Dimuat di Harian Solopos, Gagasan,
edisi Rabu 15 Agustus 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*
Saya sengaja
membuat judul jenaka dengan mengutip film yang dibintangi Deddy Mizwar, pemain
teater yang sukses di layar lebar, untuk menggambarkan hubungan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
belakangan ini.
Semakin luasnya
pekerjaan polisi era kini, mengurusi perkelahian dalam pertandingan sepak bola
hingga perselingkuhan artis, memang memerlukan diskresi bagi polisi. Memang
tidak bisa membebankan segala urusan hukum kepada polisi.
Dalam kondisi
ini perlu pengawasan akuntabilitas kepolisian yang efektif. Jumlah pelanggaran
administrasi di kepolisian jauh lebih kecil dibanding perilaku polisi yang
salah atau buruk.
Sebagai contoh,
larangan Markas Besar Kepolisian untuk menerima pemberian gratis dalam
bentuk apa pun termasuk parsel. Secara de facto masyarakat menoleransi
ini dan menjadi budaya. Polisi dihadapkan pada situasi di mana penerimaan
hadiah berupa apa pun termasuk uang sama sekali tidak berhubungan dengan
etika profesi atau integritas pribadi.
Mayoritas dari
mereka secara subjektif mendefinisikan perbuatan itu bukan bagian dari perilaku
buruk. Kalangan akademisi dan pers sering kali menyebutnya sebagai perilaku
menyimpang yang terorganisasi.
Faktanya,
penyebab utama contoh atau perilaku buruk atau tidak baik ini hampir semuanya
bermula dari manajemen kontrol yang tidak memadai. Pada gilirannya menyebabkan
sistem pengawasan yang dibangun rusak.
Cara yang
lumayan ampuh untuk mengurangi perilaku buruk polisi adalah akuntabilitas
publik dan transparansi organisasi polisi, termasuk mengaudit sumber-sumber
keuangan polisi serta mengumumkan secara terbuka kekayaan pejabat kepolisian
segala tingkatan sebelum dan sesudah menjabat.
Selain itu, mewajibkan
pelaporan secara berkala kekayaan polisi. Dan yang paling penting kejahatan,
khususnya korupsi yang dituduhkan pada setiap polisi harus diperiksa oleh tim
yang independen, dalam hal ini KPK.
Dengan argumen
apa pun memang KPK yang lebih pantas menangani korupsi proyek pengadaan
simulator kemudi sepeda motor dan mobil. KPK memang lembaga super body yang khusus untuk mempercepat
pemberantasan korupsi.
Dicinta dan Dibenci
Revolusi
penegakan hukum di Indonesia terkait dengan evolusi hak individu, juga gerakan internal
dan eksternal untuk profesionalisme polisi. Karakteristik polisi di Indonesia
berbeda dengan negara lain. Kamus Webster
mendefinisikan akuntabilitas sebagai keharusan melaporkan, menjelaskan atau
menjustifikasi tindakan.
Jamak diketahui
sepanjang sejarah kepolisian di dunia ini kecuali di negara Amerika Serikat
(AS), polisi selalu bertanggungjawab kepada kepala negara, baik pemimpin itu
seorang raja (Hammurabi); monarki (Raja John dari Inggris ); atau seorang
diktator (Napoleon, Stalin, Hitler).
Di AS yang dikenal sebagai negara demokrasi
maju, polisi bertanggung jawab kepada politisi, hakim dan para pembuat hukum,
dan tidak selalu berurusan dengan hak-hak individu. Gagasan bahwa polisi harus
bertanggung jawab kepada warga yang mereka layani belum lahir dalam sejarah
hingga tahun 1980-an dan 1990-an di AS, akuntabilitas polisi untuk
melindungi hak berkonstitusi yang berlatar belakang konsep hukum alam dan
hak-hak dasar atau alamiah.
Awalnya
dikembangkan oleh Hugo Grotius (Belanda, abad ke-16) dan John Locke (Inggris,
abad ke-17) selanjutnya ditanamkan ke dalam Deklarasi
Kemerdekaan Amerika Serikat dan konstitusi AS. Perubahan ini memberikan hak
luas pada warga negara untuk mengendalikan polisi dan pengadilan seperti habeas
corpus, hak untuk tidak memberikan keterangan dan hak untuk selalu
didampingi pengacara (diatur dalam KUHAP).
Di Indonesia,
momentum polisi mereformasi diri baru terjadi secara masif pada akhir 1990-an.
Kekacauan pada 1998 setelah Soeharto turun memaksa polisi berinteraksi dengan
warga masyarakat. Saat itu polisi secara nyata gagal menciptakan ketertiban
umum dan melindungi harta pribadi warga negara.
Setahun sesudah
reformasi, terhitung sejak 1 April 1999, Kepolisian Republik Indonesia (Polri)
resmi keluar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI (kini Tentara
Nasional Indonesia/TNI). Kendali pengamanan kepolisian mulai muncul dalam
bentuk keterlibatan masyarakat yang tidak hanya membantu pengamanan tetapi juga
mengawasi polisi.
Dalam kenyataan
sehari-hari polisi masih dipandang masyarakat sebagai diktator dan penjaga status quo hukum bagi mereka yang
kaya. Banyak teori modern mengemuka bahwa polisi tidak memiliki akuntabilitas
hingga era 1990-an. Dan uniknya, tingkat akuntabiltas polisi diukur atau
dinilai oleh internal kepolisian
sendiri berdasarkan tindakan setiap polisi secara individual.
Penilaian itu
sama sekali tidak menyentuh penurunan kejahatan dan hal-hal lain akibat
tindakan polisi; peraturan, kebijakan dan prosedur yang menyinggung tindakan polisi
secara individual, seperti kebutuhan untuk penyelesaian kasus secara cepat;
kebutuhan akan pekerjaan sekunder; dan penjatuhan hukuman jika petugas terlibat
dalam kecelakaan lalu lintas saat mabuk atau jika dia positif menggunakan
obat-obatan terlarang, serta ketika petugas melawan atasannya.
Kini yang
dibutuhkan adalah penggunaan sumber daya yang efisien; pengembangan strategi
komprehensif untuk memastikan keamanan umum dan lingkungan bebas kejahatan; dan
yang paling penting, melindungi hak-hak dan kebebasan individu. Ini hanya bisa
dipenuhi oleh mereka yang benar-benar kompeten secara teknis.
Namun demikian,
sasaran ini layak diperjuangkan karena sejarah dengan jelas memperlihatkan
bahwa kualitas demokrasi bergantung pada akuntabilitas polisi. Dalam posisi
demikian, penangkapan petinggi polisi dalam kasus korupsi simulator kemudi oleh
KPK sesungguhnya anugerah untuk mengembalikan fungsi utama polisi yakni
menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum.
Meski sejak 1
April 1999 Polri telah mandiri secara organisasi namun polisi belum
mencapai fungsi ideal, yakni melakukan fungsi utama menegakkan hukum dan
memelihara atau menjaga ketertiban umum. Kapolri harus dijabat oleh orang yang
mampu mengarahkan tujuan kemandirian itu agar Polri bukan sebagai institusi
yang tertutup, berjalan dan bekerja sendiri.
Petinggi Kepolisian
harus mampu mengembalikan fungsi polisi menjadi bagian dari kebutuhan
masyarakat sebagaimana peran polisi pada awal kemerdekaan. Kepolisian niscaya
merupakan suatu pekerjaan yang menyimpan lingkup masalah yang sangat kaya dan
karena itu sama sekali tidak bisa diabaikan oleh dunia ilmu pengetahuan.
Pekerjaan
polisi penuh dengan hal-hal yang saling bertentangan, salah satu di antaranya
adalah tugas melayani dan mengayomi namun
di sisi lain polisi juga harus mampu mendisiplinkan
masyarakat. Sebuah perpaduan tugas yang sungguh tidak mudah. Dalam
posisi ini pada suatu saat polisi merupakan tokoh yang dirindu dan dipuja
masyarakat namun pada saat yang bersamaan ia juga merupakan tokoh yang tidak
disukai bahkan dibenci masyarakat yang sama.
Oleh karena itu,
hampir dari segi manapun studi tentang polisi itu tetap sebuah ilmu yang
menarik. Demikian pula dengan beragam masalahnya. Wajar jika tuntutan reformasi
di lingkungan penegak hukum termasuk polisi tetap menjadi isu yang menarik.
Dalam posisi ini mengingat sifat dan karakteristik tugas polisi, reformasi
bidang hukum harus membicarakan polisi.
Tampak jelas,
jika ingin melakukan reformasi dalam bidang hukum, yang pertama sekali dibenahi
adalah polisi, terutama akuntabilitas polisi dalam setiap penanganan kasus.
Lembaga penahanan yang selama ini menjadi senjata polisi haruslah direvisi.
Harus ada lembaga yang mengawasi kewenangan penahanan yang dimiliki polisi. Dan
yang terpenting rumah tahanan (rutan) polisi dan rutan khusus (Rutan Brimob)
yang selama ini menjadi surga bagi pesakitan harus dievaluasi kembali.
Rutan Brimob
yang boleh menampung tahanan di luar anggota kepolisian adalah buah kompromi di
zaman Menteri Hukum dan HAM dijabat Hamid Awaludin. Tujuannya agar polisi yang
ditahan tidak merasa didiskriminasi ketika bercampur dengan tahanan nonpolisi
di rutan umum.
Karena ekslusivitas
ini akhirnya hampir semua koruptor papan atas yang bukan polisi minta ditahan
di situ (Urip Tri Gunawan, Irawady Yoenoes, Aulia Pohan) hotel prodeo yang aman dan nyaman dan
sulit dipantau masyarakat.
*Muhammad Taufiq
Advokat, Ketua Ikadin Kota
Surakarta, Kandidat Doktor Ilmu Hukum FH-UNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar