Oleh : Muhammad Taufiq *
Bom kembali meletus di JW Mariott dan Ritzl Carlton, hotel yang rencananya akan ditempati para pemain Manchester United. Maklum hotel ini penghuninya kebanyakan memang ekspatriat. Ledakan bom itu seakan menghentakkan kita dari tidur yang nyenyak, setelah pemilu hinggar bingar yang berakhir tanpa kerusuhan. Memang sebelum Paemilu dan Pilpres 2009 lalu,warning tentang upaya penggagalan Pemilu oleh kelompok teroris Noerdin Moh Top santer diungkap sejumlah kalangan, termasuk Kapolri. Namun hingga selesai Pilpres teroris penggagal pesta politik itu tak juga muncul. Naasnya justru beberapa hari menjelang pengesahan perhitungan suara Pilpres yang penuh kontroversi itu bom kembali menyalak. Dengan dibayang-bayangi isu bahwa AFP (Australia Federal Police ) ikut membantu menemukan teroris.Seakan tak mau dibilang terlambat Densus 88 bergerak cepat. Lewat Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Nano Sukarna polisi menggelar jumpa pers bahwa pelakunya berinisial N ( Nur Sahid ). Segala cara dilakukan untuk mendukung teori polisi bahwa pelakunya adalah pria berinisial N. Tapi apa lacur dari tes DNA sama sekali tak cocok. Akhirnya polisi menangkap perempuan bernama Arina yang diduga istri Noordin Moh Top, karena menurut versi polisi suaminya mirip buron kakap tersebut, namun lagi-lagi gagal. Seakan tiada putus asa , polisi menengok jaringan teroris yang dari waktu-kewaktu tak jelas mana ujung dan pangkalnya dengan meminta bantuan pendapat dari asing. Baik yang berhubungan dengan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, maupun Darus Syahadah di daerah Simo Boyolali. Termasuk info terbaru yang mengklaim sebagai Noordin Moh Top via internet, yang belakangan ketahuan dari Amerika Serikat.
Adalah Sidney Jones yang namanya populer kembali setelah sebelumnya pernah dicekal masuk Indonesia,merangkai cerita tentang teroris, meski bagi yang faham tak ada yang baru dalam analisisnya. Intinya ia menegaskan bahwa pelakunya adalah Jamaah Islamiyah.
Jika dicermati gambaran yang cukup menyeramkan soal teroris sesungguhnya bukan hanya dari Sidney Jones saja. Dalam rentang waktu 15 tahun cukup banyak buku atau artikel yang memberi cap “ menyeramkan” terhadap dunia Islam dibanding yang memujinya. Tengok saja Islam Militan (GH.Jansen,1981) atau The Class of Civilization ( Hutington,1983), meski ada pula publikasi yang agak obyektif seperti Islamic Trheat ?( Esposito,1983), The Next Trheat, ( Hippler,1995) ataupun yang cukup simpatik memberikan pembelaan seperti yang dilakukan Edward Said , ( Orientalism 1988 dan Covering Islam, 1982). Namun demikian bila menyangkut tindak kekerasan dan radikalisme ,secara umum bisa dikatakan opini yang berkembang di masyarakat Barat bahwa Islam atau Arab identik dengan Radikalisme dan terorisme. Di banyak negara barat seperti Inggris dan Swedia, stereotype Islam sebagai dalang terorisme cukup kental mewarnai pemberitaan media massanya. Fenomena ini bisa saja secara intelektual mengindikasikan kekurang mengertian masyarakat yang bersangkutan mengenai masalah politik Timur Tengah, Arab dan Islam secara lebih obyektif . Tapi penglihatan yang demikian ini bisa saja disengaja karena untuk berbagai tujuan terutama politik dan militer.Sejauh ini politik labelisasi atau pencitraan,baik lewat film maupun tulisan-tulisan merupakan senjata ampuh yang digunakan Amerika Serikat dan Barat pada umumnya untuk menekan banyak negara yang tidak sejalan dengan kepentingan politik negara adi daya tersebut. Melalui labelisasi yang didukung oleh kampanye secara besar-besaran dan sistematis. Maka besar kemungkinan sesuatu yang semula hanya kira-kira atau dugaan atau prasangka,sesuatu yang sebelumnya tidak ada apa- apapanya. Bisa berubah menjadi fakta dan realitas yang pada gilirannya menjadi sebuah hukuman atau sanksi atas nama kemanusiaan. Bila hukuman itu tidak cukup maka akan ada sanksi tambahan sabagai negara teroris atau pendukung teroris itu sendiri. Dan sama –sama dimaklumi, bahwa negara dimaksud adalah negara muslim. Meski pada saat yang sama mereka akan mengatakan menolak jika disebut telah menebarkan benih kebencian kepada terhadap kaum muslim atau Islam itu sendiri. Dalam kasus bom Kuningan memang keduanya berbeda. Tapi dalam prakteknya sangat sulit untuk dibedakan, apalagi jika pelakunya adalah memiliki latar belakang historis yang bermusuhan serta secara kultural dan agama berbeda. Ada kecurigaan yang cukup kuat bahwa rasa permusuhan yang dialamatkan kepada Islam atau negara berpenduduk mayoritas Islam. Fakta ini menurut Samuel Hutington bagian dari sebuah konflik peradaban. Sebagai buktinya negara barat melalui jaringan medianya secara sistematis dan terencana memposisikan setiap gerakan Ummat Islam( pencitraan media tentang kehebatan Jamaah Islamiyah) bertentangan dengan secara diametrikal dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sedang diklaim dan diusung oleh Amerika Serikat.
Sikap apriori dan penghakiman terhadap gerakan Islam ini jelas telah menafikan catatan sejarah bahwa dalam setiap agama atau kelompok sosial manapun dan di manapun, tentu akan ada perorangan atau sekelompok individu tertentu yang mempunyai sikap ekstrim dan radikal. Jadi secara sosiologis apa yang dituduhkan dilakukan oleh ummat Islam itu juga sudah pasti dilakukan oleh ummat, bangsa dan kaum lainnya. Baik sejak dulu hingga sekarang,miskin atau kaya, bodoh atau terpelajar. Singkat kata sikap ekstrim atau radikal merupakan fenomena universal, fenomena kemanusiaan yang lahir sebagai respon terhadap politik kekerasan dan ketidakadilan yang masih ada. Karena di Jerman ada Bader Meinhoff, di Jepang ada Tentara Merah,di Amerika ada Klux Klux Klan, artinya di negara yang berperadaban maju pun ditemukan sekelompok masyarakat yang berpeilaku ekstrim atau radikal.(Tulisan pernah dimuat di harian umum Solo Pos, Jumat-7 Agustus 2009 )
Surakarta, 1 September 2009
Muhammad Taufiq, SH MH
Mahasiswa doktor ilmu hukum FH UNS.
Penulis buku Terorisme dalam demokrasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar