Edisi Selasa, 12/04/2011 09:00 WIB - Ari Kristyono | Sri Ningsih
Perjuangan ayahku sia-sia, negeri ini dikuasai mafia hukum. Tulisan itu terbaca di poster kecil yang dibawa oleh Ny Yettik Suharti (50) dan seorang anaknya, di Taman Makam Pahlawan Kusuma Bakti, Jurug, Solo, Jumat (8/4).
Yettik adalah istri seorang pejuang kemerdekaan dan mantan anggota MPRS/DPRGR, Winarso Sate, yang dimakamkan di TMP tersebut sejak meninggal dunia tahun 2004 lalu. “Perjuangan beliau memerdekakan negeri ini telah tuntas. Sayang perjuangan untuk mendapatkan hak secara hukum, kandas oleh ketidakadilan,” tutur Yettik yang didampingi seorang anaknya, Slamet Effendy.
Ketidakadilan itu, menurut Yettik menyangkut rumah tinggal di Jalan Sabang 4, Banjarsari, Solo yang menjadi tempat tinggal Winarso sejak tahun 1950. Rumah itu, awalnya adalah tempat tinggal Jaksa Utoro, mertua Winarso, yang menyewa dari seorang sahabatnya Kwik Hong Lian.
“Sedangkan dulu, Kwik Hong Lian mendapat rumah tersebut dengan membeli HGB (Hak Guna Bangunan) atas rumah-rumah eks kolonial Belanda. Secara hukum, HGB itu sudah berakhir sejak 24 September 1980 dan otomatis rumah itu kembali menjadi milik negara,” tutur Effendy kepada Joglosemar.
Waktu bergulir. Winarso Sate pada tahun 1982 mengajukan permohonan hak atas rumah tersebut kepada negara dan dikabulkan 10 tahun kemudian. “Upaya itu juga didukung oleh Wisye, satu-satunya anak kandung Kwik Hong Lian, atas dasar persahabatan. Tetapi, ketika Ayah mengumpulkan uang untuk membayar, beliau wafat,” imbuhnya.
Belakangan, sejumlah orang yang merupakan keponakan dari Kwik Hong Lian menggugat hak atas rumah tersebut. Sejauh ini, mereka sudah berhasil bersepakat dengan lima orang anak Winarso yang bersedia pergi dari rumah itu dengan kompensasi Rp 100 juta per orang.
“Penghuni yang bertahan hanyalah adik saya Winoto alias Tode bersama ibu tiri saya, Bu Yettik, yang merupakan istri sah dari Ayah. Saya tidak terlibat masalah ini, karena memang tidak tinggal di sana,” tutur Effeny.
Proses saling menuntut dan mempertahankan hak, berlangsung rumit di pengadilan. Sejauh ini, ahli waris Winarso Sate selalu kalah, antara lain karena pihak penggugat memiliki surat pernyataan Winarso bahwa dirinya sebagai penyewa siap meninggalkan rumah itu sewaktu-waktu. “Tapi, ini surat palsu. Sangat berbeda dengan tanda tangan Ayah,” ujar Effendy memperlihatkan beberapa contoh tulisan tangan dan tanda tangan Winarso.
Selagi menunggu putusan kasasi, Rabu (13/4) besok pagi, Pengadilan Negeri Surakarta berniat melakukan eksekusi pengosongan rumah. Upaya itu untuk kedua kalinya, setelah sebelumnya gagal karena perlawanan sejumlah orang yang suka rela membantu Yettik.
“Karena inilah, kami sedih sekali. Kalau memang hukum tak pernah berujung pada keadilan, mending kami pindahkan saja makam Ayah ke makam biasa,” tutur Effendy menutup wawancara siang itu. nAri Kristyono | Sri Ningsih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar