WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Jumat, 12 Juli 2013

SOEHARTO DAN AMBISI PARA JENDERAL

Dimuat di Harian Joglosemar, edisi Kamis, 11 Juli 2013
Oleh : Muhammad Taufiq *


Meski telah 5,5 tahun the smiling general itu meninggalkan kita tepatnya tanggal 27 Januari 2008, dalam usia 86 tahun. Namun "kharisma" Soeharto ternyata masih amat besar. Terbukti kesaktian mantan presiden yang berkuasa 32 tahun itu tetap mendapat perhatian publik nasional hingga hari ini. Jika dulu malu-malu memasang gambar pak Harto,sekarang terang-terangan di bak-bak truk, bahkan stiker dijual di permapatan jalan. Malahan ada rebutan antara Caleg Partai Gerindra dan Golkar untuk memasang gambar pak Harto di samping photo diri sang caleg. Ada romantisme kebangggan dengan memasang gambar pak Harto. Juga guyonan di dunia maya dan Blackberry messager. Gambar wajah Soeharto tersenyum menjadi simbol tersendiri, ini lah sebabnya Soeharto dijuluki "The Smiling General" (Jenderal yang tersenyum). Ini membuktikan pula wujud kekecewaan masyarakat terhadap pemerintahan sekarang.

Meski pada kenyatannya sampai Soeharto wafat, tidak begitu signifikan dengan nasib mayoritas rakyat Indonesia yang masih miskin. Jika berpedoman pada kriteria World Bank dengan patokan makan USD 2 per orang per hari, jumlah penduduk miskin 49,5 persen atau 108 juta orang dari 220 juta penduduk Indonesia. Jika berpedoman pada Badan Pusat Statistik (BPS) dengan patokan makan hanya Rp 170 ribu per bulan per orang, jumlah penduduk miskin lebih “kecil “ hanya 37,7 juta orang.

Namun demikian argumen apapun termasuk memaki-maki yang jelas, saat ini Indonesia masih tergolong negara miskin dan GNP per kapitanya hanya bisa disejajarkan dengan Vietnam. Fenomena yang muncul belakangan ini menunjukkan sebuah romantisme kerinduan terhadap Soeharto. Sesungguhnya rakyat miskin tidak peduli apakah Soeharto diktator atau tidak,menjabat singkat atau lama. Yang penting bagi mereka adalah kesejahteraan meningkat dengan mampu membeli kebutuhan pokok sehari-hari. Di tengah kebijakan yang serba ragu dan tanggung itu sosok Soeharto seolah hadir sebagai perbandingan. Baca saja  “Piye Lhe enak jamanku “. Ada juga gambar Soeharto mengajar di depannya duduk SBY dengan tulisan “ Bensin jamanku Rp.700,- saiki piro le ?” 

Di masa pemerintahan Soeharto pun sebenarnya pernah menaikkan harga BBM 4 kali, saat itu kenaikan terbesar di angka Rp 500,- pada tahun 1998 menjelang Soeharto lengser. Sedangkan di era SBY lebih dari Rp 2.000,- dan sangat terasa dampaknya. Inilah yang membuat masyarakat membandingkan pemerintahan Soeharto dan sekarang, sehingga muncul anggapan lebih baik hidup di zaman Soeharto.
Dengan demikian, mengapa sekarang gambar dan kisah tentang Soeharto begitu gencar dipublikasikan. Padahal semua tahu hal itu  tidak akan berpengaruh signifikan terhadap nasib rakyat miskin di Indonesia? Jelas kenangan pada  Soeharto berdampak pada konfigurasi kekuasaan elite politik nasional, apalagi menjelang pemilu dan pilpres. Meski sudah wafat  dan tidak berkuasa lagi, presiden dan para  calon presiden adalah mantan "murid-murid" Soeharto di  Era Orde Baru baik yang berasal dari kalangan TNI dan Golkar.

Sejarah menorehkan Kedua institusi kekuasaan itulah, selain birokrasi, yang menjadi pilar utama penyokong kekuasaan Orba selama 32 tahun. Tanpa keduanya yang berbaju militer dan sipil, sulit kekuasaan mampu bertahan amat lama di bumi Nusantara.

Orde Baru muncul di tengah-tengah reruntuhan bangsa pasca G 30 S/ PKI 1965. Saat itu terjadi tragedi nasional dengan pembunuhan para jenderal yang disusul terbunuhnya hampir satu juta jiwa yang mayoritas pengikut komunis. PKI dianggap bertanggung jawab dalam mengawali tragedi nasional tersebut.

Tragedi 1965 hanya bisa disamakan dengan tragedi Bosnia dan Rwanda (1990-an) serta pemusnahan rakyat Kaukasus oleh Yosef Stalin pada 1940-an.

Walau masih menjadi kontroversi dalam berbagai buku tentang Soeharto dan tragedi 1965, apakah Soeharto pahlawan ataukah justru pengkhianat, yang jelas Soeharto yang paling diuntungkan dengan tragedi nasional tersebut. Terbukti Soeharto kemudian berkuasa menggantikan Soekarno, bahkan kekuasaannya jauh lebih lama daripada Soekarno yang hanya 22 tahun.

Patut dicatat dalam sejarah  bahwa kekuasaan Soeharto tidak hanya paling lama, tetapi paling besar di Nusantara sejak zaman Kerajaan Sriwijaya, Majapahit, Demak, hingga Mataram Islam. Tak ada satu pun raja atau sultan yang besar kekuasaannya melebihi Soeharto. Karena itu, pantaslah jika Soeharto dijuluki Raja atau Kaisar Nusantara.

Kekuasaan Soeharto yang ditopang dengan ABG (ABRI, Birokrasi, dan Golkar) tersebut semakin kukuh dari waktu ke waktu. Memang, kekuasaannya pernah guncang ketika terjadi Peristiwa Malari (1974). Namun, Soeharto mampu mengonsolidasi kekuasaan setelah mundurnya Pangkopkamtib Jenderal Sumitro yang dianggap sebagai rival Soeharto setelah Jenderal Nasution berhasil disingkirkan dari panggung kekuasaan.

Sikap Soeharto terhadap Islam Di akhir tampuk kejayaannya ,setelah berkuasa lebih dari dua dasawarsa, Soeharto mulai menyadari kalau politik Orba kala itu selalu mendiskreditkan umat Islam dengan policy Islamo-fobia perlu ditinggalkan dengan berusaha merangkul kembali umat Islam.

Pada akhirnya semua faham, hal itu dilakukan Soeharto bukan dengan dorongan hati nurani, akan tetapi semata-mata untuk memperpanjang kekuasaan dengan menjadikan Islam sebagai pilar keempat penopang kekuasaannya setelah ABG.

Saat itu untuk menarik simpati umat Islam, pada 1991 Soeharto bersama Ibu Tien melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci. Meski semua tahu Soeharto juga penganut Kejawen. Tidak hanya itu, sebelumnya Soeharto memelopori pembentukan UUPA, UU Pendidikan Nasional, dan pendirian ICMI (1991) dengan B.J. Habibie sebagai tokoh utamanya.

Ada sebuah pertanyaan menarik di akhir kekuasaan Soeharto, mengapa  politik Orba bergeser ke arah Islam? Selain Soeharto ingin mendapat dukungan dari umat Islam yang mayoritas, juga karena tokoh militer dan intelijen Orba saat itu dinilai anti-Islam seperti Jenderal Ali Moertopo, Jenderal Sujono Humardhani, dan Jenderal Benny Moerdani telah tersingkir dari panggung kekuasaan.

Jika Ali Moertopo dan Sujono Humardhani lengser karena meninggal dunia, sedangkan Benny Moerdani diberhentikan Soeharto dari Panglima ABRI justru menjelang SU MPR 1988. Secara faktual, triumvirate jenderal Orba itulah yang dianggap paling bertanggung jawab terhadap proses deislamisasi umat Islam Indonesia.

Begitu hebatnya peran Ali Moertopo sebagai kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) dan orang kedua setelah Soeharto, sampai mantan PM Singapura Lee Kwan Yew pernah menjuluki Ali Moertopo sebagai the most powerful assistance of president, (Adian Husaini, 1996).

Akan tetapi ,policy Islam Soeharto tersebut dinilai berbahaya oleh Barat, terutama AS, sehingga mengerahkan CIA dan para agen bayarannya di Indonesia untuk menumbangkan Orba, persis seperti ketika CIA berperan menumbangkan Soekarno. Ini terbukti Soeharto kemudian lengser pada 21 Mei 1998 oleh demonstrasi yang dipelopori mahasiswa dan kalangan kampus.

Kala kepemimpinan Soeharto, ABRI melalui dwifungsinya benar-benar dimanfaatkan Soeharto untuk memperkukuh kekuasaan dari lini militer, sementara birokrasi dan Golkar diperdaya Soeharto dari lini sipil. Menjelang pemilihan presiden baru 2014, para jenderal kembali menunjukkan keinginannya untuk memimpin Indonesia. Memang sejak 2004 Indonesia mempunyai presiden dari kalangan TNI yaitu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Namun, sayangnya kharisma SBY tidak sekuat Soeharto. Kini Parpol mulai mengusung Capresnya masing-masing, di antara Parpol tersebut diisi oleh unsur TNI. Lihat saja Gerindra yang mengusung Prabowo Subianto, Hanura yang mengusung Wiranto dan Konvensi Demokrat yang diwarnai oleh Djoko Suyanto, Joko Santoso dan Pramono Edi. Wiranto dan Prabowo merupakan muka lama sejak 2004 dan 2009. Kegagalan mereka tak membuat ambisi berhenti sampai di situ. Namun, masih menjadi pertanyaan akankah para jenderal tersebut nantinya akan memiliki "kesaktian" sebagaimana Soeharto.Kita lihat saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar