WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 19 Februari 2013

Beda antara Lanjar,Afriyani dan Rasyid

Dimuat di Harian Joglosemar edisi Rabu, 6 Februari 2013
 
Oleh  : Muhammad Taufiq*
 
Sejumlah media menulis dengan tulisan besar Jaksa Janji Tak Istimewakan Rasyid. Seperti diketahui Muhammad Rasyid Amrullah Hatta Rajasa( 22) secara malu-malu ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya setelah mobil mewah yang dikendarainya jip BMW X5,Nomor polisi B-272-HR menghajar angkot Luxio dari belakang di jalan tol Jagorawi. Dalam kecelakaan itu dua penumpang Luxio tewas di tempat. Rasyid adalah putra bungsu Menko Perekonomian yang juga Ketua PAN Hatta Rajasa sekaligus juga besan Presiden SBY. Kejaksaan Agung tidak akan memberikan perlakuan khusus atau istimewa terhadap Rasyid,artinya ia akan diperlakukan sebagaimana seorang terdakwa atau pesakitan yang lain dalam kasus laka lantas. Sebagai praktisi hukum yang pernah menangani kasus kecelakaan serupa,tentu dalam benak penulis muncul pertanyaan untuk menguji ucapan  juru bicara Kejaksaan Agung,benarkah Rasyid diperlakukan sama dengan warna negara biasa lainnya ? . Dalam hal membuat argument kita tidak pernah meragukan kemampuan aparat hukum kita untuk  beralasan. Sepintas apa yang diucapkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan  diperbuat penyidik Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum Republik Indonesia sangat logis dan masuk pertimbangan hukum yang dibenarkan  oleh KUHAP,tentang kenapa Rasyid tidak pernah mencicipi sel tahanan. Yakni disebabkan oleh 3 hal : tidak melarikan diri,tidak menghilangkan barang bukti ,serta ada jaminan dari pihak keluarga.
      Jika dicermati dari awal Rasyid memang mendapatkan sangat banyak perlakuan istimewa,pertama dirahasiakannya Rumah Sakit tempat ia dirawat,kedua mobil Rasyid tak pernah dipublikasi ke luar,ketiga kasus yang jadi sorotan luas itu polisi tidak pernah melakukan rekonstruksi,keempat  dalam setiap tingkat penyidikan Rasyid tidak pernah ditahan , kelima berkas Rasyid dikebut kurang dari 20 hari  sudah dinyatakan lengkap untuk dibawa ke persidangan. Dari fakta-fakta obyektif yang diungkap penulis jelas bahwa ucapan juru bicara Kejaksaan Agung dengan proses penanganan Rasyid dua hal yang saling bertolak belakang. Karena dengan lima perbedaan perlakuan tadi jelas Rasyid adalah warga negara yang teramat istimewa. Dalam kasus lain seperti Lanjar Sriyanto yang pernah diadili di Pengadilan Negeri Karanganyar pada tahun 2010  ia sempat merasakan tahanan kepolisian,kejaksaan dan pengadilan. Pada saat itu ia didakwa telah lalai dalam mengemudikan kendaraan sehingga menyebabkan isterinya meninggal dunia,meski semua orang tahu isteri Lanjar meninggal karena ditabrak mobil Phanter milik anggota Kepolisian Ngawi. Namun hukum tidak pernah berpihak pada orang kecil seperti Lanjar dan mungkin banyak Lanjar lain tidak pernah memperoleh keistimewaan sebagaimana yang diterima Rasyid Amrullah Rajasa. Sistem Peradilan Pidana kita memang memberikan kekuasaan yang sangat kuat sedemikian rupa kepada penegak hukum untuk memberikan penafsiran tentang kapan hukum itu diberlakukan. Dalam kondisi tertentu polisi dan jaksa selain berfungsi sebagai penyidik dan penuntut umum mereka kerap dengan leluasa menjalankan tugas sebagai hakim,yakni menentukan hukum tersendiri tentang siapa yang layak ditahan dan siapa yang layak tidak ditahan. Jika hanya 3 alasan normative seperti,tidak melarikan diri,tidak menghilangkan barang bukti dan ada jaminan dari keluarga seperti yang diungkap Jubir Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto,tentunya bukan hanya Rasyid yang boleh menghirup udara bebas. Sebab syarat itu sangat mudah dipenuhi oleh siapapun. Dalam kasus Rasyid jelas tidak berlaku one mechanism for all ( semua orang diberlakukan sama) .Disparitas (perbedaan) perlakuan dalam hukum pidana  kita menjadi-jadi karena disokong oleh pemikiran yang dianut mayoritas sarjana hukum kita yang berpaham positifistik,artinya hukum itu dianggap telah ditegakkan jika serangkaian proses administrasi hukum sudah dijalankan,artinya ada orang diperiksa polisi, berkas diteliti jaksa dan kemudian diadili hakim. Para jurist itu tidak perlu menghiraukan apakah yang mereka lakukan telah sesuai dengan hati nurani atau telah memenuhi rasa keadilan masyarakat atau tidak. Paham positifistik hanya menitikberatkan pada kewenangan pemerintah untuk membentuk lembaga hukum dan menjalankan hukum sesuai perintah undang-undang. Dalam kondisi demikian sangat wajar muncul tragedi kemanusiaan dalam bidang hukum,pencuri semangka,pencuri sandal jepit,pencuri ayam atau kotak amal masjid dihukum . Bahkan kadang dipukuli hingga babak belur sebelum dibawa ke polisi, sementara banyak koruptor tidak tersentuh hukum.
       Sebab hukum seperti kacamata kuda ,sejurus mata memandang seorang penegak hukum itulah yang disebut hukum. Ia tidak melihat perubahan di masyarakat ,cara-cara memandang dan memperlakukan hukum seperti itu sudahlah terlambat atau ketinggalan jaman. Hukum modern bukanlah kacamata kuda, hukum modern haruslah sejalan dengan perkembangan jaman,juga nilai-nilai ekonomi ,ia harus menoleh ke samping kanan dan kiri. Sebab hukum modern  bisa bersumber di luar undang-undang tertulis. Pedomannnya sederhana,yakni hati nurani dan rasa kepuasan masyarakat. Oleh karena itu penegak hukum selalu berorientasi pada keadilan yang dituntut masyarakat. Ia boleh mengesampingkan peraturan tertulis kalau apa yang ia lakukan dengan hukum tertulis justru bertentangan dengan nurani. Hukum modern itu selalu dimulai dengan semangat terciptanya 3 hal, pertama keadilan,kedua kemanfaatan ,yang ketiga barulah kepastian hukum. Dengan demikian maka politik hukum kita harus diarahkan pada terciptanya keadilan ,kemanfaatan dan baru kepastian hukum. Sebab ,jika kita berhasil menegakkan keadilan maka dengan sendirinya hukum akan tegak. Dan itulah yang dimaksudkan oleh Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian perlakuan dan peradilan terhadap Lanjar maupun Rasyid anak Rajasa adalah sama.Sayangnya itu hanya sekedar tulisan  di awal kalimat pembacaan putusan hakim dan belum tercermin dalam kualitas putusan. Dalam kasus Rasyid di mana ia dijerat pasal 10 ayat (4) dan (3) juncto (jo) pasal 283 Undang Undang No.2/ 2009, tentang Lalu Lintas  dan Angkutan jalan. Di mana penyidik berwenang menahan,namun mengingat pelaku adalah anak seorang pejabat tinggi negara ,maka ketentuan itu dikesampingkan. Alhasil one mechanism for all,yang merupakan sendi dalam pelaksanaan sistem peradilan pidana menjadi mandul atau tidak berlaku manakala yang dihadapi atau pelakunya adalah keluarga pejabat tinggi negara. Maka ketentuan tersebut seolah bisa dikesampingkan. Padahal ancaman dalam pasal 310 ayat(4) tidaklah main-main. Sebagaimana kutipan berikut ini “dalam hal kecelakaan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada ayat (3),yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,dipidana dengan pidana penjara paling lama 6( enam) tahun dan atau denda paling banyak  Rp.12.000.000,- (Dua belas juta rupiah). Meski bisa dipidana toh Rasyid hingga perkara dilimpahkan ke kejaksaan tidak pernah mencicipi fasilitas hotel prodeo. Dari sisi perlakuan dan pasal Afriyani dan Rasyid memperoleh perlakuan yang sangat berbeda. Afriyani dipenjara sejak awal penanganan kasus. Sementara untuk Rasyid sejak disidik hingga perkara dinyatakan lengkap tidak pernah semenitpun merasakan pengapnya hotel prodeo. Kala itu Afriyani dikenakan pasal 311 ayat dengan ancama maksimal 12 tahun penjara. Memang tidak mudah mengadili anak atau keluarga pejabat. Meski secara teori bahwa hukum positif kita menganut asas equality before the law, artinya seseorang dalam kondisi apapun adalah sama di depan hukum tanpa terkecuali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar