Oleh : Muhammad Taufiq*
Belakangan ini sejumlah pihak terutama partai politik saling bergiat membuat kriteria untuk mencalonkan Gus Dur dan pak Harto sebagai pahlawan. Pahlawan sebuah predikat istimewa ,sehingga tak sembarang orang mampu menyandang gelar pahlawan. Salah satu kriteria penting yang wajib dimiliki sesuai UU No.20/2009 untuk dijadikan pahlawan , adalah orang yang bisa mengubah arah sejarah. Pengorbanan , buah pikiran,cita-cita dan perjuangannya, serta teladan perbuatannya begitu dominan dalam perjalanan sejarah suatu bangsa. Yang pasti ia menonjol dibanding anggota masyarakat atau bahkan pemimpin-pemimpin yang lain karena tidak tercela dalam karirnya. Dan kriteria yang paling up to date ia tidak boleh terlibat perkara kriminal dengan ancaman lima tahun penjara termasuk korupsi. Dengan sederetan kriteria tersebut pahlawan adalah orang yang super selektif; Karena itu ia kemudian layak mendapat gelar sebagai pahlawan.
Namun demikian apakah pahlawan itu selalu putra terbaik dari sebuah proses demokrasi ? Bukankah dalam proses demokrasi, setiap manusia harus meletakkan dirinya dalam kedudukan yang sama dan sederajat dengan manusia lainnya . Termasuk dalam proses penciptaan sejarah, dan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kebangsaaan. Tentu saja bukan cita-cita dan ambisi pribadi sang pahlawan atau kelompok pendukung yang dilekatkan dan diklaim seolah sebagai cita-cita bersama. Banyak tokoh pembuat sejarah yang memaksakan, dengan cara kasar ,atau seolah halus idenya tentang perjalanan sejarah sebuah bangsa, agar mendapat pengakuan dan dicatat sebagai arah perjalanan yang dicita-citakan bersama.
Dalam hal ini bisa dibaca rekam jejak George W Bush, Gamal Abdul Nasser, Adolf Hitler, Benitto Mussolini, Marcos atau Kemal Attaturk bahkan Ramos Horta penerima Nobel Perdamaian . Mereka orang-orang besar dari zamannya. Mereka diaku pahlawan di saat berkuasa. Tetapi jelas mereka musuh-musuh demokrasi. Dalam demokrasi, asas yang paling dasar ialah bahwa semua warganegara berpartisipasi dalam menentukan yang terbaik yang terbaik bagi dirinya yang terbaik bagi kesejahteraan bersama, yang terbaik sebagai arah perjalanan sejarahnya. Lalu asas partisipasi ini dikaitkan dengan harapan dan kepercayaan bahwa , pada gilirannya, rakyat akan memilih pemimpinnya. Yaitu pemimpin yang bisa membawa kesejahteraan bersama dan arah perjalanan sejarah yang dikehendakinnya itu. Tetapi dalam demokrasi , rakyat dianggap lebih mulia kalau ia bisa dan memanfaatkannya kesempatan untuk menentukan sendiri nasib dan arah perjuangan mewujudkan kebahagiannya, daripada menyerahkan perkara itu sepenuhnya kepada orang lain. Biarpun orang itu tokoh yang mereka pilih dan mereka dukung dengan mati-matian sekalipun.
Oleh sebab itu , di samping diperlukan konstitusi dan kriteria umum, dalam alam demokrasi tetap harus dijaga adanya institusi pengambilan keputusan yang melibatkan wakil-wakil rakyat berbagai tingkatan. Bahkan adakalanya keputusan itu masih harus dijajaki dengan riset dan observasi sebagai bagian pengambilan keputusan yang obyektif.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya , bagaimana masyarakat dalam sebuah Negara demokratis bisa melahirkan seorang pahlawan? Pahlawan, dalam sebuah Negara demokrasi, pertama-tama harus menerima dulu tesis demokrasi. Yang berbunyi bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan oleh wakil- wakilnya,dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk mensejahterakan rakyat tetapi hal ini tidak berarti mereka kehilangan hak untuk mengambil bagian dalam national discourse.(Sucipto Wirosarjono,1991) Tesis itu harus diakui dulu, sebelum orang “melamar” atau dilamarkan sebagai pahlawan.
Ujian jiwa demokratis utama di antara tokoh yang cerdas dan bervisi tajam ialah kesetiannya pada suara mayoritas. Terutama tatkala ia yakin bahwa suara terbanyak itu jelas-jelas salah dan berbahaya. Di situ ia di uji kesabaran dan demokratisnya. Apakah ia akan memaksakan kehendak, mengabaikan suara terbanyak itu dan mengajak “musyawarah” saja. Untuk memaksakan kehendaknya?
Ataukah ia bisa , dengan sabar menerima kenyataan itu sebagai bagian dari keharusan demokrasi?. Bisa juga ia orang yang ingin segala sesuatunya berjalan cepat, memanfaatkan momentum yang tepat dan bekerja dengan efektif dan efisien. Karena itu lalu tidak sabar dengan proses demokrasi yang bertele-tele. Kalau tidak sabar, bisa jadi tokoh semacam ini akan memilih jalan teknokrasi, dan memaksa kekuatan nondemokratis seperti senjata , ekstorsi, dekrit, teror atau menakut-nakuti, untuk menekan proses demokrasi agar lebih “efektif dan efisien’. Lalu si “pahlawan potensial” itu bisa tenang dan bekerja melaksanakan obsesi kejuangannya. Kalau demikian, tokoh itu akan gagal menjadi pahlawan demokrasi. Ia bisa menjadi despot yang menghabiskan daya dan tenaganya untuk dan atas nama kemaslahatan orang banyak, tetapi sesungguhnya lebih meladeni naluri kecongkakan “kebesarannya”. Memang saya pun tidak percaya demokrasi bisa di tegakkan dalam masyarakat yang sakit, yang dikuasai rasa takut atau yang dihantui budaya despotism. Tatkala kita menganggap demokrasi pilihan tatanan yang kita nilai sesuai dengan peradaban modern masyarakat kita, disana terkandung pengakuan pengertian bahwa masyarakat kita tidak sakit, bukan penakut , dan emoh despotism. Tetapi ketika, dalam perjalanan sejarah demokrasi utnuk menegakkan prinsip demokrasi bersama-sama dengan proses pendidikan demokrasi. Dengan kriteria dimaksud maka terang jalan menuju predikat atau gelar pahlawan sungguh panjang dan bukan sekedar wewenang administrasi Menteri Sosial belaka.
Kenyataannya, meskipun orang sudah dibebaskan dari rasa takut dan despotism, masih ada inklinasi manusiawi yang mengancam bekerjanya proses demokrasi. Inklinasi itu ialah, bahwa orang cenderung mementingkan diri sendiri. Bila dasar kepentingan diri sendiri itu dihimpun begitu saja, keputusan terbanyak niscaya merupakan petaka penindasan bagi yang lain.
Dalam demokrasi, suara terbanyak memang penting tetapi belum cukup. Yang masih harus ada ialah pengakuan akan keabsahan semua anggota dan kelompok masyarkat untuk berperan serta secara bebas dan bertanggung jawab, dalam permusyawaratan sebagai wahana merundingkan pemecahan perbedaan pendapat dan konflik kepentingan. Tidak seorang warga Negara atau satu kelompok pun boleh dikucilkan dari peluang itu. Bila naluri mengucilkan dan menyungkurkan masih bersemayam di dada calon pahlawan, niscaya ia gagal menegakkan diri dalam tatanan masyarakat yang demokratis. Jika demikian maka hiruk pikuk tentang gelar Pahlawan untuk Gus Dur dan Pak Harto selayaknya tak beranjak jauh dari national discourse tersebut , karena saya yakin keduanya tidak menghendaki predikat itu.
Surakarta, 8 Januari 2010
Muhammad Taufiq, SH MH* advokat dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar