Panitia seleksi komisioner Komisi Yudisial tetap mematuhi peraturan yang ada untuk memilih 14 nama untuk diajukan pada Presiden sebelum diserahkan pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sekalipun pada kenyataannya nama-nama yang bakal diajukan tak memiliki kemampuan untuk memimpin KY.
“Empat belas itu kata Undang-undang,” sebut Ketua Pansel Harkristuti Harkrisnowo usai tes wawancara hari terakhir 23 calon komisioner di Gedung Administrasi Hukum Umum, Kementerian Hukum dan HAM, Jumat (17/9) sore.
Dia sampaikan pula, nama calon yang lolos tes seleksi akan diserahkan pada Presiden pada Senin, 20 September 2010.
Ketua Pansel mengakui, hanya sedikit calon yang memenuhi harapan untuk memimpin KY jilid kedua. Dia juga mengaku sulit untuk memenuhi keterwakilan unsur seperti disyaratkan UU.
“Itu juga sulit. Pastinya pansel akan kerja keras dan akan ada perdebatan dinamis untuk menentukan keterwakilan unsur seperti diamanatkan undang-undang,” tutur Tuti, sapaan ketua pansel ini.
Menurut pasal 28 UU No 22 Tahun 2004 tentang KY, disebutkan komisioner mewakili unsur kehakim, akademisi, kejaksaan, dan masyarakat.
Adapun kriteria komisioner menurut pansel adalah mereka yang memiliki integritas, rekam jejak yang mendukung. Ditambah lagi kepribadian calon harus tegar serta mampu berkomunikasi dan mampu mendengar orang lain.
“Saya pribadi menginginkan komisioner memiliki integritas dan kualitas. Tapi keduanya minim ditemukan pada mereka yang mengikuti tes wawancara,” kata Tuti.
Asep Rahmat Fajar dari Indonesia Legal Roundtable yang mengawal proses seleksi berpendapat peserta tes wawancara memang minim pengetahuan akan KY. Terutama akan kewenangan KY. Hal ini diperparah dengan minimnya pengetahuan pansel tentang KY. Bahkan, anggota pansel tampak tidak padu dalam memberikan pertanyaan pada para calon saat wawancara.
Ketidakpaduan itu juga tampak dengan adanya keberpihakan pansel pada calon dari unsur tertentu. Semisal, beberapa anggota pansel dari birokrasi tidak bertanya pada mantan Sekretaris Jenderal Departemen Hukum dan HAM, Hasanuddin.
Mereka adalah Aidir Amin Daud (Dirjen AHU), Suhartoyo (Deputi Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Bidang Hukum danHak Asasi Manusia, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan), Iman Santoso (Deputi Sekretaris Kabinet Bidang Hukum, Sekretariat Kabinet), Ramly Hutabarat (Staf Ahli Menhukham), dan Hamzah Tadja (Jamwas). Padahal kekayaan calon oleh KPP dinilai mencurigakan.
Beberapa anggota pansel juga tidak hadir selama tes wawancara. Seperti Satya Arinanto yang selalu datang pada sore hari. Satu diantaranya tak pernah hadir dalam tiga hari tes wawancara berlangsung, yaitu praktisi hukum Muchyar Yara.
Karena banyak kekurangan itu, KPP meminta pansel mengutamakan integritas untuk menentukan 14 nama ketimbang kriteria kompetensi dan pengetahuan. “Porsi tertinggi adalah integritas,” terang Asep Rahmat Fajar dari KPP.
Sedangkan kompetensi dan pengetahuan dapat dibentuk saat mereka terpilih menjadi komisioner, sambungnya lagi.
Bermesraan dengan MA
Banyak pula dari calon yang menawarkan bermesraan dengan MA agar tugas mengawasi hakim oleh lembaga eksternal, yaitu KY dapat dilakukan. Diantaranya disampaikan Taufiqqorahman S pada pansel.
Mantan staf ahli Mahkamah Konstitusi dan staf Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) itu mengatakan, “Jangan langsung tembak, harus koordinasi tapi bukan subordinasi sehingga mudah mengawasi hakim,” ujar akademisi dari sebuah perguruan tinggi di Bengkulu.
Mayoritas dari para calon komisioner juga menawarkan hal serupa. Tawaran tersebut dikritik anggota pansel, diantaranya Luhut MP Pangaribuan. “Koordinasi bisa punya arti lain.”
Selain itu Taufiqqorahman dan banyak calon mengajukan upaya pencegahan dalam mengawasi hakim. Semisal menyelenggarakan pendidikan bagi calon hakim tentang kemandirian dan moral. “Setelah mendapat pendidikan tapi tetap nakal, baru ditindak,” sarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar