WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 13 Desember 2011

Lanjar Dihukum Percobaan Dua Bulan 14 Hari


SOLO, KOMPAS.com - Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasi Lanjar Sriyanto dan menjatuhkan hukuman percoba an dua bulan 14 hari.

Lanjar didampingi penasihat hukumnya, M Taufiq memenuhi panggilan Kejaksaan Negeri Karanganyar, Jawa Tengah, Senin (12/12/2011), untuk menjalani putusan Mahkamah Agung tertanggal 23 Januari 2011.

Kasus yang dialami Lanjar bermula saat istrinya, Saptaningsih, meninggal dunia dalam kecelakaan lalu-lintas. Sepeda motor yang ditumpangi Lanjar, Saptaningsih, dan anak keduanya, Samto Warih Waluyo, terjatuh setelah menabrak Suzuki Carry di depannya yang berhenti mendadak tanpa lampu rem.

Dari arah berlawanan, melaju Isuzu Panther yang kemudian menabrak Saptaningsih.

"Saya baru tahu dua pekan lalu saat Kejaksaan Negeri Karanganyar mengirimkan surat panggilan untuk eksekusi. Pemberitahuan putusan ini dikirimkan kepada Lanjar yang diterima Lurah Jajar, Solo. Namun saat itu Lanjar telah berada di Sumatera," kata Taufiq.

Lanjar mengaku bingung dan tidak tahu apa-apa. Sejak dua bulan lalu ia pergi ke Muara Enim, Sumatera Selatan, untuk bekerja sebagai buruh bangunan. Anaknya yang kini kelas 1 SMP, dititipkan kepada neneknya di Sleman, Yogyakarta.

Lanjar menyangka, kasus hukumnya sudah selesai saat Pengadilan Negeri Karanganyar memutuskan dirinya tidak dapat dijatuhi hukuman.

Putusan MA memperbaiki putusan Pengadilan Tinggi (PT) Semarang tanggal 25 Mei 2010, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Karanganyar tanggal 4 Maret 2010.

Putusan PT Semarang menyatakan, Lanjar bersalah karena terbukti lalai sehingga mengakibatkan kematian istrinya. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim 1 bulan 7 hari sesuai dengan masa tahanan yang telah dijalani Lanjar.

Sebelumnya, Pengadilan Negeri Karanganyar memutuskan bahwa Lanjar tidak dapat dijatuhi hukuman, karena tindak pidana dalam perkara ini dilakukan atas dasar keadaan memaksa. Atas putusan itu, JPU mengajukan banding.

M Taufiq mengaku kaget atas putusan MA ini. Putusan ini, menurut dia menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia telah terjebak pada peradilan yang prosedural dan formalitas, bukan peradilan yang substansial. " Jika pengadilan kita begini terus, bagaimana bisa menegakkan keadilan," kata Taufiq.

Lebih lanjut, menurut Taufiq, kasus ini dapat menjadi yurisprudensi yang tidak baik bagi kasus-kasus serupa. Ia menunjuk kasus meninggalnya istri Saipul Jamil, dalam kecelakaan mobil yang dikendarai suaminya.

"Ini keadilan yang prosedural bukan substansial," kata Taufiq.


Sumber : kompas.com 13 Desember 2011

Kamis, 08 Desember 2011

KEGAGALAN KUHAP DALAM MENEGAKKAN KEADILAN

Harian Jawa Pos edisi Rabu, 7 Desember 2011


Oleh : Muhammad Taufiq *

Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Contoh : Kasus Century,menguapnya Nunun , ex Deputi Senior BI Miranda Goeltom tidak tersentuh hukum anggota DPR-RI yang didakwa menerima suap atas pencalonannya sudah menjalani pidana. Namun sebaliknya perkara kecil atau remeh justru naik dan terjadi penjatuhan pidana. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap sering terjadi kontroversi.
Wajar jika belakangan ini sering muncul ketidakpuasan terhadap hukum positif di Indonesia. Dengan mengikuti sistem hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam bentuk aturan normatif semata banyak mempengaruhi pemikiran para Sarjana Hukum di Indonesia yaitu mengikuti aliran positifis. Begitu banyak dampak yang kita rasakan bila semua penegak hukum dan sarjana hukum berpikiran positifis, yaitu suatu masalah selalu dicari kepastian hukum atau sumber hukumnya terlebih dahulu untuk menyelesaikannya. Belum lagi prosedur yang juga diatur dalam hukum positif. Suatu kasus yang seharusnya dapat diselesaikan cepat melalui cara di luar aparat menjadi lama dengan hukum positif. Belum lagi tidak terjaminnya harmonisasi sosial melalui proses seperti ini padahal hal yang ingin dicapai dalam proses hukum ialah terciptanya harmonisasi sosial. Jika harmonisasi sosial tersebut sudah tercipta melalui penyelesaian secara kekeluargaan tidak seharusnya proses hukum merusak itu semua. Inilah yang selama ini dirasakan begitu lemah dan kurang adanya rasa keadilan dan hati nurani dari hukum positif yang lahir dari proses politik. Pasca reformasi hampir dipastikan semua produk undang undang adalah lahir dari proses politik seperti sinyalemen yang kita dengar selama ini.
Gustav Radbruch, seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum, yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Dengan kata lain tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun demikian timbul pertanyaan, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan, di mana seringkali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim) bagi si pelanggar atau tergugat atau terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa “dikorbankan”. Oleh karena itu, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir barulah “kepastian”.
Ketika terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa hukum tersebut akan dicabut dari dirinya berdasarkan putusan pengadilan yang adil. Selama ini kita mendapatkan konsepsi yang salah mengenai penegakan hak asasi manusia. Seolah dalam keadaan apapun dan dalam hal apapun hak tersebut tidak dapat terhapuskan. Padahal sebagaimana konsepsi hak yang telah dipaparkan oleh para filsuf Yunani menyatakan bahwa hak selalu diimbangi dengan kewajiban. Ketika ada seseorang yang melakukan tindak pidana orang tersebut harus mendapatkan sanksi yang sesuai. Sanksi juga bertujuan untuk mengembalikan ketenteraman yang sempat terganggu akibat dilakukannya perbuatan tersebut. Sehingga pidana perlu ditegakkan dengan sebaik mungkin. Masalah yang muncul adalah adanya disparitas penjatuhan pidana oleh hakim. Sebenarnya apakah yang menjadi alasan adanya disparitas tersebut. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut ditentukan oleh sikap batin dan rasa keadilan yang dimiliki oleh hakim. Menurut Suteki, seringkali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekedar sebagai perangkat peraturan hukum positif yang tercerabut dari pemahaman dari aspek filosofi dan sosiologisnya, sehingga gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan hanya sebuah fragmen atau skeleton, yakni peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong munculnya anggapan bahwa apabila kita telah menyelenggarakan hukum sebagaimana tertulis yang berupa huruf-huruf mati (black letter law) seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah selesai. Akibatnya banyak muncul kasus yang mencerminkan kondisi bahwa keadilan substansial telah teralienasi dari hukum. Hukum tidak membumi, bahkan menciderai rasa keadilan dalam masyarakat.

· Muhammad Taufiq ,advokat dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

KPK dan Citra Pengadilan

Harian Joglosemar edisi Rabu, 7 Desember 2011

Jago Pemerintah Terjungkal begitu judul head line Joglo Semar ( Sabtu,3 /12/2011 ) pasca terpilihnya Abraham Samad sebagai ketua lembaga superbody. Di tengah galaunya kepercayaan publik pada KPK karena gagal membongkar Century, menangkap Nunun dan memenjarakan Miranda Goeltom . Masyarakat sangsi apakah lembaga superbody ini mampu membuat terobosan atau percepatan pemberantasan korupsi. Pasalnya putusan di beberapa pengadilan tipikor sangat tidak mendukung pemberantasan korupsi, betapa tidak? Banyak koruptor lolos di tangan hakim tipikor. Sehingga muncul sinyalemen bahwa peradilan tipikor pun tidak luput dari praktek mafia peradilan.
Diakui atau tidak praktek mafia peradilan di Indonesia adalah sebagai biang kegagalan peradilan sebagai sarana mencari keadilan. Begitu luas dan mengguritanya tindakan menyimpang ini terlihat dari begitu terkenalnya istilah mafia peradilan itu sendiri. Bahkan presiden pun ikut-ikutan latah membentuk Satgas Mafia Hukum. Banyak nama yang kemudinan muncul seperti Arthalyta Suryani, Anggodo Widjojo, Sahril Djohan dan di daerah pun tak kurang banyaknya. Mereka telah telah menjadi ikon tindakan menyimpang di peradilan walaupun orang-orang mengartikan atau menanggapi perbuatan mereka dengan cara dan istilah yang berbeda. Kelompok pegiat anti korupsi pernah mengartikan mafia peradilan sebagai perbuatan yang bersifat sistematis, konspiratif, kolektif yang dilakukan oleh aktor tertentu yang mempengaruhi proses penegakan hukum dengan demikian mafia ini berperan dalam pelanggaran hak asasi. Bagir Manan sebagai Ketua Mahkamah Agung menyebutnya sebagai tingkah laku yang tidak terpuji. Jadi criminal behaviour.( Kompas : 20 Mei 2010)
Tanggapan masyarakat terhadap tingkat korupsi peradilan juga dapat dilihat dari hasil survey Transparency International dan Gallup International terhadap 1000 responden masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 2006. Bersama-sama dengan legislatif dan polisi, peradilan adalah lembaga – lembaga yang dianggap paling korup dengan nilai indeks 4,2. Survey ini menggunakan skala 1-5 di mana semakin besar nilai indeksnya, maka makin korup lembaga tersebut.( ICW,2008). Demikian pula sebaliknya, lembaga yang memiliki indeks terkecil semakin tinggi pula tingkat korupsinya dalam persepsi masyarakat. Data ini masih ditambah dengan hasil survey yang mengatakan seratus persen inisiatif suap di lembaga peradilan berasal dari pejabat atau pegawai pengadilan( Asfinawati: 2008).
Peradilan sebagai sebuah mekanisme tak lain sarana menyalurkan berbagai kepentingan secara demokratis. Bayangkan apa yang akan terjadi apabila masyarakat diajari bahwa sistem yang seharusnya demokratis ternyata menjadi alat penindas. Mereka yang tidak memiliki kepentingan langsung akan merasa apatis dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap hukum itu sendiri. Karena benar adanya hak tanpa mekanisme untuk menuntut apabila hak tersebut dilanggar sebenarnya sama dengan tiadanya hak
Sebuah jalan keluar akan berdaya guna apabila sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Untuk itu pertanyaan penting yang harus diuji adalah untuk siapakah pemberantasan korupsi, termasuk korupsi peradilan.? Tentunya representasi KPK yang mewakili negara dalam upayanya memberantas korupsi. Rakyat dibuat tidak percaya dengan sistem, mekanisme yang dibuat negara dan akhirnya ketidakpercayaan terhadap negara itu sendiri yang dicerminkan kegagalan peradilan tipikor dan kegagalan KPK membongkar kasus Mega korupsi. Agar tingkat kepercayaan itu pulih dan KPK kembali dalam posisinya sebagai lembaga superbody. Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk memulihkan reputasi itu.
Pertama bisa dilakukan melalui kepentingan akan peradilan yang bersih berangkat dari pemahaman, kebutuhan dan kepentingan bersama sehingga menjadi pengikat dalam setiap aktifititas para komosioner KPK yang baru .
Kedua, KPK memiliki kewenangan merekrut penegak hukum(penyidik ) tersendiri, hal ini akan berakibat langkah pemberantasan korupsi lebih mudah karena akses langsung terhadap kasus (ditangani sendiri). Berbeda apabila pemberantasan dilakukan orang di luar komunitas( peradilan tipikor di daerah) yang menginduk ke Mahkamah Agung RI seperti selama ini.
Ketiga, KPK memiliki agenda penuntasan kasus-kasus mega korupsi sehingga tidak terjebak pada lingkaran birokrasi hukum yang cenderung profiling( mengincar tokoh terkenal) meski nilai korupsi rendah. Seperti Bupati,Walikota dan Gubernur dan beberapa anggota DPR/ DPRD.
Dengan cara ini pemberantasan korupsi peradilan akan berlangsung secara berkelanjutan karena didasarkan atas kebutuhan komunitas atau masyarakat bukan lagi domain Mahkamah Agung saja. Namun demikian jika pimpinan KPK yang baru meski dijabat orang muda namun tidak memiliki orientasi atau visi menegakkan citra peradilan. Alhasil pemberantasan mafia hukum yang berujung pada terbentuknya kepercayaan publik pada lembaga peradilan seperti menggantang asap, kalau tidak boleh dibilang sia-sia.

Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
Advokat Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Kamis, 24 November 2011

Kontroversi Hukum

Ethan Frome

Bottom of Form


Harian Joglosemar Jumat, 25/11/2011 06:00 WIB - Muhammad Taufiq

Muhammad Taufiq
Advokat dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS


Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan, selama itu pula proses hukum akan
melahirkan kontroversi.

Wajar jika belakangan ini sering muncul ketidakpuasan terhadap hukum positif di Indonesia. Dengan mengikuti sistem hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam bentuk aturan normatif semata, telah banyak mempengaruhi pemikiran para Sarjana Hukum di Indonesia yaitu mengikuti aliran positivis.
Begitu banyak dampak yang kita rasakan bila semua penegak hukum dan sarjana hukum berpikiran positivis, yaitu suatu masalah yang selalu dicari kepastian hukum atau sumber hukumnya terlebih dahulu untuk menyelesaikannya. Belum lagi prosedur yang juga diatur dalam hukum positif. Suatu kasus yang seharusnya dapat diselesaikan cepat melalui cara di luar aparat hukum, menjadi lama dengan hukum positif. Belum lagi tidak terjaminnya harmonisasi sosial melalui proses seperti ini, padahal hal yang ingin dicapai dalam proses hukum ialah terciptanya harmonisasi sosial.
Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan hukum positif (baca: KUHAP) sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme. Hal ini menjadikan banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja, karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Namun sebaliknya, perkara kecil atau remeh justru naik dan terjadi penjatuhan pidana. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan.
Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan, selama itu pula proses hukum akan melahirkan kontroversi.
Inilah yang selama ini dirasakan begitu lemah dan kurang adanya rasa keadilan dan hati nurani dari hukum positif yang lahir dari proses politik. Sebab pascareformasi hampir dipastikan semua produk undang-undang (UU) adalah lahir dari proses politik. Seperti sinyalemen yang kita dengar selama ini, termasuk jual beli pasal di DPR yang diungkap Machfud MD.
Gustav Radbruch, seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum, yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Dengan kata lain tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun demikian timbul pertanyaan, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan, di mana sering kali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim) bagi si pelanggar atau tergugat atau terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas. Sebaliknya kalau masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa “dikorbankan”. Oleh karena itu, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana prioritas pertama selalu keadilan, barulah kemanfaatan, dan terakhir kepastian.
Manakala terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang, maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa hukum tersebut akan dicabut dari dirinya berdasarkan putusan pengadilan yang adil. Selama ini kita mendapatkan konsepsi yang salah mengenai penegakan hak asasi manusia. Seolah dalam keadaan apapun dan dalam hal apapun, hak tersebut tidak dapat terhapuskan. Padahal sebagaimana konsepsi hak yang telah dipaparkan oleh para filsuf Yunani, menyatakan bahwa hak selalu diimbangi dengan kewajiban. Ketika ada seseorang yang melakukan tindak pidana, orang tersebut harus mendapatkan sanksi yang sesuai. Sanksi juga bertujuan untuk mengembalikan ketenteraman yang sempat terganggu akibat dilakukannya perbuatan tersebut. Sehingga pidana perlu ditegakkan dengan sebaik mungkin. Masalah yang muncul adalah adanya disparitas penjatuhan pidana oleh hakim. Sebenarnya apakah yang menjadi alasan adanya disparitas tersebut? Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut ditentukan oleh sikap batin dan rasa keadilan yang dimiliki oleh hakim.
Hukum Tidak Utuh
Menurut Suteki, sering kali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekadar sebagai perangkat peraturan hukum positif yang tercerabut dari pemahaman dari aspek filosofi dan sosiologisnya. Hal itu menjadikan gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan hanya sebuah fragmen atau skeleton, yakni peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong munculnya anggapan bahwa apabila kita telah menyelenggarakan hukum sebagaimana tertulis yang berupa huruf-huruf mati (black letter law), seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah selesai. Dan akhirnya kita semua dibuat maklum kenapa aparat penegak hukum (termasuk KPK), gagal membongkar kasus Century, tidak mampu menangkap Nunun, dan eks Deputi Senior BI Miranda Goeltom tidak bisa disentuh meski puluhan anggota DPR-RI telah menghuni penjara.
Suteki mencontohkan beberapa fenomena peradilan terhadap “wong cilik” (the poor) misalnya kasus pencurian satu buah semangka di Kediri, Jawa Timur. Cholil dan Basar Suyanto dipidana 15 hari percobaan 1 bulan. Lalu kasus pencurian kapuk randu seharga Rp 12.000, empat anggota keluarga ditahan di LP Rowobelang dan para terdakwa dipidana penjara 24 hari.
Juga kasus Pak Klijo Sumarto (76) tersangka pencurian setandan pisang kluthuk mentah seharga Rp 2.000 di Sleman pada 7 Desember 2009. Pak Klijo mendekam di LP Cebongan, Sleman. Kemudian kasus mbok Minah yang dituduh mencuri tiga biji kakao seharga Rp 2.100 pada 2 Agustus 2009 di Purwokerto, dihukum pidana percobaan 1 bulan 15 hari. Juga kasus Aspuri tentang pencurian sehelai kaus tetangganya seharga Rp 10.000, ditahan pada bulan November 2009.
Juga yang menyita perhatian banyak pihak, kasus Lanjar Sriyanto warga Karanganyar yang didakwa menyebabkan kematian istrinya dalam kecelakaan motor di Karanganyar. Sungguh tragis, dalam kasus ini sang istri meninggal dunia dan Lanjar justru ditahan pada September 2010.
Jadi jika politik hukum kita diarahkan untuk menegakkan hukum, sudah barang tentu keadilan terkalahkan. Namun sebaliknya, jika politik hukum kita diarahkan untuk menegakkan keadilan, sudah barang tentu keadilan dulu yang diutamakan. Artinya, dalam penegakan keadilan jika terjadi perbenturan kepentingan antara kepastian dan keadilan, maka kepastian boleh dikesampingkan. Dengan sendirinya kasus yang remeh-temeh ini tidak perlu diproses secara justisia. Justru kasus seperti skandal Century, Nunun Nurbaetie, Miranda, dan juga kejahatan terkait lumpur Lapindo di Sidoarjo yang sepantasnya layak dipenjarakan.




Rabu, 23 November 2011

Gonjang-ganjing di Tubuh Telkomsel


Siapa yang tidak kenal Telkomsel? perusahaan BUMN telekomunikasi terbesar. Dengan pendapatan 34 Trilyun (pertengahan 2011). Penyumbang terbesar keuangan induk perusahaannya, yaitu PT Telkom, Tbk. PT Telkom sendiri adalah penyumbang kedua terbesar dividen pada negara. Namun, kini rupanya Telkomsel lagi terseok-seok, bukan karena krisis keuangan, karena Telkomsel adalah perusahaan sangat sehat dari aspek finansial. Terseok-seok karena beragam masalah yang dihadapi, baik masalah internal maupun eksternal.

Masalah internal adalah adanya gelombang protes besar-besaran dari ribuan karyawannya sendiri. Kamis bahkan 4000 karyawan Telkomsel mengepung kantor pusat Telkomsel di Wisma Mulia jalan Gatot Subroto. Mereka menuntut masalah peningkatan kesejahteraan. Meskipun banyak versi dari tuntutan yang disuarakan, dari mulai minta tunjangan pulsa (aneh ya, minta tunjangan pulsa di kantor yang jual pulsa. Seperti tikus mati di lumbung padi sepertinya), sampai tuntutan perbaikan manajemen, dan lainnya.

Masih belum cukup, terpaan dari pihak internal pun banyak muncul dalam bentuk lain. Serikat pekerja telkomsel (Sepakat) dan manajemen tidak akur dalam masalah kualitas pelayanan. Dari Sepakat bilangnya mereka meminta maaf atas gangguan layanan selama mereka berdemo, sementara pihak manajemen membantah, bahwa selama demo kualitas layanan tidak terganggu.

Lalu hari ini muncul lagi terpaan lagi. Seorang direksi dikabarkan menulis unek-unek pribadinya di blog gratisan (alamatnya: http://hherfini.blogspot.com) yang menceritakan berbagai kebobrokan Telkomsel menurut pandangan dia sebagai salah seorang direksi. Tetapi ini pun dibantah oleh pihak manajemen Telkomsel, bahwa blog itu “Palsu” (bantahannya ada di link ini). Blog gratisan ini semacam surat kaleng yang menghebohkan pihak manajemen Telkomsel.

Dari masalah eksternal, Telkomsel juga dituntut oleh banyak pihak, terutama oleh para konsumen yang merasa banyak dibohongi dan ditipu oleh layanan Telkomsel. Contohnya, seperti saya pernah posting pada postingan sebelumnya, kasus kalahnya Telkomsel di persidangan Solo terkait layanan Telkomsel Blackberry Unlimited: Iklan dianggap menipu oleh pengadilan. Telkomsel harus merubah semua bahasa iklan Blackberry unlimited. Dan, 2 kasus kini sedang dalam proses di Mabes Polri Jakarta, yaitu terkait laporan pencurian pulsa. Dua laporan yaitu laporan Ferry dan Hendry Kurniawan (kebetulan saya terlibat intens dalam kasus Hendry Kurniawan ini. Memberikan dukungan dan juga perlindungan sementara sebelum ada jawaban dari LPSK. Hari ini yang bersangkutan sudah di LPSK di tempat yang lebih aman. Ia dianiaya hingga kakinya retak oleh orang tak dikenal gara-gara melaporkan sms premium iklan di simcardnya).

Masalah-masalah lain yang tak terungkap di media mungkin banyak bermunculan menimpa Telkomsel ini. Masalah adalah biasa dalam bisnis, tetapi jika dibiarkan akan merusak tatanan bisnis. Apalagi Telkomsel adalah perusahaan BUMN, penyumbang APBN, jika tidak diperbaiki tentu akan berpengaruh pada kelangsungan usaha dan juga pelayanannya kepada masyarakat Indonesia.

Lalu apa yang bisa diperbuat untuk memperbaiki hal ini? Selama Telkomsel masih berada di bawah naungan Telkom, ini akan terus menuai masalah. Karena ada kecemburuan dan merasa penyumbang terbesar Telkom tetapi tidak diperhatikan oleh induknya. Kenapa tidak dipisahkan saja Telkomsel dari Telkom? Dengan kepemilikan 65% Telkom dan 35% Singtel, maka Telkomsel memiliki peluang untuk masuk ke pasar modal secara leluasa. Tetapi apakah Telkom akan melepaskan begitu saja? Mustahil jika tidak ada dorongan kuat. Siapa yang harus mendorong? Rakyat. Karena perusahaan BUMN, maka opini rakyat sangat menentukan para penentu kebijakan. Cara lain adalah dengan meng-IPO-kan Telkomsel. Tetapi ini terkait dengan masalah di atas. IPO tujuannya untuk meningkatkan kinerja perusahaan, karena perusahaan yang listing di bursa kinerjanya akan dipaksa meningkat. Meskipun bukan satu-satunya cara, tetapi cara ini bisa ditempuh.**[harja saputra]


Sumber : http://teknologi.kompasiana.com/

Minggu, 06 November 2011

Dianggap Bohong, Telkomsel Diminta Cabut Iklan

Dimuat di Tempointeraktif.com, Selasa, 01 November 2011 | 15:30 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen Kota Surakarta memerintahkan Telkomsel mencabut iklan penawaran BlackBerry Unlimited di seluruh media, baik media massa maupun promosi. Keputusan itu diambil dalam sidang gugatan salah seorang pengguna layanan BlackBerry Telkomsel yang merasa dirugikan akibat penawaran iklan tersebut.
Dalam penawaran iklan itu disebutkan bahwa dengan membayar Rp 99 ribu pemakai BlackBerry akan dapat mengakses Internet secara tidak terbatas atau unlimited. “Nyatanya setelah diperiksa dalam persidangan diketahui bahwa akses itu tidak termasuk untuk streaming dan download,” ujar anggota majelis hakim, Bambang Ary Wibowo, seusai sidang putusan, Selasa, 1 November 2011.
Menurut majelis hakim, Telkomsel tidak jelas dalam menampilkan materi iklannya. Semestinya jika kata-kata “unlimited” diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, berarti tidak terbatas tanpa ada embel-embel apa pun. “Kalau kemudian dibatasi, berarti bukan unlimited tapi limited,” lanjutnya.
Karena itu majelis hakim sepakat untuk memerintahkan Telkomsel menarik seluruh iklan di atas di seluruh Indonesia dan merevisi materi iklannya.
Kemudian tuntutan lainnya, yaitu penghapusan tagihan dan permintaan maaf, tidak dikabulkan. “Karena si penggugat sudah menikmati layanan dan tidak jelas siapa yang harus dimintakan maaf, sehingga tidak kami kabulkan,” tutur dia.
Ditemui usai persidangan, Supervisor Corporate Communications Telkomsel Regional Jateng-DIY, Anindito Respati, menyatakan menghargai putusan tersebut. Menurut dia hal itu menjadi pembelajaran bagi Telkomsel untuk menyampaikan informasi atau penawaran ke pelanggan lebih baik lagi.
Soal putusan penarikan iklan, “Kami akan berdiskusi dulu dengan kantor pusat. Sebab ini menyangkut iklan di seluruh Indonesia,” ucapnya. Pihaknya masih punya waktu 14 hari untuk menyatakan menerima atau banding.
Sementara Taufiq sebagai penggugat mengatakan cukup puas sebagian tuntutannya sudah dikabulkan. Namun dia tetap menuntut permintaan maaf dari Telkomsel. “Saya akan tetap kejar permintaan maaf itu,” ujarnya.
Bambang mengatakan jika dalam 14 hari kedua belah pihak tidak menyatakan menerima atau tidak, akan dianggap menerima. Jika sudah menerima, keputusan harus segera dilaksanakan. “Khusus untuk Telkomsel, jika menerima mereka harus segera menarik iklannya. Nanti pengawasan kami serahkan ke Kementerian Perdagangan dan Kepolisian karena ada tembusan keputusan sidang ke instansi tersebut,” katanya.
Jika Telkomsel menyatakan banding, nantinya dipersilakan mengajukannya ke pengadilan negeri untuk kasus perdata.

UKKY PRIMARTANTYO | ERWINDAR

Kamis, 06 Oktober 2011

NEGARA HUKUM DAN DENSUS 88


OLEH : MUHAMMAD TAUFIQ*

Harian Jawa Pos, Jumat 7 Oktober 2011


Segala bentuk kekerasan dengan dalih apapun tentunya tidak bisa diterima. Pemerintah juga tak boleh bersikap sewenang-wenang. Dalam konteks itu, sikap sewenang-wenang pemerintah tersebut muncul bila : pemerintah mengartikan diri mempunyai kewenangan besar untuk membuat hukum atau peraturan serta menggunakan kekuasaan besar guna memaksa semua pihak agar menaati hukum seta peraturan itu.

Perbedaan sistem demokratis dan otoriter terletak pada sejauh mana suara rakyat didengar. Dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat. Sementara dalam sistem yang otoriter kesepakatan rakyat bukan merupakan persyaratan.

Perlu dipahami bahwa sistem pemerintahan yang demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas, dan kelompok mayoritas benar-benar menghormati hak-hak minoritas. Itu merupakan salah satu dari kesepakatan etis yang mutlak hadir dalam demokrasi.

Prinsip-prinsip yang relevan dibicarakan dalam konteks pemerintahan demokrasi adalah pemisahan kekuasaan (separation of power ), supremasi hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum ( law supremasi atau the rule of law ) serta kesederajatan ( equality) dan kebebasan (liberty).

Dalam kontek pemisahan kekuasaan diasumsikan bahwa pemerintah pada dasarnya berkenaan dengan urusan membuat hukum, melaksanakan hukum, dan memutuskan apakah hukum yang dibuat telah dilanggar ata tidak. Itulah yang kemudian menginspirasikan perlunya ,melakukan pemisahan menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Pemisahan kekuasaan tersebut ditujukan untuk menghindari menumpuknya kekuasaan di satu tangan, entah itu dalam artian institusi ataupun pribadi. Dengan memisahkan tiga cabang kekuasaan itu diharapkan ada saling ketergantungan dan saling kontrol dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka ( checks and balances ).

Kekuasaan pemerintah harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan serta kewenangan yang dibatasi dan saling mengawasi serta bergantung satu sama lain. Itulah yang dimaksud dengan sistem termasuk sisitem pengadilan. Jadi penguasa bisa datang dan pergi namun sistem jalan terus. Memperkuat sistem merupakan upaya melestarikan pemerintahan yang bebas dari kemungkinan diselewengkan.

Menggantungkan nasib pemerintahan yang juga berarti nasib rakyat kepada kekuasaan orang perorangan, bukan kepada sistem yang solid akan sangat riskan karena tidak bakal mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan pemerintahan. Sejalan dengan pemisahan kekuasaan demokrasi itu, hukum dijadikan landasan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam pengertian ini, pemerintah tidak saja harus menjadikan dirinya sebagai hukum yang berbicara tapi juga menjamin serta memelihara independensi lembaga-lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya.

Karena tulisan ini berbicara masalah terorisme, lembaga pasukan elit Polri yakni Densus- 88, juga harus bersedia diaudit. Jadi misalnya tidak ada seorangpun bisa ditahan untuk diperiksa oleh polisi kecuali dicurigai telah melanggar hukum dan tidak seorangpun dapat dipenjarakan kecuali ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

kesewenang-wenangan Densus 88 sebagai aktor utama pemberantasan teroris harus diakhiri. Sebab faktanya meski memiliki senjata yang lebih canggih dari Angkatan Darat, toh polisi tak kunjung berhasil menumpas teroris. Buktinya, kemudian muncul kasus bom Kepunton Solo akhir September lalu.

Pemerintah termasuk Polisi tidak dapat mengambil hak milik orang seorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar. Singkatnya setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku. Prinsip hak-hak dasar negara itu berlaku di Inggris sejak tahun 1215 sebagaimana termuat dalam Magna Charta. Karena itu negara demokrasi biasanya diidentikan dengan negara hukum.

Jika sebuah institusi milik negara memberantas terorisme dengan cara teror pula, inilah yang disebut terorisme oleh negara. Terorisme negara jauh lebih berbahaya dari sisi manapun karena telah menghancurkan sendi-sendi ketatanegaraan. Ia bisa menganeksasi,menduduki negara lain dengan dalih teroris tanpa ada pembuktian lebih dahulu bahkan tanpa ada proses peradilan.

Muhammad Taufiq ,advokat ,Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Senin, 03 Oktober 2011

BOM SOLO DAN PERSEPSI ”TERORIS “


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE MicrosoftInternetExplorer4


OLEH : MUHAMMAD TAUFIQ*

Harian Joglosemar, Sabtu, 1 Oktober 2011


Sesungguhnya, semua bentuk kekerasan apapun dalihnya tidaklah bisa diterima. Seperti penyerangan terhadap wartawan,kekerasan anak sekolah, demo yang mengarah ke tindakan anarkis seperti membakar gedung-gedung pemerintah . Termasuk yang terbaru adalah tindakan aksi teroris di Solo yang terkenal sebagai bom Kepunton. Aksi terror di banyak tempat sesungguhnya cermin dari kegagalan penyampaian pesan lewat institusi formal seperti pemilu dan lembaga demokrasi lainnya.. Dalam kaitan ini mereka sudah tidak percaya terhadap institusi formal seperti polisi dan pengadilan. .Mereka( para pelaku) beranggapan demokrasi bukanlah jalan ke luar,bahkan cenderung menolak prinsip-prinsip demokrasi. Selain itu mereka beranggapan bahwa pemerintah yang ada dianggap otoriter.

Pemerintahan di manapun sejatinya memiliki wenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang otoriter terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat, sementara di dalam sistem yang otoriter kesepakatan rakyat tidak merupakan persyaratan. Di dalam sistem yang demokratis , rakyatlah yang memiliki kedaulatan. mereka berhak mengganti sebuah pemerintahan yang dipandang sudah tidak lagi mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, melalui pilihan umum yang bebas. Perlu dipahami bahwa sistem pemerintahan yang demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas, dan kelompok mayoritas benar-benar siap untuk menghormati hak-hak minoritas. Ini merupakan salah satu dari kesepakatan-kesepakatan etis yang mutlak hadir dalam demokrasi.Meski demikian dalam kenyataannya sepertinya ini tidak berlaku terhadap persoalan yang mengkait Islam. Meski sama atau bahkan lebih kadar kekerasannya namun jika itu pelakunya komunitas Islam Dalam bahasa Global yang dimotori Amerika mereka disebut teroris. Sehingga bom di Oslo Norwegia,yang memakan korban 90 orang dan 200 –an lannya cedera kepada pelakunya tidak disebut melakukan tindak pidana terorisme.

Untuk mengontrol kesrewenang-wenangan ini ,kekuasaan harus dibagi menjadi 3 yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dengan cara ini diharapkan adanya saling ketergantungan dan saling kontrol dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka ( checks and balances ), sehingga kemungkinan bagi terjadinya penyalahgunaan dan kesewenang- wenangan dapat dihindari seperti dengan seenaknya mempersangkakan orang sebagai teroris dan tak pernah ada persidangan yang bersifat scientific justice . Bukan sesudah mati baru di test DNA dan dicocok-cocokkan pelakunya Si-A,kelompok-B dsb. Keberhasilan menumpas teroris hanya muncul sepihak, sebab para teroris ini sudah mati.

Tujuan penerapan prinsip ini adalah manusia( termasuk Polisi dan aparat intelejen ) bukanlah manusia sempurna mereka pada hakikatnya memiliki kecenderungan untuk melanggar hukum jika berada pada pusaran kekuasaan, mereka cenderung menumpuk dan menggunakan kekuasaan itu secara semena – mena. Jika tanpa ada check and balance..

Tafsir Tentang Teroris

Wewenang pemerintah harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan dan kewenangan yang selalu membatasi saling mengawasi dan saling tergantung satu sama lain. Ini yang dimaksud dengan system check and balance termasuk sistem pengadilan. Jadi pemerintah bisa berganti, akan tetapi sistem tetap on line. Menggantungkan nasib pemerintahan yang juga berarti nasib rakyat kepada kekuasaan orang- seorang bukan kepada sistem yang solid akan sangat riskan karena tidak akan mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan warga negaranya.. Dalam terori pemisahan kekuasaan demokrasi juga menjadikan hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintah. Dalam pengertian ini pemerintah bukan saja harus menjadikan dirinya sebagi hukum yang berbicara tetapi juga menjamin dan memelihara independensi lembaga-lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya termasuk lembaga kepolisian dan lembaga intelejen . Sehingga tidak ada kesewenang-wenangan misalnya tidak ada seorang manusia pun dapat ditangkap oleh polisi kecuali ia dicurigai telah melanggar hukum dan tidak seorangpun dapat dipenjarakan kecuali ia dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Karenanya tafsir tunggal tentang sebutan teroris yang selama ini menjadi monopoli polisi harus diakhiri. Dengan demikian Negara tidak dapat mengambil hak milik orang seorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar atas sebuah kesalahan yang dibuat pemerintah. Inilah yang tidak dimiliki Pemerintah Indonesia,Negara, penjajah seperti Pemerintah Kerajaan Belanda saja mau membayar kompensasi atas kesewenang-wenangan mereka ketika menduduki Indonesia. Singkatnya setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku,termasuk ganti rugi akibat mal praktek kekuasaan,seperti korban salah tangkap..

Pada gilirannya seberapapun hebatnya teroris diberantas jika tidak ada audit hukum tentang aktifitas Penegak hukum sama artinya memberantas teroris dengan cara teroris. Sehingga mereka yang merasa tidak teroris pun lebih suka menempuh cara teroris Dan itulah sekarang yang dilakukan aparat Kepolisian Republik Indonesia dalam cara pemberantasan teroris. Tanpa menunggu ijin Ketua Pengadilan mereka mengobrak-abrik rumah seseorang dalam rangka menemukan teroris,membunuh pun mereka lakukan. Sehingga sering muncul cemoohan bahwa mereka yang mengobrak-abrik itu polisi atau teroris? Tuntutan pengesahan RUU Intelejen patutlah dicermati dalam perpektif kepastian hukum,jika tidak akan memunculkan kekuasaan yang tiran. Dengan dalih penumpasan teroris ,lawan politik pun bisa dihabisi tanpa proses peradilan asalkan ia berdasarkan data intelejen seorang teroris. Oleh karena itu kita sepakat melawan dan memberantas terorisme di Indonesia,namun kita tidak bisa memberikan cek kosong kepada kekuasaan yang tidak menghormati hukum dengan cara menyetuji RUU Intelejen tanpa reserve. Sebab tesis sudah teruji terorisme Negara jauh lebih bahaya dari sisi manapun.