WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 07 Juni 2010

Legal Audit Aksi Densus 88

HARUSKAH TERORIS DITEMBAK MATI ?

dimuat di Harian Joglosemar, Hari Jumat, tanggal 4 Juni 2010


OLEH : MUHAMMAD TAUFIQ*

Tiada peristiwa luar biasa yang menjadi head line berhari-hari selain kasus Susno dan aksi Densus -88 dengan penembakan terhadap orang yang disebut teroris. Kita tidak pernah mendapat penjelasan sesungguhnya dalam hal apa teroris itu dintindak dan harus dibunuh. Yang kita tahu setiap penumpasan teroris selalu disertai korban tewas dan rencana aksi teroris ke depan. Semua info bersumber dari kepolisian.Sesungguhnya, semua bentuk pemerintahan memiliki satu sifat yang sama, yaitu kewenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang tidak demokratis terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan semacam itu di bangun dan di pelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat, sementara di dalam sistem yang tidak demokratis kesepakatan rakyat tidak merupakan persyaratan. didalam sistem yang demokratis , rakyatlah yang memiliki kedaulatan. mereka berhak mengganti sebuah pemerintahan yang dipandang sudah tidak lagi mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, melalui pilihan umum yang bebas. Di dalam konteks ini, lebih lanjut perlu dipahami bahwa sistem pemerintahan yang demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas, dan kelompok mayoritas benar-benar siap untuk menghormati hak-hak minoritas. Ini merupakan salah satu dari kesepakatn-kesepakatan etis yang mutlak hadir dalam demokrasi.Namun agaknya ini tidak berlaku terhadap persoalan yang mengkait Islam entah itu bercorak garis keras,lemah atau tanpa garis. Dalam bahasa Amerika mereka disebut teroris. Dan itulah saat ini yang diperankan Pemerintah Indonesia lewat institusi Kepolisian lewat organnya yang disebut Densus-88.

Prinsip-prinsip yang relevan dibicarakan di dalam konteks pemerintahan demokrasi adalah pemisahan kekuasaan (separation of power ), supremasi hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum ( law supremasi atau the rule of law ) serta kesederajatan ( equality) dan kebebasan (liberty). dalam kontek pemisahan kekuasaan diasumsikan bahwa pemerintah pada dasarnya berkenaan dengan urusan membuat hukum, melaksanakan hukum, dan memutuskan apakah hukum telah dilanggar dalam kasus – kasus tertentu. Ini yang kemudian memberi inspirasi tentang perlunya ,melakukan pemisahan atas kekuasaan –kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Maksud dari pemisahan- pemisahan itu adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan pada satu tangan, entah itu dalam artian institusi ataupu pribadi. dengan memisahkan tiga cabang kekuasaan itu diharapkan adanya saling ketergantungan dan saling kontrol dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka ( checks and balances ), sehingga kemungkinan bagi terjadinya penyalahgunaan dan kesewenang- wenangan dapat dihindari seperti dengan seenaknya mempersangkakan orang sebagai teroris dan tak pernah ada persidangan yang bersifat scientific justice . Karena klaim keberhasilan menumpas teroris hanya muncul sepihak, sebab para teroris ini sudah mati. Asumsi dibalik penerapan prinsip ini adalah manusia( termasuk Polisi dengan Densus -88) bukanlah malaikat mereka pada hakikatnya memiliki kecenderungan utnuk melanggar aturan jika duduk dalam kekuasaan mereka cenderung menumpuk dan menggunakan kekuasaan itu secara semena – mena. Jadi menurut pandangan ini betapun baiknya seseorang sebelum duduk di dalam suatu posisi kekuasaan, sekali ia berkuasa akan terbuka kemungkinan utnuk tergoda oleh hawa kekuasaan yang cenderung mengajaknya menyeleweng. Maka kebagusan pemerintah tidak dapat dijaminkan sekedar pada i’tikad baik orang seorang.

Polisi Aktor Tunggal

Kekuasaan pemerintah harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan dan kewenangan yang selalu membatasi saling mengawasi dan saling tergantung satu sama lain. Ini yang dimaksud dengan sistem termasuk sisitem pengadilan. Jadi penguasa bisa datang dan pergi namun sistem jalan terus. Hanya dengan memperkuat sistem kelangsungan pemerintah yang bebas dari kemungkinan diselewengkan akan dapat diupayakan. Menggantungkan nasib pemerintahan yang juga berarti nasib rakyat kepada kekuasaan orang- seorang bukan kepada sistem yang solid akan sangat riskan karena tidak akan mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan pemerintahan. Sejalan dengan pemisahan kekuasaan demokrasi juga menjadikan hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintah. dalam pengertian ini pemerintah bukan saja harus menjadikan dirinya sebagi hukum yang berbicara tetapi juga menjamin dan memelihara independensi lembaga-lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya termasuk lembaga kepolisian dengan tim Densus-88 harus bersedia diaudit segala pendanaanya. Jadi misalnya tidak ada seorangpun dapat ditahan utnuk diperiksa oleh polisi kecuali ia dicurigai telah melanggar hukum dan tidak seorangpun dapat dipenjarakan kecuali ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Sehingga kesewenang-wenangan Densus-88 sebagai “pemain tunggal” pemberantasan teroris harus diakhiri. Dengan sendirinya juga pemerintah tidak dapat mengambil hak milik orang seorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar. Singkatnya setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku. Prinsip tentang hak-hak dasar negara ini sudah berlaku di Inggris sejak tahun 1215 sebagaimana termuat di dalam Magna Charta. Itulah sebabnya maka negara demokrasi biasanya di identikan dengan negara hukum.

Asas Equality before law

Adapun tentang kesederajatan dan kebebasan batas- batas dari penerapan atas dua nilai dasar demokrasi ini senantiasa menjadi topik perdebatan. Secara teoritik, keserajatan diartikan sebagai kesamaan hak dari setiap pribadi untuk menikmati kehidupan dan mengejar kebahagiaan. Ini berkenaan dengan kesederajatan hukum (legal equality), yaitu jaminan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara di hadapan hukum, kesederajatan politik (political equality), yaitu kesamaan hak dari setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, dan kesederajatan ekonomi (economic equality) yaitu kesamaan hak bagi setiap warga negara untuk bergiat di bidang ekonomi dan memperoleh pelayanan dari negara di dalam memajukan kehidupan ekonominya. Untuk yang terakhir ini banyak penganjur demokrasi berpendapat bahwa keberhasilan demokratisasi juga harus diukur dari sejauh mana sistem ekonomi yang berlaku mampu menjembatani kesenjangan tingkat kesejahteraan antara warga negara yang kaya dan yang miskin ini menjelaskan mengapa pemerintah di negara-negara yang menganut paham demokratis cenderung menerapkan kebijakan perpajakan yang secara progresif membebani para orang kaya dan pada saat yang sama meluncurkan program-program bantuan meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin. Semakin berkurangnya jumlah yang miskin, dan semakin sempitnya jarak antara mereka yang kaya dan yang miskin dalam masyarakat, merupakan salah satu ukuran penting dari keberhasilan pemerintahan. Akhirnya seberapapun hebatnya teroris diberantas jika tidak ada audit hukum tentang aktifitas Penegak hukum sama artinya memberantas preman dengan cara preman.

Surakarta, 18 Mei 2010

Muhammad Taufiq, SH MH, Advokat mantan pengacara Amrozy cs, sekarang Mahasiswa s-3 Ilmu Hukum UNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar