WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Minggu, 23 Desember 2012

DIEGO MENDIETA, KARUT MARUT SEPAKBOLA KITA

Oleh  : Muhammad Taufiq *
 
Dimuat di Harian Joglosemar, 7 Desember 2012
Atlet meninggal di tanah air sudah lumrah. Namun yang menimpa Diego tentu berbeda,sebab ia adalah pemain bola profesional asing dan meninggal dalam posisi pihak yang mempekerjakannya masih menunggak gaji. Diego meninggal dunia dalam keadaan terlunta-lunta,sehingga alih-alih mendapat asupan gizi yang layak, untuk bayar kos pun ia tidak mampu.  Sebagaimana diketahui eks Strikers Persis Solo versi PT.Liga Indonesia Diego Mendieta meninggal dunia, Senin(3/12) malam,di RS Dr.Moewardi Solo. Dengan demikian tentu saja tidak cukup kita hanya mengucap duka atau menyesalkan peristiwa itu. Sebagai bangsa yang beradab kita tentu saja memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi hak Diego. Saat Diego meninggal dunia Persis Solo versi PT.Liga Indonesia memiliki tunggakan sebesar Rp.131.000.000—(Seratus tiga puluh satu juta rupiah). Angka itu meliputi kewajiban manajemen Persis kepada Diego yang meliputi nilai sisa kontrak sebesar Rp.47 juta,- serta tunggakan gaji selama empat bulan masing-masing sebesar Rp.21 juta,-,meski akhirnya dibayar setelah Diego meninggal dunia.. Soal nunggak nampaknya hampir semua pemain klub manapun pernah mengalami,karena selain badan hukum sepakbola kita tidak profesional. Sepak bola kita dinilai belum menghasilkan uang sebagaimana basket. Di sisi lain  banyak diantaranya yang memang tidak memiliki manajemen yang bagus alias amburadul ,sehingga tidak mampu memenuhi secara utuh gaji pemain saban bulannya.
 Permintaan Diego sebelum meninggal terbaca dalam pesan terakhirnya yang disebarkan oleh mantan kapten PSIM, Nova Zaenal dan pemain PSS Sleman, Anang Hadi, dalam pesan lewat balackberry messanger Diego hanya mengharapkan dirinya bisa memiliki ongkos pulang ke tanah airnya guna bersua dengan ibunda dan keluarganya sebelum tutup usia. Sungguh membuat kita haru. Sebab  permintaan itu tak terpenuhi hingga ia menutup mata. "Aku gak minta gaji full, aku cuma minta tiket pesawat biar bisa pulang.” “ Ketemu mama dan mati di negara saya. RIP#Diego Mendieta." Kasus Diego Mendieta bukan pertama terjadi di Indonesia. Masih segar di ingatan kita di mana November lalu, mantan gelandang Persita Tangerang, Bruno Zandonadi, meninggal karena radang selaput otak. Mirisnya lagi, pemain berdarah Brasil tidak memiliki biaya untuk membayar rumah sakit. Akhirnya, rekan-rekan Bruno berinisiatif urunan untuk membiayai tunggakan rumah sakitnya. Lain lagi dengan cerita Syilla Mbamba, Camara Abdoulaye Sekou, dan Salomon Begondo.  Mereka terpaksa mengamen akibat gaji yang belum dibayarkan oleh Persipro(Probolinggo) , mereka hanya menerima 15 persen dari nilai kontrak. Mereka tidak malu mengemis dan mengamen di depan Kantor Walikota Probolinggo agar tetap bisa hidup. Sementara Jorge Paredes dari Persbul Buol harus meminta bantuan lewat media massa untuk memenuhi biaya yang dibutuhkan untuk proses persalinan istrinya.Ketiga kasus tersebut membuktikan bahwa masih rendahnya jaminan terhadap para pemain dan karut marutnya pengelolaan dana klub-klub sepakbola di Indonesia. Berpulangnya Diego Mendieta jelas menunjukkan kembali betapa lemahnya perlindungan pemain dalam hal jaminan kesehatan di dalam kontrak dengan klub .APPI (Asosiasi Pemain Profesional Indonesia), melalui akun jejaring sosial resmi milik mereka. Pesepakbola HARUS mendapat jaminan kesehatan dari klubnya masing2, ironinya sekarang jangankan kesehatan, gaji pun tidak dibayar. Kasus ini juga tak lepas dari konflik para elite sepakbola Indonesia yang tak kunjung menemui kata selesai. Para elit yang sibuk mengurus kisruh organisasi tak sempat mengawasi kinerja klub, yang menjadi anggotanya,apalagi memperhatikan kesejahteraan pemain. Sementara itu klub, seperti Persis Solo, kesulitan mendapatkan sponsor karena para sponsor ragu berinvestasi di tengah kondisi sepak bola yang karut marut,juga sepak bola yang dinilai belum mampu mendulang uang. Menurut catatan yang dimiliki oleh APPI, setidaknya ada 21 klub di dua kompetisi tersebut yang masih menunggak gaji pemainnya. Artinya jangankan mereka memperoleh standar hidup yang layak. Gaji sesuai kontrak pun belum bisa dicukupi oleh pemilik klub. Kondisi ini menjadi semakin parah manakala otoritas sepak bola pun terjadi dualisme.   
PERLU SANKSI HUKUM YANG KERAS
Kondisi yang tidak ideal di atas ditambah tidak tegasnya otoritas olah raga di tanah air,membuat banyak atlit menjadi korban. Sehingga mereka tidak tahu harus mengadu kepada siapa.Banyak pemain sepak bola yang tidak mengetahui hak-haknya. Padahal semua profesi di Indonesia sepanjang dibolehkan di tanah air (termasuk atlet sepak bola dan tinju ) ia akan tunduk pada undang undang. Yakni Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003,harap dimaklumi Indonesia belum memiliki undang undang khusus yang mengatur tentang olah raga. Dengan demikian aturan kontrak kerja selain tunduk pada perjanjian perdata juga mengacu pada Undang Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Di mana undang undang itu selain mengatur syarat-syarat mempekerjakan tenaga asing,ia juga mengatur  hak dan kewajiban bagi tenaga kerja asing. Dengan asumsi ini maka pemain sepak bola itu pekerja dan klub adalah majikan yang mempekerjakan mereka.  Dengan demikian sanksi ketenagakerjaan juga bisa diberlakukan. Termasuk tentu saja sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dalam  UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 35,- ayat 2  pihak yang memperkerjakan wajib memberikan perlindungan sejak rekruitmen sampai penempatan tenaga kerja. - ayat 3,pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan,keselamatan,dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.  Ketika ada pemain sepak bola sampai tidak bisa berobat atau nunggak sewa kamar tentu saja itu kelalaian. Dengan demikian nampak bahwa para pengelola klub sepak bola di tanah air  telah dengan sengaja  mengabaikan kewajiban yang menjadi hak para pemain. UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan logika tersebut maka para pemain sepak bola juga harus disamakan dengan tenaga kerja. Di mana mengharuskan setiap pemilik atau pengelola klub sepak bola   untuk memberikan kesejahteraan termasuk di dalamnya berhak mendapatkan layanan kesehatan. Maka sangat tidak masuk akal ada seorang pemain sepak bola profesional ia harus berhutang atau dibayari temannya untuk beaya pengobatan,sebab sesungguhnya itu kewajiban klub. Memang Persis dan PT.Liga Indonesia telah membantu pemulangan Diego Mendieta,namun demikian saran penulis. Klub dan pengelola atau penyelenggara kompetisi sepak bola harus dihukum tidak saja sanksi larangan tidak boleh bertanding. Jika perlu klub-klub itu diaudit keuangannya. Dan jika tidak mampu untuk bermain di sebuah kompetisi lebih bagus dibubarkan. Agar tidak memakan korban lebih banyak. Sanksi hukum harus diberikan pada klub atau pengelola kompetisi. Namun jika dualisme kepengurusan tetap dipelihara . Jangan berharap ada sanksi atau hukuman. Upaya itu hanya dapat terwujud manakala hukum itu ditegakkan secara keras. Daripada memakan banyak korban dan prestasi sepak bola kita tidak maju-maju.. Semoga saja, kasus Diego Mendieta dan para pemain lainnya menjadi bahan pembelajaran berharga bagi para elit sepakbola Indonesia agar lebih awas dalam mengurus sepakbola, bukannnya sibuk memaksakan kepentingannya sendiri. Sehingga lupa pada kewajiban bahwa pemain sepak bola itu juga seorang manusia. Ia punya keluarga yang juga wajib ditanggung kebutuhannya dan dinafkahi.
Solo, 6 Desember 2012
 
Muhammad Taufiq,
Advokat,Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar