Oleh : Muhammad Taufiq**
Sepanjang pengadilan kita masih menggunakan metode deduksi dalam pengambilan benar dan salah tentang tindak pidana yang dilakukan oleh seorang terdakwa dalam hal ia dituduh melakukan tindak kejahatan. Akan banyak ditemukan kejanggalan. Metode ini memang syarat dengan kelemahan , sebab hanya menyandarkan pada hasil pemeriksaan polisi yang berupa BAP ( Berita Acara Pemeriksaan ) dan kesaksian dari orang-orang dalam BAP. Metode deduksi tidak berupaya mengungkap fakta apa yang ada di balik pembuatan BAP tersebut. Artinya ia tidak akan berbicara dalam area meta-yuridis. Dalam artian apakah orang yang memberikan keterangan tersebut ditekan,disiksa atau diteror menjadi tidak penting, sebab jaksa dan hakim memang tidak melihat wilayah itu. Sebagai “ penegak hukum “ para hakim dan jaksa hanya melihat bahwa orang tersebut telah mengaku bersalah. Dan kesalahan itu pembuktiannya cukup dengan hukum formal sebagaimana dipersyaratkan KUHAP pasal 184. Dan celakanya dalam praktek KUHAP ditafsirkan seragam oleh polisi,jaksa dan hakim bahwa BAP menjadi alat penentu kesalahan seseorang. Ini dapat dibuktikan bahwa Hakim dan Jaksa sering memarahi dan mengamcam terdakwa manakala ia mencabut BAP di depan persidangan. Ujung-ujungnya ia dianggap mempersulit pemeriksaan, dengan memberikan ketarangan yang bebelit-belit. Dengan demikian maka apapun hasil pemeriksaan itu akan dianggap sah. Metode ini lebih diperburuk dengan perilaku penyidik yang mengejar target, harus ada orang bersalah yang dihukum. Metode ini dikenal pula sebagai Silogisme Aristoteles. Karena menggunakan Kesimpulan Deduktif,maka harus ada ( Premis Mayor) yang menjadi sandaran dasar berpijak dari kesimpulan khusus. Dalam kasus kematian Asrori ada Premis Mayor : Semua orang yang diperiksa polisi adalah bersalah. Premis Minornya Hambali dan kawan-kawan diperiksa polisi. Maka Hambali dan kawan-kawan mesti bersalah. Jika metode setengah ilmiah itu tetap dipakai untuk mengurai kejahatan. Maka sepanjang itu pula akan ditemukan banyak kejanggalan. Salah periksa,salah tangkap dan akhirnya salah pula tentang siapa yang bersalah dan layak dihukum. Sebelumnya pernah ada Sengkon dan Karta di Bekasi, setelah 16 tahun mendekam dalam tahanan barulah polisi menemukan pelaku yang sesungguhnya. Sebelumnya di Gorontalo Sulawesi terjadi hal yang sama sepasang suami isteri dituduh membunuh anaknya sendiri, namun ternyata sang anak pulang dalam keadaaan segar bugar. Dan sekarang terulang di Jombang pada Imam Hambali dan David Eko( sudah divonis) serta Sugik( dalam proses persidangan ). Mereka bukan pelakunya setelah test DNA membuktikan bahwa pelaku sebenarnya adalah Ryan, sang Jagal Jombang.
Kasus Ryan memang menjadi sebuah kajian yang menarik bagi berbagai disiplin ilmu. Bukan karena jumlah korban yang telah ia habisi,melainkan alasan ia membunuh yang begitu sepele. Juga beragam profesi korbannya. Dan dari sini pula ketahuan bahwa mayat yang sebelumnya dinyatakan Mr. X setelah melalui proses idenitifkasi ilmiah beruapa test DNA ketahuan bukan mayat orang yang dituduh telah dibunuh Imam Hambali dkk melainkan mayat Asrori yang dibunuh Ryan. Seperti uraian di muka metode deduksi tidak berbicara sama sekali latar belakang terbitnya pengakuan yang tertuang dalam BAP. Dalam kasus salah tangkap terungkap jelas bahwa selama proses penyidikan pasti disertai dengan tindakan buruk dan cenderung melanggar HAM. Di Solo pernah terjadi 6 polisi anggota Poltabes dihukum karena menginterogasi pemuda bernama Rony yang dituduh mencuri tape mobil. Dalam pemeriksaan “ polisi kelewat aktif “ sampai Rony tewas dengan luka di kepala bagian belakang . Alasan penyidik saat itu Rony terjatuh. Meski demikian apapun dalihnya tindakan polisi yang menyebabkan Rony mati tetap sebuah kesalahan yang disengaja dan ke-enamnya tetap dibui antara 1,5 sampai 2,5 tahun . Dalam keadaan nyata seseorang tersangka yang diduga pelaku diminta untuk mengaku sebagai pelaku tindak kejahatan dengan mengikuti skenario penyidik. Bagi tersangka pengakuan itu disertai harapan urusannya cepat selesai. Dalam kasus Hambali cs ia memberikan pengakuan dalam surat yang dikirimkan pada ibunya bahwa selama proses pemeriksaan di kantor polisi mereka mengalami penyiksaan pisik dan psikis. Malahan sempat dibawa ke pinggir kali untuk dihabisi dengan todongan pistol. Akhirnya daripada mengalami penyiksaan berulang-ulang dengan terpaksa mereka mengaku sebagai pembunuhnya.
Belajar dari OJ Simpson
Sebagai negara yang telah ikut meratifikasi konvensi HAM sudah selayaknya Indonesia merubah secara mendasar cara-cara memperoleh keterangan dari tersangka. Metode pemeriksaan polisi yang berakibat buruk pada fisik tersangka telah menjadi catatan Komite Anti Penyiksaan Internasional tentang betapa buruknya kondite polisi kita .Pengalaman penulis yang telah mendampingi dalam banyak kasus pidana termasuk Laskar Jihad dan kasus terorisme. Penyiksaan itu merata dalam segala tingkatan bisa di Polsek,Polres,Poltabes maupun Polda . Melihat perkembangannya memang telah ada upaya sungguh-sungguh dari Kapolri dengan merekrut polisi dari kalangan S1 san S2. Tetapi itu saja tidak cukup jika atmosfir polisi masih bergaya militer. Artinya dalam praktek pendidikan polisi pun tidak luput dari tindak kekerasan bahkan berujung kematian. Tuntutan yang lebih penting dari itu semua bahwa Polri harus membenahi diri dalam proses penyidikan. Cara –cara kuno dengan memakai penyiksaan harus ditinggalkan agar tidak terjadi korban salah tangkap. Kita mungkin belum lupa bagaimana hakim Amerika membebaskan seorang pemain base ball kenamaan OJ Simpson yang didakwa membunuh isterinya seorang wanita kulit putih. Untuk menjaga suasana rasialis yang mungkin timbul,hakimnya bukan negro dan juga bukan kulit putih melainkan kulit kuning( Orang Jepang ). Ketika itu dari bukti primer terungkap bahwa ada bekas jejak sepatu seukuran kaki OJ Simpson di dekat genangan darah mayat sang isteri. Namun karena polisi gagal mendapatkan saksi tentang siapa pelaku yang sebenarnya. Akhirnya sang hakim berujar base on my long experience you are guilty but there is not any evidence you did it so we release you. Apapun upaya polisi untuk menuduh OJ Simpson pelakunya namun karena polisi tidak dapat menghadirkan bukti kuat yang menunjukkan OJ Simpson pelakunya hakim akhirnya melepaskan OJ Simpson dari tuduhan membunuh dan ia melenggang bebas.
Kalau saja para penegak hukum kita mau belajar dari kasus OJ Simpson bahwa ada adagium hukum pidana internasional yang menyatakan presumtion of innosence atau asas praduga tak bersalah. Maka tentunya tidak setiap orang yang diperiksa oleh polisi atau diadili oleh hakim sekalipun dianggap sebagai orang bersalah kecuali ada putusan berkekuatan hukum tetap dari pengadilan. Dalam kasus salah tangkap seperti yang menimpa Imam Hambali dkk sudah seharusnya pihak Kejaksaan Agung dan Kepolisian Republik Indonesia secara ksatria melakukan rehabilitasi nama baik keduanya dengan cara membebaskan dari tahanan LP Jombang dan meminta maaf serta memberi ganti rugi. Bagaimana teknis hukumnya atas upaya itu semua. Pertama, pihak Kepolisian Republik Indonesia segera memeriksa kedua terpidana dan dari hasil pemeriksaan tegas disebutkan bahwa keduanya tidak bersalah. Dengan surat keterangan tidak bersalah tersebut maka berkas tersebut diserahkan ke Kejaksaan selanjutnya Kejaksaan menyerahkan pada Pengadilan Negeri Jombang untuk segera membuat penetapan yang menyatakan berdasarkan surat tersebut kedua terdakwa dinyatakan tidak bersalah dan memerintahkan Jaksa untuk membebaskan dan mengeluarkan kedua terpidana dari tahanan. Terhadap terdakwa Sugik polisi cukup menerbitkan berita acara pemeriksaan yang menerangkan dia tidak bersalah, selanjutnya berkas tersebut diserahkan pada Kejaksaan dan jaksa membawanya ke persidangan agar hakim membuat perintah penghentian persidangan dan membuat penetapan yang isinya memerintahkan terdakwa dikeluarkan dari tahanan. Kedua, secara singkat Polisi menyatakan ketiganya korban salah tangkap,kemudian dengan dasar itu penasihat hukum mempraperadilankan Polisi dan selanjutnya atas permohonan itu hakim mengabulkan pra peradilan dan memutus bahwa penangkapan dan penahanan polisi salah . Atas dasar itu Hakim memerintahkan jaksa mengeluarkan ketiganya dari tahanan. Memang terhadap vonis pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap upaya yang pas adalah mengajukan Peninjauan Kembali atas dasar bukti baru bahwa hasil DNA ada yang salah atau keliru dengan banrang bukti. Namun harus dicatat itu hanya terjadi pada kasus yang normal bukan yang dark justice sebagaimana yang menimpa ketiganya. Sebab PK tidak pas bagi ketiganya karena memang yang bersangkutan korban salah tangkap sebagai akibat polisi tidak profesional . selain itu PK jelas memakan waktu yang sangat lama. Jadi unsur yang pertama ketidakprofesionalan terlebih dahulu yang dipakai bukan karena ada bukti baru. Sebab saat menentukan mayat yang sudah hancur polisi hanya mendasarkan pada asumsi bukan scientific justice, jadi tanpa test DNA keduanya disuruh mengakui telah membunuh Asrori. Menurut cerita Jaksa orang tua “ korban “ mengaku bahwa mayat itu adalah mayat anaknya. Namun fakta ilmiah menentukan lain. Apapun argumennya lebih bagus membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah. Kepolisian dan Kejaksaan tidak perlu malu mengakui ada yang salah dalam sistem mereka. Sebaik apapun seorang jaksa jika ia berpatokan pada metode deduksi saja maka terang itu tidak ilmiah karena lebih mendasarkan pada asumsi-asumsi belaka. Jika demikian sudah semestinya polisi jaksa yang salah dihukum baik menurut peradilan etika maupun peradilan umum. Hanya itu satu-satunya cara mengembalikan kredibilitas hukum dan meningkatkan derajat polisi dan jaksa serta hakim bahwa selain penegak hukum ketiganya adalah penegak keadilan. Jadi untuk sebuah keadilan memang tidak layak memenjarakan orang yang tidak bersalah.
**Muhammad Taufiq, SH MH (Ketua Peradi Surakarta, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar