WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 03 Oktober 2011

BOM SOLO DAN PERSEPSI ”TERORIS “


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4


OLEH : MUHAMMAD TAUFIQ*

Harian Joglosemar, Sabtu, 1 Oktober 2011


Sesungguhnya, semua bentuk kekerasan apapun dalihnya tidaklah bisa diterima. Seperti penyerangan terhadap wartawan,kekerasan anak sekolah, demo yang mengarah ke tindakan anarkis seperti membakar gedung-gedung pemerintah . Termasuk yang terbaru adalah tindakan aksi teroris di Solo yang terkenal sebagai bom Kepunton. Aksi terror di banyak tempat sesungguhnya cermin dari kegagalan penyampaian pesan lewat institusi formal seperti pemilu dan lembaga demokrasi lainnya.. Dalam kaitan ini mereka sudah tidak percaya terhadap institusi formal seperti polisi dan pengadilan. .Mereka( para pelaku) beranggapan demokrasi bukanlah jalan ke luar,bahkan cenderung menolak prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu mereka beranggapan bahwa pemerintah yang ada dianggap otoriter.

Pemerintahan di manapun sejatinya memiliki wenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang otoriter terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat, sementara di dalam sistem yang otoriter kesepakatan rakyat tidak merupakan persyaratan. Di dalam sistem yang demokratis , rakyatlah yang memiliki kedaulatan. mereka berhak mengganti sebuah pemerintahan yang dipandang sudah tidak lagi mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, melalui pilihan umum yang bebas. Perlu dipahami bahwa sistem pemerintahan yang demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas, dan kelompok mayoritas benar-benar siap untuk menghormati hak-hak minoritas. Ini merupakan salah satu dari kesepakatan-kesepakatan etis yang mutlak hadir dalam demokrasi.Meski demikian dalam kenyataannya sepertinya ini tidak berlaku terhadap persoalan yang mengkait Islam. Meski sama atau bahkan lebih kadar kekerasannya namun jika itu pelakunya komunitas Islam Dalam bahasa Global yang dimotori Amerika mereka disebut teroris. Sehingga bom di Oslo Norwegia,yang memakan korban 90 orang dan 200 –an lannya cedera kepada pelakunya tidak disebut melakukan tindak pidana terorisme.

Untuk mengontrol kesrewenang-wenangan ini ,kekuasaan harus dibagi menjadi 3 yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan cara ini diharapkan adanya saling ketergantungan dan saling kontrol dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka ( checks and balances ), sehingga kemungkinan bagi terjadinya penyalahgunaan dan kesewenang- wenangan dapat dihindari seperti dengan seenaknya mempersangkakan orang sebagai teroris dan tak pernah ada persidangan yang bersifat scientific justice . Bukan sesudah mati baru di test DNA dan dicocok-cocokkan pelakunya Si-A,kelompok-B dsb. Keberhasilan menumpas teroris hanya muncul sepihak, sebab para teroris ini sudah mati.

Tujuan penerapan prinsip ini adalah manusia( termasuk Polisi dan aparat intelejen ) bukanlah manusia sempurna mereka pada hakikatnya memiliki kecenderungan untuk melanggar hukum jika berada pada pusaran kekuasaan, mereka cenderung menumpuk dan menggunakan kekuasaan itu secara semena – mena. Jika tanpa ada check and balance..

Tafsir Tentang Teroris

Wewenang pemerintah harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan dan kewenangan yang selalu membatasi saling mengawasi dan saling tergantung satu sama lain. Ini yang dimaksud dengan system check and balance termasuk sistem pengadilan. Jadi pemerintah bisa berganti, akan tetapi sistem tetap on line. Menggantungkan nasib pemerintahan yang juga berarti nasib rakyat kepada kekuasaan orang- seorang bukan kepada sistem yang solid akan sangat riskan karena tidak akan mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan warga negaranya.. Dalam terori pemisahan kekuasaan demokrasi juga menjadikan hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintah. Dalam pengertian ini pemerintah bukan saja harus menjadikan dirinya sebagi hukum yang berbicara tetapi juga menjamin dan memelihara independensi lembaga-lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya termasuk lembaga kepolisian dan lembaga intelejen . Sehingga tidak ada kesewenang-wenangan misalnya tidak ada seorang manusia pun dapat ditangkap oleh polisi kecuali ia dicurigai telah melanggar hukum dan tidak seorangpun dapat dipenjarakan kecuali ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Karenanya tafsir tunggal tentang sebutan teroris yang selama ini menjadi monopoli polisi harus diakhiri. Dengan demikian Negara tidak dapat mengambil hak milik orang seorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar atas sebuah kesalahan yang dibuat pemerintah. Inilah yang tidak dimiliki Pemerintah Indonesia,Negara, penjajah seperti Pemerintah Kerajaan Belanda saja mau membayar kompensasi atas kesewenang-wenangan mereka ketika menduduki Indonesia. Singkatnya setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku,termasuk ganti rugi akibat mal praktek kekuasaan,seperti korban salah tangkap..

Pada gilirannya seberapapun hebatnya teroris diberantas jika tidak ada audit hukum tentang aktifitas Penegak hukum sama artinya memberantas teroris dengan cara teroris. Sehingga mereka yang merasa tidak teroris pun lebih suka menempuh cara teroris Dan itulah sekarang yang dilakukan aparat Kepolisian Republik Indonesia dalam cara pemberantasan teroris. Tanpa menunggu ijin Ketua Pengadilan mereka mengobrak-abrik rumah seseorang dalam rangka menemukan teroris,membunuh pun mereka lakukan. Sehingga sering muncul cemoohan bahwa mereka yang mengobrak-abrik itu polisi atau teroris? Tuntutan pengesahan RUU Intelejen patutlah dicermati dalam perpektif kepastian hukum,jika tidak akan memunculkan kekuasaan yang tiran. Dengan dalih penumpasan teroris ,lawan politik pun bisa dihabisi tanpa proses peradilan asalkan ia berdasarkan data intelejen seorang teroris. Oleh karena itu kita sepakat melawan dan memberantas terorisme di Indonesia,namun kita tidak bisa memberikan cek kosong kepada kekuasaan yang tidak menghormati hukum dengan cara menyetuji RUU Intelejen tanpa reserve. Sebab tesis sudah teruji terorisme Negara jauh lebih bahaya dari sisi manapun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar