WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 23 November 2016


"DISKUSI ILMIAH" 
Bertema Tentang 
"TINDAK PIDANA PENISTAAN AGAMA"
Yang Diselenggarakan Oleh 
"BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA"
Surakarta, 23 November 2016

Dengan Narasumber :

1. KH Muinudinillah Basri, Lc, MA, PhD (Ketua Dewan Syariah Surakarta)
2. Prof. Dr. Supanto, S.H., M.Hum. (Dekan Fakultas Hukum UNS)

3. Dr. Muhammad Taufiq, S.H. M.H. (Advokat)








Kasus Penistaan Agama Dalam Praktek Sehari-hari (Sudut Pandang Sosial Politik) disampaikan Oleh Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.

Kasus Penistaan Agama Dalam Praktek Sehari-hari

Memposisikan hukum sebagai panglima dalam konteks berbangsa dan bernegara adalah keharusan. Kendati kritik mendasar yang sering muncul, adalah mampukah hukum yang ada dapat menjamin keadilan subjektif masing-masing warganya atau semua golongan sosial yang ada. Tentu untuk menjawab kritikan tersebut tidaklah mudah. Karena persepsi publik tentang “rasa keadilan” adalah variabel subjektif. Selain itu, rasa keadilan subjektif hanya dapat diuji melalui proses hukum dalam lembaga peradilan.

Kita berharap, kehadiran Negara melalui aparatur negara (Kapolri) dalam penegakkan supremasi hukum terhadap kasus dugaan penistaan agama oleh Ahok, seharusnya mampu menjawab harapan publik untuk memberikan kepastian hukum, serta mewujudkan tertib sosial dalam tatanan berbangsa dan bernegara. Karena itu, untuk dapat mencapai keadilan hukum, maka instrumen penegakan hukum terhadap kasus Ahok sangat diperlukan melalui putusan lembaga peradilan. Hal ini juga patut disadari oleh seluruh komponen masyarakat bahwa menunggu putusan pengadilan yang seadil-adilnya tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, karena harus melalui proses panjang dari lembaga peradilan.

Ketika kita (warga negara Indonesia) bersepakat menempatkan hukum sebagai panglima, tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Maka sejatinya kita sebagai warga negara juga harus konsisten dalam mengawal proses penegakan hukum di wilayah Indonesia, tanpa melalui tekanan publik terhadap aparatur penegak hukum. Karena itu, dalam konteks penyelesaian kasus penistaan agama oleh Ahok, sejatinya kita sebagai warga negara yang terdidik seharusnya memercayakan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum melalui proses hukum. Demi tegaknya supremasi hukum yang berkeadilan, maka sepatutnya proses hukum dugaan penistaan agama oleh Ahok menjadi tugas dan tanggung jawab aparat penegak hukum melalui institusi peradilan, bukan melalui cara lain.

Pernyataan sikap Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dalam menegaskan bahwa ucapan Ahok telah menghina Alquran dan ulama. Oleh karena itu, MUI merekomendasikan aparat penegak hukum proaktif melakukan penegakan hukum secara tegas, cepat, proporsional, dan profesional dengan memerhatikan rasa keadilan masyarakat agar memiliki kepercayaan terhadap penegakan hukum. Jika Polri menunda proses pemeriksaan Ahok maka dikhawatirkan kemarahan umat Islam justru semakin memuncak dan Polri dinilai tidak netral serta memihak Ahok. Untuk itu, Polri perlu mencermati situasi ini.

Umat Islam tidak lagi sekedar melihat kasus Ahok sebagai penista agama tapi sebagai wayang dari kepentingan lebih besar yang harus dilawan. Dan saat itulah perlawanan ketemu momentumnya. Keponggahan Ahok, dan korporasi dibaliknya akan mengubah persepsi umat Islam yang tercederainya rasa keadilan plus tirani minoritas di berbagai sektor kehidupan sosial, ekonomi, politik, hukum, sudah saatnya diruntuhkan. Jika Ahok lolos itulah simbol dari tirani minoritas, yang tidak bisa dihentikan kecuali dengan goncangan dahsyat dengan segala implikasinya.

Sebenarnya pada faktanya Ahok potensial melanggar Pasal 156 Junto 156a KUHP, meskipun Ahok sebagai WNI juga punya hak untuk mendapat keadilan. Andaikan jadi tersangka namun Ahok lolos di pengadilan maka bisa melahirkan situasi dan kondisi yang bahaya besar bagi Negara. Sekarang ini umat Islam dalam posisi menunggu dan melihat, sebesar apa upaya rezim Jokowi melakukan penggembosan pada people power ini, yang justru itu akan membuat umat Islam makin massif. Rezim Jokowi bisa menelan buah simalakama, sangat pahit. Sifat dan sikap adil itu sangat baik dimiliki semua orang, apalagi kalau dimiliki oleh seorang penguasa pasti akan jauh lebih baik. Jika kekuasaan telah hilang lonceng keadilannya maka runtuhnya Istana kekuasaan tinggal menanti masanya.

Negara dalam keadaan darurat. Situasi sosial ekonomi dan politik makin tak terkendali, aksi protes besar-besaran akan terjadi di Jakarta dan dikota-kota besar di Indonesia jika Ahok tak kunjung ditetapkan sebagai tersangka. Situasi kacau ini dapat menular dan diikuti ke daerah-daerah lain. Di saat darurat sipil diterapkan, penguasa bertindak represif, kelompok kritis Islam dimarginalkan, secara sistemik disisir, maka situasi akan menjadi tidak menentu. Negara diambil alih TNI dan konstitusi kembali ke UUD 45 yang asli. NKRI dalam situasi yang terkendali oleh kekuatan militer.

Kekecewaan Massa dan Revolusi Sosial

Rakyat terus membanjir ke gedung DPR. Satu juta massa aksi tanggal 4 November 2016, di depan istana, bubar dengan meninggalkan insiden kerusuhan. Jokowi melakukan konprensi pers, aksi massa menurutnya aman dalam jadwal normal, yakni sampai jam 6 sore. Sedang aksi setelahnya, Jokowi menuduh ada aktor yang mendorong terjadinya kerusuhan. Termasuk adanya insiden kebakaran di Jakarta Utara.

Rakyat ini tidak peduli dengan teori konspirasi. Atau dituduh  ada aktor penunggang. Mereka datang dari seluruh penjuru Jakarta, Jawa, Sumatera, Sulawesi, Maluku, Lombok, dan bagian lainnya dari daratan Indonesia tercinta. Ikhlas. Mereka pindah dari Istana dengan ikhlas, berjalan kaki ke DPR. Dengan spirit perjuangan melawan penista agama Islam, Ahok, dan yang dikumandangkan dalam pidato-pidato di Monas, yakni melawan pelindung Ahok, yakni Jokowi.

Dalam konteks demo raksasa tanggal 4 November, Jokowi mempunyai 2 kesalahan besar dalam sejarah bangsa ini. Mengapa?

(1)   Jokowi melakukan  simbolisasi dirinya sebagai tokoh rakyat jelata selama kampanye persiapannya menjadi walikota, gubernur dan presiden. Selain menunjukkan kedekatannya dengan pedagang kaki lima di Solo, bahkan Jokowi dinobatkan majalah Time sebagai tokoh penuh harapan.

Model pencitraan ini telah memberi harapan pada rakyat bahwa Jokowi  dekat dengan rakyat. Senang mendengar aspirasi dan keluhan rakyat. Jokowi adalah rakyat. Jokowi adalah kita. Faktanya, pada tanggal 4 November ini,  Jokowi menghindar dari rakyat. Jokowi telah memandang persoalan ummat Islam, ummat mayoritas,  warga rakyatnya sendiri, secara sepele. Ketidakpuasan rakyat atas penanganan kasus Al Maidah yang lambat, yang dinyatakan dalam demo sejuta massa, adalah sebuah aspirasi. Hal itu seharusnya direspon dengan melakukan dialog langsung dengan rakyat.

Jokowi seharusnya menjelaskan langsung. Menerima pimpinan massa. Pertimbangannya dua hal, yakni sifat persoalan yang fundamental. Sensitif terhadap terpecah belah nya bangsa ini. Bagi orang yang lahir dari gerakan massa, seorang pemimpin rakyat, faham betul bahwa pengorganisasian massa adalah pekerjaan besar. Besarnya jumlah massa ini menunjukkan besarnya sifat gerakan ini.

(2)   Demonstrasi besar 4 November tadi adalah hak konstitusional rakyat. Tuduhan Jokowi bahwa ada aktor politik yang memanfaatkan situasi, sehingga ada kerusuhan di seputar Monas dan di Jakarta Utara, adalah tuduhan konspiratif.

Kerusuhan kecil pada saat aksi ini bukanlah persoalan besar yang dikaitkan dengan niat politik diluar konteks demo tersebut. Persoalan kerusuhan kecil itu sebenarnya masih dalam dampak dan konsekwensi logis dari ketidak puasan massa atas respon dan dialog politik dengan elit. Selain Jokowi hanya mendelegasikan kepada pembantunya dialog dengan pimpinan massa (semula Wiranto, lalu akhirnya Jusuf Kalla), massa juga kecewa karena persepsi massa tuntutan mereka sebenarnya gampang dipenuhi Jokowi, karena soal penghinaan agama ini merupakan kewajiban konstitusional Jokowi, menjaga stabilitas nasional, yang serta merta bisa dipenuhi. Bukan besok dan besok.Jadi, pencarian “kambing hitam” bukanlah cara beradab dalam demokrasi.

Massa rakyat ini bergerak tidak ada hubungannya dengan Prabowo, SBY atau siapapun. Tentunya, kalau banyak jenderal purnawirawan TNI di lapangan aksi, banyak tafsir yang bisa diberikan, tanpa perlu menuduh mereka sebagai aktor politik. Sekali lagi massa aksi ini, sampai saat ini,  berangkat dari ketulusan hati memperjuangkan agamanya.

Situasi saat ini tampaknya semakin buruk. Massa rakyat bertahan di gedung DPR dengan suasana revolusioner. Sebuah revolusi sudah terjadi. Revolusi itu sendiri mungkin saja akan segera terjadi. Kepercayaan rakyat pada Jokowi juga sepertinya telah  runtuh. Kesalahan Jokowi sekali lagi adalah merasa bahwa potensi konflik sosial ini terbatas persoalan Pilgub DKI saja. Padahal gangguan ketenangan dan kedamaian sosial telah terjadi dalam bentuk dan alasan lain, yaitu penistaan agama oleh Ahok dan Jokowi kurang peduli.

Sebagai catatan, perlu untuk kita ketahui, kalau pihak  polisi masih juga melambat-lambat penanganan kasus Ahok terkait penistaan agama, maka sangat tidak menutup kemungkinan malah terjadi hal-hal yang sangat tidak dinginkan. Artinya bahwa pemicu yang memperbesar masalah ini yaitu bisa juga diakibatkan oleh sikap kelambanan polisi. Dengan kata lain, bahwa sikap lambannya polisi itu bisa dipandang suatu langkah yang bersifat provokatif yang secara sistematis akan melahirkan semakin besarnya kemarahan orang-orang muslim.

Langkah yang lebih persuasive yang harus diambil oleh polisi sekarang yaitu jangan sekali-kali mengancam menakut-nakuti mewaspadai mencurigai umat Islam yang akan berdemo. Karena demo itu akibat. Sehingga sungguh jadi ironi bahwa yang mula-mula berawal dari Ahok dan sekarang setelah umat Islam marah malah balik dituding jadi perusak atau pengacau. Sungguh jauh panggang dari api.

Kasus-Kasus Penistaan Agama di Indonesia yang sudah diproses hukum

Kasus penistaan agama saat ini sedang ramai menjadi perbincangan setelah Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama (Ahok), diduga melecehkan Alquran surah Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Sejumlah elemen dari umat Islam pun melaporkan Ahok ke polisi atas dugaan penistaan agama.

Namun, penistaan agama bukan baru kali ini terjadi di Indonesia. Sebelum kasus Ahok, beberapa kasus telah terjadi dan pelakunya harus menjalani masa hukuman. Berikut beberapa kasus penistaan agama yang pernah terjadi di Indonesia yang diambil dari berbagai sumber:

1. Penistaan Agama Islam oleh Ki Panji Kusmin pada 1968. 

Setelah rezim Sukarno tumbang seiring dengan tersungkurnya PKI dalam pentas politik Indonesia, rezim Suharto yang menyebut diri sebagai Orde Baru naik takhta menggantikannya.  Namun, sebelum ‘lengser keprabon’,  pada 27 Januari 1965 Presiden Sukarno menerbitkan Penetapan Presiden Republik Indonesia (Pepres) Nomor 1 tahun 1965, tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. Perpres ini kemudian menetapkan menambahkan pasal penodaan agama di dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, Pasal 156 a KUHP.

Tapi pertanyaannya kemudian: Apakah sinisme terhadap agama –di antaranya Islam--  menjadi berhenti?  Jawabannya ternyata tidak! Sinisme (bahkan bisa disebut phobia) terus berlanjut.

Ujian pertama ‘keampuhan’ pasal ini terjadi pada bulan Agustus 1968. Majalah sastra termuka yang diasuh HB Jassin --Majalah Sastra, Th. VI No. 8, Edisi Agustus 1968 – mempublikasikan cermin kontroversial ‘Langit Makin Mendung’ karya sesorang yang menyebut dirinya sebagai Ki Panji Kusmin.

Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam saat itu merasa tersinggung dengan cerpen tersebut yang dianggap menghina Islam. Pengadilan kasus penistaan agama oleh Ki Panji Kusmin ini digelar di PN Medan, meski digelar melalui sidang in absentia karena terdakwa Ki Panji Kusmin tak dapat dihadirkan.  Pada akhir persidangan putusan hakim menvonis hukuman berupa kurungan selama satu tahun dan masa percobaan dua tahun kepada seseorang yang menyebut dirinya dengan nama Ki Panji Kusmin tersebut.

2. Penistaan Agama Arswendo Atmowiloto melalui Tabloid Monitor.

Kasus ini terjadi pada masa Orde Baru, tepatnya di tahun 1990. Kala itu, Arswendo menjabat sebagai pemimpin redaksi Tabloid Monitor. Arswendo harus merasakan kehidupan di balik jeruji besi setelah divonis 5 tahun penjara karena telah melakukan penistaan agama.

Dia masuk penjara karena Tabloid Monitor memuat hasil jajak pendapat tentang tokoh pembaca. Arswendo menempati urutan ke-10 tokoh pembaca. Umat Islam dibuat marah setelah nama Nabi Muhammad SAW berada di urutan ke-11. Arswendo pun diproses hukum hingga akhirnya masuk bui.

3. Permadi Sebut Nabi Muhammad Diktator

Empat tahun setelah kasus Monitor, umat Islam kembali dibuat heboh oleh pernyataan paranormal Permadi yang menghujat Nabi Muhammad.  Dalam Panel Forum Lembaga Kepresidenan di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), 28 April 1994, Permadi menyebut Nabi Muhammad sebagai seorang diktator.

Pernyataan paranormal yang gemar berpakaian serba hitam itu menimbulkan kemarahan umat Islam. Aksi unjuk rasa menuntut Permadi ditangkap polisi merebak di berbagai daerah. Akhirnya Permadi diproses secara hukum dengan tuduhan menghina agama Islam.

4. Lia Aminudin, atau Lia Eden - mengaku sebagai imam Mahdi dan mendapat wahyu dari malaikat Jibril, 2006

Lia yang mengaku pernah bertemu Bunda Maria dijebloskan ke penjara dua kali. Pertama pada Juni 2006, divonis dua tahun karena terbukti menodai agama dan tiga tahun kemudian pada 2009 juga dengan alasan yang sama setelah polisi menyita ratusan brosur yang dinilai menodai agama.

5. Gerakan Fajar Nusantara (GAFATAR)

Gafatar memiliki ribuan pengikut dari berbagai daerah di seluruh Indonesia. Mereka menetap di Kalimantan dan menggarap lahan kosong dengan bertani. Mereka membangun gubuk untuk ditempati beberapa kepala keluarga. Namun, ada juga yang menyewa rumah warga.
Aktivitas mereka tertutup bagi warga setempat. Namun, setelah kasus hilangnya dokter Rica Tri Handayani terbongkar, aktifitas Gafatar pun terbongkar. Gafatar diduga telah melakukan penistaan agama.

Gafatar diketahui oleh tim gabungan yang dikomandoi oleh Kejaksaan Agung merupakan metamorfosis dari ajaran al-Qaidah al-Islamiyah. Di mana ajaran tersebut dilarang sejak tahun 2007 karena diniliai sesat.

Selain metamorfosis dari al-Qaidah al-Islamiyah, MUI setidaknya menemukan tiga poin yang membuat Gafatar dinyatakan sesat, yaitu penokohan Musaddeq sebagai juru selamat setelah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, Gafatar tidak mewajibkan pengikutnya menjalankan ibadah agama Islam yang sebenarnya.

MUI juga menemukan penafsiran ayat suci yang tidak sesuai akidah. Dalam ajaran Gafatar juga ditemukan pelafalan syahadat yang baru. Saat ini, kasus ini sudah diproses secara hukum. Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri menetapkan tiga tersangka yaitu Musaddeq yang mengaku sebagai nabi, Andre Cahya sebagai Presiden Negeri Karunia Semesta Alam dan Mafhul Muis Tumanurung selaku Wakil Presiden.

Ketiganya dijerat dengan pasal penistaan agama 156 KUHP, Pasal 110 tentang Pemufakatan untuk makar dan Pasal 64 tentang perbuatan berlanjut. Kini berkas ketiganya sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung guna proses lebih lanjut.

6. Penistaan Agama Hindu oleh Rusgiani

Rusgiani harus menjalani hukuman 14 bulan penjara setelah majelis hakim memutuskan perbuatannya dinyatakan penistaan agama. Rusgiani yang merupakan ibu rumah tangga menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis.

Pernyataan Rusgiani bermula saat dirinya melewati rumah Ni Ketut Surati, di Gang Tresna Asih, Jalan Puri Gadung II, Jimbaran, Badung, pada 25 Agustus 2012. Saat di depan rumah itulah, Rusgiana menyebut canang tersebut najis.

7. Penistaan Agama oleh Nando Irawansyah M’ali terhadap Agama Hindu

Nando dilaporkan ke Polda Bali oleh sebuah organisasi di Bali karena dianggap melecehkan agama Hindu melalui akun Facebook pribadinya. Nando menyebut kata-kata ‘F**k You Hindu’ karena kesal tidak adanya saluran televisi saat hari raya Nyepi.

Kasus ini terjadi pada tahun 2015 sehari setelah perayaan hari raya Nyepi. Polda Bali sempat melakukan gelar perkara kasus ini. Namun, kasus tersebut akhirnya dianggap selesai secara adat setelah yang bersangkutan meminta maaf. Sedangkan secara hukum, tidak ada lagi informasi mengenai kelanjutan kasus tersebut.

8. Penistaan Agama terhadap Agama Kristen oleh Heidi Euginie

Heidi Eugenie merupakan pemimpin jemaat di Gereja Bethel Tabernakel, Shekinah, Bandung, Jawa Barat. Khotbahnya dinilai menistakan agama karena menyebut seekor ular yang menggoda Adam dan Hawa pada kisah penciptaan separuhnya berbadan perempuan.
Heidi pun harus menjalani proses hukum akibat dari pernyataanya tersebut hingga ke pengadilan. Jaksa Penuntut Umum menilai pernyataan Heidi tidak sesuai dengan ajaran Kristen yang menyatakan ular yang menggoda Hawa pada kisah penciptaan tidak sedikitpun menyerupai manusia.

Namun, Heidi akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim setelah eksepsinya diterima. Sehingga pengadilan memerintahkan Heidi keluarkan dari tahanan.

9. Kasus Penyobekan Al-Quran di Solo

Pria berinisial AH diduga telah menyobek Alquran di sebuah rumah kos di Green Park Kamar Lavender, Jalan Pleret Raya Sumber Banjarsari, Solo pada Senin 31 Oktober 2016 sekira pukul 04.00 WIB. Peristiwa itu terjadi saat pelaku AH sedang bertengkar dengan seorang wanita dengan inisial FD alias Fafa. Singkat cerita, AH gelap mata dan menyobek Alquran. Korban FD alias Fafa mengadu ulah AH kepada rekannya, HB yang memberinya Alquran tersebut. Tersangka dalam kasus tersebut, Andrew Handoko, langsung ditangkap, ditahan, dan dengan sigap dilimpahkan ke Polda Jawa Tengah dalam waktu kurang dari 24 jam sejak polisi menerima laporan.


















Referensi

http://www.rappler.com/indonesia/berita/152891-tersangka-penistaan-agama-mengapa-ahok-tidak-ditangkap

Tidak ada komentar:

Posting Komentar