Oleh : Muhammad Taufiq*
Hari-hari belakangan ini media massa meramaikan polemik Singapura dan Indonesia tentang implementasi DCA yang ditandatangani di Bali 27 April 2007 lalu. Pasalnya Perumusan implementasi dari kesepakatan tersebut berkaitan sangat erat dengan Kedaulatan Republik Indonesia. Memang dari awal pembahasan Perjanjian Kerjasama Pertahanan( Defence Cooperation Agreement) selain terkesan diam-diam juga butir-butir perjanjian tersebut sangat kontroversial. Sebab DCA mengekor perjanjian ekstradisi. Entah siapa yang berinisiatif semestinya Perjanjian Kerjasama Pertahanan haruslah dipisahkan dari ekstradisi. Karena terkesan asal-asalan maka dalam taraf pelaksanaan (implementing arrangement ) DCA tersebut sulit direalisasikan. Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) RI-Singapura hingga kini masih alot. Terutama menyangkut daerah dan pengaturan latihan bersama kedua Negara. Pemerintah RI lewat Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono berkeinginan pengaturan tempat latihan tempur kedua Negara ditentukan secara bersama-sama antara TNI dan Tentara Singapura, namun sebaliknya Singapura justru ngotot ingin menentukan sendiri. Ini tercermin dari pernyataan Kementrian Luar Negeri Siangapura lewat rilis yang dikirim Sekretaris Pertama Kedubesnya di Indonesia Rajpal Singh tegas menyatakan tidak akan mengubah satu pasal pun perjanjian tersebut karena akan mempengaruhi Perjanjian Pertahanan Bilateral Kedua negara.
Kita besyukur hukum ketatanegarnaan Indonesia mensyaratkan bahwa DCA proses ratifikasinya tetap harus melalui pembahasan DPR. Sebab tanpa ratifikasi DPR, DCA yang diteken kedua Negara 27 April lalu tidak akan bisa dijalankan. Karena memang mekanisme ketatanegaraanya seperti itu. Secara implisit apapun dalihnya nampak bahwa Menhan RI Juwono Sudarsono tetap menginginkan DCA tersebut diimplementasikan. Akan tetapi niat pemerintah lewat Menhan Juwono Sudarsonono tidak akan mudah kesampaian sebagaimana implementasi AMM (Aceh Monitoring Mission). Pasalnya dari Senayan secara gigih dipelopori F-PP telah tegas menolak DCA dimaksud. Begitu pula PAN, F.PDIP dan Fraksi Gabungan Bulan Bintang dengan PBR telah berancang-ancang menolaknya. Alasan yang dikemukakan hampir seragam bahwa DCA yang ditandatangani dengan hingar bingar di Bali itu sejatinya adalah penyerahan kedaulatan RI kepada pemerintah asing lewat Singapura. Mengutip pernyataan Prof..Romli Atamasasmita Guru Besar Hukum Pidana Unpad Bandung. Ia mengingatkan bahwa Perjanjian ektradisi Indonesia Singapura yang mencantumkan syarat bahwa terdakwa yang diadili secara “in absensia” harus diadili kembali”. Jelas bertentangan dengan prinsip pidana nasional dan internasional yakni asas “ nebis in idem”. Artinya seseorang tidak bisa diadili untuk kedua kalinya atas perkara yang sama. Satu paket dengan perjanjian ini.perjanjian timbal balik dalam masalah pidana(Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters). Yang ditandatangani Indonesia perjanjian dengan Singapura selama ini tidak menguntungkan bagi RI. Yang menjadi pertanyaan apakah hanya DCA saja yang menyebabkan negara dirugikan dan Kedaulatan RI berpindah.? Mungkin kita bisa belajar dari Perjanjian bilateral bidang kesehatan dan AS di bawah ini. –Singapura dan enam negara Asean Lainnya pada tahun 2004. Sama sekali tidak berlaku surut khususnya untuk pengembalian aset. Sehingga jelas sangat kontroversial isi dari kedua perjanjian tersebut. Oleh karena itu banyak kalangan berpendapat bahwa
Jika dicermati sesungguhnya sejak tahun 1970 secara defacto Kedaulatan RI telah digerogoti oleh kekuatan asing terutama USA. Adalah keberadaan kantor U.S. Naval Medical Research Unit-2 atau yang lebih populer disebut NAMRU-2. Unit khusus yang merupakan satu element yang dibentuk Angkatan Laut USA. Di mana ide awalnya adalah untuk berkolaborasi dengan Departemen Kesehatan RI. Awalnya kapal yang sekaligus laboratorium kesehatan Angkatan Laut USA menjalankan misinya melakukan serangkaian penelitian, uji coba dan evaluasi terhadap penyakit menular untuk meningkatkan kesehatan, keamanan, serta kesiapan Angkatan Bersenjata AS saat terjadi perang. Misi ini konon sangat efektif dijalankan di tanah air sehingga tetap dipertahankan hingga hari ini. Namun yang terjadi sekarang sangatlah berbeda jauh dari misi semula. Pasalnya ketika mereka bercokol target utamanya menyelidiki penyebaran penyakit menular demi kepentingan militer AS dan Departemen Pertahanan AS.
Namun belakangan fungsi NAMRU-2 telah bergeser. Sejalan dengan pernyataan resmi Kedutaan AS. Bahwa mereka lewat atase media Kedubes AS membuat pernyataan yang mencengangkan kita semua. Yakni 17 personel AS yang ada di kapal tersebut adalah militer aktif. Dan mereka semua berstatus paspor diplomatik yang memiliki banyak keistimewaan salah satu yang terpenting memiliki hak imunitas atau kekebalan diplomatik layaknya seorang diplomat. Padahal apa relevansinya tenaga kesehatan bersatutus diplomat? Jika ditilik dari batas waktu naskah cooperation agreement NAMRU-2 sesungguhnya telah berakhir tahun 2000 lalu. Keberadaan NAMRU-2 dan naskah kerjasamanya memang tidak mudah dipahami oleh masyarakat awam kecuali Deplu RI kalau saja Kedubes AS di Jakarta tidak membuat rilis. Oleh karena itu keinginan Deplu untuk alih–alih memutuskan kerjasama, bukanlah hal mudah. Menolak status diplomatik pun tidak mampu dilakukan meski sudah berlangsung proses tawar menawar selama hampir 7 tahun. Jika Washington tetap bersikeras menolak perubahan status diplomatik dan menolak hengkang dari wilayah RI tentu ada sebuah pertanyaan. NAMRU-2 misi sosial atau misi militer?. Menilik kengototan Washington untuk tetap bercokol dan memberi status anggota militernya diplomat dalam kapal tersebut. Jelas kepada kita sekarang bahwa NAMRU-2 sesungguhnya bagian dari skenario besar AS untuk menganeksasi Kedaulatan Wilayah Republik Indonesia. Secara hukum internasional mereka sebenarnya cukup kuat dengan mengantongi paspor dengan tugas resmi tanpa diembel-embeli diplomat.
Jika NAMRU-2 dikaitkan dengan DCA ini sesungguhnya implementasi atau penjabaran lebih luas dari keinginan Amerika Serikat yang pernah ditolak agar mereka diperbolehkan memiliki pangkalan militer di Selat Malaka. Kalau Indonesia konsekuen dengan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 yang menentang segala penindasan di muka bumi (termasuk pembentukan Pakta Pertahanan). Bukan saja DCA antara Pemerintah RI dan Singapura dibatalkan melainkan keberadaan NAMRU-2 dengan personil militer bersatatus diplomat penuh juga harus diakhiri dan mereka segera meninggalkan Wilayah Republik Indonesia. Sejak berakhirnya Perang Dingin Indonesia bersuara lantang menolak kehadiran Pangkalan Militer AS. Namun menjadi sebuah ironi ketika personil militer diberi status diplomatik dan mereka bercokol di Indonesia sebagai Unit Medis terbesar di dunia. Karena itu penolakan DPR terhadap DCA (Defence Cooperation Agreement) antara Pemerintah RI dengan Singapura layak didukung. Secara analisis Kedua Perjanjian Tersebut yakni DCA dan Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters) jelas sangat menguntungkan Singapura setidaknya mereka (Singapura) tidak akan dicap negara pelindung koruptor. Yang kedua mereka memiliki akses untuk memantau kegiatan pertahanan Republik Indonesia tanpa batas termasuk untuk kepentingan pihak ketiga. Sedangkan bagi Indonesia, sepanjang Penegak hukumnya belum profesional, maka tidak ada artinya kedua perjanjian tersebut. Lihat bagaimana nasib perjanjian bilateral Indonesia –Australia sudahkah ada koruptor yang dihukum? Yang ada justru nelayan Indonesia yang ditahan dan kapalnya dihancurkan oleh tentara Australia. Terhadap pencari suaka politik dari Papua yang diterima dengan sangat luar biasa dan menjadi ikon di Australia. Apa yang dapat kita perbuat? Serta pelecehan terhadap Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso yang dipermalukan Polisi Federal New South Wales.
Surakarta, 14 Juni 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar