Dimuat di harian Solopos Selasa, 15 Desember 2009
Oleh : Muhammad Taufiq*
Koalisi partai yang ditandai dengan kontrak politik pada awal terbentuknya Kabinet Bersatu jilid II. Pada akhirnya menggiring kongsinya untuk bersikap tunduk dan patuh atau taklik pada kabinet yang didukungnya. Meski taklik itu terhadap sesuatu yang tidak popular sekalipun. Ini tercermin setidaknya dalam Rapat Kerja Komisi III dengan Kapolri dan Kejaksaan Agung yang dinilai masyarakat Pimpinan Komisi menjadi jubir kedua institusi hukum itu dalam menghadapi tekanan masyarakat terkait sikap kontroversi dalam penanganan Kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah. Ketika itu lewat statemen resmi Komisi III mendukung penahanan Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah. Maka ketika upaya parlemen gagal melemahkan KPK terbukti dengan terbitnya SKPP( Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ) oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah. Cara lainpun ditempuh salah satunya dengan kewajiban ijin penyadapan dari Departemen Kominfo . Sebenarnya bukan kali ini saja kewenangan KPK secara konstitusi akan dilemahkan. Kewenangan KPK pernah diuji lewat Mahkamah Konstitusi ketika dengan mudah lembaga pemberantasan korupsi ini dinilai bisa menyadap siapa saja lagi-lagi gagal.
Pertanyaannya mengapa Tifatul dan departemennya begitu getol? Sebagai ketua partai ( PKS)pendukung Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II ia jengah juga manakala kadernya pernah dipaksa ke luar masuk KPK. Yakni Fahri Hamzah dalam perkara bagi-bagi dana hibah Departemen Kelautan dan Perikanan yang menggiring menterinya Rohmin Dahuri ke penjara.
Dalam kontek ini Rancangan Peraturan Pemerintah ( RPP) Intersepsi atau penyadapan sesungguhnya memiliki potensi melanggar konstitusi. Sebab Pengaturan Penyadapan secara konstitus berdasarkan urutan peraturan seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan peraturan pemerintah. Selain itu, RPP Penyadapan yang kini serius dibahas Departemen Komunikasi dan Informasi ( Depkominfo) di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring itu juga mengancam eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen. Hal itu terungkap dalam jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Minggu 6 Desember 2009 lalu , yang dihadiri mantan wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, praktisi hukum Iskandar Sonhaji, peneliti ICW Febri Diansyah. Iskandar Sonhaji mengatakan mekanisme penyadapan harus diatur dalam undang-undang, bukan dalam bentuk peraturan pemerintah. Hal itu jelas disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 tentang permohonan uji materiil UU KPK. “artinya pemerintah tidak boleh membuat regulasi yang bertentangan dengan putusan MK sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman” tegasnya. Menurutnya, jika pemerintah menyatakan bahwa RPP Penyadapan tidak mempersempit kewenangan KPK, maka pemerintah dapat dinilai telah menyebarkan kabar tidak benar. Sebab, faktanya RPP membatasi dan mempersempit ruang KPK dalam melakukan penyadapan, misalnya hanya pada saat proses penyidikan. Pegiat anti korupsi Febri menambahkan, banyak persoalan dalam draft RPP Penyadapan yang disusun Depkominfo sejatinya merupakan bentuk intervensi eksekutif terhadap lembaga penegak hukum, khususnya KPK. Febri mencontohkan dalam Pasal 4 Ayat 4 disebutkan teknis operasional penyadapan dilaksanakan melalui Pusat intersepsi Nasional (PIN). Lembaga ini nantinya dikelola dan dibentuk pemerintah, dengan Keppres. Dalam Pasal 5 Ayat 6 juga diatur intersepsi rekaman innformasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui PIN. Begitu juga dewan intersepsi nasional bertanggung jawab kepada presiden. Tugas lembaga ini mengawasi pelaksanaan intersepsi di kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Rencana penggunaan pasal-pasal ini jelas akan mengancam independensi KPK. Bukan tidak mungkin jika RPP ini diberlakukan sedikit orang yang akan mau menjadi pimpinan KPK.
Keabsahan Diskresi KPK
Seberapa besar fungsi penyadapan dan keberhasilannya mengungkap dan membongkar kasus korupsi setidaknya dapat digambarkan dari penjelasan Erry Riyana. Mantan Wakil Ketua KPK ini mengaskan, mekanisme penyadapan di KPK sangat ketat dan memiliki internal check yang juga ketat. Dia menambahkan, lebih dari 50% keberhasilan penanganan kasus korupsi oleh KPK berasal dari proses penyadapan. Kasus tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan dan mantan Kabareskrim Suyitno Landung juga tak lepas dari kewenangan penyadapan yang dimiliki lembaga ini. Maka alasan menghindari saling sadap antar institusi bukan alasan yang tepat. Bukan suatu masalah jika antar aparat penegak hukum saling menyadap, yang terpenting tetap dalam aturan hukum dan untuk kepentingan penegak hukum. Jika Penegak hukum di indikasikan melakukan korupsi, masa tidak boleh disadap. Adapun Agus Sudibyo berpendapat, langkah Depkominfo menyusun RPP Penyadapan patut dipertanyakan, karena mandat Depkominfo adalah sebagai media komunikasi dan informasi kebijakan pemerintah.
Dibawah ini adalah contoh pasal-pasal perlemahan KPK lewat RPP Penyadapan yang dirancang Depkominfo.
Pasal-pasal kontroversial di RPP Penyadapan
Pasal 4 ayat (4) : Teknis operasional penyadapan dilaksanakan melalui Pusat Intersepsi Nasional (PIN)
Pasal 5 ayat (6) : hasil Intersepsi rekaman informasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui Pusat Intersepsi Nasional
Pasal 8 Sertifikasi alat dan perangkat diatur dalam peraturan menteri
Pasal 11 ayat (2) : dewan Intersepsi Nasional bertanggung jawab kepada Presiden ( tugas mengawasi pelaksanaan intersepsi di polisi jaksa dan KPK).
Pasal 21 ayat (2) : sebelum PIN dibentuk menteri dapat membentuk tim Audit Independen
Pasal 21 ayat (6) : Jika PIN sudah terbentuk Intersepsi yang dilakukan penegak hukum harus melalui PIN.
Dimuat di harian Solopos Selasa, 15 Desember 2009
Oleh : Muhammad Taufiq
Terkait dengan penyadapan, maka privasi pejabat publik memang menjadi terbatas, karena terkait dengan upaya transparansi dan akuntabilitas, termasuk di dalamnya penanganan kasus korupsi. Hal ini karena pejabat publik mendapat gaji dari Negara yang menggunakan dana Negara Jika konsekuen denagn janji seratus hari memberantas korupsi .Pemerintah sebaiknya memakai skala prioritas dan memliki target dalam percepatan pemberantasan korupsi. Melindungi hak individu penting, namun jauh lebih penting melakukan upaya pemberantasan korupsi. Sesuai pasal 50 dan 51 KUHP penegak hukum diperbolehkan melakukan diskresi. Dan setiap yang melakukan diskresi berdasarkan kewenangan undang-undang tidak bisa dipidana. Sebab perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjalankan peraturan undang-undang. Dalam kondisi sekarang diskresi sah-sah saja dilakukan demi tercapainya percepatan pemberantasan korupsi.
Muhammad Taufiq, SH MH advokat dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar