Oleh : Muhammad Taufiq*
Dimuat di Harian SOLOPOS, Selasa 6 Juli 2010
Diakui atau tidak praktek mafia peradilan di Indonesia adalah sebagai biang kegagalan peradilan sebagai sarana mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan menyimpang ini terlihat dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri. Bahkan presiden pun ikut-ikutan latah membentuk Satgas Mafia Hukum. Meski belakangan dinilai Satgas Mafia Hukum hanya sekedar benteng presiden. Seiring maraknya sebutan markus banyak nama yang kemudian muncul seperti Arthalyta Suryani, Anggodo Widjojo, Sahril Djohan dan di daerah pun tak kurang banyaknya. Mereka telah telah menjadi ikon tindakan menyimpang di peradilan walaupun orang-orang mengartikan atau menanggapi perbuatan mereka dengan cara dan istilah yang berbeda, namun intinya sama mereka adalah perusak keadilan. Kelompok pegiat anti korupsi pernah mengartikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Bagir Manan saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung menyebutnya sebagai tingkah laku yang tidak terpuji. Perbuatan tersebut diistilahkan sebagai criminal behaviour.( Kompas : 20 Mei 2010)
Tanggapan masyarakat terhadap tingkat korupsi peradilan juga dapat dilihat dari hasil survey Transparency International dan Gallup International terhadap 1000 responden masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 2006. Bersama-sama dengan legislatif dan polisi, peradilan adalah lembaga – lembaga yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survey ini menggunakan skala 1-5 dimana semakin besar nilai indeksnya, maka makin korup lembaga tersebut.( ICW,2008). Demikian pula sebaliknya, lembaga yang memiliki indeks terkecil semakin pula tingkat korupsinya dalam persepsi masyarakat. Data ini masih ditambah dengan hasil survey yang mengatakan seratus persen inisiatif suap di lembaga peradilan berasal dari pejabat atau pegawai pengadilan( Asfinawati: 2008).
Dari praktek yang terjadi kelompok atau komunitas yang paling rentan dan langsung mendapatkan akibat dari adanya judicial corruption ini adalah kelompok marginal atau miskin. Kasus-kasus perburuhan di berbagai tempat seperti yang ditangani LBH diwarnai dengan buruh yang dikriminalkan atau digugat perdata saat melakukan perjuangan menuntut haknya. Dalam banyak kasus gugatan atau laporan yang tidak berdasar karena lemahnya alas hak dan dasar hukum,namun kenyataannya dapat berlanjut karena adanya faktor non hukum. Penyimpangan di pengadilan mudah dilihat tapi sulit dijamah. Sebagai contoh di bawah ini: laporan seorang perempuan yang menjadi korban pembobolan deposito yang diduga dilakukan pekerja sebuah bank pemerintah. Perkara tersebut akhirnya memang ditangani polisi dan pelakunya disidangkan. Namun di pengadilan baik perkara pidana maupun perdata, pelaku akhirnya dinyatakan tidak bersalah walaupun kerugian nyata telah diderita oleh korban yakni uangnya habis terkuras.
Birokrasi hukum yang masuk angin
Selain tindakan langsung untuk mempengaruhi suatu kasus, judicial corruption yang telah merasuk ke sistem dan menjadi kultur penyebab lahirnya sikap diskriminatif pada aparat peradilan. Terbiasa melayani dengan meminta bayaran tambahan berupa saweran yang nota bene masuk pungli membuat mereka tidak serius melayani atau melayani dengan setengah hati masyarakat yang tidak mampu ,karena tidak mau dan tidak bisa memberikan uang saweran.. Ujung tombak pertama adalah adanya laporan-laporan masyarakat kepada pihak kepolisian yang tidak segera ditindaklanjuti atau dijalankan dengan masuk angin. Di Tangerang seorang buruh yang dianiaya Kepala Personalia atau di Sukoharjo seorang pekerja perempuan hamil di permalukan di tempat kerja oleh Managernya warga negara Korea. Ketika membuat laporan polisi pihak kepolisian justru tidak berpihak kepada korban dan cenderung meminta berdamai, di mana kasus-kasus itu akhirnya tidak berlanjut.
Keberadaan Peradilan sebagai sebuah mekanisme, sejatinya adalah sarana menyalurkan berbagai kepentingan secara adil dan sama rata atau sering disebut dengan azas equality before the law yang berarti juga demokratis. Tidak bisa dibayangkan prospek perilaku hukum masyarakat ke depan bila masyarakat diajari bahwa sistem yang seharusnya demokratis ternyata menjadi diskrimansi dan alat penindas bagi yang miskin. Pada kondisi demikian masyarakat atau kelompok yang tidak memiliki kepentingan langsung akan merasa apatis dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum itu sendiri terutama pengadilan. Sebagai salah satu representasi negara, peradilan yang buruk dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri. Rakyat dibuat tidak percaya dengan sistem, mekanisme yang dibuat negara dan akhirnya ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri.
Dalam tataran ini, mereka yang tidak memiliki kepentingan mungkin cukup bersikap apatis, tetapi berlainan dengan mereka yang memiliki kebutuhan-kebutuhan akan peradilan (upaya pemulihan). Karena itu tidak perlu heran, kegagalan peradilan untuk bersikap adil akan memunculkan upaya-upaya alternatif yang bukan tidak mungkin salah satunya adalah kekerasan. Di banyak tempat pengadilan sudah kehilangan fungsi sebagai benteng keadilan,terbukti ada terdakwa dihakimi massa sampai mati di depan sidang. Ada hakim di lempar sepatu dan yang paling anarkis kantor pengadilan dibakar massa. Jika demikian maka ada pertanyaan penting, untuk siapa sebenarnya upaya pemberatasan mafia hukum termasuk mafia peradilan? Sebagai jalan ke luar bahwa segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan mafia hukum termasuk di dalamnya peradilan. Tujuan akhirnya tak lain dan tak bukan adalah membuat murah ongkos atau beaya mencari keadilan. Artinya mata rantai birokrasi keadilan yang panjang dan bertele-tele harus segera diurai. Sebab dari survey indek kebutuhan masyarakat maka beaya hidup dikatakan murah jika keadilan jika mudah di dapat. Artinya segala transaksi internasional yang berhubungan dengan ekonomi kunci utamanya adalah kepercayaan kepada hukum. Jika hukum tegak maka beaya hidup akan turun karena masyarakat memiliki kepastian atas segala urusannya.
Surakarta, 30 Juni 2010
Muhammad Taufiq, SH MH, advokat, mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UNS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar