Harian Joglosemar edisi Kamis, 29/12/2011 06:00 WIB - Agni Vidya P
Di pengujung tahun 2011 ini, masih banyak bermunculan isu-isu seputar penegakan hukum yang masih perlu mendapat perhatian. Kasus-kasus besar masih banyak yang belum terselesaikan, sementara kasus yang menimpa rakyat kecil terus bergulir.
Tidak adanya keadilan, membuat masyarakat berpandangan bahwa hukum selalu sarat dengan kepentingan. Karenanya sangat penting adanya transparansi atau keterbukaan dalam pengadilan, termasuk di Kota Solo dan sekitarnya.
“Belum adanya keterbukaan tersebut, selama ini telah membuat masyarakat, jika terpaksa harus berurusan dengan hukum dan pengadilan seolah-olah menjadi gelap. Tidak tahu apa dan bagaimana yang harus dilakukan,” tutur Muhammad Taufik, Ketua Ikadin Solo dalam Diskusi Akhir Tahun Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Solo di kantor Joglosemar, Selasa (27/12).
Untuk mendukung keterbukaan informasi di pengadilan, pihaknya menuntut diadakannya meja informasi yang khusus membantu masyarakat yang ingin bertanya seputar pengadilan. “Harus ada meja informasi di tiap-tiap pengadilan yang bisa memberi jawaban sejelas-jelasnya pada masyarakat,” tukasnya.
Selain itu, untuk mendukung tercapainya keterbukaan, sebenarnya pemerintah pusat telah menyediakan dana ratusan miliar. Sesuai Inpres No. 10/2010 tentang pembangunan berkeadilan di mana pengadilan wajib menyediakan informasi yang seluas-luasnya bagi masyarakat pencari keadilan.
Gagasan tersebut disambut baik Sudaryono dari Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS). Ia mendukung perlunya keterbukaan dalam peradilan.
Restorasi Peradilan
Menurutnya dengan adanya keterbukaan maka masyarakat akan bisa melihat secara langsung perkembangan sebuah kasus. “Transparansi penting, sehingga masyarakat bisa mengevaluasi sejak awal mula berjalannya suatu kasus. Informasi jangan hanya diberikan pada pihak-pihak tertentu,” paparnya.
Di samping keterbukaan peradilan, perlu juga direalisasikan adanya restorative justice atau restorasi peradilan. Taufik memandang para hakim saat ini belum mengamalkan restorasi peradilan dan hanya sebatas menjaga undang-undang. Jadi jika sudah sesuai undang-undang, tidak memedulikan yang lain.
Hal tersebut membuat rakyat kecil yang terjerat kasus hukum sering tidak mendapat keadilan. Seperti dalam kasus Lanjar maupun kasus pencurian sandal polisi oleh seorang remaja. “Hampir 70 persen hakim kita dalam membuat putusan belum punya teori hukum. Mereka tidak membuat putusan dengan melihat putusan pendahulu,” sambungnya.
Hal lain yang mendapat sorotan adalah belum adanya sistem kamar dalam peradilan. Hal itu membuat banyak hakim yang menangani kasus tidak sesuai kompetensinya. “Yang terjadi sekarang hakim banyak yang mengambil kasus yang dinilai menguntungkan dirinya,” ujarnya.
Penerapan sistem kamar, diyakini akan mengurangi peluang terjadinya disparitas (perbedaan) putusan, seperti yang terjadi dalam kasus persidangan dana Purnabakti, misalnya. Hal terakhir yang perlu mendapat prioritas adalah status pihak kepolisian yang selama ini berfungsi sebagai penerjemah sekaligus pelaku undang-undang. Hal itu membuat polisi seolah menjadi hukum yang hidup, di mana yang menentukan suatu kasus masuk ke pengadilan atau tidak adalah polisi.
Sudaryono pun mengkritik peran polisi sebagai penyidik tunggal. Menurutnya, perlu ada sistem yang mampu mengontrol peran polisi sebagai penyidik. Karena selama ini jika polisi memutuskan sebuah kasus berlanjut, kasus akan terus berjalan, begitu sebaliknya.
Agni Vidya P
Tidak ada komentar:
Posting Komentar