Dimuat di Harian Solopos, Sabtu 18/12/2010 |
Boleh jadi satu bulan ke depan polisi dan keluarga mereka berbunga-bunga hati. Harapan mereka untuk memeroleh remunerasi sejak tahun 2008 sebagaimana yang diterima hakim dan penegak hukum lain terkabul. |
DPR telah menyetujui permintaan pemerintah untuk mengalokasikan dalam APBN 2011 dana remunerasi di lingkungan TNI/Polri. Menghubungkan perilaku hukum aparat negara seperti polisi,jaksa dan hakim dengan remunerasi tentulah hal yang menarik. Remunerasi yang berasal dari bahasa Inggris remuneration berarti gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja. Pertanyaannya apa relevansinya dengan upaya penegakan hukum? Dan apa pengaruhnya bagi peningkatan kinerja? Pertanyaan itu wajar di tengah krisis kepercayaan kepada institusi penegak hukum yang ditunjukkan dengan terbongkarnya jaringan makelar kasus dalam perpajakan. Juga munculnya berbagai kasus yang melibatkan makelar kasus sebagai akibat tidak profesionalnya polisi dan jaksa dalam menangani perkara korupsi. Terbukti terbitnya SP3 dari Mabes Polri dan SKPP oleh Kejaksaan Agung yang akhirnya menuai kontroversi. Meski demikian Jaksa Agung Hendarman Supanji kala itu seperti orang tidak berdosa. Alih-alih memperbaiki kinerja. Dia justru meminta tambahan anggaran kepada Komisi III DPR senilai Rp 10 triliun untuk memerbaiki fasilitas jaksa sehingga tidak tergoda. Untuk meneliti lebih jauh coba kita telusuri lahirnya berbagai aturan terkait remunerasi. Sesuai dengan UU No 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang 2005-2025 dan Peraturan Meneg PAN No: PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi, kebijakan remunerasi diperuntukan bagi seluruh pegawai negeri di seluruh lembaga pemerintahan. Berdasarkan urgensinya dikelompokan berdasarkan skala prioritas ke dalam tiga kelompok. Prioritas pertama adalah seluruh instansi rumpun penegak hukum, rumpun pengelola keuangan negara, rumpun pemeriksa dan pengawas keuangan negara serta lembaga penertiban aparatur negara. Prioritas kedua adalah kementerian/lembaga yang terkait dengan kegiatan ekonomi, sistem produksi, sumber penghasil penerimaan negara dan unit organisasi yang melayani masyarakat secara langsung termasuk Pemda. Prioritas ketiga adalah seluruh kementerian/lembaga yang tidak termasuk prioritas pertama dan kedua. Dengan demikian sesungguhnya remunerasi yang diterima penegak hukum seperti hakim Asnun Ketua Pengadilan Negeri Tangerang yang kemudian memvonis bebas Gayus pada tanggal 12 Maret 2010 bukanlah kontroversi baru. Sebab, mulai 1 April 2008 kontroversi itu sudah terjadi. Saat itu, tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi naik sangat fantastis. Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen. Dalam Perpres No 19/2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Peradilan di Bawahnya disebutkan besaran tunjangan untuk ketua MA Rp 31,1 juta dan wakil ketua MA Rp 25,8 juta. Sementara untuk ketua pengadilan tinggi Rp 13 juta, hakim biasa pengadilan tinggi Rp 10 juta, dan hakim pengadilan tinggi kelas II Rp 4,2 juta. Dalam hal ini, yang perlu dicermati, kenaikan tersebut tidak termasuk gaji pokok. Perpres kontroversial itu tidak akan pernah bisa diakses masyarakat karena selama ini penyusunan dan publikasinya cenderung tertutup. Oleh karena itu, wajar kalau beberapa pihak, terutama kalangan pegiat antikorupsi, menilai kenaikan tunjangan tersebut sangat berlebihan. Apa yang dituangkan dalam Perpres itu senyatanya memang tidak kondusif dan terkesan mengabaikan ketentuan di atasnya. Bukan karena disampaikan dalam waktu yang tidak tepat, yakni di saat krisis bahan pokok melanda Tanah Air, melainkan juga sifat Perpres yang tidak mengikuti ketentuan UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Berlebihan Dalam Pasal 3 ayat (1) UU Keuangan Negara jelas disebutkan keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memerhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Di negara-negara yang sudah maju seperti Jepang dan China, remunerasi yang berarti tunjangan atau imbalan sudah menjadi hal yang biasa baik di kantor pemerintah maupun swasta. Alasan remunerasi tentu harus berdasar pertimbangan agar mereka bekerja lebih efisien dan maksimal sehingga memberikan output yang setara pula. Pada gilirannya, itu akan mencegah perilaku korupsi atau penyimpangan lainnya. Intinya, tujuan remunerasi adalah membuat setiap pegawai berhasrat kerja tinggi karena yakin semakin efisien dan profesional, dia akan memperoleh imbalan yang tinggi pula. Dalam konteks pemerintahan SBY, remunerasi di lingkungan MA dan PT—dan sekarang kepolisian—tentu bertujuan mewujudkan reformasi birokrasi dengan sistem penggajian jelas dan terbuka. Pada gilirannya itu menghindarkan para penegak hukum dari berperilaku atau berbuat menyimpang. Yang menjadi pertanyaan, benarkah para penegak hukum kita telah bertindak dan bekerja dengan hasrat yang tinggi dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara belakangan ini sehingga layak memperoleh imbalan yang pantas pula? Seiring dengan masih banyaknya penanganan perkara yang dalam pandangan pemerhati hukum dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan begitu tingginya perkara yang belum terselesaikan di MA, tentu remunerasi itu mengundang setumpuk kontroversi. Apakah itu bukan sebuah disorientasi pemahaman reformasi birokrasi, yang berarti lebih menyederhanakan proses yang bertele-tele pada birokrasi hukum dengan output keadilan yang baik karena menjadi cepat dan murah. Dalam pandangan penegak hukum, remunerasi tersebut tentu tidak salah karena parameter birokrat hukum sekarang kesejahteraan itu dinilai dari seberapa besar penghasilan seorang sehingga dia hidup layak di tengah-tengah masyarakat yang serba mengukur keberhasilan seseorang dari kaca mata kesuksesan materi. Dalam kasus mantan Jaksa Agung Muda Kemas Yahya—yang diduga memiliki rumah bernilai miliaran rupiah—untuk syukuran naik pangkat saja menghabiskan ratusan juta rupiah, padahal dia cuma punya gaji Rp 7 juta (Tempo, 24 Maret 2008). Karena itu, terjawab sudah bahwa remunerasi di lingkungan birokrasi penegak hukum—termasuk polisi saat ini—tidak identik dengan peningkatan mutu keadilan. Berdasarkan PP No 21/2009 tentang Tabel Gaji Anggota Polri, terendah Golongan I Tamtama Bayangkara II sebesar Rp 1.090.000 dan perwira tinggi golongan IV Rp3.525.000. Dengan gaji yang rendah, toh dia mampu membeli dan memiliki barang-barang mewah. Bukan hanya itu. Mereka malah bisa menyekolahkan anak ke luar negeri. Meski telah menerima remunerasi, dalam eksaminasi BLBI yang muncul justru kesimpulan tindakan konglomerat yang merugikan negara triliunan rupiah itu bukan tindak pidana korupsi. Artinya, kalau model remunerasi itu diberlakukan di Indonesia dan diawali dari gaji hakim, kemudian diberlakukan di kepolisian dan kejaksaan, sesungguhnya model itu hanya berlaku bagi pemberantasan korupsi kelas teri. Semacam Hakim PN Jakarta Selatan Herman Alesitondi yang dihukum karena memeras saksi Jamsostek dan AKP Suparman penyidik KPK yang dihukum enam tahun karena memeras saksi, begitu pula Hakim Asnun eks Ketua PN Tangerang. Atau tidak beda dengan seorang jaksa Urip Tri Gunawan yang ditangkap karena diduga menerima uang haram dari Arthalyta.Sementara perkara pokoknya, kasus korupsi triliunan rupiah yang dilakukan Syamsul Nursalim, dianggap sudah selesai. Ketimpangan sosial Memang tidak bisa disalahkan jika muncul pertanyaan ada apa di balik remunerasi yang fantastis itu? Sebab, pemberantasan korupsi dari waktu ke waktu hanya sebatas pada retorika. Di sisi lain, terjadi pemandangan yang sangat tidak menyenangkan. Yakni, banyak orang miskin tidak mampu menyekolahkan anak. Bahkan, ada yang mati kelaparan karena membeli beras atau nasi aking sekali pun mereka tidak mampu. Ironis memang, Perpres tentang remunerasi di lingkungan MA dan hakim tinggi serta di lingkungan kepolisian muncul justru pada saat ketimpangan sosial terjadi di mana-mana. Apakah kita memang telah mati rasa atas semua ketimpangan itu? Perpres No 19/2008 dan Perpres tentang Remunerasi Bagi Polri akan sangat berarti bila telah dibarengi dengan peningkatan kinerja hakim yang ditandai dengan output keadilan yang jauh lebih baik. Misalnya, koruptor BLBI dihukum mati atau dihukum seumur hidup. Dan menyeret pembagi traveller check pemilihan Miranda Goeltom. Bukan sekadar memeriksa dan menahan anggota DPR, karena dalam kasus suap penerima dan pemberi sama-sama dihukum. - Oleh : Muhammad Taufiq Ketua Peradi Solo |
Senin, 20 Desember 2010
Remunerasi & perilaku penegak hukum
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar