WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 10 Februari 2021

 

KORPORASI DAN LINGKUNGAN HIDUP

Oleh

Dr. Muhammad Taufiq, S.H.,M.H.

 

Kejahatan korporasi terus menjadi catatan penting dalam penegakan hukum pidana di Indonesia, khususnya menyangkut pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup. Pada hal fenomena pencemaran kejahatan korporasi ini sudah lama terjadi dan seringkali menimbulkan dampak dan korban secara nyata, tetapi dalam perkembangannya terus meningkat. Misalnya sebagai berikut:

1.             Laju kerusakan hutan di Indonesia berada pada tingkat paling tinggi di Dunia;

2.             Pencemaran  lingkungan diteluk Buyat;

3.             Pencemaran minyak mentah dari kapal MT Lucky Lady di Perairan Cilacap yang mengakibatkan 222,305 orang nelayan tidak melaut selama 180 hari.

4.             Pecemaran dan kerusakan alam akibat eksploitasi PT. Lapindo di Sidoarjo,

5.             Pencemaran limbah Industri domestic, Sampah dan polusi udara yang ada disekeliling kita.

Dari kejadian tersebut diatas menjadi pertanyaan, bagaimana penegakan hukum terhadap korporasi selama ini mengingat dampak atau korban kejahatan korporasi begitu kompleks.

 

Menurut Soerjono Soekanto keefektifan penegakan hukum secara umum yakni sebagai berikut :

1.    Faktor hukumnya sendiri:

2.    Faktor Penegak hukum :

3.    Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4.    Faktor masyarakat, yaitu lingkungan dimana hukum tersebut berlaku dan ditetapkan;

5.    Faktor kebudayaan, yaitu sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup[1].

 

Terkait faktor hukumnya sendiri, dalam penegakan hukum tersebut, maka dapat dikatakan bahwa subtansi perundang – undangan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi keefektivitasan penegakan hukum. Di dalam teori sosiologi hukum salah satu fungsi dari sosiologi hukum adalah untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas implementasi peraturan perundang – undangan dalam masyarakat. Di dalam Undang – Undang No 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan   Lingkungan Hidup masih banyak terdapat peraturan – peraturan yang sudah tidak efektif lagi jika diterapkan karena kejahatan tindak pidana lingkungan sudah mnengalami perkembangan sehingga dapat menimbulkan kerusakan lingkungan yang sangat luar biasa dan meluas. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi dan pembaharuan hukum pidana (pembaharuan subatansi perundang-undangan) yang merupakan kebutuhan penting dalam rangka penegakan hukum terhadap kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup selama ini.

Mengingat kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup dapat menimbulkan dampak atau korban yang begitu besar dan kompleks, maka upaya penegakan hukum melalui kebijakan formulasi hukum pidana terhadap kejahatan korporasi ini hendaknya tidak hanya melihat pada daad, daader tetapi juga victim (korban). Oleh karena itu, diperlukan kebijakan reformulasi hukum pidana, guna memberikan perlindungan pada korban kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup yaitu mencakup masalah perumusan tindak pidana (kriminalisasi), pertanggungjawaban pidana, serta pidana dan pemidanaan (korporasi sebagai pelaku tindak pidana).

Saat ini di berbagai sektor perekonomian ditemukan banyak pelanggaran korporasi yang telah menimbulkan banyak kerugian dan kerusakan. Walaupun terdapat berbagai bukti yang menunjukkan adanya kejahatan korporasi, namun hukuman atas tindakan tersebut selalu terabaikan. Kejahatan korporasi yang telah terjadi pada berbagai perusahaan di masa lalu juga dapat terjadi kembali. Oleh karena itu, perlu diketahui bagaimana cara untuk mencegahnya.

Banyak perusahaan yang dengan sengaja atau bahkan berulang-ulang melakukan tindakan yang melanggar etika bisnis bahkan hukum yang berlaku. Pandangan masyarakat terhadap kejahatan korporasi sangat berbeda dengan pandangan mereka pada kejahatan jalanan. Padahal hampir pada setiap kejadian, efek dari kejahatan korporasi selalu lebih merugikan, memakan biaya lebih besar, berdampak lebih meluas, dan lebih melemahkan daripada bentuk kejahatan jalanan.

Kejahatan sesungguhnya tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Semakin maju dan berkembang peradaban umat manusia, akan semakin mewarnai bentuk dan corak kejahatan yang akan muncul ke permukaan. Begitulah setidaknya, ketika manusia belum menemukan alat canggih seperti komputer, maka yang namanya kejahatan komputer tidak pernah dikenal. Baru setelah komputer merajelela di berbagai belahan dunia, maka orangpun disibukkan pula dengan efek samping yang ditimbulkannya yaitu berupa kejahatan komputer.

Demikian pula halnya dengan corak kejahatan di bidang perbankan, kejahatan terhadap pencemaran lingkungan hidup, money laundering, kejahatan di bidang ekonomi; korupsi dan lain-lain, semua kejahatan ini lahir dan tumbuh seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dicapai oleh manusia.Kejahatan-kejahatan ini termasuk dalam kategori kejahatan kelas “elite”. Dikatakan “elite”, karena tidak semua orang dapat melakukannya.

Kejahatan kelas “elite” ini tidak membutuhkan tenaga fisik yang banyak. Kemampuan pikir merupakan faktor yang penting untuk mencapai hasil yang berlipat ganda. Namun sayang, kejahatan jenis ini seringkali tidak terpantau dan bahkan dalam banyak hal, aparat penegak hukum justru kalah terampil dari pelakunya, baik itu yang berkenaan dengan objek yang menjadi sasaran kejahatan maupun masalah pembuktian dalam proses peradilan.

Pengertian Kejahatan Korporasi

Kejahatan diartikan sebagai suatu perbuataan yang oleh masyarakat dipandang sebagai kegiatan yang tercela, dan terhadap pelakunya dikenakan hukuman (pidana). Sedangkan korporasi adalah suatu badan hukum yang diciptakan oleh hukum itu sendiri dan mempunyai hak dan kewajiban. Jadi, kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh badan hukum yang dapat dikenakan sanksi. Dalam literature sering dikatakan bahwa kejahatan korporasi ini merupakan salah satu bentuk White Collar Crime.

Menurut Sutherland, kejahatan kerah putih adalah “sebuah perilaku kriminal atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh seseorang dari kelompok yang memiliki keadaan sosio-ekonomi yang tinggi dan dilakukan berkaitan dengan aktifitas pekerjaannya”. Selanjutnya dijelaskan, bahwa kejahatan kerah putih (WCC) sebagian besar berkaitan dengan kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada. Kejahatan atau perusakan terhadap kepercayaan yang ada ini secara lebih luas dibagi dalam dua bagian atau tipe. Tipe pertama, ialah penyajian atau pengambaran yang keliru, dan yang keduaadalah duplikasi atau perbuatan bermuka dua. Tipe yang pertama berhubungan erat dengan penipuan, pengecohan atau diperbudaknya seseorang. Sedangkan tipe kedua berkaitan secara langsung dengan pengkhianatan kepercayaan maupun penipuan yang secara langsung dilakukan tetapi tidak kentara; tidak terlihat secara kasat mata, yaitu dengan cara mengelabui korbannya. Prinsip yang utama dari tipe yang kedua ini adalah dengan membuat sebuah penampilan yang baik (bonafide) kepada calon korban, menampilkan diri sebagai seorang yang profesional atau bisnismen (usahawan) namun dibalik itu adalah bertujuan untuk mengeruk keuntungan yang sebanyak-banyakanya dari calon korban, bagai musang berbulu domba.

Menurut Utrech dan M. Soleh Djindang, korporasi adalah suatu gabungan orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri sebagai suatu personifikasi. Korporasi adalah badan hukum yang beranggota, namun mempunyai hak dan kewajiban tersendiri yang terpisah dari hak dan kewajiban anggota masing-masing. Sementara A.Z Abidin menyatakan bahwa korporasi di pandang sebagai realita sekumpulan manusia yang dberikan hak sebagai unit hukum, yang diberikan pribadi hukum untuk tujuan tertentu.

Yan Pramadya Puspa mengartikan korporasi atau badan hukum adalah suatu perseroan yang merupakan hukum, yang dimaksudkan sebagai suatu perkumpulan atau organisasi yang oleh hukum diperlakukan seperti seorang manusia (personal), sebagai pengemban atau pemilik hak dan kewajiban, memiliki hak menggugat atau digugat di muka pengadilan.

Jadi dari berbagai pengertian diatas, maka korporasi mempunyai arti yang luas. Pengertian korporasi juga lebih luas dari pengertian badan hukum, hal ini terlihat dari berbagai ketentuan perundang-undangan di luar KUHP yang memakai istilah badan usaha, sekelompok orang dan lain sebagainya, sebagai subjek hukum pidana.

Black’s Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often referred to as “white collar crime[2].

Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut sebagai “kejahatan kerah putih”. Sally S. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law[3].

Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.  Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional[4].

Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaan-pemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat.  Ada beberapa beberapa faktor yang mempengaruhi hal ini[5].  Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional.  Penelitian juga menunjukkan bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia.  Keempat, tujuan dari pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum.  Kelima, kejahatan korporasi sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi.  Hal ini dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu  kesatuan  dan karena  itu diakui  serta  mendapat  perlakuan  sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu[6].  Sehingga,  jika  KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai  landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi.   Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan  yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan…(dan seterusnya).

Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976, korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.).

Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi; Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundang-undangan sepanjang berkenaan dengan korporasi dapat dijatuhkan.  Dalam hal ini, pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap :

1.    Korporasi sendiri, atau

2.    Mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak pidana dimaksud, atau

3.    Korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung renteng.

Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij (persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan)[7].

Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.

Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai “korporasi”, antara lain termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan, perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :

-       UU No.11/PNPS/1964 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi

-       UU No.38/2004 tentang Jalan

-  UU No.31/1999  jo. UU No.21 tahunn 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan lain-lain.

 

Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia”, menyatakan :

Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan pelbagai tindak pidana.  Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang dipertanggungjawabkan.  Sedangkan mungkin sekali seorang direktur itu hanya melakukan saja putusan dari dewan direksi.  Maka timbul dan kemudian merata gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri  dapat dikenakan hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana[8].

Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan  Hidup.  Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability.

Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2 UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan.  Kemudian kemungkinan berikutnya adala dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999.

 

Bentuk – Bentuk Korporasi[9]

          Berbicara masalah bentuk-bentuk korporasi, maka tidak terlepas dari persoalan dunia bisnis. Bentuk-bentuk korporasi bisa meliputi bidang industri, bidang perdagangan, bidang jasa dan bidang lainnya. Dalam melaksanakan bisnis ini maka bisa dilakukan oleh perseorangan dan juga dilakukan dalam suatu organisasi atau perkumpulan untuk bisnis-bisnis yang besar, yang dinamakan korporasi, baik berupa badan hukum maupun bukan badan hukum.

1.    Badan Hukum

Konsep badan hukum adalah konsep yang muncul dalam bidang hukum perdata, sebagai kebutuhan untuk menjalankan kegiatan yang diharapkan lebih baik dan lebih berhasil. Badan hukum itu sendiri sebenarnya tiada lain sekedar suatu ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan, dimana terhadap badan ini diberi status sebagai subjek hukum, di samping subjek hukum yang berwujud manusia alamia. Ada beberapa teori yang sering digunakan dalam rangka mengetahui hakikat badan hukum, yaitu antara lain :

a.    Teori Fictie dari Von Savingny. Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fisksi, yakni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.

b.    Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie). Menurut teori ini hanya  manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum, namun ada kekayaan (vermogen) yang bukan merupakan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terkait dengan tujuan tertentu, kekayaan inilkah yang disebut badan hukum.

c.    Teori Organ dari Otto Van Gierke. Badan hukum menurut teori ini bukan sesuatu yang abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum merupakan suatu organisme yang riil, yang menjelma sungguh-sungguh dalam pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya (pengurus dan anggota-anggotanya), seperti manusia biasa yang mempunyai panca indra.

d.    Teori Propriete Collective. Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaff, menurut teori ini, hak dan kewaiban badan hukum pada hakikatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama. Kekayaan badan hukum adalah kepunyaan bersama semua anggotanya. Orang-orang yang terhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan dan membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum. Oleh karena itu badan hukum adalah konstruksi yuridis saja.

e.    Teori Kenyataan Yuridis. Badan hukum merupakan suatu realiteit, konkrit, riil, walaupun tidak bisa diraba, bukan hayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang dikemukan oleh Meyers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.

 

Sedangkan menurut Pasal 1635 BW, badan hukum dapat dibagi atas tiga (3), yaitu: Badan hukum yang diadakan pemerintah/kekuasaan umum, misalnya Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II/Kotamadya, bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya; Badan hukum yang diakui oleh pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan, organisasi keagamaan dan sebagainya; dan Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti Perseroan Terbatas, perkumpulan asuransi dan sebagainya. Bentuk badan hukum yang terdapat dalam rumusan Pasal 1635 BW ini sangat luas dan mencakup berbagai bentuk perkumpulan.

2.    Bukan Badan Hukum

Badan usaha yang bukan berbentuk badan hukum dapat dikategorikan menjadi tiga (3) macam, yaitu persekutuan perdata, persekutuan/perusahaan Firma (Fa) dan persekutuan/perusahaan komanditer (CV). Perbedaan antara badan usaha yang berbentuk badan hukum dan bukan badan hukum, terlihat dari perbedaan prosedur pendirian badan usaha hukum, maka syarat adanya pengesahan akta pendirian dari pemerintah tidak diperlukan.

Menurut Abdulkadir Muhammad, badan usaha yang berbentuk bukan badan hukum dapat dikategorikan:

-       Perusahaan perseorangan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh pengusaha perseorangan, misalnya perusahaan industri, perusahaan dagang dan perusahaan jasa.

-       Perusahaan persekutuan, merupakan perusahaan swasta yang didirikan dan dimiliki oleh beberapa orang pengusaha secara bekerjasama. Perusahaan ini dapat menjalankan usaha dalam semua bidang perekonomian, yakni bidang industri, dagang dan jasa yang dapat berbentuk perusahaan Firma (Fa) dan persekutuan komanditer (CV).

 

Kejahatan korporasi menurut Prof. Mardjono Reksodiputro adalah sebagian dari “White Collar Crime” (WWC, kejahatan kerah putih), yang menurut Sutherland merupakan “ .. is a violation of criminal law by the person of the upper socioeconomics class in the courses of his occupational avtities”. (Kejahatan Kerah putih adalah suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang mempunyai tingkat sosial ekonomi kelas atas yang berhubungan dengan jabatan).

Dari rumusan ini terlihat bahwa pada awalnya konsepsi WCC dibatasi pada perbuatan tindak pidana (yang ada dalam hukum pidana), namun selanjutnya oleh para ahli kriminologi, konsepsi WCC diperluas keluar dari batasan hukum pidana. Berdasarkan perdebatan tulisan Sutherland; Its White collar crime ? (1945) dan crime of corporation (1984), maka semakin jelas pengertian “person” dalam WCC yang terdahulu  yang dikaitakan dengan mereka yang menjalankan perusahaan (corporatio).  Jadi fokus WCC adalah kejahatan korporasi. Pada akhirnya perdebatan ini menyimpulkan bahwa pada rumusan Sutherland di atas masih harus ditambahkan satu unsur lagi, yaitu “violation of trust”.

I.S. Susanto menerangkan hal ini dengan mengutip tulisan Stevens Bpx, sebagaimana yang dikemukan oleh Hamzah Hetrik, yang menjelaskan ruang lingkup kejahatan korporasi adalah sebagai berikut :

1.    Crimes for Corporation, merupakan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh korporasi dalam usahanya mencapai tujuan korporasi untuk memperoleh keuntungan.

2.    Criminal corporation, adalah korporasi yang bertujuan semata-mata untuk melakukan kejahatan.

3.    Crime against corporations, yaitu kejahatan-kejahatan terhadap korporasi, seperti pencurian atau penggelapan milik korporasi, yang dalam hal ini korbannya adalah korporasi.

 

Karakteristik Kejahatan Korporasi

Salah satu hal yang membedakan antara kejahatan korporasi dengan kejahatan konvensional atau tradisional pada umumnya terletak pada karakteristik yang melekat pada kejahatan korporasi itu sendiri, antara lain:

1.    Kejahatan tersebut sulit terlihat ( Low visibility ), karena biasanya tertutup oleh kegiatan pekerjaan yang rutin dan normal, melibatkan keahlian professional dan sistem organisasi yang kompleks.

2.    Kejahatan tersebut sangat kompleks ( complexity ) karena selalu berkaitan dengan kebohongan, penipuan, dan pencurian serta sering kali berkaitan dengan sebuah ilmiah, tekhnologi, finansial, legal, terorganisasikan, dan melibatkan banyak orang serta berjalan bertahun – tahun.

3.    Terjadinya penyebaran tanggung jawab ( diffusion of responsibility ) yang semakin luas akibat kompleksitas organisasi.

4.    Penyebaran korban yang sangat luas (diffusion of victimization ) seperti polusi dan penipuan.

5.    Hambatan dalam pendeteksian dan penuntutan ( detection and prosecution ) sebagai akibat profesionalisme yang tidak seimbang antara aparat penegak hukum dengan pelaku kejahatan.

6.    Peraturan yang tidak jelas (ambiguitas law ) yang sering menimbulkan kerugian dalam penegakan hukum.

7.    Sikap mendua status pelaku tindak pidana. Harus diakui bahwa pelaku tindak pidana pada umumnya tidak melanggar peraturan perundang – undangan tetapi memang perbuatan tersebut illegal.

 

Faktor-faktor Pendorong Kejahatan Korporasi

1.    Persaingan, Dalam menghadapi persaingan bisnis, korporasi dituntut untuk melakukan inovasi seperti penemuan teknologi baru, teknik pemasaran, usaha-usaha menguasai atau memperluas pasar. Keadaan ini dapat menghasilkan kejahatan korporasi seperti memata-matai saingannya, meniru, memalsukan, mencuri, menyuap, dan mengadakan persekongkolan mengenai harga atau daerah pemasaran.

2.    Pemerintah, Untuk mengamankan kebijaksanaan ekonominya, pemerintah antara lain melakukannya dengan memperluas peraturan yang mengatur kegiatan bisnis, baik melalui peraturan baru, maupun penegakkan yang lebih keras terhadap peraturan-peraturan yang ada. Dalam menghadapi keadaan yang demikian, korporasi dapat melakukannya dengan cara melanggar peraturan yang ada, seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, memberikan dana-dana kampanye yang ilegal kepada para politisi dengan imbalan janji-janji untuk mencaut peraturan yang ada, atau memberikan proyek-proyek tertentu, mengekspor perbuatan ilegal ke negara lain.

3.    Karyawan, Tuntutan perbaikan dalam penggajian, peningkatan kesejahteraan dan perbaikan dalam kondisi-kondisi kerja. Dalam hubungan dengan karyawan, tindakan-tindakan korporasi yang berupa kejahatan, misalnya pemberian upah di bawah minimal, memaksa kerja lembur atau menyediakan tempat kerja yang tidak memenuhi peraturan mengenai keselamatan dan kesehatan kerja.

4.    Konsumen, Ini terjadi karena adanya permintaan konsumen terhadap produk-produk industri yang bersifat elastis dan berubah-ubah, atau karena meningkatnya aktivitas dari gerakan perlindungan konsumen. Adapun tindakan korporasi terhadap konsumen yang dapat menjurus pada kejahatan korporasi atau yang melanggar hukum, misalnya iklan yang menyesatkan, pemberian label yang dipalsukan, menjual barang-barang yang sudah kadaluwarsa, produk-produk yang membahayakan tanpa pengujian terlebih dahulu atau memanipulasi hasil pengujian.

5.    Publik, Hal ini semakin meningkat dengan tumbuhnya kesadaran akan perlindungan terhadap lingkungan, seperti konservasi terhadap air bersih, udara bersih, serta penjagaan terhadap sumber-sumber alam. Dalam mengahadapi lingkungan publik, tindakan-tindkaan korporasi yang merugikan publik dapat berupa pencemaran udara, air dan tanah, menguras sumber-sumber alam.

 

KASUS PT GALUH CEMPAKA SEBAGAI KEJAHATAN KORPORASI

Kejahatan korporasi adalah kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi, korporasi yang sengaja dibentuk dan dikendalikan untuk melakukan kejahatan. Pada awalnya korporasi atau badan hukum adalah subjek yang hanya dikenal didalam hukum perdata. Apa yang dinamakan badan hukum itu sebenarnya adalah ciptaan hukum, yaitu dengan menunjuk kepada adanya suatu badan yang berdiri status sebagai subjek hukum, disamping subjek hukum yang berwujud manusia alamiah.

Sally A Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employess acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law” (melakukan suatu koorporasi, atau karyawan yang bertindak atas nama sebuah perusahaan yang dilarang dan dikenai sanksi hukum). Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braitwaite mengenai kejahatan korporasi:

1.    Pertamaa, tindakan illegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosioekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenannya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi.

2.    Kedua. Baik korporasi (sebagai “subjek hukum perorangan “legal person”) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan.

3.    Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub kultur organisasional.

 

Kejahatan yang terjadi pada kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup adalah suatu kejahatan yang tidak berhenti ketika pelaku berhasil dijebloskan kedalam penjara atau memberikan ganti kerugian. Kejahatan ini akan menimbulkan dampak yang akumulatif dan cenderung melahirkan suatu bentuk kejahatan baru. Destructive logging / perusahaan hutan adalah contoh konkret yang selanjutnya dapat melahirkan rentetan bencana berupa banjir, longsor, kekeringan, gagal panen, gagal tanam dan kebakaran hutan. Bahkan dampak dari destructive logging dapat menimbulkan hilangnya nyawa dan harta benda bagi mereka yang tertimpa bencana ikutan tersebut.

 

 

KASUS :

PT Galuh Cempaka bergerak dalam bidang pertambangan intan, PT tersebut membuang limbah industri ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat sekitar. Menurut data yang didapatkan dari siaran pers WALHI Kalimantan selatan, pencemarn yang dilakukan oleh PT. Galuh Cempaka tersebut mengakibatkan tingkat keasaaman air sungai mencapai ph 2,97. Hal ini sangat bertentangan dengan peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, yaitu tingkat ph normal air sungai sebesar 6 hingga 9 ph. Selain itu efek dari penambangan tersebut mengancam ketahanan pangan dikota Banjarbaru. Lumbung padi kota banjarbaru terancam dengan aktivitas penambangan PT Galuh Cempaka. Dampak lingkungan ini juga menuruni fungsi sungai sebagai pengatur tata air, minimal pada tiga sungai di kelurahan palam. Penyebabnya tak lain pengelolaan tambang yang carut marut dimana perencanaan pertambangan tidak mengakomodir kepentingan masyarakat sekitar dan terkesan arogan.

Setelah ditelusuri ternyata dokumen AMDAL yang dibuat PT Galuh Cempaka cacat hukum dan pada implementasinya juga tidak dijalankan. Dengan kata lain dokumen amdal hanya sebagai persyaratan administrasi belaka. Dampak langsung yang terjadi adalah penurunan kualitas air yang menyebabkan rusaknya fungsi biologis. Hal ini terlihat dari ikan-ikan yang mati, tidak mengalirnya air secara normal bahkan dua sungai tidak berfungsi. Belum lagi genangan air banjir yang mengakibatkan terendamnya ribuan hektare sawah masyarakat yang berakibat pada keterlambatan panen untuk musim tanam. Jika hal ini terus dibiarkan dapat mengakibatkan penurunan kualitas air yang akan mengancam kepunahan biota air. Sungai yang tidak berfungsi sebagai pengatur tata air akan mengakibatkan krisis yang lebih jauh dan berdampak besar berupa krisis ketahanan pangan yang dapat mengakibatkan krisis ekonomi. Masalah ini dianggap sebagai kejahatan korporasi lingkungan karena sudah jelas melanggar UU yang telah ditatapkan, yaitu UU No 23 Tahun 1997, Tentang pengelolaan Lingkungan Hidup, Bab VI Pasal 20 ayat 1 “Tanpa suatu keputusan izin, setiap orang dilarang melakukan pembuangan limbah ke media lingkungan hidup.

Kejahatan lingkungan adalah kejahatan yang dilakukan oleh orang atau kelompok atau Badan hukum yang bersifat merusak dan mencemari lingkungan. Dalam kacamata krimonologi, kejahatan lingkungan memiliki perbedaan dengan kejahatan konvensional. Ciri utama dari kejahatan ini adalah dilakukan oleh perusahaan-perusahaan (korporasi) dalam menjalankan usahanya.

Permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh perusahaan PT Galuh Cempaka seakan menjadi benalu yang menguras sumber kekayaan alam, dan sekaigus memberikan dampak kerusakan bagi lingkungan yang akhirnya akan memberikan kerugian yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat di Indonesia.

Solusinya

Menurut saya kenapa kasus tersebut bisa terjadi karena kurangnya kontrol dari pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan yang mengadakan eksploitasi di bumi nusantara ini. Selain itu, pelaksanaan kententuan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan lingkungan terasa masih setengah-setengah. Pelaku kejahatan lingkungan tidak mendapatkan stigma masyarakat yang berat dan melekat. Karena apa yang dilakukan oeh pelaku kejahatan tidak memberikan dampak secara langsung melainkan secara lamban namun sangat fatal. Hal ini disebabkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat tentang kejahatan lingkungan itu sendiri. Meskipun sudah jelas dicantumkan dalam UU tentang pelanggaran yang berkaitan dengan lingkungan, tetapi masih banyak dari masyarakat yang tidak mengetahui tolak ukur untuk menentukan apakah suatu kejahatan masuk ke dalam kategori kejahatan lingkungan atau tidak. Masyarakat baru akan sadar ketika telah jatuh korban dan muncunya berbagai masalah yang diakibatkan oleh pencemaran lingkungan tersebut, seperti masalah penyakit kulit yang terjadi pada kasus PT Galuh Cempaka.

Seharusnya untuk menangani permasalahan ini peran pemerintah sangat dibutuhkan karena dalam karakteristik kejahatan korporasi, pembuktian apakah suatu perusahaan melakukan kejahatan atau tidak, hanya bisa dilakukan oleh pemerintah atau Badan Hukum yang bersangkutan. Selain itu sosialisasi tentang kejahatan korporasi akan lebih baik apabila ada inisiatif dari pemerintah untuk mengadakan peningkatan pengenalan mengenai kejahatan-kejahatan seperti apa saja yang bisa dikatakan sebagai kejahatan korporasi.

Kejahatan korporasi yang dimaksud adalah kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup, yaitu tindakan pencemaran dan perusakan lingkungan dilakukan oleh sebuah korporasi bernama Galuh cempaka. Dampak yang diakibatkan adanya perbuatan oleh korporasi tersebut merugikan tidak hanya secara material, namun juga telah merugikan lingkungan hidup masyarakat. Hal seperti ini dapat dikatakan sebagai sebuah perbuatan tindak kejahatan. Dalam kasus ini ditemukan beberapa pelanggaran hukum yang bisa dijerat dengan pasal-pasal dalam undang-undang antara lain hukum lingkungan hidup (UULH), hukum pidana (KUHP) dan hukum perdata (KUHPer).

Terkait dengan PT Galuh Cempaka, menurut organisasi non pemerintah yang fokus pada persoalan lingkungan ini, perusahaan tersebut telah melakukan kejahatan korporasi yaitu sengaja melakukan pembuangan limbah atau zat ke aliran sungai yang dapat membahayakan bagi kesehatan dan keselamatan orang byk. Perbaikan sistem pengolahan air limbah (sispal) yang dilakukan PT Galuh Cempaka adalah suatu keharusan yang dilakukan oleh sebuah perusahaan.

Sanksi dapat dijatuhkan kepada perorangan yaitu setiap orang yang memberi perintah maupun yang melaksanakan perintah, dalam kejadian ini, korporasi dapat juga dijadikan tersangka sesuai dalam pasal 45 dan pasal 46 UU No.23/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, dan didalam RUU KUHP paragraph 7 tentang korporasi yang dimulai dari pasal 44-49.

Melihat polanya maka dalam pandangan diatas, kejahatan ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri. Kesalahan dalam pengurusan yang telah berlangsung lama menjadi salah satu faktor utama pendorong terjadinya kejahatan tersebut termasuk regulasi yang mengaturnya. Belum lagi lemahnya penegakan hukum yang berimplikasi pada semakin tingginya tingkat kejahatan tersebut. Parahnya oknum aparat penegak hukum juga menjadi bagian dari praktek atau modus bagaimana kejahatan ini berlangsung dan dilakukan terus menerus.

Di Indonesia adalah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah undang-undang nomor 23 thun 1997 tentang lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability. Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat tiga bentuk pertanggungjawaban pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu : dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Psaal 65 ayat 1 dan 2 UU No.38/2004 tentang jalan. Dapat pula dibebankan kepada organ atau pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai pemimpin dalam melakukan tindak pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 20 UU No,31/1999 tentang tindak pidana korupsi dan UU No.31/2004 tentang perikanan kemudian kemungkinan berikutnya adalah dapat dibebankan baik kepada pengurus korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada korporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999 tentang tindak pidana korupsi.

Penting untuk melakukan upaya rehabilitasi dari kerusakan lingkungan yang terjadi. Sehingga kasus ini juga bisa dijadikan pembelajaran bagi kehidupan berbangsa dan bernegara untuk melindungi warga Negara dan kepentingan ekonomi, sosial dan lingkungan hidupnya. Eksploitasi dan eksplorasi telah menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan dan pencemaran lingkungan, dalam UUPLH No.23 tahun 1997 hal ini telah melanggar Pasal 41 hingga pasal 45 undang-undang tersebut. Dalam ketentuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945, bahwasannya bumi. Air, dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai  oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dan digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Masalah ini tidak akan pernah selesai tanpa ada inisiatif dari kita semua untuk menanggulanginya. Sebagai individu ataupun masyarakat, kita juga memiliki kewajiban untuk menjaga lingkungan kita. Lebih baik kita siaga sejak dini daripada baru akan menyadarinya saat berbagai masalah yang baru muncul akibat pencemaran lingkungan. Sebagai penegak hukum, seharusnya masalah seperti ini harus ditangani secara serius, karena permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan korporasi tersangka sangat sulit ditangkap ataupun dikenali. Sesuai dengan fungsinya baik secara mikro maupun makro, sebuah bisnis yang baik harus memiliki etika dan tanggung jawab social. Nantinya, jika sebuah perusahaan memiliki etika dan tanggung jawab social yang baik, bukan hanya lingkungan makro dan mikronya saja yang akan menikmati keuntungan, tetapi juga perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, sebuah perusahaan harus mementingkan yang namanya etika bisnis. Agar ketika dia menjalani bisnisnya, tidak merugikan pihak manapun, dan sebuah perusahaan harus mempunyai tempat pembuangan limbah sendiri. Para pelaku bisnis harus mempertimbangkan standar etika demi kebaikan dan keberlangsungan usaha dalam jangka panjang. Untuk penanganan masalah lingkungan tersebut sebaiknya Bapedal segera turun tangan, jangan sampai berlarut-larut yang bisa berdampak pada sosial masyarakat. Pembangunan disamping dapat membawa kepada kehidupan yang lebih baik juga mengandung resiko karena dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup. Untuk meminimalkan terjadinya pencemaran dan kerusakan tersebut perlu diupayakan adanya keseimbangan antara pembagunan dengan kelestarian lingkungan hidup, peningkatan kegiatan ekonomi melalui sektor industrialisasi tidak boleh merusak sektor lain.

 

Daftar Pustaka

 

Ginting, Perdana. 2007. Sistem Pengelolaan Lingkungan dan Limbah Industri. Bandung: CV, Yrama Widya.

Hardjaaoemantri,Koesnadi. 2005 Hukum Tata Lingkungan ( edisi kedelapan belas,  cetakan kesembilan belas ), Yogyakarta : Gadjah Mada University Press .

Hartiwiningsih. 2008. Hukum Lingkungan dalam Perspektif kebijakan Hukum Pidana. Surakarta : UNS Press.

Hasyim, Dardiri. 2004. Hukum Lingkungan. Surakarta : Sebelas Maret University Press.

Henry Campbell Black. 1990.  Black’s Law Dictionary. ed.6. West Publishing Co., St. Paul, Minnessota.

Jan Remmelink. 2003. HUKUM PIDANA, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Joko Widodo. 2008. Analisis Kebijakan Publik. Jakarta. Bayumedia.

Khanna, V.S. 1996. Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?. 109 Harv. L.Rev. 1477. The Harvard Law Review Association.

Miftah Thoha. 1992. Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara.(Jakarta: PT. Grafindo Persada.

 

 
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Bandung : Eresco, 1989.

Riyanto. 1999. Indonesia. Penegakan Hukum Lingkungan dalam perspektif Etika Bisnis Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Riant Nugroho. 2009. Public Policy. Jakarta : Elex Media Komputindo.

Sally S. Simpson. 1993. Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory.

Soerjono Soekanto. 2005. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta.

Soekanto, Soerjono. 2007. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta.

 

 

 



[1] Soekanto, Soerjono, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 8-9

[2] Henry Campbell Black,  Black’s Law Dictionary, ed.6. West Publishing Co., St. Paul, Minnessota, 1990, hlm. 339

[3] Sally S. Simpson,Strategy, Structure and Corporate Crime, 4 Advances in Criminological Theory, 1993, hlm. 171

[4] Ibid

[5] Soesanto, L.C, Universitas Diponegoro, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia,diakses dari http://www.aic.gov.au/publications/proceedings/12/soesanto.pdf, pada tangga 5 April 2016  pukul 21.03 WIB

[6] Jan Remmelink. HUKUM PIDANA, Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kita Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 98

[7] Ibid,hlm. 102

[8] Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Ed.2, Cet.6, Bandung : Eresco, 1989,hlm. 55

[9] Bob Sadiwijaya, Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korporasi, Jurnal Darma Agung,  hlm. 10.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar