Jumat, 14 September 2012
Audit Hukum Pemberantasan Teroris
Dimuat di Harian Solopos, Gagasan, edisi Rabu, 12 September 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*
Harian ini sepekan lalu, Rabu (5/9/2012), pernah menulis judul yang sangat kontroversial di halaman utama “Peneror Solo Orang Dekat Polisi “. Analisa itu sangat masuk akal, mengingat cara pemberantasan teroris selama ini tidak menyisakan bukti maupun saksi kecuali dari unsur polisi itu sendiri. Sehingga Ketua Presidium Indonesian Police Watch menyangsikan bahwa yang dibunuh atau ditembak mati di Solo adalah teroris yang sebelumnya menembaki pos-pos polisi.
Memang sungguh tidak masuk akal melihat sepak terjang polisi terutama Densus 88 yang memiliki bukan saja senjata yang canggih tetapi juga pola kerja yang tidak bisa dianut lembaga mana pun. Pasukan khusus Polri benar-benar extra ordinary kalau tidak boleh dibilang misterius. Artinya dia tidak bisa tunduk pada hukum umum seperti KUHP, KUHAP dan lain-lain.
Semua bentuk pemerintahan sesungguhnya memiliki satu sifat yang sama, yaitu kewenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang tidak demokratis terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat. Sementara di dalam sistem yang tidak demokratis, kesepakatan rakyat bukan merupakan persyaratan. Di dalam sistem yang demokratis, rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Mereka berhak mengganti sebuah pemerintahan yang dipandang sudah tidak lagi mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, melalui pilihan umum yang bebas. Di dalam konteks ini, lebih lanjut perlu dipahami bahwa sistem pemerintahan yang demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas dan kelompok mayoritas benar-benar siap untuk menghormati hak-hak minoritas. Ini merupakan salah satu dari kesepakatan-kesepakatan etis yang mutlak hadir dalam demokrasi.
Sepertinya dalam praktik ini tidak berlaku terhadap persoalan yang mengkait Islam entah dari kelompok mana pun, bercorak garis keras,lemah atau tanpa garis. Dalam bahasa dunia yang dipelopori Amerika Serikat, mereka disebut teroris. Dan itulah saat ini yang diperankan Pemerintah Indonesia lewat institusi kepolisian melalui lembaga extra ordinary yang disebut Densus 88.
Di dalam konteks pemerintahan demokrasi, prinsip-prinsip yang relevan dibicarakan adalah pemisahan kekuasaan (separation of power ), supremasi hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum (law supremasi atau the rule of law ) serta kesederajatan (equality) dan kebebasan (liberty). Dalam konteks pemisahan kekuasaan diasumsikan bahwa pemerintah pada dasarnya berkenaan dengan urusan membuat hukum, melaksanakan hukum dan memutuskan apakah hukum telah dilanggar dalam kasus–kasus tertentu. Ini yang kemudian memberi inspirasi tentang perlunya melakukan pemisahan atas kekuasaan –kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuan dari pemisahan-pemisahan itu adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan pada satu tangan, entah itu dalam artian institusi ataupun pribadi. Alhasil dengan memisahkan tiga cabang kekuasaan itu diharapkan adanya saling ketergantungan dan saling kontrol dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka (checks and balances), sehingga kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan kesewenang- wenangan dapat dihindari seperti dengan seenaknya mempersangkakan orang sebagai teroris dan tak pernah ada persidangan yang bersifat scientific justice.
Seperti yang kita lihat dan berulang baca klaim keberhasilan menumpas teroris hanya muncul sepihak, sebab para teroris ini sudah mati. Asumsi di balik penerapan prinsip ini adalah manusia (termasuk polisi dengan Densus 88) bukanlah malaikat atau makhluk suci yang tidak tunduk pada hukum umum. Pada hakikatnya siapa pun dia pasti memiliki kecenderungan untuk melanggar aturan jika duduk dalam kekuasaan. Selain itu mereka cenderung menumpuk dan menggunakan kekuasaan itu secara semena–mena. Menurut pandangan ini betapa pun baiknya seseorang sebelum duduk di dalam suatu posisi kekuasaan, sekali ia berkuasa akan terbuka kemungkinan untuk tergoda oleh hawa kekuasaan yang cenderung mengajaknya menyeleweng. Maka hebatnya pemerintah tidak bisa dijaminkan atau digaransi sekadar pada iktikad baik orang seorang, tanpa hukum bisa menyentuhnya
Cek Kosong
Kewenangan pemerintah yang baik harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan dan batasan otoritas yang selalu membatasi saling mengawasi dan saling tergantung satu sama lain. Ini yang dimaksud dengan sistem, termasuk sistem pengadilan di mana polisi merupakan salah satu bagiannya. Artinya penguasa bisa datang dan pergi namun sistem jalan terus. Hanya dengan memperkuat sistem, kelangsungan pemerintah yang bebas dari kemungkinan diselewengkan akan dapat diupayakan. Mempertaruhkan nasib pemerintahan yang juga berarti nasib rakyat kepada kekuasaan orang seorang bukan kepada sistem yang solid akan sangat riskan karena tidak akan mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan sebuah pemerintahan.
Selaras dengan ide pemisahan kekuasaan, demokrasi juga menjadikan hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintah, hukum sebagai panglimanya . Dalam pengertian ini pemerintah bukan saja harus menjadikan dirinya sebagi hukum yang berbicara tetapi juga menjamin dan memelihara independensi lembaga-lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya termasuk lembaga kepolisian dengan tim Densus 88 harus bersedia diaudit segala pendanaanya. Pada akhirnya tidak ada seorang pun dapat ditahan untuk diperiksa oleh polisi kecuali ia dicurigai telah melanggar hukum dan tidak seorang pun dapat dipenjarakan kecuali ia telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Dengan demikian kesewenang-wenangan Densus 88 sebagai “pemain tunggal” pemberantasan teroris harus diakhiri. Dengan sendirinya pemerintah juga tidak dapat mengambil hak milik orang seorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar. Ringkasnya setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku. Prinsip tentang hak-hak dasar negara ini sudah berlaku di Inggris sejak tahun 1215 sebagaimana termuat di dalam Magna Charta. Itulah sebabnya maka negara demokrasi selalu diidentikan dengan negara berasas hukum.
Adab Berdemokrasi
Tentang kesederajatan dan kebebasan batas-batas penerapan atas dua nilai dasar demokrasi senantiasa menjadi topik perdebatan. Secara teoretik, kesederajatan diartikan sebagai kesamaan hak dari setiap pribadi untuk menikmati kehidupan dan mengejar kebahagiaan. Ini berkenaan dengan kesederajatan hukum (legal equality), yaitu jaminan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara di hadapan hukum, kesederajatan politik (political equality), yaitu kesamaan hak dari setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, dan kesederajatan ekonomi (economic equality) yaitu kesamaan hak bagi setiap warga negara untuk bergiat di bidang ekonomi dan memperoleh pelayanan dari negara di dalam memajukan kehidupan ekonominya. Untuk yang terakhir ini banyak penganjur demokrasi berpendapat keberhasilan demokratisasi juga harus diukur dari sejauh mana sistem ekonomi yang berlaku mampu menjembatani kesenjangan tingkat kesejahteraan antara warga negara yang kaya dan yang miskin.
Ini menjelaskan mengapa pemerintah di negara-negara yang menganut paham demokratis cenderung menerapkan kebijakan perpajakan yang secara progresif membebani para orang kaya dan pada saat yang sama meluncurkan program-program bantuan meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin. Semakin berkurangnya jumlah yang miskin, dan semakin sempitnya jarak antara mereka yang kaya dan yang miskin dalam masyarakat, merupakan salah satu ukuran penting dari keberhasilan pemerintahan. Pada akhirnya seberapa pun hebatnya teroris diberantas jika tidak ada audit hukum tentang aktivitas penegak hukum sama artinya memberantas teroris dengan cara teroris. Model itulah sekarang yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia dengan Densus 88. Membunuh dan menghabisi teroris, baru kemudian dilakukan tes DNA. Selama ini kita dibohongi dengan kehebatan Densus 88 tanpa pernah ada pembuktian apakah yang dibunuh benar-benar seorang teroris.
*Muhammad Taufiq,
Dosen Pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar