Solo Metro, 20 Oktober 2010
KARANGANYAR-Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surakarta Muhammad Taufiq mengkhawatirkan kasus dugaan korupsi Griya Lawu Asri (GLA) hanya akan menjadi opera sabun dan cerita tiada akhir.
Hal itu dikatakan Taufiq mengingat ada pengacara yang menjadi penasihat hukum dua terdakwa sekaligus, yakni Handoko Mulyono dan Tony ''Iwan'' Haryono.
Pengacara yang dimaksud Taufiq adalah Heru S Notonegoro. ''Hal itu tidak etis. Karena saat Handoko sebagai terdakwa, Tony menjadi saksi. Begitu juga sebaliknya,'' kata dia di PN Karanganyar, Selasa (19/10).
Selain tidak etis, dia mengatakan pengacara yang dobel itu telah melanggar pasal 172 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa seseorang yang sebelumnya sudah mendengarkan keterangan saksi, tidak boleh mendengarkan keterangan terdakwa. ''Padahal si pengacara mendampingi keduanya.''
Kode Etik Dengan kondisi semacam itu, dikhawatirkan kasus dugaan korupsi GLA hanya buih saja dan tanpa ada esensi, sehingga hanya berputar-putar. Untuk itu, Taufiq meminta jaksa untuk mengajukan keberatan atas masalah tersebut kepada majelis hakim. Sebab jika dibiarkan, nantinya bisa terjadi kondisi kasus gugur demi hukum.
Heru S Notonegoro menanggapi bahwa dirinya sebagai advokat dalam menjalankan profesi dibingkai suatu kode etik profesi. ''Saya menjadi pengacara Handoko karena Handoko yang minta. Saya jadi pengacara Tony karena Tony yang minta,'' tuturnya.
Disinggung kemungkinan dirinya mengkondisikan ending persidangan? Dia menyampaikan bahwa pengadilan tersebut merupakan lembaga peradilan yang dihormati oleh semua pihak. Heru justru mempertanyakan bagaimana dirinya bisa mengondisikan hal tersebut.
Menurut Heru, dirinya memang mengkondisikan terdakwa dan saksi yang diminta untuk memberikan keterangan supaya kliennya bisa dibebaskan. ''Kalau keberatan terhadap saya, saya memiliki organisasi profesi. Silakan diajukan,'' tegasnya.
Kasi Pidsus Kejari Bambang Tedjo Manikmoyo menolak berkomentar perihal masalah tersebut. Menurutnya, wewenang untuk mengajukan keberatan berada ditangan Kejaksaan Tinggi Jateng.
Salah satu jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus Handoko dan Tony yakni Faizal Banu menyatakan pihaknya akan cermat dalam penanganan tersebut. ''Kami cermati. Kami akan pelajari dengan baik. Yang jelas semua harus sesuai koridor hukum.''(H7-73)
Hal itu dikatakan Taufiq mengingat ada pengacara yang menjadi penasihat hukum dua terdakwa sekaligus, yakni Handoko Mulyono dan Tony ''Iwan'' Haryono.
Pengacara yang dimaksud Taufiq adalah Heru S Notonegoro. ''Hal itu tidak etis. Karena saat Handoko sebagai terdakwa, Tony menjadi saksi. Begitu juga sebaliknya,'' kata dia di PN Karanganyar, Selasa (19/10).
Selain tidak etis, dia mengatakan pengacara yang dobel itu telah melanggar pasal 172 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa seseorang yang sebelumnya sudah mendengarkan keterangan saksi, tidak boleh mendengarkan keterangan terdakwa. ''Padahal si pengacara mendampingi keduanya.''
Kode Etik Dengan kondisi semacam itu, dikhawatirkan kasus dugaan korupsi GLA hanya buih saja dan tanpa ada esensi, sehingga hanya berputar-putar. Untuk itu, Taufiq meminta jaksa untuk mengajukan keberatan atas masalah tersebut kepada majelis hakim. Sebab jika dibiarkan, nantinya bisa terjadi kondisi kasus gugur demi hukum.
Heru S Notonegoro menanggapi bahwa dirinya sebagai advokat dalam menjalankan profesi dibingkai suatu kode etik profesi. ''Saya menjadi pengacara Handoko karena Handoko yang minta. Saya jadi pengacara Tony karena Tony yang minta,'' tuturnya.
Disinggung kemungkinan dirinya mengkondisikan ending persidangan? Dia menyampaikan bahwa pengadilan tersebut merupakan lembaga peradilan yang dihormati oleh semua pihak. Heru justru mempertanyakan bagaimana dirinya bisa mengondisikan hal tersebut.
Menurut Heru, dirinya memang mengkondisikan terdakwa dan saksi yang diminta untuk memberikan keterangan supaya kliennya bisa dibebaskan. ''Kalau keberatan terhadap saya, saya memiliki organisasi profesi. Silakan diajukan,'' tegasnya.
Kasi Pidsus Kejari Bambang Tedjo Manikmoyo menolak berkomentar perihal masalah tersebut. Menurutnya, wewenang untuk mengajukan keberatan berada ditangan Kejaksaan Tinggi Jateng.
Salah satu jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus Handoko dan Tony yakni Faizal Banu menyatakan pihaknya akan cermat dalam penanganan tersebut. ''Kami cermati. Kami akan pelajari dengan baik. Yang jelas semua harus sesuai koridor hukum.''(H7-73)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar