Dimuat di Harian Joglosemar,
Opini, edisi Rabu 25 Juli 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*
Lembaga antikorupsi Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah disibukkan rencana hajatan. Bukan
mengumumkan temuan tersangka kasus Hambalang atau kasus besar lainnya. Akan
tetapi rencana membuat seragam baru bagi pesakitan koruptor.
Langkah teknis itu sepertinya
tidak ada pilihan lain. Hal ini sebagai kegiatan yang diambil sebagai pilihan
bagi KPK untuk menjawab tudingan mandul atas sejumlah pengungkapan mega korupsi,
seperti Century dan BLBI. Rencana KPK ini sesungguhnya bukan hal atau ide yang
baru. Di masa Antasari Azhar, ide ini pernah dicobakan, namun urung dilakukan
karena banyak yang menentang. Termasuk penulis yang menolak ide ini.
Dalam rilisnya, KPK menyiapkan
tak kurang dari 200 baju tahanan bagi tersangka kasus korupsi. Seragam itu
konon rencananya hanya akan dikenakan saat diperiksa atau di dalam tahanan.
Rilis itu menguatkan sikap kehati-hatian KPK, bahwa seragam itu tidak akan
dikenakan pada saat tersangka atau terdakwa menjalani persidangan. Karena pada
galibnya seragam bagi koruptor tidak sesederhana orang berupacara mengenakan
seragam daerah layaknya karnaval atau acara 17-an.
Paham pidana secara universal menyebutkan
bahwa suspect atau tersangka adalah orang yang masih memiliki hak
perdata sebagaimana warga masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, bisa
diartikan belum ada hukuman tambahan yang bisa dikenakan kepadanya sebelum
majelis hakim di dalam persidangan terbuka telah membuktikan kesalahannya dan
menjatuhkan hukuman yang berkekuatan hukum tetap.
Atas pengenaan seragam itu, masyarakat
boleh saja tergagap dan bertanya-tanya, adakah efeknya terhadap publik. Sebab
publik hukum bukan hanya diisi dan dihuni oleh orang-orang yang tahu hukum
saja. Namun justru lebih banyak dihuni oleh orang-orang atau kelompok masyarakat
yang sering disebut sebagai awam hukum. Oleh karena itu meski reality show yang bernama Indonesian
Lawyer Club ditayangkan berjam-jam serta diulang-ulang, juga tidak bisa
menimbulkan efek jera. Dengan demikian, para penonton televisi yang tahu hukum
tentu tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk melihat pertunjukan itu
sebagaimana layaknya seorang ahli hukum melihat.
Masyarakat yang sangat pintar
hukum sekalipun tidak bisa mengesampingkan apa yang disebut kekuatan publik
atau publik opinion, sebab ia berada
pada wilayah tersendiri. Kekuatan itu berada pada masyarakat yang tidak bisa
ditepis oleh komunitas hukum semata seperti KPK. Masyarakat punya hak menilai
kinerja KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Sama seperti penilaian awam mereka
soal seragam dan pemberantasan korupsi sudah tepat apa belum.
Pada hukum pidana formal
dikenal asas presumptium of innocent, yang juga diadopsi dalam KUHAP
kita sebagai asas praduga tidak bersalah. Tentu saja, pengenaan seragam atau
baju khusus bagi koruptor harus pula mempertimbangkan hal teknis hukum seperti
kapan seragam itu dipakai, apa tulisan yang boleh dicantumkan pada seragam
tersebut, dan apa ada aspek legal atau hukum positif yang memperbolehkan.
Siapapun di negeri ini boleh
mendukung ide itu, termasuk LSM ICW (Indonesia Corruption Watch). Sejak tahun
2008, ICW telah menyiapkan tidak kurang delapan contoh seragam, yang akan
dipakaikan pada tersangka atau terdakwa koruptor.
Meski demikian, yang menolak
tentu saja juga tidak perlu dipermasalahkan. Sesungguhnya persoalan mendasar
bagi pemberantasan korupsi di Indonesia bukan
terletak pada seragam atau baju atau cara berdandan seorang tersangka
atau terdakwa. Akan tetapi, pada sikap
dasar aparat penegak hukum itu sendiri, khususnya perangkat KPK, seperti jaksa,
hakim, dan penyidik KPK. Tidak bisa dipungkiri mayoritas penyidik KPK yang
berasal dari kepolisian dan jaksa penuntut umum juga merupakan produk dari
seleksi di masa kepolisian dan kejaksaan penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejumlah
kasus penanganan korupsi jalan di tempat justru oleh sikap mendua dan tebang
pilih KPK. Eksponen KPK yang kebanyakan dari unsur lembaga swadaya masyarakat terkesan
gemar berpolemik dan mencari dukungan lewat media massa ketimbang berupaya
mengembalikan kerugian negara. Pernahkah KPK merilis pengumuman harta apa yang
telah disita dari Miranda Goeltom, dari Nazaruddin, Nunun Nurbaetie dan
lain-lain?
Membuat Malu
Pada bagian lain, tumpang
tindih proses rekrutmen Hakim di Pengadilan Tipikor yang dilakukan Mahkamah
Agung Republik Indonesia dan KPK, berakibat rendahnya kualitas pemidanaan bagi
terdakwa kasus korupsi. Kondisi ini mengakibatkan banyaknya koruptor yang
bebas. Pada bagian lain, KPK masih
terkesan pandang bulu dalam pemberantasan kasus pidana, KPK ingin cari aman.
Dalam kasus tutup
buku BLBI, dia hanya berani menyentuh pada level Urip Tri Gunawan,
sementara Jaksa Agung Muda lainnya yang terungkap dalam persidangan terbukti
ikut membantu skenario pelarian Arthalyta Suryani alias Ayin, sama sekali tidak
dijadikan tersangka hingga sekarang. Mengamati silang sengketa sesama penegak
hukum yang kerap muncul belakangan ini, salah satu sebab penting kita tidak
pernah membicarakan soal criminal justice
system. Di mana jaksa, polisi
dan KPK sama-sama bekerja dengan menggunakan sistem ini. Dalam arti semua
aparat penegak hukum memiliki hak yang sama untuk memberantas korupsi. Alhasil
dengan kewenangan yang sama pula mereka memiliki hak untuk menyidik. Di tengah
galaunya KPK kewenangan yang sema besar ini justru berbenturan bukan bersinergi.
Maka tidak ada salahnya dalam jangka panjang gagasan Satjipto Rahardjo untuk
membuat sistem hukum sendiri yang lebih progresif dan tentu saja lebih ampuh
untuk memberantas korupsi.
Sistem itu adalah sistem peradilan antikorupsi
(anti corruption justice system). Di
dalam sistem ini, semua kekuatan atau institusi dalam pemberantasan korupsi
hanya sekedar perkakas dari alat berat yang disebut mesin antikorupsi. Dengan
demikian kedudukan polisi, hakim, jaksa dan KPK berdiri di tempat yang sama
bukan seperti saat ini. Artinya musuh besar aparat penegak hukum hanya satu,
yakni korupsi, tidak ada yang lain.
Dengan demikian KPK tidak semestinya memosisikan
diri seperti ban berjalan, artinya seolah jika sudah ada yang diadili sudah
selesai tugas memberantas korupsi. Semestinya dalam rangka percepatan korupsi,
selain memenjarakan pelaku korupsi sesungguhnya tugas KPK yang utama adalah
mengembalikan harta koruptor ke kas negara. Rumusan dan dasar hukum untuk itu
bisa dibaca pada Pasal 10 KUHP tentang sanksi tambahan. Pasal ini jika
dimaksimalkan KPK, sudah cukup efektif untuk membuat malu koruptor dan
koleganya. Karena dengan menggunakan pasal tersebut, memungkinkan KPK untuk
mengumumkan harta negara yang dikorup. Yang tidak saja berada pada pelaku,
tetapi juga pada menantu, anak, istri, kolega bisnis dan mungkin istri simpanan
serta partainya. Dengan anti corruption
justice system, KPK memiliki keleluasan improvisasi penegakan hukum.
Oleh karena itu cara-cara
sensasional yang ditempuh KPK dengan mengumumkan saweran untuk gedung baru, tampil di beberapa acara talk show, terkesan
hanya alat mencari popularitas agar dikenal. KPK bukan tempat berkumpulnya selebriti hukum. KPK
adalah lembaga superbodi perangkat negara untuk menangkap koruptor dan
mengembalikan harta koruptor ke kas negara. Saya yakin masyarakat akan
mendukung jika KPK menampilkan langkah ”seronok” yakni lewat media massa
mengumumkan harta para koruptor saat dia ditangkap pertama kali. Dengan cara
ini keluarga dan para kroni malu karena telah ikut menikmati harta negara yang
didapat secara tidak sah.
*Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum
FH-UNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar