WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 12 April 2012

Predator Justice

Dimuat di Harian Joglosemar, Rabu 11 April 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan aksi “tampar“ Deny Indrayana, saat mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru. Di pagi buta ia bersama petugas keamanan dari BNN Bdan Narkotika Nasional berupaya menangkap pelaku peredaran narkoba yang diduga ada di LP itu dan melibatkan sipir. Tak ayal sikap Deny dan rombongan mengagetkan petugas jaga di LP tersebut. Terjadilah insiden pemukulan dan penendangan terhadap petugas jaga yang lain. Sikap kesal Deny bisa jadi tidak lepas dari dugaan bahwa LP sebagai pengendali peredaran narkoba. Dalam kapasitas sebagai Wamenhumhan ia ingin memperpendek dan membuat gebrakan pemberantasan narkoba. Sepintas ia sah-sah saja, namun ada yang aneh dalam penggunaan kekuasaan itu, karena secara tidak sadar ia juga menabrak aturan atau norma yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan. Yakni prosedure kunjungan dan peminjaman tahanan.
Jika dicermati aturan berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, tertib. Penegakkan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan perlakuan yang baik, benar akan mewujudkan keadaan yangtata tentrem kerta raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya, dengan perlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan.
Durkheim merumuskan hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Dalam berat ringannya sanksi adalah tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan-keyakinan masyarakat tentang baik buruknya serta tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh sebab itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Maka hukum berada di antara dunia nilai-nilai atau ide-ide dengan dunia kenyataan sehari. Oleh karena itu hukum bergerak di antara 2 (dua) dunia yang berbeda, akibatnya sering terjadi ketegangan pada saat hukum diterapkan.
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen meliputi dua aspek penting yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Pendekatan yang dilakukan oleh Hans Kelsen disebut The Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan pendekatan dua kutub antara mazhab hukum alam dengan positivisme empiris. Apabila kita berpikir mengenai sesuatu maka berlakulah hukum-hukum yang logis (rasional). Akan tetapi dalam kebingungan atau kepanikan maka banyak di antara kita lupa atau melupakan pemikiran logis.
Sehingga hukum hadir bukan lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia, melainkan hadir demi dirinya sendiri. Absolutisme pemikiran yang begitu kuat telah menempatkan hukum modern sebagai realitas yang dikonstruksikan. Jadi, muncullah dua macam realitas. Pertama, yang dibentuk oleh hukum modern dengan sekalian pengawalnya yang terdiri atas negara modern, pemerintahan administrasi yang hierarkhis, dan penegak hukum yang memegang kepastian hukum sebagai senjata utama dalam menjalankan fungsinya. Kedua, yang ada senyatanya dalam kehidupan masyarakat, termasuk ketidakmampuan rakyat kecil menggapai keadilan karena status sosial dan nasibnya yang buruk. Suteki menyebutnya sebagai poor justice. Kondisi ini semakin diperburuk dengan tampilan penegak hukum bukan sebagai enforcement justice tapi justru sebagai predator justice, terbukti banyak kasus remeh dengan nilai kerugian ribuan atau puluhan ribu justru memenuhi jadwal persidangan. Sementara untuk kasus korupsi atau yang melibatkan masyarakat terpelajar banyak yang diloloskan. Fakta ini sebagai akibat kegagalan dari hukum modern. Karena ia membuat suatu kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat meskipun kemudian ternyata bahwa suatu teori tidak boleh menyatakan diri sebagai sesuatu absolut. Pada zamannya, ia bisa saja mendapatkan ruang yang begitu besar dalam membentuk masyarakat, tetapi ketika perubahan terjadi dan masyarakat menuntut sesuatu, ia harus merendahkan diri untuk menyatakan ketidakmampuannya dan memberikan tempatnya bagi kehadiran teori lain yang dapat menjawab kebutuhan manusia.
Penerapan hukum berarti juga memfungsikan hukum agar sesuai dengan kenyataan sosial (verkelijkheid). Roscoe Pound sebagai pelopor aliran fungsional atau dikenal juga dengan aliran sosiological jurisprudence, mengatakan bahwa persoalan-persoalan pelik harus dianalisa dengan mendalam untuk dapat memahami perkembangan hukum, penghargaan terhadap perkembangan hukum dipandang sebagai kunci untuk mengenal sifat hukum. Yang kita butuhkan saat ini, hukum tidak hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak tetapi juga merupakan sustu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan menjamin pemuasan kebutuhan yang maksimal dengan pengorbanan yang minimal. Pound menggunakan analogi social enginering. Pendapat Pound ini bertujuan agar peraturan hukum itu berlaku secara efektif sesuai dengan tujuan untuk apa peraturan itu dibuat, maka dalam hal ini hukum yang berlaku dalam masyarakat boleh tidak sama dengan hukum yang ada dalam buku-buku atau dengan kata lain law in book tidak sama dengan law in action.Itulah yang harus kita raih sehingga melahirkan aparatur yang pro keadilan dan bukan predator yang justru merusak keadilan.
Muhammad Taufiq, Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS