WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 24 Februari 2014

SENGKETA LAYANAN PERBANKAN: BPD Salahkan Toko yang Tolak Kartu Debit

Suasana sidang sengketa konsumen M Taufiq dan BPD Jateng
SOLO—PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah (Jateng), selaku teradu, menyalahkan toko atau gerai yang menolak BPD Card Gold dari Muhammad Taufiq, selaku pengadu. Toko itu disebut belum mengetahui BPD Card Gold sejatinya dapat digunakan untuk bertransaksi di mesin EDC BCA berlogo Prima Debit.

Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan perkara sengketa konsumen antara Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Solo itu dengan BPD di kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Laweyan, Solo, Kamis (13/2/2014). Kuasa hukum BPD Jateng, Maria Ulfa, di hadapan majelis yang diketuai Sri Wahyuni itu menyampaikan, penolakan oleh pihak toko karena pekerja kasir tidak mengetahui bahwa BPD Card Gold dapat digunakan untuk bertransaksi pembelian barang.

Padahal, sosialisasi telah dilaksanakan secara menyeluruh, sejak lama. Sosialisasi juga digelar di Kartika Selular di Plasa Singosaren. Seperti diketahui Kartika Selular merupakan salah satu gerai yang menolak BPD Card Gold milik Taufiq, sapaan akrab Ketua Ikadin, 27 November 2013 lalu.

“Penolakan hanya karena petugas kasir toko berlogo Prima Debit tidak tahu kalau kartu ATM BPD Card Gold sebenarnya bisa digunakan untuk bertransaksi. Menurut saya ini salah pemilik merchant [toko] yang tidak menyosialisasikan ke pegawai. Oleh karena itu, agar para pihak merchant tahu kami menyosialisasikan lagi, 1 Januari lalu,” urai Maria didampingi rekannya, Linda Yuni Rustanti.

Lebih lanjut ia mengatakan, pihak toko wajib mengetahui jika BPD Card Gold dapat digunakan pada mesin EDC BCA berlogo Prima Debit. Apabila ada ketidaktahuan hal tersebut merupakan tanggung jawab toko. Mendengar penjelasan itu, anggota majelis, Kelik Wardiyono, mengatakan apabila demikian berarti ada masalah dengan sistem yang dibangun antara BPD, pengelola jaringan, dan toko.

Maria menambahkan pengadu sesungguhnya tidak mengalami kerugian material atas penggunaan BPD Card Gold, sebagaimana disampaikan dalam dalil aduan. Menurut dia, berdasar catatan Taufiq selalu berhasil bertransaksi menggunakan BPD Card Gold selama kurun waktu 2009-2013.

Menanggapi hal itu Taufiq menilai BPD hanya mengkambinghitamkan pihak lain. Tak sekadar itu, BPD dinilai tidak cerdas dalam menjawab aduannya. “Kalau seperti ini BPD tidak bertanggung jawab namanya. Lagian, BPD juga kelihatannya tidak mengerti materi aduan saya. Yang saya persoalkan kan kenapa bisa BPD Card Gold saya ditolak kasir toko, tapi BPD malah menerangkan transaksi-transaksi saya di ATM yang berhasil. Enggak nyambung,” pungkas dia. (Sumber: Rudi Hartono/Harian Solopos, 14 Februari 2014)

Minggu, 16 Februari 2014

Putusan MK dan Markus

Dimuat di Harian JOGLOSEMAR edisi Jumat 14 Februari 2014
Oleh Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.


Berkaca dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelaksanaan Pemilu serentak yang dimohonkan pada tanggal 10 Januari 2013. Mahkamah Konstitusi akhirnya membuat keputusan penting terkait pelaksanaan pemilu. MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi Effendi Gazali tentang pemilu serentak. Baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Namun yang membuat terhenyak,menurut MK pemilu serentak baru berlaku pada Pemilu tahun 2019. Orang akhirnya pada menoleh kembali tentang mafia peradilan,terlebih pasca tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar yang secara signifikan berpengaruh pada kredibilitas MK.
  Setuju atau tidak praktek mafia peradilan adalah sebagai biang kegagalan memfungsikan peradilan sebagai sarana mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan mafia ini terlihat dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri.
    Seiring maraknya predikat markus banyak nama yang kemudian muncul seperti Arthalyta Suryani, Anggodo Widjojo, Sahril Djohan,Ary Muladi dll. Mereka telah telah menjadi ikon tindakan menyimpang di peradilan walaupun orang-orang mengartikan atau menanggapi perbuatan mereka dengan cara dan istilah yang beragam, namun kesimpulannya sama mereka adalah perusak keadilan. NGO pegiat anti korupsi mengartikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Bagir Manan saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung menyebutnya sebagai  tingkah laku yang tidak terpuji. Meskipun Bagir pernah kesandung dalam kasus sogok Probosutedjo yang melibatkan mantan hakim Harini Indra Wiyoso. Perbuatan tersebut oleh Bagir  diistilahkan sebagai criminal behaviour.( Kompas : 20 Mei 2010)
Tanggapan masyarakat terhadap tingkat korupsi peradilan juga dapat dilihat dari hasil survey Transparency International terhadap 1000 responden masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 2010. Bersama-sama dengan legislatif dan polisi, peradilan adalah lembaga –yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survey ini menggunakan skala 1-5 dimana semakin besar nilai indeksnya, maka makin korup lembaga tersebut.( ICW,2010). Demikian pula sebaliknya, lembaga yang memiliki indeks terkecil semakin pula tingkat korupsinya dalam persepsi masyarakat. Data ini masih ditambah dengan hasil survey yang mengatakan seratus persen inisiatif suap di lembaga peradilan berasal dari pejabat atau pegawai pengadilan( Asfinawati: 2008).
Lembaga hukum yang masuk angin
Selain tindakan langsung untuk mempengaruhi suatu kasus, judicial corruption yang telah merasuk ke sistem dan menjadi kultur penyebab lahirnya sikap diskriminatif pada aparat peradilan. Terbiasa melayani dengan meminta bayaran tambahan berupa saweran yang nota bene masuk pungli membuat mereka tidak serius melayani atau melayani dengan setengah hati masyarakat yang tidak mampu ,karena tidak mau dan tidak bisa memberikan uang saweran.. Ujung tombak pertama adalah adanya laporan-laporan masyarakat kepada pihak kepolisian yang tidak segera ditindaklanjuti atau dijalankan dengan masuk angin. Di Tangerang seorang buruh yang dianiaya Kepala Personalia atau di Sukoharjo seorang pekerja perempuan hamil di permalukan di tempat kerja oleh  Managernya warga negara Korea.  Ketika membuat laporan polisi alih-alih membantu, pihak kepolisian justru tidak berpihak kepada korban dan cenderung meminta berdamai, di mana kasus-kasus itu akhirnya tidak berlanjut.
Keberadaan Peradilan sebagai sebuah mekanisme, sejatinya adalah sarana menyalurkan berbagai kepentingan secara adil dan sama rata atau sering disebut dengan azas equality before the law  yang berarti juga demokratis. Tidak bisa dibayangkan prospek perilaku hukum masyarakat ke depan bila masyarakat diajari bahwa sistem yang seharusnya demokratis ternyata menjadi diskrimansi dan alat penindas bagi yang miskin. Dalam kasus kesaksian Nazarunddin pada kasus Hambalang yang terang benderang menyebut nama Ibas. Polisi dan KPK terkesan masuk angin. Pada kondisi demikian masyarakat atau kelompok yang tidak memiliki kepentingan langsung akan merasa apatis dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum itu sendiri terutama pengadilan. Sebagai salah satu representasi negara, peradilan yang buruk dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri. Rakyat dibuat tidak percaya dengan sistem, mekanisme yang dibuat negara dan akhirnya ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri.
Dalam tataran ini, mereka yang tidak memiliki kepentingan mungkin cukup bersikap apatis, tetapi berlainan dengan mereka yang memiliki kebutuhan-kebutuhan akan peradilan (upaya pemulihan). Karena itu tidak perlu heran, kegagalan peradilan untuk bersikap adil akan memunculkan upaya-upaya alternatif yang bukan tidak mungkin salah satunya adalah kekerasan. Di banyak tempat pengadilan sudah kehilangan fungsi sebagai benteng keadilan,terbukti ada terdakwa dihakimi massa sampai mati di depan sidang. Ada hakim di lempar sepatu dan yang paling anarkis kantor pengadilan dibakar massa. Jika demikian maka ada pertanyaan penting, untuk siapa sebenarnya upaya pemberatasan mafia hukum termasuk mafia peradilan? Sebagai jalan ke luar bahwa segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan mafia hukum termasuk di dalamnya peradilan. Tujuan akhirnya tak lain dan tak bukan adalah membuat murah ongkos atau beaya mencari keadilan. Artinya segala transaksi internasional yang berhubungan dengan ekonomi kunci utamanya adalah kepercayaan kepada hukum. Praktek Hukum yang baik akan membuat ongkos hidup murah karena semua urusan teraudit penyelesaiannya. Sehingga semua termonitor dengan transparan.

Rabu, 12 Februari 2014

Peduli Lingkungan, Komunitas Pecinta Pohon Surati Pemkot Solo

Senin, 10/02/2014 16:48 WIB
Editor : Sika Nurin

SOLO – Masyarakat Kota Solo yang mengatasnamakan Komunitas Pecinta Pohon Surakarta (KPPS) menuntut Pemkot Solo untuk mengawasi dan merawat pepohonan serta menindak aktivitas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Aksi teatrikal dalam peringatan hari bumi sedunia | Ilustrasi: doc Soloblitz
Langkah ini dilakukan KPPS dengan mengirimkan surat tertulis kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Solo. Surat yang ditandatangani Ketua Presidium KPPS, Muhammad Taufiq juga ditembuskan ke Walikota dan Ketua DPRD Kota Solo.
Dalam suratnya, KPPS menjelaskan dasar hukum yang melandasi tuntutan tersebut antara lain Perda Kota Solo Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Pasal 57, Peraturan KPU No.15 Tahun 2013, Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta KUHP Pasal 406 dan 412.
“Pelangaran Perda berupa pidana kurungan 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50 juta,” ungkap Taufiq dalam keterangan tertulisnya kepada Soloblitz, Senin (10/2/2014).
“Spabila pemberitahuan ini diabaikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surakarta, maka kami akan menempuh segala upaya hukum baik secara Perdata maupun Pidana,” kata dia.
KPPS merupakan komunitas baru yang terbentuk sejak Februari 2014. Anggotanya terdiri atas berbagai unsur masyarakat yang peduli akan kelestarian dan keberadaan pohon di wilayah Solo, seperti mahasiswa, pengusaha, advokat serta masyarakat umum lainnya.
Sika Nurindah | @soloissika

Sumber : http://www.soloblitz.co.id/2014/02/10/peduli-lingkungan-komunitas-pecinta-pohon-surati-pemkot-solo/

Kamis, 06 Februari 2014

Komunitas Pecinta Pohon Soroti Pembangunan Hotel di Kerten

Kamis, 06/02/2014 21:37 WIB
Editor : Ari Kristyono
Sebagian anggota Komunitas Pecinta Pohon Surakarta yang terbentuk Rabu (5/6/2014) malam | Foto: Ari Kristyono

SOLO – Komunitas Pecinta Pohon Surakarta (KPPS) bukanlah organisasi formal, hanya sebuah komunitas dari warga Kota Solo yang gelisah tentang nasib pepohonan perindang kota yang banyak dirusak dan dihilangkan tanpa perlindungan memadai. Meski tak formal, mereka siap membuat banyak orang kapok merusak lingkungan.
“Tidak usah wadah formal, tapi kita akan bergerak memantau di mana ada pohon yang ditebang atau dirusak secara liar. Lalu akan kita lakukan action, apakah itu ekspose melalui media, atau bisa saja kita gugat secara hukum pelakunya. Pokoknya harus ada efek jera,” tutur Buddy Prasetyo, aktivis lingkungan yang bergabung dalam KPPS, Rabu (5/2/2014) malam.
Komunitas ini, tak memiliki keanggotaan yang ketat, siapa pun warga Solo yang ingin mendukung, dipersilakan melibatkan diri.
“Aksi pertama kita nanti akan bersama-sama memantau, misalnya sekarang lagi ada proyek pembangunan hotel di Kerten. Di sana masih ada pohon-pohon di tepi jalan. Akan kita lihat, kita awasi jangan sampai ditebangi secara liar. Pemerintah musti dukung ini,” ucap Buddy. Ari Kristyono | @arikrist

MAHALNYA KEADILAN HUKUM

Belajar dari Kasus Lanjar Sriyanto

Saat ini berbagai kasus kontroversial muncul di hadapan publik baik lewat pemberitaan media, koran maupun internet berkaitan dengan proses penyelesaian perkara pidana. Begitu mudahnya seseorang dipidanakan atas perbuatan yang ia lakukan, walaupun itu hanyalah kasus-kasus kecil yang sebenarnya dapat diselesaikan cepat di luar persidangan. Dari hari ke hari hukum di negeri ini sangat aneh.  Hal yang lebih memperburuk lagi ialah munculnya “Peradilan Sesat”  dimana orang dihadapkan di muka sidang tanpa tahu kesalahan apa yang ia lakukan. Contoh Peradilan sesat yang dijadikan contoh dalam buku ini ialah tentang kasus Lanjar Sriyanto dimana ia disidangkan di Pengadilan Negeri Karanganyar dengan dakwaan Pasal 359 dan 360 KUHP. Banyak yang bilang ia sudah jatuh tertimpa tangga, sudah kehilangan istri masih pula dipenjara. Apabila dihitung dari segi ekonomi memenjarakan orang seperti Lanjar tentu negara justru “ Rugi”.  

Sudah saatnya sekarang negara ini mengembangkan hukum progresif. Hukum progresif lebih menempatkan faktor perilaku di atas peraturan. Faktor dan kontribusi manusia dianggap lebih menentukan daripada peraturan yang ada. Hukum progresif tidak bergerak pada aras legalistik-dogmatis, analitis-positivistik, tetapi lebih pada aras sosiologis. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh hukum positif atau peraturan perundang-undangan, tetapi hukum progresif juga bergerak pada aras non-formal. Bayangkan bila semua orang seperti Lanjar  atau pun Nek Minah harus dipenjara, tentu penjara akan penuh. 

Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H. seorang Doktor Ilmu Hukum spesialis Pidana dan Advokat pertama yang menyandang gelar doktor di wilayah Solo Raya ini mengupas hal tersebut dengan menghadirkan Buku "Mahalnya Keadilan Hukum"

Dalam buku ini, ada hal menarik mengapa penulis mengangkat kasus Lanjar, yaitu kasus ini sempat menjadi berita nasional di mana hampir semua media, koran, dan televisi semua menayangkan.  Seperti diketahui motor Lanjar menabrak mobil Suzuki Carry yang berada di depannya. Motor terjatuh, istri dan anaknya terpental. Dari arah berlawanan mobil Isuzu Panther menghantam tubuh istrinya yang mengakibatkan  meninggal seketika. Hingga saat ini sopir mobil yang menabrak istri Lanjar tidak ada proses hukumnya. Kemalangan tak berhenti di situ. Polisi menetapkannya sebagai tersangka karena dinilai lalai sehingga menyebabkan orang lain meninggal dan luka-luka. Dalam buku inilah penulis berbagi pengalaman sebagai advokat yang menangani perkara tersebut.

Buku ini wajib dibaca dan menjadi referensi para mahasiswa khususnya fakultas hukum, para Advokat, dan para pencari keadilan.

Untuk informasi pemesanan buku ke;
Office      : Law Firm MT&P 
                 Jl. Songgorunggi Laweyan Surakarta Jawa Tengah
Telp/Fax  : +62271-729924
Email       : taufiq_advocate007@yahoo.co.id
Mobile     : +62 81 2296 1011

Minggu, 02 Februari 2014

Pasang Gambar Caleg di Pohon Bisa Dihukum 32 Bulan

Solo – Belakangan ini marak pemasangan pemasangan gambar atribut kampanye dan gambar calon legislatif (Caleg). Pemasangannya pun banyak yang asal pasang, seperti di pohon-pohon, pagar, dinding bahkan tempat-tempat ibadah, itu pun umumnya ditempel dengan paku. Akibat selain mengganggu keindahan, juga merusak, terutama merusak pohonan, taman dan sarana publik lainnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Muhammad Taufiq SH MH menyatakan, pemasangan atribut kampanye dan gambar Caleg yang di pepohonan jelas merusak lingkungan hidup dan menyalahi peraturan yang berlaku.
“Pemasangan atribut kampanye Caleg di pohon-pohon atau taman jelas melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, juga UU Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Perusakan Lingkungan,” tandas M Taufiq, di Solo, Senin (9/12).
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), Dr Muhammad Taufiq SH MH
Khusus mengenai pemasangan alat peraga maupun gambar Caleg di pohon, menurut pengajar hukum pidana tersebut, seharusnya pemerintah daerah dan Panwas mengambil tindakan tegas dengan mencopot seluruhnya, juga menindak tegas pemasangan di pepohonan.
Jika dilihat dari aspek pidana, pemasangan alat peraga di po
hon bisa dimasukkan dalam tindak pidana perusakan sebagaimana diatur dalam pasal 406 KUHP dengan ancaman hukuman setinggi-tingginya dua tahun delapan bulan (32 bulan). Apalagi dilakukan bersama-sama orang lain maka termasuk dalam pasal 412 KUHP.
“Pemasangan paku jelas membuat pohon tidak berfungsi sebagaimana mestinya, terlebih apabila akibat tindakan tersebut membuat pohon menjadi mati atau tidak tumbuh dengan baik,” jelasnya.
Sampai saat ini, menurut Taufiq, pelanggar UU atau peraturan itu tidak ada yang dikenai pidana. Realita yang ada memang telah terjadi pembiaran terhadap pelanggar terutama pemasang atribut kampanye atau gambar Caleg yang berakibat telah merusak lingkungan hidup.