WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 28 Agustus 2012

Kejarlah Simulator, Polisi Kutangkap



Dimuat di Harian Solopos, Gagasan, edisi Rabu 15 Agustus 2012
Oleh  : Muhammad Taufiq*

Saya sengaja membuat judul jenaka dengan mengutip film yang dibintangi Deddy Mizwar, pemain teater yang sukses di layar lebar, untuk menggambarkan hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belakangan ini.
Semakin luasnya pekerjaan polisi era kini, mengurusi perkelahian dalam pertandingan sepak bola hingga perselingkuhan artis, memang memerlukan diskresi bagi polisi. Memang tidak bisa membebankan segala urusan hukum kepada polisi.
Dalam kondisi ini perlu pengawasan akuntabilitas kepolisian yang efektif. Jumlah pelanggaran administrasi di kepolisian jauh lebih kecil dibanding perilaku polisi yang salah atau buruk.
Sebagai contoh, larangan Markas Besar Kepolisian untuk menerima pemberian gratis dalam bentuk apa pun termasuk parsel. Secara de facto masyarakat menoleransi ini dan menjadi budaya. Polisi dihadapkan pada situasi di mana penerimaan hadiah berupa apa pun termasuk uang sama sekali tidak berhubungan dengan etika profesi atau integritas pribadi.
Mayoritas dari mereka secara subjektif mendefinisikan perbuatan itu bukan bagian dari perilaku buruk. Kalangan akademisi dan pers sering kali menyebutnya sebagai perilaku menyimpang yang terorganisasi.
Faktanya, penyebab utama contoh atau perilaku buruk atau tidak baik ini hampir semuanya bermula dari manajemen kontrol yang tidak memadai. Pada gilirannya menyebabkan sistem pengawasan yang dibangun rusak.
Cara yang lumayan ampuh untuk mengurangi perilaku buruk polisi adalah akuntabilitas publik dan transparansi organisasi polisi, termasuk mengaudit sumber-sumber keuangan polisi serta mengumumkan secara terbuka kekayaan pejabat kepolisian segala tingkatan sebelum dan sesudah menjabat.
Selain itu, mewajibkan pelaporan secara berkala kekayaan polisi. Dan yang paling penting kejahatan, khususnya korupsi yang dituduhkan pada setiap polisi harus diperiksa oleh tim yang independen, dalam hal ini KPK.
Dengan argumen apa pun memang KPK yang lebih pantas menangani korupsi proyek pengadaan simulator kemudi sepeda motor dan mobil. KPK memang lembaga super body yang khusus untuk mempercepat pemberantasan korupsi.

Dicinta dan Dibenci
Revolusi penegakan hukum di Indonesia terkait dengan evolusi hak individu, juga gerakan internal dan eksternal untuk profesionalisme polisi. Karakteristik polisi di Indonesia berbeda dengan negara lain. Kamus Webster mendefinisikan akuntabilitas sebagai keharusan melaporkan, menjelaskan atau menjustifikasi tindakan.
Jamak diketahui sepanjang sejarah kepolisian di dunia ini kecuali di negara Amerika Serikat (AS), polisi selalu bertanggungjawab kepada kepala negara, baik pemimpin itu seorang raja (Hammurabi); monarki (Raja John dari Inggris ); atau seorang diktator (Napoleon, Stalin, Hitler).
Di AS yang dikenal sebagai negara demokrasi maju, polisi bertanggung jawab kepada politisi, hakim dan para pembuat hukum, dan tidak selalu berurusan dengan hak-hak individu. Gagasan bahwa polisi harus bertanggung jawab kepada warga yang mereka layani belum lahir dalam sejarah hingga tahun 1980-an dan 1990-an di AS, akuntabilitas  polisi untuk melindungi hak berkonstitusi yang berlatar belakang konsep hukum alam dan hak-hak dasar atau alamiah.
Awalnya dikembangkan oleh Hugo Grotius (Belanda, abad ke-16) dan John Locke (Inggris, abad ke-17) selanjutnya ditanamkan ke dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan konstitusi AS. Perubahan ini memberikan hak luas pada warga negara untuk mengendalikan polisi dan pengadilan seperti habeas corpus, hak untuk tidak memberikan keterangan dan hak untuk selalu didampingi pengacara (diatur dalam KUHAP).
Di Indonesia, momentum polisi mereformasi diri baru terjadi secara masif pada akhir 1990-an. Kekacauan pada 1998 setelah Soeharto turun memaksa polisi berinteraksi dengan warga masyarakat. Saat itu polisi secara nyata gagal menciptakan ketertiban umum dan melindungi harta pribadi warga negara.
Setahun sesudah reformasi, terhitung sejak 1 April 1999, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) resmi keluar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI (kini Tentara Nasional Indonesia/TNI). Kendali pengamanan kepolisian mulai muncul dalam bentuk keterlibatan masyarakat yang tidak hanya membantu pengamanan tetapi juga mengawasi polisi.
Dalam kenyataan sehari-hari polisi masih dipandang masyarakat sebagai diktator dan penjaga status quo hukum bagi mereka yang kaya. Banyak teori modern mengemuka bahwa polisi tidak memiliki akuntabilitas hingga era 1990-an. Dan uniknya, tingkat akuntabiltas polisi diukur atau dinilai oleh internal kepolisian sendiri berdasarkan tindakan setiap polisi secara individual.
Penilaian itu sama sekali tidak menyentuh penurunan kejahatan dan hal-hal lain akibat tindakan polisi; peraturan, kebijakan dan prosedur yang menyinggung tindakan polisi secara individual, seperti kebutuhan untuk penyelesaian kasus secara cepat; kebutuhan akan pekerjaan sekunder; dan penjatuhan hukuman jika petugas terlibat dalam kecelakaan lalu lintas saat mabuk atau jika dia positif menggunakan obat-obatan terlarang, serta ketika petugas melawan atasannya.
Kini yang dibutuhkan adalah penggunaan sumber daya yang efisien; pengembangan strategi komprehensif untuk memastikan keamanan umum dan lingkungan bebas kejahatan; dan yang paling penting, melindungi hak-hak dan kebebasan individu. Ini hanya bisa dipenuhi oleh mereka yang benar-benar kompeten secara teknis.
Namun demikian, sasaran ini layak diperjuangkan karena sejarah dengan jelas memperlihatkan bahwa kualitas demokrasi bergantung pada akuntabilitas polisi. Dalam posisi demikian, penangkapan petinggi polisi dalam kasus korupsi simulator kemudi oleh KPK sesungguhnya anugerah untuk mengembalikan fungsi utama polisi yakni menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum.
Meski sejak 1 April 1999 Polri telah mandiri secara organisasi  namun polisi belum mencapai fungsi ideal, yakni melakukan fungsi utama menegakkan hukum dan memelihara atau menjaga ketertiban umum. Kapolri harus dijabat oleh orang yang mampu mengarahkan tujuan kemandirian itu agar Polri bukan sebagai institusi yang tertutup, berjalan dan bekerja sendiri.
Petinggi Kepolisian harus mampu mengembalikan fungsi polisi menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat sebagaimana peran polisi pada awal kemerdekaan. Kepolisian niscaya merupakan suatu pekerjaan yang menyimpan lingkup masalah yang sangat kaya dan karena itu sama sekali tidak bisa diabaikan oleh dunia ilmu pengetahuan.
Pekerjaan polisi penuh dengan hal-hal yang saling bertentangan, salah satu di antaranya adalah tugas melayani dan mengayomi namun di sisi lain polisi juga harus mampu mendisiplinkan masyarakat. Sebuah perpaduan tugas yang sungguh tidak mudah. Dalam posisi ini pada suatu saat polisi merupakan tokoh yang dirindu dan dipuja masyarakat namun pada saat yang bersamaan ia juga merupakan tokoh yang tidak disukai bahkan dibenci masyarakat yang sama.
Oleh karena itu, hampir dari segi manapun studi tentang polisi itu tetap sebuah ilmu yang menarik. Demikian pula dengan beragam masalahnya. Wajar jika tuntutan reformasi di lingkungan penegak hukum termasuk polisi tetap menjadi isu yang menarik. Dalam posisi ini mengingat sifat dan karakteristik tugas polisi, reformasi bidang hukum harus membicarakan polisi.
Tampak jelas, jika ingin melakukan reformasi dalam bidang hukum, yang pertama sekali dibenahi adalah polisi, terutama akuntabilitas polisi dalam setiap penanganan kasus. Lembaga penahanan yang selama ini menjadi senjata polisi haruslah direvisi. Harus ada lembaga yang mengawasi kewenangan penahanan yang dimiliki polisi. Dan yang terpenting rumah tahanan (rutan) polisi dan rutan khusus (Rutan Brimob) yang selama ini menjadi surga bagi pesakitan harus dievaluasi kembali.
Rutan Brimob yang boleh menampung tahanan di luar anggota kepolisian adalah buah kompromi di zaman Menteri Hukum dan HAM dijabat Hamid Awaludin. Tujuannya agar polisi yang ditahan tidak merasa didiskriminasi ketika bercampur dengan tahanan nonpolisi di rutan umum.
Karena ekslusivitas ini akhirnya hampir semua koruptor papan atas yang bukan polisi minta ditahan di situ (Urip Tri Gunawan, Irawady Yoenoes, Aulia Pohan) hotel prodeo yang aman dan nyaman dan sulit dipantau masyarakat.

*Muhammad Taufiq
Advokat, Ketua Ikadin Kota Surakarta, Kandidat Doktor Ilmu Hukum FH-UNS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar