WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 08 Maret 2012

MENCEGAH PREDATOR HUKUM

Harian Solopos, edisi Kamis, 8 Maret 2012


Oleh : Muhammad Taufiq *


Pada Kamis (1/3) lalu saya dihubungi jurnalis Radio SOLOPOS FM yang meminta pendapat saya terkait terbitnya Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.2/2012, yang intinya menyatakan terdakwa pencurian di bawah Rp 2,5 juta tidak dikenakan penahanan. Benarkah demikian? Sejatinya tidak.

Wawancara itu begitu singkat, hasilnya pasti kurang dimengerti masyarakat. Masyarakat menafsirkan segala bentuk pencurian, asalkan nilainya di bawah Rp 2,5 juta, akan memperoleh pengampunan alias tidak ditahan. Tulisan ini bermaksud menjelaskan untuk lebih memahami latar belakang lahirnya Perma tersebut.

Hukum yang berlaku di Indonesia manakala dilihat dari sejarah perkembangannya sejak abad XVII dipengaruhi hukum modern yang berpaham civil law yang dikembangkan oleh kolonial Belanda. Sistem hukum tersebut mempengaruhi dengan cara mereduksi hukum yang sudah ada sebelumnya yang waktu itu dikenal dengan sistem hukum yang hidup dalam masyarakat.

Menggunakan istilah Prof Satjipto Raharjo, sistem hukum itu merupakan bentuk khas dari kehidupan sosial di situ (a piculair form of social life). Pada waktu itu, sistem hukum yang merupakan bentuk khas kehidupan masyarakat sebelum abad XVII dikenal dengan sebutan hukum agama (Islam, Hindu) dan hukum adat, yang oleh Daniel S.Lev diartikan sebagai hukum lokal.

Dalam umur Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang sudah tiga puluh tahun ini, terungkap berbagai kelemahan dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana (criminal justice system) di Indonesia. KUHAP yang secara normatif merupakan pijakan hukum pelaksanaan sistem peradilan pidana tidak dapat lagi dianggap sebagai karya agung Bangsa Indonesia.

Kelemahan itu di antaranya ketidakseimbangan hak antara hak-hak tersangka/terdakwa dengan hak-hak korban. Ini sering memicu munculnya disparitas dalam penetapan putusan pidana. Hal inilah yang melatarbelakangi lahirnya Perma di atas. Kenyataan lain yang harus dihadapi KUHAP bahwa komponen yang bekerja di dalam sistem peradilan pidana di negara hukum ini adalah institusi negara yang telah tercoreng kewibawaannya.

Insitusi kepolisian, kejaksaan sampai kehakiman, terlibat dalam praktik penyalahgunaan kekuasaan maupun berbagai jenis tindak pidana. Dalam bahasa saya, mereka yang sesungguhnya penegak hukum telah berubah menjadi predator hukum akibat kegagalan mereka menjaga kewibawaan hukum. Akhirnya perkara sampah atau remeh seperti pencurian sepasang sandal (di Makassar), pencurian tiga biji kakao (di Purwokerto), pencurian sebuah semangka (di Kediri) justru sampai ke persidangan, sementara kasus kakap seperti korupsi di daerah banyak yang lolos dan skandal Bank Century atau bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) justru tidak terendus.

Mahal

Wajah lain dari hukum dan proses hukum formal yang terdapat dalam KUHAP adalah terdapatnya fakta bahwa keadilan formal di Indonesia, ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, tidak menyelesaikan masalah dan yang lebih parah lagi penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Salah satu dari berbagai masalah yang menjadikan bentuk keadilan ini terlihat problematik adalah mengingat terdapat dan dilakukannya satu proses yang sama bagi semua jenis masalah (one for all mechanism). Inilah yang mengakibatkan mulai berpalingnya banyak pihak guna mencari alternatif penyelesaian atas masalah hukum yang timbul.

Berkaca dari contoh kasus di atas menurut saya, teori restorative justice sesungguhnya dapat dijadikan landasan dalam penyelesaian perkara pidana seperti ini. Restorative Justice merupakan salah satu model alternative dispute resolution yang lebih ditujukan pada kejahatan terhadap sesama individu/anggota masyarakat daripada kejahatan terhadap negara. Restorative Justice menekankan pendekatan yang seimbang antara kepentingan pelaku, korban dan masyarakat dimana terdapat tanggungjawab bersama antarpihak dalam membangun kembali sistem sosial di masyarakat.

Banyak contoh menunjukkan ketidakmampuan negara untuk mengambil langkah-langkah hukum yang tepat terhadap mereka yang melakukan kesalahan jika hanya bertumpu pada hukum formal. Hukum materiil kita (KUHP) diberlakukan sejak 1856 di zaman pemerintahan kolonial Belanda. Saat itu kerugian di bawah Rp.25 dianggap sebagai tindak pidana ringan. Seiring perkembangan zaman, pada 1960 diubah menjadi maksimal Rp.250. Sekarang setelah lebih dari 50 tahun diubah lagi nilainya menjadi Rp.2,5 juta.

Jadi Perma No.2/2012 di atas sejatinya hanya perubahan nilai nominal dari pencurian sebagaimana yang diatur pada Pasal 364 KUHP, yakni kejahatan yang masuk kategori tindak pidana ringan. Proses persidangan pelanggar pasal ini cukup sehari dan tidak perlu dikenakan penahanan.

Bagaimana dengan bentuk kejahatan lain seperti penodongan, penjambretan, mengutil di swalayan dengan nilai barang kurang dari Rp.2,5 juta? Untuk bentuk kejahatan seperti itu, pelaku tetap ditangkap dan ditahan, bahkan bisa lebih berat jika dia seorang residivis atau kejahatan itu dilakukan saat musibah seperti kebakaran, banjir, gempa bumi dan bencana lainnya.


*Muhammad Taufiq, S.H., M.H., Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar