WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 23 Desember 2014

KPPS KEMBALI TEGUR DINAS KEBERSIHAN & PERTAMANAN SURAKARTA



Semakin maraknya pembangunan hotel di wilayah Surakarta berdampak pada pengrusakan pohon-pohon dengan cara penebangan sehingga kedepannya dapat merusak ekosistem lingkungan yang dapat menimbulkan bencana alam seperti angin topan maupun banjir serta meningkatnya polusi udara.  Salah satu diantaranya penebangan pohon di Hotel Alila beralamat di Jl. Slamet Riyadi No. 562, Kawasan Pertigaan Faroka Surakarta menggerakan hati Komunitas Pecinta Pohon Surakarta (KPPS) untuk kembali menegur Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surakarta melalui suratnya tertanggal 18 Desember 2014.
Penebangan tersebut melanggar :

a.      Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 69 Poin 1 a,
    “Bahwa Setiap orang dilarang: melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
b.     Perda Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Pasal 57, “Bahwa dalam rangka pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan serta menjaga kelestarian ekosistem, maka setiap orang dilarang dalam poin (h) melakukan penebangan, pengrusakan dan/atau yang menyebabkan rusak atau matinya tanaman pada tempat-tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman kota, resapan air dan daerah sepadan sungai.”

Bahkan pemotongan pohon di tempat tersebut dapat digolongkan sebagai pengrusakan dan/atau yang menyebakan rusak atau matinya tanaman maka ancaman hukumannya sesuai peraturan Perda Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Pasal 68 diancam dengan pidana kurungan 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan Pasal 406 serta Pasal 412  KUHP dengan ancaman pidana kurungan 32  bulan dan apabila dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, maka pidana: ditambah sepertiga.



 

Minggu, 12 Oktober 2014

Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum

Buku : Keadilan Substansial Memangkas Rantai Birokrasi Hukum
Penulis : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H
Penerbit : Pustaka Pelajar
Ukuran : 16 x 23,5
Harga (Normal) : Rp.65.000,-
Untuk pembelian melalui MT&P Lawfirm
Jl. Songgorunggi 17 A Laweyan Surakarta
Telp : 0271729924
Harga (Promosi) : Rp.60.000,- + Discont : 20% 

*harga belum termasuk ongkos kirim
Persediaan terbatas

Senin, 15 September 2014

Memberantas Korupsi dan Menyelamatkan Aset Negara

Oleh : Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H
               Selama ini kita banyak mendengar kehebatan penyidik KPK melakukan operasi tangkap tangan atas pelaku tindak pidana korupsi. Namun sedikit dari kita mendengar atau membaca berita hasil tangkapan berupa hasil tindak pidana korupsi itu sudah dimanfaatkan apa belum ? atau justru malahan rusak karena negara sudah tidak mengurus. Sebagai contoh total lost Hambalang berdasar audit BPK sebesar Rp.463,66 miliar. Menurut hemat penulis justru lebih besar daripada  itu karena proyek asrama atlit itu kini macet. Jadi sesungguhnya negara rugi Rp.1,2  triliun,- akibat macetnya proyek dimaksud.
Dalam memberantas korupsi semestinya sudah dipikirkan selain menangkap koruptor juga menyelamatkan atau memanfaatkan aset hasil tindak pidana korupsi atau menggunakan istilah follow the asset tidak sekedar follow the  suspect.  Sesungguhnya tahun 2009, Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perampasan Aset oleh Pemerintah diusulkan kepada Badan Legislasi DPR untuk dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional  (Prolegnas). Menjelang injury time sebelum disepakati sejumlah 300-an  lebih daftar RUU yang diajukan, RUU tentang Perampasan Aset ternyata termasuk dalam daftar Prolegnas 2010-2014 dari sekitar 247 RUU. Celakanya, RUU tentang Perampasan Aset tersebut belum pernah dimasukkan dalam prioritas tahunan oleh Pemerintah dan DPR pada setiap pembahasan tahunan Prolegnas (tahun 2011 sampai 2014). Alhasil hingga hari ini belum sempat dibahas.
            Jika dicermati sesungguhnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengatur cara  perampasan aset hasil tindak pidana korupsi, namun dasar untuk merampasan tersebut tidak menggunakan instrument  NCB Asset Forfeiture, melainkan menggunakan model instrument hukum pidana (tindak pidana korupsi) melalui putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjde). Hal ini patut dimaklumi karena selama ini sistem hukum di Indonesia lebih cenderung menggunakan sistem continental sedangkan NCB Asset Forfeiture pada dasarnya dikenal dalam sistem hukum commont law( Suhariyono,29 Agustus 2014)
            Pada Pola NCB Asset Forfeiture, hal yang dipersoalkan adalah terkait dengan lembaga yang mengelola aset hasil rampasan. Supervisi dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dalam setiap penyusunan RUU. Menyatakan  perlu dihindari adanya pembentukan lembaga baru. Sedapat mungkin, lembaga yang sudah ada diberdayakan atau diberikan fungsi dan tugas yang lebih luas guna menjalankan suatu undang-undang seperti keberadaan PPATK yang terkesan seperti penyaji data saja. Dari supervisi tersebut, beberapa alternative yang ditawarkan oleh tim penyusun RUU yakni Lembaga Rupbasan (Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara) di bawah Kementerian Hukum dan HAM, Direktorat Jendral Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, atau di Kejaksaan Agung (di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara). Ada beberapa anggota tim mengusulkan dibentuknya lembaga baru, namun hal ini terganjal oleh pandangan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Sisi lain menurut hemat penulis tidak efektif dan pemborosan,seperti halnya keberadaan Kompolnas dan Komisi Kejaksaan.
            Terdapatnya instrument perampasan aset, terutama yang bisa menimbulkan efek antara lain . pertama mencegah pelaku melanjutkan tidak pidananya ,sebab pelaku akan berfikir untuk melakukan tindak pidana,sebab motif ekonomi tidak akan tercapai , tidak akan menguntungkan karena keuntungan yang didapat akan dirampas untuk negara. Kedua, tindakan melakukan  perampasan aset akan menambah dukungan masyarakat dan menjadi moral force, bahwa pemerintah ternyata  bersungguh-sungguh memerangi korupsi dan tindak pidana lainnya yang merugikan keuangan negara.
 Kenapa hal ini harus dilakukan ? Sebab bentuk pemidaan yang paling kuno seperti pidana perampasan kemerdekaan (kurungan badan) terbukti tidak cukup ampuh untuk mencegah dilakukannya tindak pidana korupsi atau sejenisnya  karena pelaku masih bisa menikmati hasil/keuntungan tindak pidananya se keluar dari penjara beberapa diantara mereka malah syukuran . Ketiga,. perampasan aset merupakan ekpresi dalam upaya  mendukung dilakukannya perang terhadap tindak pidana tertentu (korupsi, perdagangan gelap narkotika, illegal loging,illegal fishing, dan human trafficking /perdagangan manusia, juga tindak pidana money lounderings atau pencucian uang hasil tindak pidana  yang termasuk ketegori extra ordinary crime.) serta antisipasi dan tindak pidana terorganisasi lainnya.
            Sebagaimana diketahui selama ini pemberian hukuman badan faktanya tidak cukup untuk mengerem laju pertumbuhan tindak pidana korupsi. Karenanya perlu dilakukan upaya yang  jauh lebih keras untuk itu, yakni pemberian rasa malu ,berupa efek jera . Yakni   dengan atau disertai perampasan aset melalui penyitaan hasil tindak pidana tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas. Tujuan dilakukannya perampasan aset ini tentu saja  akan memberikan dampak dan pengaruh yang signifikan terhadap calon pelaku tindak pidana pada jenis kejahatan tertentu lainnya. Dengan dipermalukan dan dibuat miskin lebih dahulu  Mereka{ para pelaku kejahatan tertentu } akan takut jika pada akhirnya semua keuntungan hasil kejahatan pidana berujung penyitaan oleh negara, tanpa harus melalui mekanisme birokrasi hukum berupa persidangan dalam  peradilan pidana. Yang perlu ditegaskan pada tulisan ini gagasan penyitaan yang berbeda dengan Hukum Acara Pidana yang kita kenal selama ini .Tidak dimaksudkan sebagai hukuman tambahan sebagaimana ditentukan selama ini dalam KUHP khususnya pasal 10  atau Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi No.20/2001
            Gagasan dapat dilakukannya perampasan aset tanpa menunggu putusan yang berkekuatan hukum tetap pada pelaku tindak pidana tertentu  dalam RUU ini bukan hal baru dan aneh di dunia internasional. Sebab sejatinya RUU Perampasan aset ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kampaye dunia melawan korupsi dan tindak pidana terorganisasi. PBB melalui UNCAC (The United Nations Convention Againts Corruption)  dan UNTOC (The United Nations Convention Against Transnational Organized Crime), telah mengusahakan terjalinnya kerjasama antar negara melawan korupsi dan tindak pidana luar biasa lainnya. Hal ini dilaksanakan dalam bentuk  antara lain, meningkatkan kemampuan negara-negara berkembang merampas kembali aset yang telah diambil secara melawan hukum oleh para pelaku tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri( termasuk negara tetangga seperti Singapura). Khusus Singapura memiliki catatan tersendiri karena kita tidak memiliki perjanjian ektradisi. Dalam kaitan dengan pemberantasan tidak kejahatan tertentu dan upaya merampas aset . Sudah semestinya terdapat payung hukum ,dalam bentuk setidak-tidaknya upaya perampasan aset hasil tindak pidana tertentu tersebut mempunyai peraturan atau undang-undang sendiri yang mengatur cara perampasan aset dan mekanisme atau hukum formalnya seperti KUHP dan KUHAP.
            Jika kita teliti upaya perampasan aset sesungguhnya telah dikenal dan diatur pula  dalam hukum pidana Indonesia atau KUHP  yakni dalam Pasal 10 b KUHP ,berupa pidana tambahan yang memuat : 1.pencabutan hak-hak tertentu.2.perampasan barang-barang tertentu dan 3.pengumuman putusan hukum.( Muhammad Taufiq ,2012).
Pada bagian lain KUHP kita sudah tegas meyebutkan dan diatur dalam sejumlah pasal,antara lain diatur pada pasal 39 – 42 KUHP. Sayangnya selain pasal tersebut jarang digunakan hakim, dalam praktek putusan atas hukuman tambahan tersebut dijatuhkan bersama-sama pidana pokok sehingga terkesan panjang. Harapan penulis semoga proses legislasi pada periode DPR-RI 2014- 2019 RUU tersebut termasuk yang diagendakan dan diprioritaskan dalam pembahasan untuk selanjutnya disahkan menjadi UU.

Surakarta,11 September 2014
Dimuat di harian Solopos edisi Sabtu 13 September 2014

Rumah Panggung Minahasa Di Tengah Kota

Sumber : http://www.soloblitz.co.id/2014/07/22/rumah-panggung-minahasa-di-tengah-kota
Selasa, 22/07/2014 15:26 WIB
Editor : admin
Kediaman Dr. Muhammad Taufik, SH, MH
Kediaman Dr. Muhammad Taufik, SH, MH
Siapa bilang orang Jawa rumahnya harus Joglo? Rumah milik Dr. Muhammad Taufik, SH, MH , putra asli Solo ini justru merupakan rumah panggung khas Minahasa. Tak tanggung-tanggung, dia mendatangkan langsung dari asalnya.
Unik dan menakjubkan, itulah yang terlintas di benak Joglosemar saat kali pertama menyaksikan rumah panggung yang berukuran 32 meter persegi ini berada di tengah perumahan elit, Gentan Baru No. 35 ini, rumah yang didominasi bahan kayu dengan garapan halus dan mengkilap tersebut membuat suasana begitu berbeda. Bak sedang melancong ke Minahasa.
“Awalnya saya ingin membuat semacam gazebo di rumah. Namun, ketika survey para penjual tidak mau mengatakan keawetannya akan terjamin. Karena hobi landscape akhirnya saya cari-cari dan ketemu rumah Panggung Minahasa ini yang sesuai dengan selera saya,” kata Dr. Muhammad Taufik, SH, MH.
Rumah yang terbilang masih baru ini merupakan hasil survey yang ia jalani  selama 5 hari di daerah Tombasian, Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara. Kebetulan Muhammad Taufik yang notabene pengacara kondang ini tengah touring, dan ia meluangkan waktu berburu rumah panggung yang diidam-idamkannya. Taufik juga menyukai nuansa alam dan suasana pedesaan, maka dari itu, selain memelihara ayam Makasar, dia juga menanam pohon pisang di halaman belakang rumah panggung itu, sementara  di sampingnya dibuat kolam dengan suara gemericik air yang mendamaikan.
“Saya suka landscape, saya cari yang sesuai dengan keinginan saya, karena gazebo kurang tahan lama, saya coba cari rumah panggung. Rumah Panggung di Palembang luarnya bagus tapi dalamnya bagi saya masih kurang,” ujarnya.
Lanjut dia, rumah panggung Palembang bahannya menggunakan kayu seru. Menurutnya, kayu seru tidak bagus karena menyebabkan gatal sehingga bukan menjadi pilihannya. Baru pada tahun 2013 lalu saat berlibur ke Minahasa, Taufik menemukan rumah panggung yang cocok, dan dibawa pulang.  Bukan tanpa kendala sama sekali untuk mewujudkan rumah Panggung itu, sebab dia harus harus susah payah mengirim gambar desain, plus terkendala komunikasi yang merepotkan karena sang tukang tidak bisa via online. Beruntung impiannya pun terwujud.
“Setelah jadi saya bawa pulang dengan container dan dikawal polisi. Semua legalitas saya pastikan lengkap sebelumnya. Saya juga mendatangkan tukangnya langsung untuk mengerjakan di sini,” ujarnya.
Sayang, rumah ini berada di tengah-tengah perumahan yang rata-rata tinggi menjulang sehingga menghalangi view ketika hendak menikmati sunrise. Namun, saat sore bersantai di tempat ini sungguh nyaman.
Secara detail, rumah tradisional ini memiliki tangga depan yang serasi dengan rumah panggung karena memadukan konsep batu alam dan pegangan besi bertekstur kayu. Taufik mengaku tangga depan merupakan hasil modifikasinya sendiri, sebab awalnya untuk masuk hanya dapat melalui tangga belakang. Tangga bagian depan ini menghindari bahan kayu, depan ditakutkan akan cepat rusak jika terkena hujan.
“Sebagai orang Jawa tidak pas kalau ada tamu lewat belakang. Jadi  saya tambahkan tangga depan dengan batu alam dan besi bertekstur kayu. Semuanya ini hasil desain saya sendiri,” ungkapnya.
Pada bagian rumah ini terdapat teras yang dilengkapi lampu petromaks unik, dipasang pagar ukir yang begitu halus,  merata baik di luar maupun dalam bagian rumahnya. Sebuah ruang keluarga terkemas sempurna dengan interior rak buku, televisi dan ruang bersantai.
Sepertinya rumah ini sengaja dirancang untuk privasi karena hanya memiliki satu kamar. Sangat cocok bagi yang ingin foto prewedding atau penginapan bagi para turis yang berkunjung di Solo dengan ilustrasi yang berbeda. Ahmad Yasin Abdullah.

Minggu, 20 April 2014

SENGKETA KONSUMEN: Taufiq Minta BPD Card Gold Ditarik

(Hariam Umum Solopos, 21 April 2014)
Solo-Pengaduan perkara sengketa konsumen atas ditolaknya BPD Card Gold di sejumlah toko, Muhammad Taufiq, mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri (PN) Solo, pekan lalu. Ketua Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) Solo itu meminta PN Solo menarik BPD Card Gold yang dikeluarkan PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jateng, karena dianggap produk gagal.
Taufiq, panggi akrab Muhammad taufiq, saat dihubungi Espos, minggu (20/4), mengatakan permohonan eksekusi tersebut merupakan tindak lanjut dari putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Solo yang menangani perkara tersebut. Putusan BPSK itu bernomor 01-02/JK/II/2014/BPSK.Ska tertanggal 13 Maret 2014.
Dalam amar putusan tersebut, kata Taufiq, BPD Jateng dinyatakan bersalah karena tidak memberikan pelayanan secara maksimal kepada dirinya selaku pengadu. Perbuatan tersebut menurut Majelis Arbitrase BPSK melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf f UU No. 9/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Taufiq melanjudkan dalam pasal itu secara jelas menyebutkan pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang/jasa.
"Artinya produk BPD Jateng berupa BPD Card Gold sebagaimana diterangkan dalam pasa tersebut dianggap liar atau tidak sah, sehingga tidak layak digunakan. Makanya, saya selaku pengadu mengajukan permohonan eksekusi agar kartu debit itu ditarik dari peredaran. Agar, tidak ada korban lain yang seperti saya,"jelas Taufiq.
Sementara itu, Wakil Ketua BPSK, Bambang Ary Wibowo, saat dimintai penjelasan mengenai putusan perkara sengketa konsumen antara Taufiq melawan BPD Jateng menjelaskan, amar putusan tidak ada yang menyebutkan periha eksekusi.
"Kalau pihak pengadu melanjudkan eksekusi itu hak dia. Tapi yang jeas dalam putusan kami tidak memerintahkan eksekusi. Dari sisi materi, BPD Card Gold tidak bermasalah. Persoalannya hanya soal pelayanan yang tidak maksimal," jelas Bambang. Seperti diketahui, Taufiq mengadukan BPD Jateng kepada BPSK, Januari. Pasalnya, BPD Card Gold yang dimiliki dia selaku nasabah Bank Jateng Cabang Solo, beberapa kali ditolak pihk toko saat berbelanja di toko yang berlogo Prima Debit. (Rudi Hartono)

Rabu, 09 April 2014

Gaji Hakim 500 Juta dan Kekuasaan Peradilan


Advokat, Dosen Pidana UMS

Meskipun ada banyak studi tentang kejahatan dan hukuman, penegakan hukum masih merupakan bidang baru yang harus diteliti secara mendalam. Apabila peradilan, penjara, kurungan, dan bidang lainnya dalam sistem peradilan pidana dikaji, seringkali titik masuk ke dalam sistem itu adalah melalui institusi lain seperti polisi dan penegak hukum lainya seperti jaksa. Sayangnya, memahami isu-isu penting dalam penegakan hukum, kita hanya memiliki sedikit literatur untuk menggambarkannya.
Penggalan tulisan di atas untuk menggambarkan suasana hati Komisi Yudisial yang begitu sederhana mengajukan pendapat tentang pentingnya kenaikan gaji hakim agung dengan alasan memiliki tanggung jawab yang besar. Maksud Komisioner KY Taufiqurahman Syahuri dengan gaji tinggi agar hakim agung tidak lirik sana lirik sini. Problematika hakim menurut hemat penulis bukanlah melulu pada rendahnya kisaran gaji yang diterimakan. Pada tahun 1960 terjadi sebuah krisis keadilan di Amerika Serikat yang dipicu oleh serangkaian peristiwa termasuk beberapa Keputusan Mahkamah Agung yang berdampak pada standard dan prosedur tindakan kepolisian.Pemicunya adalah protes hak-hak sipil, penolakan terhadap perang melawan Vietnam dan peningkatan kejahatan yang luar biasa. Sebagai respon kegelisahan social yang muncul saat itu. Maka pada 1965 Presiden Lyndon B Johnson membentuk Komisi penegakan Hukum dan Kekuasaan Kehakiman (President Commission of Law Enforcement and Administration of Justice),ia juga menunjuk seorang sebagai Presiden Komisi Kejahatan/ President Crime Commission.
Beberapa ahli dalam bidang pengelolaan/pelaksanaan penanggulangan kejahatan dan hukum melakukan penelitian atas nama komisi kejahatan tesebut. Pada tahun 1967 laporan komisi tersebut dipublikasikan dalam sebuah laporan umum yang disebut The Challenge of Crime in a Free Society. Laporan itu menguraikan lebih dari 200 rekomendasi yang bertujuan untuk memajukan pengelolaan peradilan di Amerika Serikat. yang paling menonjol dalam laporan tersebut adalah mempopulerkan ide peradilan pidana sebagai sebuah suatu sistem. Yang intinya berdasarkan hasil penelitian tersebut suatu keputusan atau tindakan yang diambil oleh satu lembaga akan berpengaruh terhadap lembaga penegak hukum yang lain. Jika membaca rekomendasi tersebut rasanya saya tidak mendapatkan bahwa usulan kenaikan gaji hakim 200 atau 500 juta oleh Komisi Yudisial itu didapat dari hasil kajian,terkecuali membandingkan dengan hakim luar negeri seperti Singapura.
Maka menjadi suatu pertanyaan apakah usulan kenaikan gaji hakim agung itu sudah mempertimbangkan pula fakta-fakta atau kondisi di luar pengadilan?. Setahu penulis sejak tahun 2008 hakim telah menerima remunerasi disusul dan penegak hukum lain seperti jaksa dan polisi. Menghubungkan perilaku hukum aparat negara seperti polisi,jaksa dan hakim dengan remunerasi tentulah hal yang menarik.
Remunerasi yang berasal dari bahasa Inggris Remuneration itu diartikan sebagai gaji atau penghargaan bagi orang yang bekerja. Pertanyaannya apa relevansinya dengan upaya penegakkan hukum? Dan apa pengaruhnya bagi peningkatan kinerja ? Pertanyaan itu wajar di tengah krsisis kepercayaan kepada institusi penegak hukum yang ditunjukkan dengan menguaknya jaringan makelar kasus dalam perpajakan dengan mencuatnya nama Gayus Tambunan, begitu pula seperti yang dibongkar KPK di Mabes Polri yang kemudian memenjarakan Susno Duaji juga Joko Susilo, dan sebelumnya oleh Machfud MD dalam sidang di Mahkamah Konstitusi yang melibatkan markus lain yakni Anggodo Widjojo.
Dengan demikian sesungguhnya remunerasi yang diterima penegak hukum seperti hakim Asnun Ketua Pengadilan Negeri Tangerang yang kemudian faktanya malah memvonis bebas Gayus pada tanggal 12 Maret 2010 bukanlah hal baru. Sebab, mulai 1 April 2008 sudah terjadi. Saat itu, tunjangan di lingkungan Mahkamah Agung dan pengadilan tinggi naik sangat fantastis.
Angka kenaikannya bahkan mencapai 300 persen. Dalam Perpres No 19/2008 tentang Kinerja Hakim dan Pegawai Negeri di Lingkungan MA dan Peradilan di bawahnya disebutkan, besaran tunjangan untuk ketua MA Rp 31,1 juta dan wakil ketua MA Rp 25,8 juta. Sementara untuk ketua pengadilan tinggi Rp 13 juta, hakim biasa pengadilan tinggi Rp 10 juta, dan hakim pengadilan tinggi kelas II Rp 4,2 juta. Dalam hal ini, yang perlu dicermati, kenaikan tersebut tidak termasuk gaji pokok.
Yang menjadi pertanyaan, benarkah para penegak hukum kita kita telah bertindak dan bekerja dengan hasrat yang tinggi dalam menuntaskan berbagai kasus yang merugikan negara belakangan ini sehingga layak memperoleh imbalan yang pantas pula? Seiring dengan masih banyaknya penanganan perkara yang dalam pandangan pemerhati hukum dinilai tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat dan begitu tingginya perkara yang belum terselesaikan di MA, tentu remunerasi yang bernilai ratusan juta rupiah itu mengundang setumpuk kontroversi.
Apakah itu bukan sebuah disorientasi pemahaman reformasi birokrasi, yang berarti lebih menyederhanakan proses yang bertele-tele pada birokrasi hukum dengan out put keadilan yang baik karena menjadi cepat dan murah. Ketimbang usulan menaikkan gaji atau penambahan remunerasi namun tidak terdapat out put keadilan yang lebih baik.
Surakarta, 8 April 2014
Dimuat pada OPINI Jawa Pos - Rabu 9 April 2014
— bersama Muhammad Taufiq di Laweyan

Senin, 24 Februari 2014

SENGKETA LAYANAN PERBANKAN: BPD Salahkan Toko yang Tolak Kartu Debit

Suasana sidang sengketa konsumen M Taufiq dan BPD Jateng
SOLO—PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah (Jateng), selaku teradu, menyalahkan toko atau gerai yang menolak BPD Card Gold dari Muhammad Taufiq, selaku pengadu. Toko itu disebut belum mengetahui BPD Card Gold sejatinya dapat digunakan untuk bertransaksi di mesin EDC BCA berlogo Prima Debit.

Hal itu terungkap dalam sidang lanjutan perkara sengketa konsumen antara Ketua Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Solo itu dengan BPD di kantor Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), Laweyan, Solo, Kamis (13/2/2014). Kuasa hukum BPD Jateng, Maria Ulfa, di hadapan majelis yang diketuai Sri Wahyuni itu menyampaikan, penolakan oleh pihak toko karena pekerja kasir tidak mengetahui bahwa BPD Card Gold dapat digunakan untuk bertransaksi pembelian barang.

Padahal, sosialisasi telah dilaksanakan secara menyeluruh, sejak lama. Sosialisasi juga digelar di Kartika Selular di Plasa Singosaren. Seperti diketahui Kartika Selular merupakan salah satu gerai yang menolak BPD Card Gold milik Taufiq, sapaan akrab Ketua Ikadin, 27 November 2013 lalu.

“Penolakan hanya karena petugas kasir toko berlogo Prima Debit tidak tahu kalau kartu ATM BPD Card Gold sebenarnya bisa digunakan untuk bertransaksi. Menurut saya ini salah pemilik merchant [toko] yang tidak menyosialisasikan ke pegawai. Oleh karena itu, agar para pihak merchant tahu kami menyosialisasikan lagi, 1 Januari lalu,” urai Maria didampingi rekannya, Linda Yuni Rustanti.

Lebih lanjut ia mengatakan, pihak toko wajib mengetahui jika BPD Card Gold dapat digunakan pada mesin EDC BCA berlogo Prima Debit. Apabila ada ketidaktahuan hal tersebut merupakan tanggung jawab toko. Mendengar penjelasan itu, anggota majelis, Kelik Wardiyono, mengatakan apabila demikian berarti ada masalah dengan sistem yang dibangun antara BPD, pengelola jaringan, dan toko.

Maria menambahkan pengadu sesungguhnya tidak mengalami kerugian material atas penggunaan BPD Card Gold, sebagaimana disampaikan dalam dalil aduan. Menurut dia, berdasar catatan Taufiq selalu berhasil bertransaksi menggunakan BPD Card Gold selama kurun waktu 2009-2013.

Menanggapi hal itu Taufiq menilai BPD hanya mengkambinghitamkan pihak lain. Tak sekadar itu, BPD dinilai tidak cerdas dalam menjawab aduannya. “Kalau seperti ini BPD tidak bertanggung jawab namanya. Lagian, BPD juga kelihatannya tidak mengerti materi aduan saya. Yang saya persoalkan kan kenapa bisa BPD Card Gold saya ditolak kasir toko, tapi BPD malah menerangkan transaksi-transaksi saya di ATM yang berhasil. Enggak nyambung,” pungkas dia. (Sumber: Rudi Hartono/Harian Solopos, 14 Februari 2014)

Minggu, 16 Februari 2014

Putusan MK dan Markus

Dimuat di Harian JOGLOSEMAR edisi Jumat 14 Februari 2014
Oleh Dr. Muhammad Taufiq, S.H., M.H.


Berkaca dari putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pelaksanaan Pemilu serentak yang dimohonkan pada tanggal 10 Januari 2013. Mahkamah Konstitusi akhirnya membuat keputusan penting terkait pelaksanaan pemilu. MK akhirnya mengabulkan permohonan uji materi Effendi Gazali tentang pemilu serentak. Baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Namun yang membuat terhenyak,menurut MK pemilu serentak baru berlaku pada Pemilu tahun 2019. Orang akhirnya pada menoleh kembali tentang mafia peradilan,terlebih pasca tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar yang secara signifikan berpengaruh pada kredibilitas MK.
  Setuju atau tidak praktek mafia peradilan adalah sebagai biang kegagalan memfungsikan peradilan sebagai sarana mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan mafia ini terlihat dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri.
    Seiring maraknya predikat markus banyak nama yang kemudian muncul seperti Arthalyta Suryani, Anggodo Widjojo, Sahril Djohan,Ary Muladi dll. Mereka telah telah menjadi ikon tindakan menyimpang di peradilan walaupun orang-orang mengartikan atau menanggapi perbuatan mereka dengan cara dan istilah yang beragam, namun kesimpulannya sama mereka adalah perusak keadilan. NGO pegiat anti korupsi mengartikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Bagir Manan saat menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung menyebutnya sebagai  tingkah laku yang tidak terpuji. Meskipun Bagir pernah kesandung dalam kasus sogok Probosutedjo yang melibatkan mantan hakim Harini Indra Wiyoso. Perbuatan tersebut oleh Bagir  diistilahkan sebagai criminal behaviour.( Kompas : 20 Mei 2010)
Tanggapan masyarakat terhadap tingkat korupsi peradilan juga dapat dilihat dari hasil survey Transparency International terhadap 1000 responden masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 2010. Bersama-sama dengan legislatif dan polisi, peradilan adalah lembaga –yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survey ini menggunakan skala 1-5 dimana semakin besar nilai indeksnya, maka makin korup lembaga tersebut.( ICW,2010). Demikian pula sebaliknya, lembaga yang memiliki indeks terkecil semakin pula tingkat korupsinya dalam persepsi masyarakat. Data ini masih ditambah dengan hasil survey yang mengatakan seratus persen inisiatif suap di lembaga peradilan berasal dari pejabat atau pegawai pengadilan( Asfinawati: 2008).
Lembaga hukum yang masuk angin
Selain tindakan langsung untuk mempengaruhi suatu kasus, judicial corruption yang telah merasuk ke sistem dan menjadi kultur penyebab lahirnya sikap diskriminatif pada aparat peradilan. Terbiasa melayani dengan meminta bayaran tambahan berupa saweran yang nota bene masuk pungli membuat mereka tidak serius melayani atau melayani dengan setengah hati masyarakat yang tidak mampu ,karena tidak mau dan tidak bisa memberikan uang saweran.. Ujung tombak pertama adalah adanya laporan-laporan masyarakat kepada pihak kepolisian yang tidak segera ditindaklanjuti atau dijalankan dengan masuk angin. Di Tangerang seorang buruh yang dianiaya Kepala Personalia atau di Sukoharjo seorang pekerja perempuan hamil di permalukan di tempat kerja oleh  Managernya warga negara Korea.  Ketika membuat laporan polisi alih-alih membantu, pihak kepolisian justru tidak berpihak kepada korban dan cenderung meminta berdamai, di mana kasus-kasus itu akhirnya tidak berlanjut.
Keberadaan Peradilan sebagai sebuah mekanisme, sejatinya adalah sarana menyalurkan berbagai kepentingan secara adil dan sama rata atau sering disebut dengan azas equality before the law  yang berarti juga demokratis. Tidak bisa dibayangkan prospek perilaku hukum masyarakat ke depan bila masyarakat diajari bahwa sistem yang seharusnya demokratis ternyata menjadi diskrimansi dan alat penindas bagi yang miskin. Dalam kasus kesaksian Nazarunddin pada kasus Hambalang yang terang benderang menyebut nama Ibas. Polisi dan KPK terkesan masuk angin. Pada kondisi demikian masyarakat atau kelompok yang tidak memiliki kepentingan langsung akan merasa apatis dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum itu sendiri terutama pengadilan. Sebagai salah satu representasi negara, peradilan yang buruk dapat menimbulkan ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri. Rakyat dibuat tidak percaya dengan sistem, mekanisme yang dibuat negara dan akhirnya ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri.
Dalam tataran ini, mereka yang tidak memiliki kepentingan mungkin cukup bersikap apatis, tetapi berlainan dengan mereka yang memiliki kebutuhan-kebutuhan akan peradilan (upaya pemulihan). Karena itu tidak perlu heran, kegagalan peradilan untuk bersikap adil akan memunculkan upaya-upaya alternatif yang bukan tidak mungkin salah satunya adalah kekerasan. Di banyak tempat pengadilan sudah kehilangan fungsi sebagai benteng keadilan,terbukti ada terdakwa dihakimi massa sampai mati di depan sidang. Ada hakim di lempar sepatu dan yang paling anarkis kantor pengadilan dibakar massa. Jika demikian maka ada pertanyaan penting, untuk siapa sebenarnya upaya pemberatasan mafia hukum termasuk mafia peradilan? Sebagai jalan ke luar bahwa segala hal yang berkaitan dengan pemberantasan mafia hukum termasuk di dalamnya peradilan. Tujuan akhirnya tak lain dan tak bukan adalah membuat murah ongkos atau beaya mencari keadilan. Artinya segala transaksi internasional yang berhubungan dengan ekonomi kunci utamanya adalah kepercayaan kepada hukum. Praktek Hukum yang baik akan membuat ongkos hidup murah karena semua urusan teraudit penyelesaiannya. Sehingga semua termonitor dengan transparan.

Rabu, 12 Februari 2014

Peduli Lingkungan, Komunitas Pecinta Pohon Surati Pemkot Solo

Senin, 10/02/2014 16:48 WIB
Editor : Sika Nurin

SOLO – Masyarakat Kota Solo yang mengatasnamakan Komunitas Pecinta Pohon Surakarta (KPPS) menuntut Pemkot Solo untuk mengawasi dan merawat pepohonan serta menindak aktivitas yang mengakibatkan kerusakan lingkungan.
Aksi teatrikal dalam peringatan hari bumi sedunia | Ilustrasi: doc Soloblitz
Langkah ini dilakukan KPPS dengan mengirimkan surat tertulis kepada Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Solo. Surat yang ditandatangani Ketua Presidium KPPS, Muhammad Taufiq juga ditembuskan ke Walikota dan Ketua DPRD Kota Solo.
Dalam suratnya, KPPS menjelaskan dasar hukum yang melandasi tuntutan tersebut antara lain Perda Kota Solo Nomor 2 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Lingkungan Hidup Pasal 57, Peraturan KPU No.15 Tahun 2013, Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta KUHP Pasal 406 dan 412.
“Pelangaran Perda berupa pidana kurungan 6 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 50 juta,” ungkap Taufiq dalam keterangan tertulisnya kepada Soloblitz, Senin (10/2/2014).
“Spabila pemberitahuan ini diabaikan oleh Dinas Kebersihan dan Pertamanan Kota Surakarta, maka kami akan menempuh segala upaya hukum baik secara Perdata maupun Pidana,” kata dia.
KPPS merupakan komunitas baru yang terbentuk sejak Februari 2014. Anggotanya terdiri atas berbagai unsur masyarakat yang peduli akan kelestarian dan keberadaan pohon di wilayah Solo, seperti mahasiswa, pengusaha, advokat serta masyarakat umum lainnya.
Sika Nurindah | @soloissika

Sumber : http://www.soloblitz.co.id/2014/02/10/peduli-lingkungan-komunitas-pecinta-pohon-surati-pemkot-solo/