Dimuat di Harian JOGLOSEMAR Sabtu, 05/05/2012
Sikap Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) memang membingungkan. Di satu pihak, lembaga ini ingin
menuntaskan seluruh kasus korupsi yang untuk ke sekian kalinya melibatkan
petinggi Partai Demokrat. Namun di pihak lain, KPK terkesan hati-hati saat
memeriksa Angelina Sondakh. Ini tercermin dari sikap KPK yang ingin menempatkan
Angie sebagai justice collaborator, yang dalam khasanah hukum pidana, tidak ada
istilah demikian. Di sisi lain juga melihat sikap Angie tidak terbuka saat
menjadi saksi Nazaruddin. Sikap KPK pada akhirnya akan membuat hakim menjadi
bingung.
Hal itu karena sekali terperangkap untuk percaya bahwa peraturan-peraturan yang
diumumkan adalah hal yang paling penting dalam hukum, akhirnya akan membuat
perangkap yang lebih jauh. Bahwa keseragaman dan kepastian hukum adalah
amat penting dan diperoleh melalui penyeragaman dan kepastian dalam
pengungkapan peraturan-peraturan. Maka seorang hakim mungkin terpengaruh dalam
memutuskan apa yang adil bagi pihak-pihak yang diadilinya dalam situasi yang
unik atau khusus. Dengan mempertimbangkan kemungkinan itu, hampir tidak
terbayangkan pengaruh buruk dari pendapat di atas dalam kasus Angie yang
mungkin tidak seperti pada kasus-kasus yang kemudian tidak dibawa ke
pengadilan, karena kapasitasnya sebagai informan. Namun pada kasus Susno Duadji
dan Agus Condro, meski keduanya wisthle blower, tetap diperlakukan sama. Hakim
menolak untuk memberikan “keadilan” yang berbeda pada kasus yang diadilinya
karena khawatir terhadap kasus-kasus yang berat atau sulit melahirkan hukum
yang buruk. Lalu timbullah apa yang lebih tepat disebut sebagai “ketidakadilan
berdasarkan hukum”. Keadilan seperti ini sangat tragis, karena didasarkan pada
harapan yang sia-sia; suatu harapan untuk mengendalikan masa depan, padahal
hakiki dari masa depan itu tidak pernah datang. Hakim dalam keadaan yang
terbaik adalah seorang yang dapat dipercaya, yang bekerja keras memberikan
keadilan melalui kebijaksanaannya dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang
khusus dari suatu kasus. Dia tidak semata-mata mencari atau menciptakan
peraturan-peraturan umum yang diterapkannya pada fakta-fakta yang diberikan
padanya. Dia melakukan “keadilan” sebagaimana Aristoteles menjelaskan mengenai
hal ini.
Menurut pandangan ini, persyaratan formal dari rule of law atau norma hukum
adalah berlebihan dan bersifat merusak. Bilamana keadilan dalam perkara
tertentu sejalan dengan ajaran rule of law adalah berlebihan. Bilamana
“keadilan” dalam perkara tertentu dan rule of law bertentangan, maka rule of
law pada tingkat tertentu bersifat merusak yaitu mengurangi pencapaian
keadilan.
Di lain pihak kita dapati ada sosok sarjana hukum seperti Robert Bork yang
lebih menyetujui norma hukum atau rule of law dari pada keadilan, karena ”Tidak
ada suatu cara yang mendasar atau prinsip untuk memutuskan, bahwa kepuasan
seseorang lebih pantas untuk mendapatkan penghargaan dari pada yang lain atau
suatu bentuk kepuasan lebih berharga dari pada yang lain.”
Tidak ada cara untuk memutuskan persoalan-persoalan ini selain menunjuk kepada
berbagai sistem moral atau nilai-nilai etika yang tidak memiliki objektivitas
atau keabsahan hakiki padanya, tentang mana orang yang dapat dihukum dan tidak
dapat dihukum. Persoalan moral masyarakat dan nilai-nilai etika, persoalan
tingkat penderitaan yang disebabkan suatu tindakan, adalah persoalan-persoalan
yang ada di dalam etika. Pengadilan tidak memiliki peranan lain selain
menerapkan undang-undang dengan cara yang adil dan tidak memihak. Padahal patut
disadari pengadilan kita tidak memiliki semua itu, khususnya etika dan
nilai-nilai menegakkan keadilan.
Tak Menarik Lagi
Pada kasus Angie, kita semua telah sama-sama tahu, bahwa KPK terlalu ragu-ragu
bahkan terkesan lamban untuk menetapkan tersangka sesudah Angie. Karena dari
awal Angie tidaklah kooperatif dan dari awal pula KPK sesungguhnya sudah bisa
menemukan identitas tentang siapa yang dimaksud “ketua besar” dalam percakapan
Angie. Soal “apel Malang” dan “apel Washington” pun sudah ada di kantung KPK.
Jika lembaga anti-korupsi yang nota bene superbodi ini serius dalam membuka
informasi siapa yang berperan dalam Wisma Atlet, tanpa memberikan predikat
justice collaborator pun bisa. Oleh karena itu, jika ia kemudian ditawari
sebagai justice collaborator, jelas ini sebuah bentuk kebingungan KPK. Karena
selain hukum acara kita tidak mengenal justice collaborator, predikat justice
collaborator seharusnya sudah diberikan atau ditawarkan kepada Angie sebelum
menjadi tersangka. Menurut hemat penulis, tawaran dari KPK kepada Angie di
tengah jalan agar menjadi justice collaborator seperti memojokkan hakim untuk
memutus ringan pada perkara Angie. Padahal sudah jelas, hukum acara di negara
ini tidak mengenal itu.
Oleh karena itu menurut hemat penulis sebaiknya KPK bergerak lewat arah yang
dibenarkan dalam hukum acara pidana kita. Artinya meski tanpa harus menjelaskan
secara transparan untuk mengungkap nama-nama ke hadapan publik. Sebab ketika
kasus dalam proses penyelidikan dan penyidikan itu wilayah penyidik KPK, baru
sesudah ditetapkan sebagai tersangka nama itu bisa diumumkan kepada publik.
Memberantas korupsi tidak perlu dengan memborbardir masyarakat dengan
istilah-istilah asing yang selain tidak relevan, juga kadang tidak dipahami
masyarakat. Karena yang diinginkan masyarakat sesungguhnya hanyalah siapa
pelaku korupsi dan bagaimana upaya KPK me-recovery hasil kejahatan korupsi
untuk dikembalikan kepada negara. Oleh karena itu mau memakai istilah justice
collaborator atau wisthle blower atau apapun istilahnya, menjadi tidak menarik
lagi. Untuk memulihkan reputasi KPK, cukuplah dengan mengumumkan bahwa korupsi
Wisma Atlet yang ditangani KPK telah berhasil menyelamatkan kerugian negara
sekian ratus miliar rupiah dan memenjarakan pelakunya tanpa peduli ia tokoh
politik atau bukan. Sekali lagi jangan pula menekan atau membuat hakim bingung
dengan predikat justice collaborator hanya demi menyenangkan KPK, seorang
pelaku tindak pidana korupsi diringankan hukumannya.
Muhammad Taufiq
Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS
Tulisan yang menarik pak.Taufik...
BalasHapusmenurut saya, kalau memakai justice collaborator mendingan ke sasaran yang lebih besar saja deh. Kalau saya jadi KPK, daripada Angie, mending saya kasih ke nazar saja justice collaborator itu. Posisinya sebagai bendum P.Demokrat menjanjikan santapan "ikan besar". :D
Namun keputusan tetap ada di KPK sih.
Keberanian KPK benar2 di uji pada kasus ini.
jangan sampai tebang pilih, atau bahkan pilih2 dulu baru tebang.
:)
Agung Pambudi
Mahasiswa FH UNS :)