WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 02 Maret 2010

Eksekusi Amrozy seperti menghitung bunyi Tokek

(Dimuat di Jawa Pos, 30 Oktober 2008)

Oleh : Muhammad Taufiq*

Judul di atas bukanlah dimaksudkan sebagai upaya menyindir pernyataan M Jasman Panjaitan,Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung yang seolah selalu berubah tiap kali ditanya kapan Amrozy cs akan dieksekusi di depan regu tembak. Pernyataan bunyi tokek menyiratkan bahwa Kejaksaan Agung ragu-ragu dalam membuat penetapan jadwal pelaksanaan hukuman mati bagi Trio Bom Bali. Bukan kali ini saja Kapuspenkum Kejakgung menyatakan atau menyebut waktu pelaksanaan hukuman mati bagi ketiganya. September 2007 juga telah beredar spekulasi ketiganya akan dieksekusi sesudah Natal,sebagai kado bagi korban yang kebanyakan Nasrani. Begitu pula di bulan Maret 2008 juga terdengar rencana eksekusi mati bagi mereka. Yang terbaru malah diucapkan langsung oleh bos Kejaksaan Agung Hendarman Supanji bahwa sebelum puasa,September 2008 Amrozy cs akan dieksekusi di depan regu tembak. Namun kemudian pernyataan itu diralat kembali oleh Jaksa Agung yang menyatakan eksekusi akan dilaksanakan sesudah lebaran. Tanpa bermaksud mengkaitkan dengan upaya Uji Materiil tata cara Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia yang sedang dimintakan oleh TPM ( Tim Pengacara Muslim ), yang akhirnya juga ditolak. Jelas sikap Jaksa Agung sebagai cerminan kebimbangan yang ditunjukkan dengan upaya mengulur-ulur waktu pelaksanaan eksekusi mati bagi ketiganya.

Sekarang meski dengan bahasa yang berbeda Kejaksaan Agung lewat Kapuspenkum M.Jasman Panjaitan menyebut sekitar Awal November 2008 ketiganya akan berhadapan dengan regu tembak, alias menjalani eksekusi mati. Kali ini dibumbui alasan harus segera dilaksanakan karena upaya hukum ketiganya telah final dan persyaratan formil materiil telah terpenuhi. Jasman menyebutkan hukuman mati bagi Amrozy oleh PN Denpasar Bali dikuatkan PT ( Pengadilan Tinggi ) Bali dan Putusan Kasasi serta Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Republik Indonesia. Di sisi lain mereka ( para terpidana ) dengan lantang Januari 2008 menyatakan tidak akan meminta Grasi( Pengampunan ) kepada Presiden. Dari serangkaian pernyataan tersebut tidak ada yang secara tegas menyatakan PK (Peninjauan Kembali ) yang mana yang telah diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia?. Secara hukum PK Amrozy sesungguhnya belum pernah diperiksa oleh sebuah Majelis Hakim di Pengadilan Manapun. Kalau terjadi penolakan sesungguhnya berada pada taraf pendaftaran perkara. Yang menjadi pertanyaan berhakkah Panitera sebuah pengadilan di Indonesia menolak sebua perkara.? UU tentang Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman tegas menyebutkan bahwa pengadilan dilarang menolak perkara apapun. Meski dalam praktek terutama perkara perdata panitera seringkali menseleksi perkara yang didaftarkan ke sebuah Pengadilan Negeri. Yang kadang menyatakan perkara itu tidak bisa diperiksa. Artinya sesungguhnya kewenangan penolakan berada pada wilayah Judex Factie ( hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus ) bukan pada wilayah administrasi. Dengan demikian sudah semestinya perkara tersebut diterima,diperiksa dan dibentuk Majelis Hakim kemudian diadili dengan putusan ditolak atau diterima. Sebagai pengacara yang pernah mendampingi Amrozy cs di tingkat Polda Bali dan Kejaksaan Tinggi Bali. Mereka ( para terpidana ) sama sekali tidak mempersoalkan kapan dihukum mati dan dengan cara apa hidup mereka dikahiri,apakah dengan hukuman gantung,pancung atau ditembak. Bahkan saat dalam tahanan Polda Bali ketiganya kalau pun dihukum mati di depan regu tembak akan meminta untuk tidak ditutup matanya. Sebab dalam idiologi mereka mati dengan cara seperti itu adalah syahid sebagai buah perjuangan terhadap hegemoni Amerika. Bagi ketiganya kematian adalah cita-cita tertinggi.

Namun sebagai Negara yang menganut ajaran pidana ,yang artinya tidak bisa dipidana seseorang jika tidak ditemukan kesalahan. Betatapapun bencinya kita kepada seorang pembunuh ia tetap mendapat perlakuan yang sama di depan hukum dengan tidak ada pengecualiannya. Siapapun tahu bahwa proses persidangan dan pembuktian perkara Amrozy cs berjalan mulus tanpa ada insiden yang berarti bahkan saking mulusnya tidak pernah terungkap secara scientific justice apakah benar-benar bom Amrozy cs yang telah meluluhlantakkan Kuta dan Legian. Artinya selama persidangan belum pernah sekalipun dimunculkan pakar kimia yang membuktikan bahwa memang bom karbit Amrozy cs lah yang telah meluluhlantakkan Bali. Di dalam totalitas hukum, scientific justice menjadi sebuah keharusan. Sebab hukum tidak bisa dipandang sebagai sebuah proses administrasi belaka. Hukum tetaplah sebuah proses ilmiah. Faham positivisme di Indonesia yang telah dianut oleh mayoritas hakim kita telah gagal menegakkan hukum, terbukti banyak orang menjalani hukumam tanpa melakukan kesalahan.

Sebagaimana diketahui Amrozy cs diadili dengan Perpu anti Teroris yang sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi di Era Jimly Assidiqi. Upaya para pengacara Amrozy dengan mengajukan PK bahwa Perpu Anti Teroris yang memuat asas retroaktif tidaklah bisa diberlakukan pada Amrozy cs, patutlah dihargai , sudah barang tentu PK itu diperiksa terlebih dahulu. Jika demikian maka keputusan apapun terhadap nasib Amrozy cs yang telah melewati pesidangan akan dapat dipertanggungjawabkan secara akademik kepada siapapun. Terutama warisan ilimu hukum di masa depan dan akan dijadikan kajian tentang bagaimana menghargai sebuah proses hukum. Jadi bukan karena tekanan internasional atau karena balas budi kepada orang asing. Kita melanggar dan merendahkan hukum kita sendiri. Lebih-lebih jika alasan pelanggaran itu untuk memulihkan Pariwisata Indonesia, sungguh jauh panggang dari api.

Surakarta, 27 Oktober 2008

Muhammad Taufiq, SH MH Ketua Peradi Surakarta, Penulis buku Terorisme dalam Demokrasi, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum FH UNS.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar