WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 13 Desember 2011

Lanjar Dihukum Percobaan Dua Bulan 14 Hari


SOLO, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Lanjar Sriyanto dan menjatuhkan hukuman percoba an dua bulan 14 hari.

Lanjar didampingi penasihat hukumnya, M Taufiq memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (12/12/2011), untuk menjalani putusan Mahkamah Agung tertanggal 23 Januari 2011.

Kasus yang dialami Lanjar bermula saat istrinya, Saptaningsih, meninggal dunia dalam kecelakaan lalu-lintas. Sepeda motor yang ditumpangi Lanjar, Saptaningsih, dan anak keduanya, Samto Warih Waluyo, terjatuh setelah menabrak Suzuki Carry di depannya yang berhenti mendadak tanpa lampu rem.

Dari arah berlawanan, melaju Isuzu Panther yang kemudian menabrak Saptaningsih.

"Saya baru tahu dua pekan lalu saat Kejaksaan Negeri Karanganyar mengirimkan surat panggilan untuk eksekusi. Pemberitahuan putusan ini dikirimkan kepada Lanjar yang diterima Lurah Jajar, Solo. Namun saat itu Lanjar telah berada di Sumatera," kata Taufiq.

Lanjar mengaku bingung dan tidak tahu apa-apa. Sejak dua bulan lalu ia pergi ke Muara Enim, Sumatera Selatan, untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Anaknya yang kini kelas 1 SMP, dititipkan kepada neneknya di Sleman, Yogyakarta.

Lanjar menyangka, kasus hukumnya sudah selesai saat Pengadilan Negeri Karanganyar memutuskan dirinya tidak dapat dijatuhi hukuman.

Putusan MA memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi (PT) Semarang tanggal 25 Mei 2010, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Karanganyar tanggal 4 Maret 2010.

Putusan PT Semarang menyatakan, Lanjar bersalah karena terbukti lalai sehingga mengakibatkan kematian istrinya. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim 1 bulan 7 hari sesuai dengan masa tahanan yang telah dijalani Lanjar.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Karanganyar memutuskan bahwa Lanjar tidak dapat dijatuhi hukuman, karena tindak pidana dalam perkara ini dilakukan atas dasar keadaan memaksa. Atas putusan itu, JPU mengajukan banding.

M Taufiq mengaku kaget atas putusan MA ini. Putusan ini, menurut dia menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia telah terjebak pada peradilan yang prosedural dan formalitas, bukan peradilan yang substansial. " Jika pengadilan kita begini terus, bagaimana bisa menegakkan keadilan," kata Taufiq.

Lebih lanjut, menurut Taufiq, kasus ini dapat menjadi yurisprudensi yang tidak baik bagi kasus-kasus serupa. Ia menunjuk kasus meninggalnya istri Saipul Jamil, dalam kecelakaan mobil yang dikendarai suaminya.

"Ini keadilan yang prosedural bukan substansial," kata Taufiq.


Sumber : kompas.com 13 Desember 2011

Kamis, 08 Desember 2011

KEGAGALAN KUHAP DALAM MENEGAKKAN KEADILAN

Harian Jawa Pos edisi Rabu, 7 Desember 2011


Oleh : Muhammad Taufiq *

Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Contoh : Kasus Century,menguapnya Nunun , ex Deputi Senior BI Miranda Goeltom tidak tersentuh hukum anggota DPR-RI yang didakwa menerima suap atas pencalonannya sudah menjalani pidana. Namun sebaliknya perkara kecil atau remeh justru naik dan terjadi penjatuhan pidana. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap sering terjadi kontroversi.
Wajar jika belakangan ini sering muncul ketidakpuasan terhadap hukum positif di Indonesia. Dengan mengikuti sistem hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam bentuk aturan normatif semata banyak mempengaruhi pemikiran para Sarjana Hukum di Indonesia yaitu mengikuti aliran positifis. Begitu banyak dampak yang kita rasakan bila semua penegak hukum dan sarjana hukum berpikiran positifis, yaitu suatu masalah selalu dicari kepastian hukum atau sumber hukumnya terlebih dahulu untuk menyelesaikannya. Belum lagi prosedur yang juga diatur dalam hukum positif. Suatu kasus yang seharusnya dapat diselesaikan cepat melalui cara di luar aparat menjadi lama dengan hukum positif. Belum lagi tidak terjaminnya harmonisasi sosial melalui proses seperti ini padahal hal yang ingin dicapai dalam proses hukum ialah terciptanya harmonisasi sosial. Jika harmonisasi sosial tersebut sudah tercipta melalui penyelesaian secara kekeluargaan tidak seharusnya proses hukum merusak itu semua. Inilah yang selama ini dirasakan begitu lemah dan kurang adanya rasa keadilan dan hati nurani dari hukum positif yang lahir dari proses politik. Pasca reformasi hampir dipastikan semua produk undang undang adalah lahir dari proses politik seperti sinyalemen yang kita dengar selama ini.
Gustav Radbruch, seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum, yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Dengan kata lain tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun demikian timbul pertanyaan, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan, di mana seringkali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim) bagi si pelanggar atau tergugat atau terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa “dikorbankan”. Oleh karena itu, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir barulah “kepastian”.
Ketika terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa hukum tersebut akan dicabut dari dirinya berdasarkan putusan pengadilan yang adil. Selama ini kita mendapatkan konsepsi yang salah mengenai penegakan hak asasi manusia. Seolah dalam keadaan apapun dan dalam hal apapun hak tersebut tidak dapat terhapuskan. Padahal sebagaimana konsepsi hak yang telah dipaparkan oleh para filsuf Yunani menyatakan bahwa hak selalu diimbangi dengan kewajiban. Ketika ada seseorang yang melakukan tindak pidana orang tersebut harus mendapatkan sanksi yang sesuai. Sanksi juga bertujuan untuk mengembalikan ketenteraman yang sempat terganggu akibat dilakukannya perbuatan tersebut. Sehingga pidana perlu ditegakkan dengan sebaik mungkin. Masalah yang muncul adalah adanya disparitas penjatuhan pidana oleh hakim. Sebenarnya apakah yang menjadi alasan adanya disparitas tersebut. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut ditentukan oleh sikap batin dan rasa keadilan yang dimiliki oleh hakim. Menurut Suteki, seringkali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekedar sebagai perangkat peraturan hukum positif yang tercerabut dari pemahaman dari aspek filosofi dan sosiologisnya, sehingga gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan hanya sebuah fragmen atau skeleton, yakni peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong munculnya anggapan bahwa apabila kita telah menyelenggarakan hukum sebagaimana tertulis yang berupa huruf-huruf mati (black letter law) seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah selesai. Akibatnya banyak muncul kasus yang mencerminkan kondisi bahwa keadilan substansial telah teralienasi dari hukum. Hukum tidak membumi, bahkan menciderai rasa keadilan dalam masyarakat.

· Muhammad Taufiq ,advokat dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

KPK dan Citra Pengadilan

Harian Joglosemar edisi Rabu, 7 Desember 2011

Jago Pemerintah Terjungkal begitu judul head line Joglo Semar ( Sabtu,3 /12/2011 ) pasca terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua lembaga superbody. Di tengah galaunya kepercayaan publik pada KPK karena gagal membongkar Century, menangkap Nunun dan memenjarakan Miranda Goeltom . Masyarakat sangsi apakah lembaga superbody ini mampu membuat terobosan atau percepatan pemberantasan korupsi. Pasalnya putusan di beberapa pengadilan tipikor sangat tidak mendukung pemberantasan korupsi, betapa tidak? Banyak koruptor lolos di tangan hakim tipikor. Sehingga muncul sinyalemen bahwa peradilan tipikor pun tidak luput dari praktek mafia peradilan.
Diakui atau tidak praktek mafia peradilan di Indonesia adalah sebagai biang kegagalan peradilan sebagai sarana mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan menyimpang ini terlihat dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri. Bahkan presiden pun ikut-ikutan latah membentuk Satgas Mafia Hukum. Banyak nama yang kemudinan muncul seperti Arthalyta Suryani, Anggodo Widjojo, Sahril Djohan dan di daerah pun tak kurang banyaknya. Mereka telah telah menjadi ikon tindakan menyimpang di peradilan walaupun orang-orang mengartikan atau menanggapi perbuatan mereka dengan cara dan istilah yang berbeda. Kelompok pegiat anti korupsi pernah mengartikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung menyebutnya sebagai tingkah laku yang tidak terpuji. Jadi criminal behaviour.( Kompas : 20 Mei 2010)
Tanggapan masyarakat terhadap tingkat korupsi peradilan juga dapat dilihat dari hasil survey Transparency International dan Gallup International terhadap 1000 responden masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 2006. Bersama-sama dengan legislatif dan polisi, peradilan adalah lembaga – lembaga yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survey ini menggunakan skala 1-5 di mana semakin besar nilai indeksnya, maka makin korup lembaga tersebut.( ICW,2008). Demikian pula sebaliknya, lembaga yang memiliki indeks terkecil semakin tinggi pula tingkat korupsinya dalam persepsi masyarakat. Data ini masih ditambah dengan hasil survey yang mengatakan seratus persen inisiatif suap di lembaga peradilan berasal dari pejabat atau pegawai pengadilan( Asfinawati: 2008).
Peradilan sebagai sebuah mekanisme tak lain sarana menyalurkan berbagai kepentingan secara demokratis. Bayangkan apa yang akan terjadi apabila masyarakat diajari bahwa sistem yang seharusnya demokratis ternyata menjadi alat penindas. Mereka yang tidak memiliki kepentingan langsung akan merasa apatis dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum itu sendiri. Karena benar adanya hak tanpa mekanisme untuk menuntut apabila hak tersebut dilanggar sebenarnya sama dengan tiadanya hak
Sebuah jalan keluar akan berdaya guna apabila sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Untuk itu pertanyaan penting yang harus diuji adalah untuk siapakah pemberantasan korupsi, termasuk korupsi peradilan.? Tentunya representasi KPK yang mewakili negara dalam upayanya memberantas korupsi. Rakyat dibuat tidak percaya dengan sistem, mekanisme yang dibuat negara dan akhirnya ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri yang dicerminkan kegagalan peradilan tipikor dan kegagalan KPK membongkar kasus Mega korupsi. Agar tingkat kepercayaan itu pulih dan KPK kembali dalam posisinya sebagai lembaga superbody. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memulihkan reputasi itu.
Pertama bisa dilakukan melalui kepentingan akan peradilan yang bersih berangkat dari pemahaman, kebutuhan dan kepentingan bersama sehingga menjadi pengikat dalam setiap aktifititas para komosioner KPK yang baru .
Kedua, KPK memiliki kewenangan merekrut penegak hukum(penyidik ) tersendiri, hal ini akan berakibat langkah pemberantasan korupsi lebih mudah karena akses langsung terhadap kasus (ditangani sendiri). Berbeda apabila pemberantasan dilakukan orang di luar komunitas( peradilan tipikor di daerah) yang menginduk ke Mahkamah Agung RI seperti selama ini.
Ketiga, KPK memiliki agenda penuntasan kasus-kasus mega korupsi sehingga tidak terjebak pada lingkaran birokrasi hukum yang cenderung profiling( mengincar tokoh terkenal) meski nilai korupsi rendah. Seperti Bupati,Walikota dan Gubernur dan beberapa anggota DPR/ DPRD.
Dengan cara ini pemberantasan korupsi peradilan akan berlangsung secara berkelanjutan karena didasarkan atas kebutuhan komunitas atau masyarakat bukan lagi domain Mahkamah Agung saja. Namun demikian jika pimpinan KPK yang baru meski dijabat orang muda namun tidak memiliki orientasi atau visi menegakkan citra peradilan. Alhasil pemberantasan mafia hukum yang berujung pada terbentuknya kepercayaan publik pada lembaga peradilan seperti menggantang asap, kalau tidak boleh dibilang sia-sia.

Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
Advokat Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS