Oleh Muhammad Taufiq
Mahasiswa Program Doktor
Ilmu Hukum UNS, peminat hubungan bilateral.
Akhir bulan ini Indonesia kembali berunding dengan Negeri Jiran yang paling dekat yakni Malaysia di New York apalagi yang diperbincangkan kalau bukan perbatasan. Beberapa waktu sebelumnya media massa meramaikan polemik Malaysia dan Indonesia tentang klaim perbatasan ke dua negara menyusul makin maraknya insiden penangkapan nelayan ke dua negara. Sudah bisa diprediksi bahwa Pemerintah Indonesia terkesan lamban, kalau tidak boleh dibilang ketinggalan, dalam sengketa perbatasan yang telah berlangsung lebih dari 30 tahun ini.
Seolah tidak ingin dituduh sebagai ayam sayur pascagelombang protes yang marak di Tanah Air menyusul penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) oleh Police Marine Malaysia. SBY di Markas Angkatan Bersenjata Republik Indonesia menggelar jumpa pers yang intinya meminta perundingan perbatasan RI-Malaysia dipercepat. Sepintas permintaan ini rasional dan taktis. Namun banyak pihak justru menilai langkah ini bisa blunder. Banyak pakar justru berharap Pemerintah Indonesia tidak terburu-buru mempercepat perundingan perbatasan dengan Malaysia. Sebab, setidaknya ada empat alasan untuk penundaan itu. Pertama, Indonesia lemah dalam hal kearsipan. Kedua, kerja sama antardepartemen di Indonesia buruk, ketiga Indonesia banyak menelantarkan pulau-pulau dan keempat Indonesia tidak punya cukup uang untuk membayar pengacara internasional yang menguasai hukum laut dan perbatasan.
Tidak usah jauh-jauh, kita pernah gagal dengan DCA (Defence Cooperation Agreement). Ini adalah perjanjian kerja sama pertahanan antara RI dan Singapura yang ditandatangani di Bali 27 April 2007 lalu urung dilaksanakan. Pasalnya Perumusan implementasi dari kesepakatan tersebut berkaitan sangat erat dengan Kedaulatan Republik Indonesia. Memang dari awal pembahasan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan selain terkesan diam-diam juga butir-butir perjanjian tersebut sangat kontroversial. Sebab DCA mengekor perjanjian ekstradisi. Entah siapa yang berinisiatif, semestinya Perjanjian Kerja Sama Pertahanan haruslah dipisahkan dari ekstradisi. Karena terkesan asal-asalan maka dalam taraf pelaksanaan (implementing arrangement), DCA tersebut sulit direalisasikan. Kerja Sama Pertahanan RI-Singapura hingga kini masih alot. Terutama menyangkut daerah dan pengaturan latihan bersama kedua negara. Pemerintah RI lewat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono kala itu berkeinginan pengaturan tempat latihan tempur kedua negara ditentukan secara bersama-sama antara TNI dan Tentara Singapura, namun sebaliknya Singapura justru ngotot ingin menentukan sendiri. Alhasil, ini yang mengakibatkan DCA gagal dalam implementasi, namun demikian kegagalan ini justru menguntungkan kita. Sebab secara teritorial wilayah kita tidak sepadan dengan Singapura.
Tanpa mengecilkan arti Menlu Marty Nata Legawa, secara performance Marty tidak sehebat pendahulunya Hasan Wirayudha dan Menlu-menlu sebelumnya seperti Ali Alatas atau Mochtar Kusumaatmadja. Ini tercermin dari pernyataan Kementerian Luar Indonesia yang disampaikan Wakil Menlu Triyono Wibowo terkesan tidak siap saat perundingan di Kinibalu. Ia hanya mengatakan batas wilayah kita adalah eks jajahan Belanda, tanpa mampu memerinci. Kondisi ini jelas keuntungan besar bagi Malaysia, ditambah upaya pembiaran terhadap pulau-pulau terluar Indonesia. Ketiadaan arsip dan seolah berlepas dari pulau terluar adalah biang kegagalan diplomasi kita atas klaim sepihak Malaysia terhadap Sipadan dan Ligitan kala itu. Sebagai negara anggota Persemakmuran, Malaysia jelas memiliki arsip dan sejarah atas pulau-pulau itu. Kita yang pernah dijajah 350 tahun oleh Belanda tidak memiliki kearsipan yang baik.
Tour of Duty
Sisi lain yaitu tidak adanya perubahan paradigma di kalangan pejabat birokrasi kita. Diplomat kita terkesan seperti tour of duty saja. Semestinya diplomat kita dibekali keberanian untuk menyatakan klaim perbatasan dan pulau-pulau terluar saat berada di meja perundingan. Yang terjadi justru sebaliknya kita terkesan menunggu dan seolah Mahkamah Internasional adalah langkah terbaik. Seorang diplomat yang andal yang duduk mewakili negara besar seperti Indonesia sebelum mengajukan klaim sudah barang tentu ia telah melengkapi diri dengan bukti dan saksi yang akurat. Sikap seperti itulah yang tidak dimiliki kebanyakan diplomat kita.
Kondisi ini semakin diperparah dengan sikap Pemerintah Indonesia yang terkesan ambigu dalam menjaga kedaulatannya. Jika benar kedaulatan adalah harga mati seperti bunyi pidato SBY selama ini, tentulah itu tidak berhenti sekadar ucapan. Namun secara nyata Indonesia menjaga dan merawat dalam bentuk menempatkan pasukan, menjadikan tempat latihan perang atau jika ingin sejuk memasukkan wilayah tersebut sebagai daerah tujuan wisata. Jumlah penduduk yang besar, tenaga kerja yang mendominasi serta besarnya investasi Malaysia di Indonesia, adalah modal kuat untuk memperoleh recognation international. Sebab dengan sedikit gertakan seperti pemutusan hubungan diplomatik, tidak mudah bagi Malaysia untuk misalnya memulangkan TKI sebanyak 2,2 juta orang atau 10 persen dari penduduk mereka, atau menarik modalnya dari Indonesia.
Diplomasi ekonomi dan pertahanan jauh lebih ampuh dilakukan oleh Pemerintah Indonesia ketimbang memaklumatkan perang atau mengajukan klaim ke Mahkamah Internasional. Pencurian ikan atau illegal fishing per tahun mengakibatkan kerugian Rp 30 triliun. Sebuah angka yang tidak kecil dan sangat paradoks dengan jumlah nelayan kita yang ditangkap Malaysia atau Australia. Selama kita belum mampu membayar pengacara internasional dan tidak punya nyali memaklumatkan perang. Agaknya, diplomasi pertahanan dan pariwisata adalah jalan murah menyatakan klaim atas kedaulatan kita. Ditambah dukungan publik di Tanah Air adalah perpaduan kekuatan yang tidak tertandingi. (***)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar