WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 30 Maret 2021

BERMEDSOS TANPA TAKUT TERKENA JERATAN PIDANA UU ITE

BERMEDSOS TANPA TAKUT TERKENA JERATAN PIDANA UU ITE

Oleh :  Dr.Muhammad Taufiq.S.H., M.H

(Gambar ilustrasi)

Sejak berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagaimana diubah dengan  Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 telah banyak orang yang terjerat pidana dengan UU ini. Pelaporan yang diduga melakukan tindak pidana pencemaran nama baik, berita bohong, atau ujaran kebencian di dunia maya atau media sosial dengan mudahnya dijerat UU ITE yang berisi pasal-pasal karet ini. Terdapat 2 (dua) pasal yang paling krusial dan menjerat banyak orang yakni Pasal 27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat (2) tentang ujaran bermuatan SARA.

Kebebasan berekspresi dan menyatakan pendapat di muka umum seolah mendapat “ancaman” melalui UU ITE. Sebab, ada kecenderungan orang khawatir ketika menyampaikan kritik atau pendapatnya di media sosial. Faktanya, menyatakan pendapat atau kritik tak jarang berurusan dengan aparat kepolisian hingga diseret ke meja hijau lantaran diduga melakukan pencemaran nama baik, ujaran kebencian, atau menyampaikan berita bohong. proteksi yang harus dipakai adalah self-censorship. Harus hati-hati dalam sharing, hati-hati dalam membuat status, hati-hati dalam berkomentar.

A.        Ujaran Kebencian

Pasal 28 ayat (2) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan asa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, diatur dalam Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, yakni: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”


B.        Pencemaran Nama Baik

Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 Tahun 2016 Jo UU No. 11 Tahun 2008 berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yang berbunyi: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).”


C.        Menghindari Jeratan UU ITE

Adapun beberapa cara agar terhindar dari jeratan UU ITE, diantaranya yaitu:

  1. Pertama, hindari tulisan yang terlalu provokatif. Hal ini dapat menjadi bumerang yang kemungkinan akan merugikan diri sendiri. Pilah dan pilih tulisan secara bijak. Perhatikan juga penggunaan bahasa yang baik dan tidak terlalu kasar.
  2. Kedua, berikan pandangan obyektif dan jangan menyerang lawan diskusi secara pribadi. Hindari pula perlakuan yang berpotensi merugikan seseorang, misalnya melakukan pemerasan hingga ancaman.
  3. Ketiga, berikan kritik yang membangun. Kritik tentu boleh, tetapi sebisa mungkin hilangkan bahasa yang berintensi untuk menjelekkan pihak tertentu. Cobalah untuk sertakan solusi yang positif agar kritik dapat berterima dan menjadi masukan.
  4. Keempat, siap menerima masukan dari pembaca. Freedom of speech juga tak bisa terlepas dari freedom of response. Sikap dewasa dalam diskursus di internet dibutuhkan agar tidak terjadi saling lapor ke polisi.
  5. Kelima, hindari membagikan konten asusila. 


D.        TIPS-TIPS

    Di era digital saat ini sebagian besar penduduk Indonesia kerap mengakses internet tiap harinya. di Indonesia sekarang ada 132 juta pengguna internet yang aktif atau sekitar 52% dari jumlah penduduk yang ada. Dari jumlah pengguna internet tersebut, ada sekitar 129 juta yang memiliki  akun media sosial (medsos) yang aktif. Berikut beberapa tips terkait ber-medsos tanpa takut terkena jeratan Pidana UU ITE:

  • Langkah awal aman mengkritisi pemerintah, lembaga ataupun personal dengan mengambil sumber formal.  Mengambil sumber formal, lebih enaknya sumber formal itu media cetak. Kalau online ya di screenshot secara utuh, di muat disitu agar anda aman;
  • Mengkritik tanpa harus menyebutkan nama aslinya , jangan menyebut temannya, jangan menyebut keluarganya;
  • Hindarilah memuat hal-hal yang tidak jelas, misal memforward WA kemudian langsung dimuat;
  • Jangan mengedit, itu  termasuk  menambahkan isi konten; dan
  •  Jangan membuat judul yang provokatif.


Kamis, 25 Maret 2021

 

PERAN ADVOKAT SEBAGAI PENDAMPING HUKUM



Disusun Oleh:

Sekar Langit Jatu Pamungkas, Mohammad Gamal, Wisnhu Prahasta Yuliastama, Galih Chatana, Prasetyo Ari, Okta Adi Pratama, Muhammad Rizky Ramadhan, An Nisaa Yulian, Muhammad Irvandhi, Raffaela Reggi Putri, Angga Pramana, Tommy Suryo Yulianto, Murti Laras Armadani, Rona Swastika, Novera, Shanty Wulan Aji Nurul Bahari.

(Universitas Muhammadiyah Surakarta)


Bagi orang-orang yang tidak paham betul mengenai hukum positif Indonesia, bantuan pendampingan hukum sangat berguna agar dapat memberikan arahan bagi orang yang terlibat masalah hukum. Dan peranan pendamping tersebut salah satunya diemban oleh penasihat hukum atau pengacara. Hak atas bantuan hukum merupakan non-derogable rights, bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh siapapun guna mewujudkan hak asasi manusia dan keadilan.

Negara Republik Indonesia sendiri adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law), bukan Negara berdasarkan atas kekuasaan, sebagaimana di nyatakan pada Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Prinsip negara hukum sendiri menuntut antara lain adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang dihadapan hukum. Oleh karena itu, UUD 1945 juga menentukan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, bdan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Salah satu perlindungan hukum terhadap seseorang yang berpekara di pengadilan, terutama dalam kasus-kasus pidana, adalah memperoleh bantuan hukum dari pesihat hukum, yaitu dibela oleh seorang advokat (access to legal councel). Hak individu untuk didampingi oleh seorang advokat merupakan suatu imperative dalam rangka mencapai proses hukum yang adil. Kehadiran seorang advokat dalam perkara pidana juga dapat mencegah perlakuan tidak adil oleh polisi, jaksa, atau hakim dalam proses interogasi, investigasi, pemeriksaan, penahanan, peradilan, dan hukuman. Bantuan hukum memiliki kedudukan yang cukup penting dalam peradilan pidana, perdata, dan tata usaha negara tidak terkecuali di negara Indonesia. Secara umum dapat dikatakan bahwa bantuan hukum tujuan yang terarah pada bermacam-macam kategori sosial didalam masyarakat, yaitu: 1) Menjamin dan memenuhi hak bagi penerima bantuan hukum untuk mendapatan akses keadilan; 2) Mewujudkan hak konstitusional segala warga negara sesuai dengan prinsip persamaan kedudukan didalam hukum; 3) Menjamin kepastian penyelenggaraan bantuan hukum dilaksanakan secara merata di seluruh wilayah negara Indonesia; dan 4) Mewujudkan peradilan yang efektif, efisien dan dapat dipertanggungjawabkan.

Prinsip setiap orang berhak didampingi seorang advokat apabila dirinya mempunyai masalah di pengadilan telah sesuai dengan prinsip equality before the law dan untuk pencapaian keadilan bagi semua orang , serta sesuai dengan prinsip hukum yang baik.  Kewajiban advokat dalam memberikan bantuan hukum bagi orang atau kelompok miskin tersebut secara cuma-cuma ditegaskan dalam Pasal 22 ayat (1) UU Advokat No.18 Tahun 2003, yang menyatakan bahwa advokat wajib memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma kepada pencari kedilan yang tidak mampu.

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat. Jasa yang diberikan advokat berupa memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum lain untuk kepentingan hukum klien (jasa hukum). Advokat adalah pengacara yang diangkat oleh Menteri Kehakman setelah mendapat nasihat dan Mahkamah Agung. Batas wilayah hukum tugas dari seorang advokat adalah seluruh provinsi di Indonesia. Advokat memiliki prinsip kerja yang kemudian disebut dan direduksi menjadi Kode Etik Profesi Advokat. Kode etik tersebut kemudian dijadikan dasar pijakan seorang advokat dalam menjalankan aktivitasnya sebagai penasihat hukum, kuasa hukum maupun penegak hukum sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat bahwa.

Agar bantuan hukum yang diberikan bermanfaat bagi seluruh masyarakat, maka perlu dalam perlaksanaanya dilakukan secara merata dengan penyaluran melalui berbagai institusi penegakan hukum yang ada seperti pengadilan, kejaksaan, organisasi advokat, maupun organisasi-organisasi masyarakat yang bergerak dibidang bantuan hukum. Pelaksanaan bantuan hukum kepada masyarakat tidak hanya sebatas untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pendampingan advokat dalam setiap proses hukum melainkan lebih dari hal tersebut yaitu adalah begeimana menjadikan masyarakat untuk mengerti hukum dan dapat mengkritisi produk hukum yang ada.[]