimaksudkan untuk melindungi dan memajukan kepentingan umum.

d.    Asas Profesionalitas, ialah pelaksanaan tugas dan wewenang secara profesional, tanpa keberpihakan.

e.    Asas Integritas, dimana OJK selalu berpegang teguh pada nilai moral dalam setiap tindakan dan keputusan yang diambilnya.

f.        Asas Keterbukaan, yang menegaskan perlunya diberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahui kinerja OJK.

g.    Asas Akuntabilitas, bahwa semua kegiatan dari OJK dapat dipertanggungjawabkan kepada lembaga berwenang dan masyarakat.

 

Pembentukan OJK mendapat tanggapan dari pakar – pakar menjelaskan bahwa Menurut para pakar ekonomi (http://www.wordpress.com.) :

a.    Menkeu Agus Martowardojo: Pembentukan OJK diperlukan guna mengatasi kompleksitas keuangan global dari ancaman krisis. Di sisi lain, pembentukan OJK merupakan komitmen pemerintah dalam reformasi sektor keuangan di Indonesia.

b.    Fuad Rahmany: menyatakan bahwa OJK akan menghilangkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) yang selama ini cenderung muncul. Sebab dalam OJK, fungsi pengawasan dan pengaturan dibuat terpisah.

c.       Darmin Nasution: OJK adalah untuk mencari efisiensi di sektor perbankan pasar modal dan lembaga keuangan. Sebab, suatu perekonomian yang kuat, stabil, dan berdaya saing membutuhkan dukungan dari sektor keuangan.

d.    Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad: terdapat empat pilar sektor keuangan global yang menjadi agenda OJK. Pertama, kerangka kebijakan yang kuat untuk menanggulangi krisis. Kedua, persiapan resolusi terhadap lembaga-lembaga keuangan yang ditengarai bisa berdampak sistemik. Ketiga, lembaga keuangan membuat surat wasiat jika terjadi kebangkrutan sewaktu-waktu dan keempat transparansi yang harus dijaga.

 

Dewan Komisioner

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dipimpin oleh Dewan Komisioner, seperti yang dijelaskan dalam Bab IV pasal 10 UU No. 21 tahun 2011 tentang OJK, yaitu :

1.    OJK dipimpin oleh Dewan Komisioner.

2.    Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat kolektif dan kolegial.

3.    Dewan Komisioner beranggotakan 9 (sembilan) orang anggota yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.

4.    Susunan Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat terdiri atas:

a.    seorang Ketua merangkap anggota;

b.    seorang Wakil Ketua sebagai Ketua Komite Etik merangkap anggota;

c.    seorang Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan merangkap anggota;

d.    seorang Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal merangkap anggota;

e.    seorang Kepala Eksekutif, Pengawas Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga  Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya merangkap anggota;

f.     seorang Ketua Dewan Audit merangkap anggota;

g.    seorang anggota yang membidangi edukasi dan perlindungan Konsumen;

h.    seorang anggota Ex-officio dari Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia; dan

i.      seorang anggota Ex-officio dari Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I Kementerian Keuangan.

5.    Anggota Dewan Komisioner sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memiliki hak suara yang sama.

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada industri keuangan baik bank maupun non bank berada di satu atap atau sistem pengawasanterpadu, sehingga sistem pengawas bisa bertukar informasi dengan mudah. Hal inidapat menghindari adanya putusnya informasi antara badan pengawas bank dannon bank yang telah ada di Indonesia sebelumnya. Sebagai contoh kasus baikoutBank Century yang telah terjadi yang hingga sampai saat ini belum terselesaikan.Dalam kasus tersebut Bank Indonesia sebagai pengawas bank menganggap PT.Antaboga sudah di awasi Bapepam- LK karena merupakan produk reksa dana,tetapi Bapepam – LK juga tidak mengetahui keberadaan PT. Antaboga karenaproduk ini di jual dilingkungan bank. Sistem pengawasan terpadu ini dapat meminimalisasi kemungkinan berbenturannya kordinasi antar lembaga. Jika ada berbagai lembaga pengawasdalam suatu sistem keuangan  banyak tantangan yang harus dihadapi salah satunyaadalah memastikan kordinasi antar lembaga – lembaga agar terciptanya konsistensidalam menentukan suatu kebijakan atau menentukan siapa yang bertanggungjawab atas suatu kebijakan tersebut.

 

Otoritas Jasa Keuanga Sebagai Pengawas Pasar Modal

 

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi memulai tugasnya sebagai lembaga pengawasan pasar modal Indonesia dan lembaga non bank menggantikan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Hal Ini merupakan tugas berat Otoritas Jasa Keuangan untuk dapat memperbaiki industri keuangan yang menjadi harapan bagi semua pelaku pasar. Otoritas Jasa Keuangan diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan di industri pasar modal Indonesia serta akan agresif mengadakan edukasi kepada masyarakat Indonesia. Otoritas Jasa Keuangan akan membantu otoritas Bursa untuk mendorong perusahaan melakukan pelepasan saham ke publik melalui mekanisme penawaran umum saham perdana (IPO). Otoritas Jasa Keuangan juga merencanakan pendekatan ke sejumlah perusahaan yang dianggap potensial untuk menggelar IPO.  Selain itu, lembaga ini akan menciptakan situasi yang lebih kondusif dan aturan yang sesuai bagi pelaku pasar. Ada tiga strategi yang disebutkan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia.

Selain itu, lembaga ini akan menciptakan situasi yang lebih kondusif dan aturan yang sesuai bagi pelaku pasar. Ada tiga strategi yang disebutkan Otoritas Jasa Keuangan untuk mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia.[5]

1.    Pendalaman pasar (market deepening) dengan menambah likuditas di pasar serta jumlah emiten. upaya yang dilakukan OJK saat ini yakni dengan melakukan pendalaman pasar (market deepening). Hal itu merupakan salah satu aspek terpenting untuk menjaga pasar keuangan. Market deepening dilakukan dengan menambah likuiditas di pasar dan tingkatkan jumlah emiten, basis investor, jenis produk, infrastruktur yang memadai, serta perkembangan pasar utang.

2.    Market integrity yang disiapkan untuk membuat pelaku pasar lebih kompetitif dengan infrastruktur memadai. Infrastruktur merupakan public service obligation, yaitu sesuatu yang seharusnya menjadi kewajiban pemerintah karena infrastruktur merupakan prasarana publik paling primer dalam mendukung kegiatan ekonomi suatu negara. Ketersediaan infrastruktur juga sangat menentukan tingkat keefisienan dan keefektifan kegiatan ekonomi serta merupakan prasyarat agar berputarnya roda perekonomian berjalan dengan baik.

3.    Otoritas Jasa Keuangan akan berupaya menegakan hukum (law enforcement) untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pasar. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) resmi memegang pengawasan atas pasar modal dan lembaga keuangan non-bank. Peralihan ini diharapkan dapat meningkatkan kualitas pasar modal Indonesia. Strategi untuk meningkatkan investasi pasar modal diantaranya, melakukan pendalaman pasar untuk meningkatkan likuiditasnya, membuat aturan-aturan baru, integrasi pasar untuk membuat pelaku pasar modal lebih kompetitif dan meningkatkan pengawasan agar kualitas dan kuantitas.

 

Perbandingan OJK dengan BI dan Bapepam-LK

 

Fungsi yang diemban OJK bukanlah fungsi yang ringan atau mudah. Berkaca dari pengalaman negara lain, lembaga semacam OJK tidak selalu berhasil dalam menjalankan fungsinya. Saat ini OJK belum bekerja dan sejarah nanti yang akan mencatat berhasil tidaknya OJK dalam menjalankan fungsinya dan apakah OJK mampu berfungsi lebih baik dari BI dan Bapepam-LK. Tolok ukur yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan OJK adalah kemampuannya dalam mencegah dan menangani krisis, independensinya dan kemampuannya dalam memberikan perlindungan kepada konsumen di sektor jasa keuangan.

Pembentukan OJK dilatarbelakangi adanya krisis moneter yang melanda Indonesia di akhir tahun 1990an. Krisis tersebut mengakibatkan dilikuidasinya 16 bank dan dikucurkannya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada sejumlah bank. Lemahnya pengawasan perbankan oleh BI menyebabkan jatuhnya industri perbankan dan terpuruknya perekonomian Indonesia yang berkepanjangan. Selain pengawasan yang lemah, BI diduga terlibat praktek kolusi dengan bank-bank yang diawasinya.[6] Pengucuran BLBI yang merugikan negara diduga karena adanya praktek kolusi antara pejabat BI dengan pemilik bank yang menerima BLBI. Begitu pula dalam kasus bail out Bank Century tahun 2008 diduga karena ada praktek kolusi antara pejabat BI dengan pemilik bank dan pemerintah yang berkuasa pada masa itu, sehingga dialihkannya fungsi pengawasan perbankan dari BI ke OJK diharapkan dapat mencegah terjadinya praktik serupa di masa datang

Beralihnya fungsi pengawasan perbankan dari BI ke OJK juga diikuti dengan perpindahan pejabat dan pegawai BI yang melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan sektor perbankan ke OJK. Pejabat dan pegawai OJK akan melaksanakan fungsi, tugas dan wewenang yang sama seperti ketika mereka bekerja di BI. Berangkat dari hal ini, maka sulit untuk mengharapkan bahwa OJK akan lebih baik dari BI dalam menjalankan fungsi pengawasan perbankan, karena yang terjadi di sini bukanlah perubahan sistem, namun perpindahan kantor aparat pengawas perbankan dari BI ke OJK. Artinya, tetap terbuka kemungkinan adanya praktek kolusi di dalam OJK antara aparat yang mengawasi perbankan dengan bank yang diawasinya.

 

Otoritas Jasa Keuangan Pengawas Baru Pasar Modal[7]

 

Kegiatan di pasar modal Indonesia tidak lagi diawasi Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK). Pengawasan pasar modal, perbankan dan lembaga keuangan non bank akan menjadi wewenang Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Rapat Paripurna DPR RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Otoritas Jasa Keuangan menjadi Undang-Undang (UU) pada 27 Oktober lalu. Keputusan diambil secara aklamasi oleh para wakil rakyat. Pembahasan RUU OJK berlangsung selama 433 hari, sejak 18 Agustus 2010 hingga finalisasi pada 25 Oktober 2011. Butuh lima masa sidang untuk membahas pembentukan lembaga superbody ini, yang diiringi tiga kali permintaan perpanjangan waktu pembahasan untuk menyelesaikan 593 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Sesuai kesepakatan, OJK akan resmi beroperasi mulai 1 Januari 2013. "Kami mengharapkan dengan disetujuinya RUU tentang OJK ini akan mewujudkan perekonomian nasional yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat Indonesia," kata Ketua Panitia Khusus RUU OJK Nusron saat membacakan laporan pada rapat paripurna DPR RI. OJK selanjutnya akan menjadi lembaga yang membawahkan pengawasan perbankan yang selama ini berada di bawah Bank Indonesia (BI) dan lembaga keuangan di bawah naungan Bapepam-LK. Tugas pengaturan dan pengawasan yang berkaitan dengan microprudential banking BI harus dialihkan ke OJK pada 2013. Sedangkan tugas pengaturan dan pengawasan terhadap lembaga keuangan seperti pasar modal, asuransi, multifinance, dan dana pensiun harus dialihkan dari Bapepam-LK ke OJK paling lambat Desember 2012. Masa transisi dari BI dan Bapepam-LK ke OJK diharapkan berjalan mulus. Para wakil rakyat dan pemerintah sepakat bahwa segala persyaratan yang dibutuhkan mesti dipersiapkan dengan cermat, baik menyangkut sumber daya manusia, sistem, dan segala infrastruktur penunjang.

Menurut Menteri Keuangan Agus D.W Martowardojo, masa transisi adalah masa di mana fungsi pengawasan jasa keuangan dari Bapepam-LK dan Direktorat Pengawasan Bank Indonesia akan dilebur secara bertahap, sebelum OJK berdiri permanen. Selama masa persiapan dan implementasi UU, OJK akan menggunakan anggaran Bapepam-LK sekitar Rp300 miliar. Setelah peleburan dua otoritas, dan OJK berfungsi secara penuh, maka lembaga ini akan mengajukan anggaran belanja sendiri dalam rencana kerjanya. OJK akan mendapat pendanaan dari APBN dan iuran dari lembaga keuangan yang diawasi.

Menteri Keuangan mengharapkan, dengan terbentuknya OJK, keseluruhan kegiatan jasa keuangan di dalam sektor jasa keuangan dapat terselenggara secara teratur, berkelanjutan dan stabil. OJK diharapkan menciptakan stabilitas sistem keuangan nasional, serta mampu berkoordinasi dengan baik dengan institusi lain yang bersentuhan dengan sitem finansial. "Untuk mencapai tujuan tersebut, OJK harus dipastikan merupakan lembaga independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya. Adapun pemerintah berpendapat, jabatan ex-officio dibutuhkan untuk menjalin koordinasi dan harmonisasi kebijakan yang lebih efektif antara OJK dengan otoritas fiskal dan moneter," kata Menkeu. Sebagai wakil pemerintah, Menkeu menandaskan, pihaknya memahami bahwa proses peralihan dari Bapepam-LK dan BI kepada OJK harus dilakukan secara cermat dan hati-hati untuk mengurangi gejolak yang timbul dalam lingkungan internal institusi lama maupun industri secara keseluruhan. "Waktu peralihan yang memadai dan langkahlangkah persiapan peralihan yang terstruktur meningkatkan keyakinan akan lancarnya proses peralihan dari instansi lama ke OJK," ujarnya. Saat ini, pemerintah dan DPR RI masih membahas komposisi Dewan Komisioner dalam lembaga pengawasan industri keuangan tersebut. OJK akan dipimpin oleh Dewan Komisioner yang berasal dari pemerintahmDPR dan profesional. Dalam perkembangan pembentukan OJK, ada dua opsi terkait dengan Dewan Komisioner.

1.    Pertama adalah dua orang yang berasal dari DPR, dua orang berasal dari pemerintah, dan lima lainnya berasal dari masyarakat.

2.    Kedua adalah dua ex-officio yang berasal dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dan Bank Indonesia (BI), serta tujuh dari independen.

 

Pembentukan panitia seleksi dengan dasar keputusan Presiden dan diketuai oleh Menteri Keuangan, untuk membuat sistem seleksi Dewan Komisioner OJK. Seleksi akan dilakukan dengan mengundang pemerintah, masyarakat dan akademisi dengan cara diumumkan. Bisa juga dengan cara panitia seleksi secara aktif mencari talenta pengalaman yang baik untuk menjadi Dewan Komisioner.

Untuk awalnya, menurut Agus Martowardojo, panitia akan menjaring 21 orang Dewan Komisioner. Nantinya, para peserta ini akan diseleksi Presiden dan akan terpilih menjadi 14 orang calon untuk dilakukan fit and proper test atau uji kelayakan di DPR RI. "Nanti fit and proper test DPR akan menetapkan tujuh Dewan Komisioner," jelasnya. Sedangkan khusus untuk ketua Dewan Komisioner, akan dipilih dari 14 calon yang diusulkan Presiden. Presiden, kata Agus, akan memilih dua calon yang direkomendasikan menjadi Ketua. "Salah satu Ketua Komisioner, akan diseleksi pertama oleh DPR, yang terpilih akan jadi Ketua, yang tidak terpilih boleh jadi Anggota Dewan Komisioner," ungkapnya.

 

Daftar Pustaka

 

Anwar, Yusuf. Penegakan Hukum dan Pengawasan Pasar Modal Indonesia, Bandung: 2008.

Budiarto, Agus. Pengantar Hukum Pasar Modal. Yogyakarta: Universitas Mataram PRESS. 2004.

Departemen Penerangan RI. Pasar Modal Pembangunan Nasional, Jakarta. 1984.

Fuady, Munir. Pasar Modal Modern (Tinjauan Hukum). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. 1996.

Fakhruddin, M. dan M. Sopian Hadianto, Perangkat Dan Model Analisis Investasi Di Pasar Modal. Jakarta: PT Gramedia. 2001.

 

Indonesia, Undang-Undang Tentang Pasar Modal. Nomor 8 Tahun 1995.

Indonesia, Keputusan Presiden Tentang Pasar Modal. Kepres No. 52 Tahun 1976.

Indonesia, PP RI Nomor 12 Tahun 2004 Perubahan Atas PP RI Nomor 45 Tentang Penyelenggaraan Kegiatan Dibidang Pasar Modal.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1952 Tentang Penetapan Undang-Undang Darurat Tentang Bursa (Lembaga Negara Tahun 1951 Nomor 79) sebagai Undang-Undang (lembar Negara Tahun 1952 Nomor 67).

Badan Pengawas Pasar Modal, Keputusan Ketua Bapepam tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu, Keputusan Nomor 32/PM/2000 (Peraturan Nomor IX.E.1).

 



[1] Zainal Arifin Mochtar dan Iwan Satriawan, Jurnal Konstitusi, (Volume 6, Nomor 3, September 2012), hal. 152.

[2]http://cwts.ugm.ac.id/2013/04/implikasi-pembentukan-otoritas-jasa-keuangan-terhadappengaturan-dan-pengawasan-perbankan-indonesia/ diakses 5 April 2016 | 21.20 WIB.

[3] http://azarasidi.blogspot.com/2013/10/peran-ojk-dalam-pengaturan-keuangan.html diakses 5 April 2016 |21.20 WIB.

[4] http://www.pulausumbawanews.com/daerah/ojk-berwenang-ciptakan-investasi-yangkondusif/ diakses 5 April 2016 | 21.25 WIB.

[5] Tim Kerjasama Penelitian FEB UGM dan FE UI, “Alternatif Struktur OJK Yang Optimum: Kajian Akademik”, Melalui http://xa. yimg.com/kq/groups/ 24063110/2095520493 /name/ KajiAkademik OJK-UI-UGMversi+230810.pdf, diakses 5 April 2016 | 23.00 WIB.

[6] Agus Budianto, “Mengkaji Kejahatan Korporasi di Bidang Perbankan Dalam Sistem Perbankan Indonesia”,   UPH Law Review, Vol. XI, No. 2, November 2011 hlm. 247, 250.