WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Minggu, 23 Desember 2012

DIEGO MENDIETA, KARUT MARUT SEPAKBOLA KITA

Oleh  : Muhammad Taufiq *
 
Dimuat di Harian Joglosemar, 7 Desember 2012
Atlet meninggal di tanah air sudah lumrah. Namun yang menimpa Diego tentu berbeda,sebab ia adalah pemain bola profesional asing dan meninggal dalam posisi pihak yang mempekerjakannya masih menunggak gaji. Diego meninggal dunia dalam keadaan terlunta-lunta,sehingga alih-alih mendapat asupan gizi yang layak, untuk bayar kos pun ia tidak mampu.  Sebagaimana diketahui eks Strikers Persis Solo versi PT.Liga Indonesia Diego Mendieta meninggal dunia, Senin(3/12) malam,di RS Dr.Moewardi Solo. Dengan demikian tentu saja tidak cukup kita hanya mengucap duka atau menyesalkan peristiwa itu. Sebagai bangsa yang beradab kita tentu saja memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi hak Diego. Saat Diego meninggal dunia Persis Solo versi PT.Liga Indonesia memiliki tunggakan sebesar Rp.131.000.000—(Seratus tiga puluh satu juta rupiah). Angka itu meliputi kewajiban manajemen Persis kepada Diego yang meliputi nilai sisa kontrak sebesar Rp.47 juta,- serta tunggakan gaji selama empat bulan masing-masing sebesar Rp.21 juta,-,meski akhirnya dibayar setelah Diego meninggal dunia.. Soal nunggak nampaknya hampir semua pemain klub manapun pernah mengalami,karena selain badan hukum sepakbola kita tidak profesional. Sepak bola kita dinilai belum menghasilkan uang sebagaimana basket. Di sisi lain  banyak diantaranya yang memang tidak memiliki manajemen yang bagus alias amburadul ,sehingga tidak mampu memenuhi secara utuh gaji pemain saban bulannya.
 Permintaan Diego sebelum meninggal terbaca dalam pesan terakhirnya yang disebarkan oleh mantan kapten PSIM, Nova Zaenal dan pemain PSS Sleman, Anang Hadi, dalam pesan lewat balackberry messanger Diego hanya mengharapkan dirinya bisa memiliki ongkos pulang ke tanah airnya guna bersua dengan ibunda dan keluarganya sebelum tutup usia. Sungguh membuat kita haru. Sebab  permintaan itu tak terpenuhi hingga ia menutup mata. "Aku gak minta gaji full, aku cuma minta tiket pesawat biar bisa pulang.” “ Ketemu mama dan mati di negara saya. RIP#Diego Mendieta." Kasus Diego Mendieta bukan pertama terjadi di Indonesia. Masih segar di ingatan kita di mana November lalu, mantan gelandang Persita Tangerang, Bruno Zandonadi, meninggal karena radang selaput otak. Mirisnya lagi, pemain berdarah Brasil tidak memiliki biaya untuk membayar rumah sakit. Akhirnya, rekan-rekan Bruno berinisiatif urunan untuk membiayai tunggakan rumah sakitnya. Lain lagi dengan cerita Syilla Mbamba, Camara Abdoulaye Sekou, dan Salomon Begondo.  Mereka terpaksa mengamen akibat gaji yang belum dibayarkan oleh Persipro(Probolinggo) , mereka hanya menerima 15 persen dari nilai kontrak. Mereka tidak malu mengemis dan mengamen di depan Kantor Walikota Probolinggo agar tetap bisa hidup. Sementara Jorge Paredes dari Persbul Buol harus meminta bantuan lewat media massa untuk memenuhi biaya yang dibutuhkan untuk proses persalinan istrinya.Ketiga kasus tersebut membuktikan bahwa masih rendahnya jaminan terhadap para pemain dan karut marutnya pengelolaan dana klub-klub sepakbola di Indonesia. Berpulangnya Diego Mendieta jelas menunjukkan kembali betapa lemahnya perlindungan pemain dalam hal jaminan kesehatan di dalam kontrak dengan klub .APPI (Asosiasi Pemain Profesional Indonesia), melalui akun jejaring sosial resmi milik mereka. Pesepakbola HARUS mendapat jaminan kesehatan dari klubnya masing2, ironinya sekarang jangankan kesehatan, gaji pun tidak dibayar. Kasus ini juga tak lepas dari konflik para elite sepakbola Indonesia yang tak kunjung menemui kata selesai. Para elit yang sibuk mengurus kisruh organisasi tak sempat mengawasi kinerja klub, yang menjadi anggotanya,apalagi memperhatikan kesejahteraan pemain. Sementara itu klub, seperti Persis Solo, kesulitan mendapatkan sponsor karena para sponsor ragu berinvestasi di tengah kondisi sepak bola yang karut marut,juga sepak bola yang dinilai belum mampu mendulang uang. Menurut catatan yang dimiliki oleh APPI, setidaknya ada 21 klub di dua kompetisi tersebut yang masih menunggak gaji pemainnya. Artinya jangankan mereka memperoleh standar hidup yang layak. Gaji sesuai kontrak pun belum bisa dicukupi oleh pemilik klub. Kondisi ini menjadi semakin parah manakala otoritas sepak bola pun terjadi dualisme.   
PERLU SANKSI HUKUM YANG KERAS
Kondisi yang tidak ideal di atas ditambah tidak tegasnya otoritas olah raga di tanah air,membuat banyak atlit menjadi korban. Sehingga mereka tidak tahu harus mengadu kepada siapa.Banyak pemain sepak bola yang tidak mengetahui hak-haknya. Padahal semua profesi di Indonesia sepanjang dibolehkan di tanah air (termasuk atlet sepak bola dan tinju ) ia akan tunduk pada undang undang. Yakni Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003,harap dimaklumi Indonesia belum memiliki undang undang khusus yang mengatur tentang olah raga. Dengan demikian aturan kontrak kerja selain tunduk pada perjanjian perdata juga mengacu pada Undang Undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Di mana undang undang itu selain mengatur syarat-syarat mempekerjakan tenaga asing,ia juga mengatur  hak dan kewajiban bagi tenaga kerja asing. Dengan asumsi ini maka pemain sepak bola itu pekerja dan klub adalah majikan yang mempekerjakan mereka.  Dengan demikian sanksi ketenagakerjaan juga bisa diberlakukan. Termasuk tentu saja sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dalam  UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 35,- ayat 2  pihak yang memperkerjakan wajib memberikan perlindungan sejak rekruitmen sampai penempatan tenaga kerja. - ayat 3,pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan,keselamatan,dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.  Ketika ada pemain sepak bola sampai tidak bisa berobat atau nunggak sewa kamar tentu saja itu kelalaian. Dengan demikian nampak bahwa para pengelola klub sepak bola di tanah air  telah dengan sengaja  mengabaikan kewajiban yang menjadi hak para pemain. UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dengan logika tersebut maka para pemain sepak bola juga harus disamakan dengan tenaga kerja. Di mana mengharuskan setiap pemilik atau pengelola klub sepak bola   untuk memberikan kesejahteraan termasuk di dalamnya berhak mendapatkan layanan kesehatan. Maka sangat tidak masuk akal ada seorang pemain sepak bola profesional ia harus berhutang atau dibayari temannya untuk beaya pengobatan,sebab sesungguhnya itu kewajiban klub. Memang Persis dan PT.Liga Indonesia telah membantu pemulangan Diego Mendieta,namun demikian saran penulis. Klub dan pengelola atau penyelenggara kompetisi sepak bola harus dihukum tidak saja sanksi larangan tidak boleh bertanding. Jika perlu klub-klub itu diaudit keuangannya. Dan jika tidak mampu untuk bermain di sebuah kompetisi lebih bagus dibubarkan. Agar tidak memakan korban lebih banyak. Sanksi hukum harus diberikan pada klub atau pengelola kompetisi. Namun jika dualisme kepengurusan tetap dipelihara . Jangan berharap ada sanksi atau hukuman. Upaya itu hanya dapat terwujud manakala hukum itu ditegakkan secara keras. Daripada memakan banyak korban dan prestasi sepak bola kita tidak maju-maju.. Semoga saja, kasus Diego Mendieta dan para pemain lainnya menjadi bahan pembelajaran berharga bagi para elit sepakbola Indonesia agar lebih awas dalam mengurus sepakbola, bukannnya sibuk memaksakan kepentingannya sendiri. Sehingga lupa pada kewajiban bahwa pemain sepak bola itu juga seorang manusia. Ia punya keluarga yang juga wajib ditanggung kebutuhannya dan dinafkahi.
Solo, 6 Desember 2012
 
Muhammad Taufiq,
Advokat,Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS.

Kamis, 06 Desember 2012

Kasus Diego dalam Aspek Hukum

Dimuat di harian Solopos edisi 6 Desember 2012
Oleh : Muhammad Taufiq *


Orang meninggal dalam kejadian apapun adalah peristiwa biasa. Namun jika yang meninggal adalah orang asing dan dalam posisi kontrak kerja yang belum dilunasi tentu bukanlah persoalan biasa. Melainkan sudah menjadi perkara hukum,sebab ia datang dan bekerja pada pihak yang menaunginya. Hal tersebut tertuang jelas dalam UU Ke

tenagakerjaan No.13/2003,khususnya pasal 35 dan 186 karena tidak adanya perlindungan dan jaminan kesehatan sejak rekruitmen hingga kontrak berakhir. Terbukti orang itu meninggal dunia dalam keadaan terlunta-lunta,sehingga alih-alih mendapat asupan gizi yang layak, untuk bayar kos pun ia tidak mampu.
Peristiwa mengharukan itu sekarang tengah menimpa Diego Mendieta yang meninggal dunia, Senin(3/12) malam,di RS Dr.Moewardi Solo. Atlet meninggal di tanah air sudah lumrah. Namun yang menimpa Diego tentu berbeda,sebab ia adalah pemain bola profesional asing dan meninggal dalam posisi pihak yang mempekerjakannya masih menunggak gaji. Dengan demikian tentu saja tidak cukup kita hanya mengucap duka atau menyesalkan peristiwa itu. Sebagai bangsa yang beradab kita tentu saja memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi hak Diego. Saat Diego meninggal dunia Persis Solo versi PT.Liga Indonesia memiliki tunggakan sebesar Rp.120.000.000--. Soal nunggak nampaknya hampir semua pemain pernah mengalami,karena selain badan hukum sepakbola kita tidak profesional. Banyak diantaranya yang memang tidak memiliki manajemen yang bagus,sehingga tidak mampu memenuhi secara utuh gaji pemain saban bulannya. Pihak Mendeita sudah berulang kali menagih haknya kepada manajemen Persis Solo. Namun bisa diduga hampir semua klub sepak bola tanah air menggantungkan pendapatan dari dana APBD. Pasca dilarangnya klub dibeayai APBD, tentu tak cukup memiliki uang untuk menggaji pemain ekspatriat seperti Diego. Nasib Diego memang tidak sebaik mereka yang memperoleh hak kewarnegaraan istimewa( naturalisasi ) pemain naturalisasi tentu mendapat perhatian dari pemerintah (PSSI) sejak ia datang hingga kembali ke klub asal. Pesepakbola seperti Diego ini untuk menyambung hidup tidak malu main Tarkam ( antar kampung), bahkan pemainPersibo( Bojonegoro ) rela ngemis di jalan karena gaji meraka juga tidak dibayar.
Bagaimana keberadaan mereka dilihat dari aspek hukum?
Apapun profesi mereka sepanjang pekerjaan itu halal dan dibolehkan di tanah air,maka siapapun pekerja itu dan siapa yang mempekerjakan ia akan tunduk pada undang undang. Yakni Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. Di mana undang undang itu selain mengatur syarat-syarat mempekerjakan tenaga asing,ia juga mengatur hak dan kewajiban bagi tenaga kerja asing. Termasuk tentu saja sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 35,
- ayat 2 disebutkan :pelaksanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekruitmen sampai penempatan tenaga kerja.
- ayat 3,pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan,keselamatan,dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dari ketentuan di atas jelas bahwa Diego Mendieta tidak mendapatkan itu semua, yakni jaminan kesehatan,keselamatan apalagi kesejahteraan. Terbukti hingga menghembuskan napas terakhir eks striker Persis Solo versi PT.Liga Indonesia belum menerima haknya berupa gaji atau atau sisa kontrak kerja sebesar Rp.120.000.000,-. Dengan sendirinya ia tidak mampu memperoleh pengobatan yang layak. Dalam posisi demikian uluran tangan untuk membayar beaya pengobatan dan beaya pemulangan tentu saja patut disambut baik. Tetapi menurut hemat penulis ,uluran bantuan itu barulah bersifat sosial, belum merupakan pemenuhan haknya sebagai pemain, seperti yang diatur dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan . Sebagai tenaga kerja asing yang bekerja dalam dunia sepak bola tentu saja ia harus memperoleh apa yang menjadi haknya. Yakni pemenuhan gaji dan juga sederet kesejahteraan termasuk di dalamnya berhak mendapatkan layanan kesehatan, jadi sungguh tragis jika untuk bayar rumah sakit saja ia harus berhutang. Karena itu semua menjadi kewajiban pihak yang menaunginya,yakni Persis Solo dan PT.Liga Indonesia .
Nampaknya sebagai bangsa yang beradab dan kerap merasa gerah manakala TKI atau TKW kita diperlakukan sewenang-wenang di negara jiran. Kita tentu saja harus peduli dan tidak boleh menyepelekan hak-hak tenaga kerja sebagaimana Diego di Persis Solo. Agar tidak berulang pada pemain bola lainnya,termasuk pemain bola lokal. Tindakan hukum sebagai shock teraphy pada pengelola sepakbola tanah air perlu diberlakukan. Dalam Undang Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 jelas ada sanksi bagi pelanggarnya. Pasal 186 ayat(1) jelas menyebut- barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1(satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) atau paling banyak Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah ).
Jika melihat kronologi meninggalnya Diego Mendieta,patut diduga Pengurus Persis Solo yang mempekerjakan Diego dan direktur PT.Liga Indonesia selaku penyelenggara kompetisi layak dihukum karena telah lalai memberikan hak-hak seorang pekerja sepakbola seperti Diego Mendieta sehingga ia sakit dan meninggal dalam kondisi tidak dipenuhi hak-haknya. Pasoepati dan siapapun bisa melaporkan kasus ini ke kepolisian Republik Indonesia,karena kasus ini sudah masuk ranah pidana dan sifatnya bukan delik aduan. Artinya siapapun yang mengetahui kejahatan atau pelanggaran itu boleh melaporkannya.

Solo, 5 Desember 2012

Muhammad Taufiq,
Pemerhati sepakbola,Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS.

Rabu, 24 Oktober 2012

“SIAPA MUSUH BERSAMA POLISI DAN KPK ? “


 
Oleh : Muhammad Taufiq*
 
Dimuat di Harian JOGLOSEMAR, edisi Rabu, 24 Oktober 2012
 
Polri akhirnya menyerahkan seluruh hasil penyidikannya dalam kasus korupsi latihan mengemudi motor dan mobil atau simulator kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya itu tidak terlepas dari campur tangan SBY setelah berbagai lapisan masyarakat angkat bicara  dan mendesak agar SBY bersikap,pasca perseteruan KPK dan POLRI jilid   II. Sikap itu ending satu babak dari keinginan Polri untuk menangkap anggota KPK yang tengah menyidik kasus simulator. Di mana beberapa waktu lalu  nama Komisaris Polisi Novel Baswedan menjadi trending topic. Warga Semarang yang sejak enam tahun lalu dipromosikan sebagai penyidik di Komisi Pemberantasan Korupsi mendadak menjadi sangat terkenal. Bukan karena ia teroris atau menjadi musuh negara, Novel yang masih sepupu dengan Rektor Universitas Paramadina itu diburu polisi yang pangkatnya jauh lebih tinggi.  Entah kebetulan atau tidak Novel yang juga Wakil Ketua Tim penyidik Irjen . Joko Susilo mantan Gubernur Akademi Kepolisian,   akan ditangkap dan ditahan atas tuduhan pemubunuhan yang terjadi tahun 2004 silam di Bengkulu. Kontan menyulut aksi solidaritas yang tidak pernah dibayangkan polisi sebelumnya. Sampai –sampai Markas Lembaga Super body itu dikawal ratusan demonstran,seolah seperti suasana Reformasi 1998.
      Novel Baswedan keturunan AR Baswedan Pahlawan Nasional itu tentulah polisi  yang super power, buktinya ia akan ditangkap oleh Polisi berpangkat Kombes dari dua Polda ,Metro Jaya dan Bengkulu. Memang  polisi bisa dibedakan menjadi 3, The Good cop, The Bad Cop dan The Ugly Cop. Persis judul filem yang dibuat oleh pemeran polisi paling hebat Clint Eastwood. Kenapa ia diburu? Novel adalah polisi yang menyidik dan bahkan sempat mendobrak Kantor Korlantas di mana sang bos Irjen .Pol. Joko Susilo pernah berkantor, dalam kasus simulator SIM. Kalau boleh dibilang Novel sedikit dari polisi yang masuk kategori Good cop.
 
 Undang Undang yang lama (UU No.13 Tahun 1961) memang menempatkan bukan hanya Irjen .Pol.Joko Susilo sebagai orang hebat ,namun juga penyidik yang berpangkat Komisaris Polisi seperti Novel Baswedan.   lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.
         Korp polisi menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut.  Kitab undang undangut sebagai hukum yang  tidur”, maka polisi itu hukum yang hidup.  Di tangan masyarakat biasa KUHP  sesungguhnya hanyalah kumpulan pasal,atau bisa disebut hukum yang mati. Seorang polisi seperti Novel inilah polisi menjelma menjadi sosok yang mampu menegakkan bukan hanya hukum atau pasal –pasal yang mati tadi,akan tetapi juga keadilan. Buktinya lewat hasil kreatifitasnya, seorang Jendral aktif diobok-obok di kantornya dan ditetapkan sebagai tersangka.  
 
Berkenaan  dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku disini dan oleh karena itulah  disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir. Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai  juru tafsir dan  transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut di atas . Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi  memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali  berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini  sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.
 Jerome H. Skolnick (178:1988), memakai istilah “justice without trial” untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut. Dengan ungkapan doing justice tersebut ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif  dengan kenyataan sehari-hari , polisi  tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian saja melainkan  pada hakekatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan. Dalam kasus yang  dihadapi oleh polisi ketika  aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur , kita menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus. Sebagai  contoh kasus Novie sang peragawati yang wajah cantiknya berpose tak senonoh beredar di mana-mana . Ia yang terbukti menabrak sekumpulan masyarakat yang di dalamnya ada dua anggota polisi, malah direhabilitasi bukan dipenjara,pada kasus lain seperti anggota DPRD melakukan  kejahatan yang sama tidak berlaku ketentuan rehabilitasi. Aturan lain adalah perintah wajib lapor. Meski ditentang karena lemahnya aturan hukum yang menjadi landasannya. Banyak orang tidak berani menyarankan untuk tidak datang dalam wajib lapor.
    Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada kedudukan pos terdepan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut. Apa yang dilakukan  dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan  perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Artinya perbaikan kinerja penegak seperti judicial corruption atau mafia hukum dan terutama pemberantasan korupsi ,kita membutuhkan seorang polisi yang berjiwa satria dan kebal sogokan serta berani mengatakan  Siap Ndan Saya Menolak 86”. Bersyukurlah kita punya Novel yang berani mengangkat derajat ke lebih tinggi,yakni polisi yang patuh pada kebenaran dan berani menolak sogok atau damai yang lebih dikenal 86.  
 Karena musuh polisi bukanlah KPK dan musuh KPK juga bukan polisi. Jadi perdebatan dan perseteruan antara polisi dan KPK haruslah diakhiri. Jika mereka tetap bertikai maka sesungguhnya hanya akan menguntungkan para koruptor. Memang kita tidak boleh pesimis bahwa seluruh sifat kebijaksanaan  dan organisasi polisi sudah berubah sedemikian mendasar sehingga tidak ada harapan pembaharuan  di internal kepolisian. Sampai taraf tertentu memang polisi dilanda kepanikan pasca penetapan tersangka Irjen.Pol. Joko Susilo,ditambah lagi gambaran mengenai hanyutnya polisi dalam kekerasan di beberapa tempat dan cenderung tidak mematuhi hukum sebagaimana dalam kasus Novel haruslah dihentikan,agar polisi tidak semakin tersesat. Sekali lagi Polisi dan KPK sadarlah bahwa musuh utama ,musuh bersama adalah koruptor. Apapun dasarnya penghentian penyidikan Polisi atas kasus simulator haruslah diapresiasi, maju terus polisi dan KPK dalam memberantas korupsi.
 
Surakarta, 23 Oktober 2012
 
Muhammad Taufiq , Advokat  Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Rabu, 19 September 2012

SIDANG WALET DAN PENCITRAAN

Dimuat di Harian Joglosemar, Opini, Selasa, 18 September 2012
Oleh :Muhammad Taufiq, SH, MH*

Sidang kasus bentrokan Gandekan dengan terdakwa Koes Setiawan Danang Mawardi alias Iwan Walet dan Mardi Sugeng alias Gembor, akhirnya dipindah ke Semarang. Pemindahan tersebut menyusul turunnya fatwa Mahkamah Agung (MA), berdasarkan Nomor 102/KMA/SK/VII/2012, tanggal 20 Agustus 2012 tentang penunjukan Pengadilan Negeri (PN) Semarang untuk memeriksa dan memutuskan perkara pidana atas nama terdakwa Koes Setiawan Danang Mawardi alias Iwan Walet dkk, yang tersandung kasus bentrok yang terjadi di Gandekan. Peristiwa itu sama sekali tidak berhubungan dengan Pilkada DKI, namun berimplikasi pada kesuksesan langkah salah satu kandidat Calon Gubernur DKI Jakarta, yang kebetulan merupakan Walikota Solo.
Dari semula, memang sejumlah elite politik menginginkan Solo kondusif dalam segala hal. Bukan karena dicitrakan sebagai Kota Pariwisata dan Budaya. Melainkan ada kondisi subjektif yang tengah diperjuangkan oleh sejumlah elite politik di Solo yang luput dari pengamatan, yakni keinginan orang nomor satu di Solo, Joko Widodo (Jokowi) untuk berpindah menjadi orang nomor satu di Jakarta. Karena itu diakui atau tidak, skenario pemindahan sidang Iwan Walet bagian dari mengamankan pencitraan Solo sebagai kota yang aman. Agar langkah Jokowi mulus sehingga tidak tersandung akibat dari peristiwa bentrok Iwan Walet, baik langsung maupun tidak langsung.
Soal bentrok sebenarnya bukan kali ini saja terjadi di Solo. Sebelumnya kasus Joyontakan, pada tahun 2009 juga terjadi konflik antara pemuda masjid dan warga setempat, malah mengakibatkan korban tewas dari pihak warga yakni Kipli. Meski demikian, karena tidak ada target politik apapun kala itu, akhirnya sidang tetap digelar di Solo dan tidak terjadi apa-apa, saat itu tentu saja pengamanannya tidak sebanyak sidang Iwan walet.
Di sisi lain banyak yang belum tahu mengapa ia disebut Iwan Walet? Pemilik cucian motor di Pasar Gandekan itu memang dikenal pemberani. Guna mengamankan bisnis walet di daerah itu oleh beberapa pemilik sarang walet, ia diberikan tugas sebagai penjaga sarang walet di beberapa rumah. Itulah asal usul mengapa ia disebut Iwan Walet. Kenapa ia diberikan pekerjaan itu? Sebagai mantan anggota TNI di Madiun yang dipecat karena tersandung masalah kriminal, ia dianggap punya nyali dan cukup disegani di daerahnya. Maklum, Iwan memang lahir dan dibesarkan di daerah Gandekan.

Alasan Pemindahan
Melihat latar belakang bentrok dihubungkan dengan kredibilitas Iwan Walet, maka kita perlu menganalisis mengapa persidangan itu harus pindah ke Semarang? Selanjutnya jika kita lihat dari kajian hukum acara pidana khususnya pasal 85, pemindahan tempat persidangan adalah hal yang diperbolehkan dengan limitasi tertentu. Namun demikian alasan pemindahan yang objektif, hanya dimungkinkan jika di tempat kejadian perkara dimaksud pengadilan tidak mampu untuk mengadili suatu perkara dikarenakan kondisi keamanan, bencana alam.
Pertanyaan selanjutnya, apakah Solo memiliki alasan objektif sesuai pasal itu, bahwa Solo tidak aman dan sebagainya? Membandingkan dengan kasus Joyontakan yang memakan korban dan Gandekan tidak memakan korban, tentu menyisakan pertanyaan. Di mana kondisi objektif bahwa Pengadilan Negeri Surakarta dinyatakan tidak bisa menyidangkan? Kasus ini tentu berbeda dengan John Kei preman dari Tual pada tahun 2008 memotong jari saudara sepupunya di Ambon, namun persidangan di Surabaya. Atau kasus Sihabudin Temanggung pada tahun 2011 yang juga dipindah ke Semarang.
Pemindahan John Kei atau Sihabudin memang sesuai pasal 85, di mana jika disidangkan di tempat kejadian perkara akan sangat rawan mengingat keduanya punya banyak pengikut. Dua alasan, bencana alam dan keamanan tidak terdapat pada kasus Iwan Walet. Terang kepada kita bahwa pemindahan sidang kasus Gendekan dari PN Surakarta ke PN Semarang sangatlah sarat dengan kepentingan politik.
Secara teori tidak ada alasan secuil pun dalam kasus bentrok Gandekan yang memenuhi syarat pasal 85 KUHAP. Namun demikian dalam praktiknya sangat sulit untuk dibedakan apa yang menjadi penyebab pemindahan tempat persidangan. Namun dalam praktiknya persoalan SARA sering kali memicu konflik. Apalagi jika pelakunya adalah orang memiliki latar belakang historis yang bermusuhan serta secara kultural dan agama berbeda. Pada kasus ini kebetulan Iwan memang berbeda keyakinan dengan lawan atau seterunya.
Sebagaimana diketahui sidang kasus bentrok Gandekan itu telah berlangsung di Pengadilan Negeri Surakarta, selama dua kali. Setiap sidang berlangsung, ribuan petugas berjaga karena dikhawatirkan PN akan didatangi massa dalam jumlah banyak, meskipun pada kenyataannya tidak pernah terjadi aksi pengerahan massa.
Dalam persidangan, Selasa (11/9) dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi, Hartono, Muhammad Misran dan Pramono. Tiba-tiba terjadi keganjilan, lantaran sidang mendadak dihentikan. Majelis Hakim yang dipimpin Budhi Hertantyo yang sekaligus Humas PN Surakarta membacakan fatwa MA tersebut. Sidang terpaksa dihentikan, karena fatwa MA tertanggal 29 Agustus 2012 yang ditandatangani oleh Ketua MA M Hatta Ali tersebut dengan berbagai pertimbangan memerintahkan PN Surakarta supaya sidang lanjutan atas perkara dengan terdakwa Iwan Walet dipindahkan ke PN Semarang. Majelis Hakim sudah membacakan dengan landasan yang sudah diuraikan tadi. Selanjutnya PN Surakarta melempar handuk dan menyerahkan seluruh berkas perkara ke PN Semarang.
Terpisah, Kepala Kejaksaan Negeri Surakarta, Ricard Sitinjak yang menyaksikan langsung proses persidangan mengatakan, pihaknya tidak mempersoalkan pemindahan lokasi sidang dengan terdakwa Iwan Walet ke PN Semarang. Menurutnya, pihaknya juga sudah siap untuk menyerahkan barang bukti dan terdakwa ke PN Semarang.
Saat disinggung, apakah pemindahan tersebut tidak melanggar Pasal 85 KUHAP, kata dia, pemindahan tersebut sudah sesuai dengan usulan Muspida meliputi Pemerintah Kota Surakarta dan Polresta Surakarta yang tercantum dalam surat nomor 730/2.264 tertanggal 20 Juni 2012 serta surat dari Kepolisian nomor: Res 1.24/4384/VI/2012/Resta Ska tanggal 21 Juni 2012. Dalam Pasal 85 KUHAP juga disebutkan, pemindahan lokasi sidang dapat dilakukan atas permintaan dengan pertimbangan tertentu. ”Dari awal karena pertimbangan dari rapat Muspida, serta adanya masukan dari masyarakat tentang pertimbangan penanganan persidangan itu, maka kita sepakati, kita ajukan pemindahan itu, persyaratannya sesuai dengan KUHAP, usulan Dandim, Kapolres, dan Walikota,” terang Ricard. Dikatakan Ricard, dalam pasal ini mengesampingkan asas locus delicti dan tempus delicti, jaksa yang akan menangani kasus tersebut akan tetap ditangani oleh tim JPU yakni Bima Suprayoga, M Hambalianto dan Budi Sulistyono. Kemudian untuk hakim, dijelaskan Ricard biasanya tidak sama. Sedangkan penasihat hukum itu nanti urusan dari pihak PN Semarang.
Dari penjelasan Kajari Surakarta di atas, jelas bahwa kemauan atau keinginan pindah adalah kehendak elite politik dalam hal ini orang nomor satu di Solo bersama Muspida. Meski demikian, lepas dari alasan apapun kita jangan terjebak pada apa yang disebut teori agenda setting. Yakni ketika media massa menganggap dan menampilkan suatu isu sebagai yang terpenting, maka publik akan tergiring untuk mempersepsikan isu itu sebagai hal yang terpenting. Oleh karena kita harus sama jujur bahwa Solo itu kota yang aman dan kondusif. Ada atau tidak ada sidang Iwan Walet atau bentrok Gandekan, kita tetap yakin bisa hidup wajar di Solo, tanpa takut kerusuhan massa atau aksi terorisme.   
*Muhammad Taufiq, SH, MH

Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Jumat, 14 September 2012

Audit Hukum Pemberantasan Teroris


Dimuat di Harian Solopos, Gagasan, edisi Rabu, 12 September 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*

Harian ini sepekan lalu, Rabu (5/9/2012), pernah menulis judul yang sangat kontroversial di halaman utama “Peneror Solo Orang Dekat Polisi “. Analisa itu sangat masuk akal, mengingat cara pemberantasan teroris selama ini tidak menyisakan bukti maupun saksi kecuali dari unsur polisi itu sendiri. Sehingga Ketua Presidium Indonesian Police Watch menyangsikan bahwa yang dibunuh atau ditembak mati di Solo adalah teroris yang sebelumnya menembaki pos-pos polisi.
Memang sungguh tidak masuk akal melihat sepak terjang polisi terutama Densus 88 yang memiliki bukan saja senjata yang canggih tetapi juga pola kerja yang tidak bisa dianut lembaga mana pun. Pasukan khusus Polri benar-benar extra ordinary kalau tidak boleh dibilang misterius. Artinya dia tidak bisa tunduk pada hukum umum seperti KUHP, KUHAP dan lain-lain.
Semua bentuk pemerintahan sesungguhnya memiliki satu sifat yang sama, yaitu kewenangan untuk membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati hukum dan peraturan itu. Beda antara sistem yang demokratis dan yang tidak demokratis terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis, kewenangan dan kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan kesepakatan dari rakyat. Sementara di dalam sistem yang tidak demokratis, kesepakatan rakyat bukan merupakan persyaratan. Di dalam sistem yang demokratis, rakyatlah yang memiliki kedaulatan. Mereka berhak mengganti sebuah pemerintahan yang dipandang sudah tidak lagi mampu melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik, melalui pilihan umum yang bebas. Di dalam konteks ini, lebih lanjut perlu dipahami bahwa sistem pemerintahan yang demokratis hanya mungkin dibangun jika kelompok minoritas dari warga negara mau menerima pemerintahan mayoritas dan kelompok mayoritas benar-benar siap untuk menghormati hak-hak minoritas. Ini merupakan salah satu dari kesepakatan-kesepakatan etis yang mutlak hadir dalam demokrasi.
Sepertinya dalam praktik ini tidak berlaku terhadap persoalan yang mengkait Islam entah dari kelompok mana pun, bercorak garis keras,lemah atau tanpa garis. Dalam bahasa dunia yang dipelopori Amerika Serikat, mereka disebut teroris. Dan itulah saat ini yang diperankan Pemerintah Indonesia lewat institusi kepolisian melalui lembaga extra ordinary yang disebut Densus 88.
Di dalam konteks pemerintahan demokrasi, prinsip-prinsip yang relevan dibicarakan adalah pemisahan kekuasaan (separation of power ), supremasi hukum atau pemerintahan berdasarkan hukum (law supremasi atau the rule of law ) serta kesederajatan (equality) dan kebebasan (liberty). Dalam konteks pemisahan kekuasaan diasumsikan bahwa pemerintah pada dasarnya berkenaan dengan urusan membuat hukum, melaksanakan hukum dan memutuskan apakah hukum telah dilanggar dalam kasus–kasus tertentu. Ini yang kemudian memberi inspirasi tentang perlunya melakukan pemisahan atas kekuasaan –kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tujuan dari pemisahan-pemisahan itu adalah untuk menghindari menumpuknya kekuasaan pada satu tangan, entah itu dalam artian institusi ataupun pribadi. Alhasil dengan memisahkan tiga cabang kekuasaan itu diharapkan adanya saling ketergantungan dan saling kontrol dalam keseimbangan kekuasaan di antara mereka (checks and balances), sehingga kemungkinan terjadinya penyalahgunaan dan kesewenang- wenangan dapat dihindari seperti dengan seenaknya mempersangkakan orang sebagai teroris dan tak pernah ada persidangan yang bersifat scientific justice.
Seperti yang kita lihat dan berulang baca klaim keberhasilan menumpas teroris hanya muncul sepihak, sebab para teroris ini sudah mati. Asumsi di balik penerapan prinsip ini adalah manusia (termasuk polisi dengan Densus 88) bukanlah malaikat atau makhluk suci yang tidak tunduk pada hukum umum. Pada hakikatnya siapa pun dia pasti memiliki kecenderungan untuk melanggar aturan jika duduk dalam kekuasaan. Selain itu mereka cenderung menumpuk dan menggunakan kekuasaan itu secara semena–mena. Menurut pandangan ini betapa pun baiknya seseorang sebelum duduk di dalam suatu posisi kekuasaan, sekali ia berkuasa akan terbuka kemungkinan untuk tergoda oleh hawa kekuasaan yang cenderung mengajaknya menyeleweng. Maka hebatnya pemerintah tidak bisa dijaminkan atau digaransi sekadar pada iktikad baik orang seorang, tanpa hukum bisa menyentuhnya

Cek Kosong
Kewenangan pemerintah yang baik harus disusun dan dibagi ke dalam struktur-struktur kelembagaan dan batasan otoritas yang selalu membatasi saling mengawasi dan saling tergantung satu sama lain. Ini yang dimaksud dengan sistem, termasuk sistem pengadilan di mana polisi merupakan salah satu bagiannya. Artinya penguasa bisa datang dan pergi namun sistem jalan terus. Hanya dengan memperkuat sistem, kelangsungan pemerintah yang bebas dari kemungkinan diselewengkan akan dapat diupayakan. Mempertaruhkan nasib pemerintahan yang juga berarti nasib rakyat kepada kekuasaan orang seorang bukan kepada sistem yang solid akan sangat riskan karena tidak akan mampu menjamin stabilitas dan kontinuitas kehidupan sebuah pemerintahan.
Selaras dengan ide pemisahan kekuasaan, demokrasi juga menjadikan hukum sebagai landasan penyelenggaraan pemerintah, hukum sebagai panglimanya . Dalam pengertian ini pemerintah bukan saja harus menjadikan dirinya sebagi hukum yang berbicara tetapi juga menjamin dan memelihara independensi lembaga-lembaga peradilan dan lembaga penegak hukum lainnya termasuk lembaga kepolisian dengan tim Densus 88 harus bersedia diaudit segala pendanaanya. Pada akhirnya tidak ada seorang pun dapat ditahan untuk diperiksa oleh polisi kecuali ia dicurigai telah melanggar hukum dan tidak seorang pun dapat dipenjarakan kecuali ia telah dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Dengan demikian kesewenang-wenangan Densus 88 sebagai “pemain tunggal” pemberantasan teroris harus diakhiri. Dengan sendirinya pemerintah juga tidak dapat mengambil hak milik orang seorang tanpa kewenangan hukum yang jelas dan pembayaran kompensasi yang wajar. Ringkasnya setiap orang berhak memperoleh perlakuan yang adil berdasarkan hukum yang berlaku. Prinsip tentang hak-hak dasar negara ini sudah berlaku di Inggris sejak tahun 1215 sebagaimana termuat di dalam Magna Charta. Itulah sebabnya maka negara demokrasi selalu diidentikan dengan negara berasas hukum.
Adab Berdemokrasi
Tentang kesederajatan dan kebebasan batas-batas penerapan atas dua nilai dasar demokrasi senantiasa menjadi topik perdebatan. Secara teoretik, kesederajatan diartikan sebagai kesamaan hak dari setiap pribadi untuk menikmati kehidupan dan mengejar kebahagiaan. Ini berkenaan dengan kesederajatan hukum (legal equality), yaitu jaminan perlakuan yang sama kepada setiap warga negara di hadapan hukum, kesederajatan politik (political equality), yaitu kesamaan hak dari setiap warga negara untuk memilih dan dipilih, dan kesederajatan ekonomi (economic equality) yaitu kesamaan hak bagi setiap warga negara untuk bergiat di bidang ekonomi dan memperoleh pelayanan dari negara di dalam memajukan kehidupan ekonominya. Untuk yang terakhir ini banyak penganjur demokrasi berpendapat keberhasilan demokratisasi juga harus diukur dari sejauh mana sistem ekonomi yang berlaku mampu menjembatani kesenjangan tingkat kesejahteraan antara warga negara yang kaya dan yang miskin.
Ini menjelaskan mengapa pemerintah di negara-negara yang menganut paham demokratis cenderung menerapkan kebijakan perpajakan yang secara progresif membebani para orang kaya dan pada saat yang sama meluncurkan program-program bantuan meningkatkan kesejahteraan orang-orang yang miskin. Semakin berkurangnya jumlah yang miskin, dan semakin sempitnya jarak antara mereka yang kaya dan yang miskin dalam masyarakat, merupakan salah satu ukuran penting dari keberhasilan pemerintahan. Pada akhirnya seberapa pun hebatnya teroris diberantas jika tidak ada audit hukum tentang aktivitas penegak hukum sama artinya memberantas teroris dengan cara teroris. Model itulah sekarang yang dilakukan Kepolisian Republik Indonesia dengan Densus 88. Membunuh dan menghabisi teroris, baru kemudian dilakukan tes DNA. Selama ini kita dibohongi dengan kehebatan Densus 88 tanpa pernah ada pembuktian apakah yang dibunuh benar-benar seorang teroris.

*Muhammad Taufiq,
Dosen Pidana Universitas Muhammadiyah Surakarta, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Selasa, 28 Agustus 2012

Kejarlah Simulator, Polisi Kutangkap



Dimuat di Harian Solopos, Gagasan, edisi Rabu 15 Agustus 2012
Oleh  : Muhammad Taufiq*

Saya sengaja membuat judul jenaka dengan mengutip film yang dibintangi Deddy Mizwar, pemain teater yang sukses di layar lebar, untuk menggambarkan hubungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) belakangan ini.
Semakin luasnya pekerjaan polisi era kini, mengurusi perkelahian dalam pertandingan sepak bola hingga perselingkuhan artis, memang memerlukan diskresi bagi polisi. Memang tidak bisa membebankan segala urusan hukum kepada polisi.
Dalam kondisi ini perlu pengawasan akuntabilitas kepolisian yang efektif. Jumlah pelanggaran administrasi di kepolisian jauh lebih kecil dibanding perilaku polisi yang salah atau buruk.
Sebagai contoh, larangan Markas Besar Kepolisian untuk menerima pemberian gratis dalam bentuk apa pun termasuk parsel. Secara de facto masyarakat menoleransi ini dan menjadi budaya. Polisi dihadapkan pada situasi di mana penerimaan hadiah berupa apa pun termasuk uang sama sekali tidak berhubungan dengan etika profesi atau integritas pribadi.
Mayoritas dari mereka secara subjektif mendefinisikan perbuatan itu bukan bagian dari perilaku buruk. Kalangan akademisi dan pers sering kali menyebutnya sebagai perilaku menyimpang yang terorganisasi.
Faktanya, penyebab utama contoh atau perilaku buruk atau tidak baik ini hampir semuanya bermula dari manajemen kontrol yang tidak memadai. Pada gilirannya menyebabkan sistem pengawasan yang dibangun rusak.
Cara yang lumayan ampuh untuk mengurangi perilaku buruk polisi adalah akuntabilitas publik dan transparansi organisasi polisi, termasuk mengaudit sumber-sumber keuangan polisi serta mengumumkan secara terbuka kekayaan pejabat kepolisian segala tingkatan sebelum dan sesudah menjabat.
Selain itu, mewajibkan pelaporan secara berkala kekayaan polisi. Dan yang paling penting kejahatan, khususnya korupsi yang dituduhkan pada setiap polisi harus diperiksa oleh tim yang independen, dalam hal ini KPK.
Dengan argumen apa pun memang KPK yang lebih pantas menangani korupsi proyek pengadaan simulator kemudi sepeda motor dan mobil. KPK memang lembaga super body yang khusus untuk mempercepat pemberantasan korupsi.

Dicinta dan Dibenci
Revolusi penegakan hukum di Indonesia terkait dengan evolusi hak individu, juga gerakan internal dan eksternal untuk profesionalisme polisi. Karakteristik polisi di Indonesia berbeda dengan negara lain. Kamus Webster mendefinisikan akuntabilitas sebagai keharusan melaporkan, menjelaskan atau menjustifikasi tindakan.
Jamak diketahui sepanjang sejarah kepolisian di dunia ini kecuali di negara Amerika Serikat (AS), polisi selalu bertanggungjawab kepada kepala negara, baik pemimpin itu seorang raja (Hammurabi); monarki (Raja John dari Inggris ); atau seorang diktator (Napoleon, Stalin, Hitler).
Di AS yang dikenal sebagai negara demokrasi maju, polisi bertanggung jawab kepada politisi, hakim dan para pembuat hukum, dan tidak selalu berurusan dengan hak-hak individu. Gagasan bahwa polisi harus bertanggung jawab kepada warga yang mereka layani belum lahir dalam sejarah hingga tahun 1980-an dan 1990-an di AS, akuntabilitas  polisi untuk melindungi hak berkonstitusi yang berlatar belakang konsep hukum alam dan hak-hak dasar atau alamiah.
Awalnya dikembangkan oleh Hugo Grotius (Belanda, abad ke-16) dan John Locke (Inggris, abad ke-17) selanjutnya ditanamkan ke dalam Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat dan konstitusi AS. Perubahan ini memberikan hak luas pada warga negara untuk mengendalikan polisi dan pengadilan seperti habeas corpus, hak untuk tidak memberikan keterangan dan hak untuk selalu didampingi pengacara (diatur dalam KUHAP).
Di Indonesia, momentum polisi mereformasi diri baru terjadi secara masif pada akhir 1990-an. Kekacauan pada 1998 setelah Soeharto turun memaksa polisi berinteraksi dengan warga masyarakat. Saat itu polisi secara nyata gagal menciptakan ketertiban umum dan melindungi harta pribadi warga negara.
Setahun sesudah reformasi, terhitung sejak 1 April 1999, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) resmi keluar dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/ABRI (kini Tentara Nasional Indonesia/TNI). Kendali pengamanan kepolisian mulai muncul dalam bentuk keterlibatan masyarakat yang tidak hanya membantu pengamanan tetapi juga mengawasi polisi.
Dalam kenyataan sehari-hari polisi masih dipandang masyarakat sebagai diktator dan penjaga status quo hukum bagi mereka yang kaya. Banyak teori modern mengemuka bahwa polisi tidak memiliki akuntabilitas hingga era 1990-an. Dan uniknya, tingkat akuntabiltas polisi diukur atau dinilai oleh internal kepolisian sendiri berdasarkan tindakan setiap polisi secara individual.
Penilaian itu sama sekali tidak menyentuh penurunan kejahatan dan hal-hal lain akibat tindakan polisi; peraturan, kebijakan dan prosedur yang menyinggung tindakan polisi secara individual, seperti kebutuhan untuk penyelesaian kasus secara cepat; kebutuhan akan pekerjaan sekunder; dan penjatuhan hukuman jika petugas terlibat dalam kecelakaan lalu lintas saat mabuk atau jika dia positif menggunakan obat-obatan terlarang, serta ketika petugas melawan atasannya.
Kini yang dibutuhkan adalah penggunaan sumber daya yang efisien; pengembangan strategi komprehensif untuk memastikan keamanan umum dan lingkungan bebas kejahatan; dan yang paling penting, melindungi hak-hak dan kebebasan individu. Ini hanya bisa dipenuhi oleh mereka yang benar-benar kompeten secara teknis.
Namun demikian, sasaran ini layak diperjuangkan karena sejarah dengan jelas memperlihatkan bahwa kualitas demokrasi bergantung pada akuntabilitas polisi. Dalam posisi demikian, penangkapan petinggi polisi dalam kasus korupsi simulator kemudi oleh KPK sesungguhnya anugerah untuk mengembalikan fungsi utama polisi yakni menegakkan hukum dan menjaga ketertiban umum.
Meski sejak 1 April 1999 Polri telah mandiri secara organisasi  namun polisi belum mencapai fungsi ideal, yakni melakukan fungsi utama menegakkan hukum dan memelihara atau menjaga ketertiban umum. Kapolri harus dijabat oleh orang yang mampu mengarahkan tujuan kemandirian itu agar Polri bukan sebagai institusi yang tertutup, berjalan dan bekerja sendiri.
Petinggi Kepolisian harus mampu mengembalikan fungsi polisi menjadi bagian dari kebutuhan masyarakat sebagaimana peran polisi pada awal kemerdekaan. Kepolisian niscaya merupakan suatu pekerjaan yang menyimpan lingkup masalah yang sangat kaya dan karena itu sama sekali tidak bisa diabaikan oleh dunia ilmu pengetahuan.
Pekerjaan polisi penuh dengan hal-hal yang saling bertentangan, salah satu di antaranya adalah tugas melayani dan mengayomi namun di sisi lain polisi juga harus mampu mendisiplinkan masyarakat. Sebuah perpaduan tugas yang sungguh tidak mudah. Dalam posisi ini pada suatu saat polisi merupakan tokoh yang dirindu dan dipuja masyarakat namun pada saat yang bersamaan ia juga merupakan tokoh yang tidak disukai bahkan dibenci masyarakat yang sama.
Oleh karena itu, hampir dari segi manapun studi tentang polisi itu tetap sebuah ilmu yang menarik. Demikian pula dengan beragam masalahnya. Wajar jika tuntutan reformasi di lingkungan penegak hukum termasuk polisi tetap menjadi isu yang menarik. Dalam posisi ini mengingat sifat dan karakteristik tugas polisi, reformasi bidang hukum harus membicarakan polisi.
Tampak jelas, jika ingin melakukan reformasi dalam bidang hukum, yang pertama sekali dibenahi adalah polisi, terutama akuntabilitas polisi dalam setiap penanganan kasus. Lembaga penahanan yang selama ini menjadi senjata polisi haruslah direvisi. Harus ada lembaga yang mengawasi kewenangan penahanan yang dimiliki polisi. Dan yang terpenting rumah tahanan (rutan) polisi dan rutan khusus (Rutan Brimob) yang selama ini menjadi surga bagi pesakitan harus dievaluasi kembali.
Rutan Brimob yang boleh menampung tahanan di luar anggota kepolisian adalah buah kompromi di zaman Menteri Hukum dan HAM dijabat Hamid Awaludin. Tujuannya agar polisi yang ditahan tidak merasa didiskriminasi ketika bercampur dengan tahanan nonpolisi di rutan umum.
Karena ekslusivitas ini akhirnya hampir semua koruptor papan atas yang bukan polisi minta ditahan di situ (Urip Tri Gunawan, Irawady Yoenoes, Aulia Pohan) hotel prodeo yang aman dan nyaman dan sulit dipantau masyarakat.

*Muhammad Taufiq
Advokat, Ketua Ikadin Kota Surakarta, Kandidat Doktor Ilmu Hukum FH-UNS

Rabu, 25 Juli 2012

PENGADILAN BAN BERJALAN


Dimuat di Harian Joglosemar, Opini, edisi Rabu 25 Juli 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*

Lembaga antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah disibukkan rencana hajatan. Bukan mengumumkan temuan tersangka kasus Hambalang atau kasus besar lainnya. Akan tetapi rencana membuat seragam baru bagi pesakitan koruptor.
Langkah teknis itu sepertinya tidak ada pilihan lain. Hal ini sebagai kegiatan yang diambil sebagai pilihan bagi KPK untuk menjawab tudingan mandul atas sejumlah pengungkapan mega korupsi, seperti Century dan BLBI. Rencana KPK ini sesungguhnya bukan hal atau ide yang baru. Di masa Antasari Azhar, ide ini pernah dicobakan, namun urung dilakukan karena banyak yang menentang. Termasuk penulis yang menolak ide ini.
Dalam rilisnya, KPK menyiapkan tak kurang dari 200 baju tahanan bagi tersangka kasus korupsi. Seragam itu konon rencananya hanya akan dikenakan saat diperiksa atau di dalam tahanan. Rilis itu menguatkan sikap kehati-hatian KPK, bahwa seragam itu tidak akan dikenakan pada saat tersangka atau terdakwa menjalani persidangan. Karena pada galibnya seragam bagi koruptor tidak sesederhana orang berupacara mengenakan seragam daerah layaknya karnaval atau acara 17-an.
 Paham pidana secara universal menyebutkan bahwa suspect atau tersangka adalah orang yang masih memiliki hak perdata sebagaimana warga masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, bisa diartikan belum ada hukuman tambahan yang bisa dikenakan kepadanya sebelum majelis hakim di dalam persidangan terbuka telah membuktikan kesalahannya dan menjatuhkan hukuman yang berkekuatan hukum tetap.
Atas pengenaan seragam itu, masyarakat boleh saja tergagap dan bertanya-tanya, adakah efeknya terhadap publik. Sebab publik hukum bukan hanya diisi dan dihuni oleh orang-orang yang tahu hukum saja. Namun justru lebih banyak dihuni oleh orang-orang atau kelompok masyarakat yang sering disebut sebagai awam hukum. Oleh karena itu meski reality show yang bernama Indonesian Lawyer Club ditayangkan berjam-jam serta diulang-ulang, juga tidak bisa menimbulkan efek jera. Dengan demikian, para penonton televisi yang tahu hukum tentu tidak bisa memaksakan kehendaknya untuk melihat pertunjukan itu sebagaimana layaknya seorang ahli hukum melihat.
Masyarakat yang sangat pintar hukum sekalipun tidak bisa mengesampingkan apa yang disebut kekuatan publik atau publik opinion, sebab ia berada pada wilayah tersendiri. Kekuatan itu berada pada masyarakat yang tidak bisa ditepis oleh komunitas hukum semata seperti KPK. Masyarakat punya hak menilai kinerja KPK dalam hal pemberantasan korupsi. Sama seperti penilaian awam mereka soal seragam dan pemberantasan korupsi sudah tepat apa belum. 
Pada hukum pidana formal dikenal asas presumptium of innocent, yang juga diadopsi dalam KUHAP kita sebagai asas praduga tidak bersalah. Tentu saja, pengenaan seragam atau baju khusus bagi koruptor harus pula mempertimbangkan hal teknis hukum seperti kapan seragam itu dipakai, apa tulisan yang boleh dicantumkan pada seragam tersebut, dan apa ada aspek legal atau hukum positif yang memperbolehkan.
Siapapun di negeri ini boleh mendukung ide itu, termasuk LSM ICW (Indonesia Corruption Watch). Sejak tahun 2008, ICW telah menyiapkan tidak kurang delapan contoh seragam, yang akan dipakaikan pada tersangka atau terdakwa koruptor.
Meski demikian, yang menolak tentu saja juga tidak perlu dipermasalahkan. Sesungguhnya persoalan mendasar bagi pemberantasan korupsi di Indonesia bukan  terletak pada seragam atau baju atau cara berdandan seorang tersangka atau terdakwa. Akan  tetapi, pada sikap dasar aparat penegak hukum itu sendiri, khususnya perangkat KPK, seperti jaksa, hakim, dan penyidik KPK. Tidak bisa dipungkiri mayoritas penyidik KPK yang berasal dari kepolisian dan jaksa penuntut umum juga merupakan produk dari seleksi di masa kepolisian dan kejaksaan penuh korupsi, kolusi dan nepotisme. Sejumlah kasus penanganan korupsi jalan di tempat justru oleh sikap mendua dan tebang pilih KPK. Eksponen KPK yang kebanyakan dari unsur lembaga swadaya masyarakat terkesan gemar berpolemik dan mencari dukungan lewat media massa ketimbang berupaya mengembalikan kerugian negara. Pernahkah KPK merilis pengumuman harta apa yang telah disita dari Miranda Goeltom, dari Nazaruddin, Nunun Nurbaetie dan lain-lain?

Membuat Malu
Pada bagian lain, tumpang tindih proses rekrutmen Hakim di Pengadilan Tipikor yang dilakukan Mahkamah Agung Republik Indonesia dan KPK, berakibat rendahnya kualitas pemidanaan bagi terdakwa kasus korupsi. Kondisi ini mengakibatkan banyaknya koruptor yang bebas. Pada bagian  lain, KPK masih terkesan pandang bulu dalam pemberantasan kasus pidana, KPK ingin cari aman. Dalam kasus tutup buku BLBI, dia hanya berani menyentuh pada level Urip Tri Gunawan, sementara Jaksa Agung Muda lainnya yang terungkap dalam persidangan terbukti ikut membantu skenario pelarian Arthalyta Suryani alias Ayin, sama sekali tidak dijadikan tersangka hingga sekarang. Mengamati silang sengketa sesama penegak hukum yang kerap muncul belakangan ini, salah satu sebab penting kita tidak pernah membicarakan soal criminal justice system. Di mana jaksa, polisi dan KPK sama-sama bekerja dengan menggunakan sistem ini. Dalam arti semua aparat penegak hukum memiliki hak yang sama untuk memberantas korupsi. Alhasil dengan kewenangan yang sama pula mereka memiliki hak untuk menyidik. Di tengah galaunya KPK kewenangan yang sema besar ini justru berbenturan bukan bersinergi. Maka tidak ada salahnya dalam jangka panjang gagasan Satjipto Rahardjo untuk membuat sistem hukum sendiri yang lebih progresif dan tentu saja lebih ampuh untuk memberantas korupsi.
 Sistem itu adalah sistem peradilan antikorupsi (anti corruption justice system). Di dalam sistem ini, semua kekuatan atau institusi dalam pemberantasan korupsi hanya sekedar perkakas dari alat berat yang disebut mesin antikorupsi. Dengan demikian kedudukan polisi, hakim, jaksa dan KPK berdiri di tempat yang sama bukan seperti saat ini. Artinya musuh besar aparat penegak hukum hanya satu, yakni korupsi, tidak ada yang lain.   
 Dengan demikian KPK tidak semestinya memosisikan diri seperti ban berjalan, artinya seolah jika sudah ada yang diadili sudah selesai tugas memberantas korupsi. Semestinya dalam rangka percepatan korupsi, selain memenjarakan pelaku korupsi sesungguhnya tugas KPK yang utama adalah mengembalikan harta koruptor ke kas negara. Rumusan dan dasar hukum untuk itu bisa dibaca pada Pasal 10 KUHP tentang sanksi tambahan. Pasal ini jika dimaksimalkan KPK, sudah cukup efektif untuk membuat malu koruptor dan koleganya. Karena dengan menggunakan pasal tersebut, memungkinkan KPK untuk mengumumkan harta negara yang dikorup. Yang tidak saja berada pada pelaku, tetapi juga pada menantu, anak, istri, kolega bisnis dan mungkin istri simpanan serta partainya. Dengan anti corruption justice system, KPK memiliki keleluasan improvisasi penegakan hukum.
Oleh karena itu cara-cara sensasional yang ditempuh KPK dengan mengumumkan saweran untuk gedung baru, tampil di beberapa acara talk show, terkesan hanya alat mencari popularitas agar dikenal. KPK bukan tempat berkumpulnya selebriti hukum. KPK adalah lembaga superbodi perangkat negara untuk menangkap koruptor dan mengembalikan harta koruptor ke kas negara. Saya yakin masyarakat akan mendukung jika KPK menampilkan langkah ”seronok” yakni lewat media massa mengumumkan harta para koruptor saat dia ditangkap pertama kali. Dengan cara ini keluarga dan para kroni malu karena telah ikut menikmati harta negara yang didapat secara tidak sah.

*Muhammad Taufiq, S.H., M.H.
Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum  FH-UNS

Jumat, 29 Juni 2012

Ikadin Awasi Ketat Advokat

Dimuat di Harian Suara Merdeka, Hari Kamis, 28 Juni 2012

SOLO-Belakangan ini cukup marak orang-orang yang tidak memiliki izin sebagai pengacara mengaku advokat, konsultan hukum dan lain-lain. Untuk mengantisipasi praktik pengacara secara ilegal, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Ikadin Surakarta mengambil sikap tegas.
Ketua DPC Ikadin Surakarta Muhammad Taufiq SH MH menegaskan bahwa yang dapat disebut advokat hanya seorang Sarjana Hukum (SH) yang telah memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Dalam Pasal 3 UU Advokat dinyatakan bahwa syarat seseorang dapat menjalankan praktik advokat apabila ia sudah diangkat dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi (PT) setempat.
Namun saat ini, banyak orang mengaku advokat maupun konsultan hukum padahal mereka belum atau malah sama sekali tidak mempunyai izin praktik sebagai advokat. "Bahkan ada pula yang menyebut dirinya sebagai pengacara non-litigasi padahal belum mengikuti ujian calon advokat."
Dikatakan, bila seseorang mengaku advokat, maka yang bersangkutan harus bisa menunjukkan Kartu Tanda Advokat (KTA) dan berita acara sumpah dari pengadilan tinggi (PT). "Oleh karena itu, kami sangat menyesalkan bila masyarakat dan lembaga hukum mau melayani advokat hantu untuk mengurus perkara atau sebagai makelar kasus (markus)." (G11-87)

Kamis, 21 Juni 2012

Klarifikasi Kasus Nissan Juke

Dimuat di Harian Suara Merdeka, Surat Pembaca, Pada Hari Sabtu, 16 Juni 2012 

Bersama ini saya, MUHAMMAD TAUFIQ, S.H., M.H. selaku Managing Partners dari MT&P Law Firm, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama serta demi kepentingan hukum klien kami Bp. Bernard.
Sehubungan dengan permasalahan klien kami dengan pihak PT Wahana Sun Solo dan Nissan Motor Indonesia tentang mobil Nissan Juke AD 9420 JU milik klien kami, maka dengan ini kami menyampaikan  permasalahan tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan.
Dengan demikian permasalahan antara klien kami dengan Pihak PT Nissan Motor Indonesia dan PT Wahana Sun Solo dinyatakan telah selesai. 

MT&P Law Firm
Muhammad Taufiq, SH, MH
Kuasa Hukum Bernard

Rabu, 06 Juni 2012

Klarifiikasi Kasus Nissan Juke


Dimuat di Kompas.com, Surat Pembaca, Senin 4 Juni 2012, 10 : 45 WIB

Bersama ini kami MUHAMMAD TAUFIQ, S.H., M.H. selaku Managing Partners dari MT&P Law Firm, dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama serta demi kepentingan hukum klien kami Bp. BERNARD. Sehubungan dengan permasalahan klien kami dengan pihak PT Wahana Sun Solo dan Nissan Motor Indonesia tentang mobil Nissan Juke AD 9420 JU milik klien kami, maka dengan ini kami menyampaikan  permasalahan tersebut telah diselesaikan secara kekeluargaan.
Dengan demikian permasalahan antara klien kami dengan Pihak PT Nissan Motor Indonesia dan PT Wahana Sun Solo dinyatakan telah selesai. Selanjutnya kami ucapkan terima kasih kepada media atas telah ditayangkannya berita yang berkaitan dengan kasus tersebut.

Surakarta, 1 Juni 2012
Hormat kami,

Muhammad Taufiq, S.H., M.H., Kuasa Hukum Bernard
Jl. Songgorunggi 17A
Surakarta

Klarifikasi Kasus Nissan Juke


Dimuat di Solopos, Pos Pembaca, Hari Selasa, 5 Juni 2012

Saya, Muhammad Taufiq, selaku Managing Partners dari MT&P Law Firm, bertindak untuk dan atas nama serta demi kepentingan hukum klien saya yang bernama Bernard. Sehubungan dengan permasalahan klien saya dengan PT Wahana Sun Solo dan Nissan Motor Indonesia tentang mobil Nissan Juke AD 9420 JU milik klien kami, dengan ini saya menjelaskan bahwa permasalahan tersebut telah diselesaikan secara  kekeluargaan.
Dengan demikian permasalahan antara klien saya dengan Pihak PT Nissan Motor Indonesia dan PT Wahana Sun Solo dinyatakan telah selesai. Selanjutnya saya ucapkan terima kasih kepada media atas telah ditayangkannya aspirasi dan atau keluhan yang berkaitan dengan kasus tersebut.

Muhammad Taufiq
Kuasa Hukum Bernard
Jl. Songgorunggi 17A, Laweyan, Solo

Minggu, 06 Mei 2012

Justice Collaborator


Dimuat di Harian JOGLOSEMAR Sabtu, 05/05/2012 


Sikap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memang membingungkan. Di satu pihak, lembaga ini ingin menuntaskan seluruh kasus korupsi yang untuk ke sekian kalinya melibatkan petinggi Partai Demokrat. Namun di pihak lain, KPK terkesan hati-hati saat memeriksa Angelina Sondakh. Ini tercermin dari sikap KPK yang ingin menempatkan Angie sebagai justice collaborator, yang dalam khasanah hukum pidana, tidak ada istilah demikian. Di sisi lain juga melihat sikap Angie tidak terbuka saat menjadi saksi Nazaruddin. Sikap KPK pada akhirnya akan membuat hakim menjadi bingung.
Hal itu karena sekali terperangkap untuk percaya bahwa peraturan-peraturan yang diumumkan adalah hal yang paling penting dalam hukum, akhirnya akan membuat perangkap yang lebih jauh. Bahwa  keseragaman dan kepastian hukum adalah amat penting dan diperoleh melalui penyeragaman dan kepastian dalam pengungkapan peraturan-peraturan. Maka seorang hakim mungkin terpengaruh dalam memutuskan apa yang adil bagi pihak-pihak yang diadilinya dalam situasi yang unik atau khusus. Dengan mempertimbangkan kemungkinan itu, hampir tidak terbayangkan pengaruh buruk dari pendapat di atas dalam kasus Angie yang mungkin tidak seperti pada kasus-kasus yang kemudian tidak dibawa ke pengadilan, karena kapasitasnya sebagai informan. Namun pada kasus Susno Duadji dan Agus Condro, meski keduanya wisthle blower, tetap diperlakukan sama. Hakim menolak untuk memberikan “keadilan” yang berbeda pada kasus yang diadilinya karena khawatir terhadap kasus-kasus yang berat atau sulit melahirkan hukum yang buruk. Lalu timbullah apa yang lebih tepat disebut sebagai “ketidakadilan berdasarkan hukum”. Keadilan seperti ini sangat tragis, karena didasarkan pada harapan yang sia-sia; suatu harapan untuk mengendalikan masa depan, padahal hakiki dari masa depan itu tidak pernah datang. Hakim dalam keadaan yang terbaik adalah seorang yang dapat dipercaya, yang bekerja keras memberikan keadilan melalui kebijaksanaannya dengan memperhatikan keadaan-keadaan yang khusus dari suatu kasus. Dia tidak semata-mata mencari atau menciptakan peraturan-peraturan umum yang diterapkannya pada fakta-fakta yang diberikan padanya. Dia melakukan “keadilan” sebagaimana Aristoteles menjelaskan mengenai hal ini.
Menurut pandangan ini, persyaratan formal dari rule of law atau norma hukum adalah berlebihan dan bersifat merusak. Bilamana keadilan dalam perkara tertentu sejalan dengan ajaran rule of law adalah berlebihan. Bilamana “keadilan” dalam perkara tertentu dan rule of law bertentangan, maka rule of law pada tingkat tertentu bersifat merusak yaitu mengurangi pencapaian keadilan.
Di lain pihak kita dapati ada sosok sarjana hukum seperti Robert Bork yang lebih menyetujui norma hukum atau rule of law dari pada keadilan, karena ”Tidak ada suatu cara yang mendasar atau prinsip untuk memutuskan, bahwa kepuasan seseorang lebih pantas untuk mendapatkan penghargaan dari pada yang lain atau suatu bentuk kepuasan lebih berharga dari pada yang lain.”
Tidak ada cara untuk memutuskan persoalan-persoalan ini selain menunjuk kepada berbagai sistem moral atau nilai-nilai etika yang tidak memiliki objektivitas atau keabsahan hakiki padanya, tentang mana orang yang dapat dihukum dan tidak dapat dihukum. Persoalan moral masyarakat dan nilai-nilai etika, persoalan tingkat penderitaan yang disebabkan suatu tindakan, adalah persoalan-persoalan yang ada di dalam etika. Pengadilan tidak memiliki peranan lain selain menerapkan undang-undang dengan cara yang adil dan tidak memihak. Padahal patut disadari pengadilan kita tidak memiliki semua itu, khususnya etika dan nilai-nilai menegakkan keadilan.
Tak Menarik Lagi
Pada kasus Angie, kita semua telah sama-sama tahu, bahwa KPK terlalu ragu-ragu bahkan terkesan lamban untuk menetapkan tersangka sesudah Angie. Karena dari awal Angie tidaklah kooperatif dan dari awal pula KPK sesungguhnya sudah bisa menemukan identitas tentang siapa yang dimaksud “ketua besar” dalam percakapan Angie. Soal “apel Malang” dan “apel Washington” pun sudah ada di kantung KPK. Jika lembaga anti-korupsi yang nota bene superbodi ini serius dalam membuka informasi siapa yang berperan dalam Wisma Atlet, tanpa memberikan predikat justice collaborator pun bisa. Oleh karena itu, jika ia kemudian ditawari sebagai justice collaborator, jelas ini sebuah bentuk kebingungan KPK. Karena selain hukum acara kita tidak mengenal justice collaborator, predikat justice collaborator seharusnya sudah diberikan atau ditawarkan kepada Angie sebelum menjadi tersangka. Menurut hemat penulis, tawaran dari KPK kepada Angie di tengah jalan agar menjadi justice collaborator seperti memojokkan hakim untuk memutus ringan pada perkara Angie. Padahal sudah jelas, hukum acara di negara ini tidak mengenal itu.
Oleh karena itu menurut hemat penulis sebaiknya KPK bergerak lewat arah yang dibenarkan dalam hukum acara pidana kita. Artinya meski tanpa harus menjelaskan secara transparan untuk mengungkap nama-nama ke hadapan publik. Sebab ketika kasus dalam proses penyelidikan dan penyidikan itu wilayah penyidik KPK, baru sesudah ditetapkan sebagai tersangka nama itu bisa diumumkan kepada publik. Memberantas korupsi tidak perlu dengan memborbardir masyarakat dengan istilah-istilah asing yang selain tidak relevan, juga kadang tidak dipahami masyarakat. Karena yang diinginkan masyarakat sesungguhnya hanyalah siapa pelaku korupsi dan bagaimana upaya KPK me-recovery hasil kejahatan korupsi untuk dikembalikan kepada negara. Oleh karena itu mau memakai istilah justice collaborator atau wisthle blower atau apapun istilahnya, menjadi tidak menarik lagi. Untuk memulihkan reputasi KPK, cukuplah dengan mengumumkan bahwa korupsi Wisma Atlet yang ditangani KPK telah berhasil menyelamatkan kerugian negara sekian ratus miliar rupiah dan memenjarakan pelakunya tanpa peduli ia tokoh politik atau bukan. Sekali lagi jangan pula menekan atau membuat hakim bingung dengan predikat justice collaborator hanya demi menyenangkan KPK, seorang pelaku tindak pidana korupsi diringankan hukumannya. 



Muhammad Taufiq
Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS


Kamis, 12 April 2012

Predator Justice

Dimuat di Harian Joglosemar, Rabu 11 April 2012
Oleh : Muhammad Taufiq*

Beberapa waktu lalu kita dihebohkan dengan aksi “tampar“ Deny Indrayana, saat mendatangi Lembaga Pemasyarakatan Pekanbaru. Di pagi buta ia bersama petugas keamanan dari BNN Bdan Narkotika Nasional berupaya menangkap pelaku peredaran narkoba yang diduga ada di LP itu dan melibatkan sipir. Tak ayal sikap Deny dan rombongan mengagetkan petugas jaga di LP tersebut. Terjadilah insiden pemukulan dan penendangan terhadap petugas jaga yang lain. Sikap kesal Deny bisa jadi tidak lepas dari dugaan bahwa LP sebagai pengendali peredaran narkoba. Dalam kapasitas sebagai Wamenhumhan ia ingin memperpendek dan membuat gebrakan pemberantasan narkoba. Sepintas ia sah-sah saja, namun ada yang aneh dalam penggunaan kekuasaan itu, karena secara tidak sadar ia juga menabrak aturan atau norma yang berlaku di Lembaga Pemasyarakatan. Yakni prosedure kunjungan dan peminjaman tahanan.
Jika dicermati aturan berfungsi sebagai pelindungan kepentingan manusia, agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan secara profesional. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung normal, damai, tertib. Penegakkan hukum menghendaki kepastian hukum, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan penegakkan hukum. Hukum adalah untuk manusia maka pelaksanaan hukum harus memberi manfaat, kegunaan bagi masyarakat jangan sampai hukum dilaksanakan menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Masyarakat yang mendapatkan perlakuan yang baik, benar akan mewujudkan keadaan yangtata tentrem kerta raharja. Hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam kenyataan yang senyatanya, dengan perlindungan hukum yang kokoh akan terwujud tujuan hukum secara umum: ketertiban, keamanan, ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan.
Durkheim merumuskan hukum sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Dalam berat ringannya sanksi adalah tergantung dari sifat pelanggaran, anggapan-anggapan serta keyakinan-keyakinan masyarakat tentang baik buruknya serta tindakan dan peranan sanksi-sanksi tersebut dalam masyarakat. Hukum dibuat untuk dilaksanakan, oleh sebab itu hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat sebagai basis bekerjanya hukum. Maka hukum berada di antara dunia nilai-nilai atau ide-ide dengan dunia kenyataan sehari. Oleh karena itu hukum bergerak di antara 2 (dua) dunia yang berbeda, akibatnya sering terjadi ketegangan pada saat hukum diterapkan.
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada suatu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya adalah tidak mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Teori umum tentang hukum yang dikembangkan oleh Hans Kelsen meliputi dua aspek penting yaitu aspek statis (nomostatics) yang melihat perbuatan yang diatur oleh hukum, dan aspek dinamis (nomodinamic) yang melihat hukum yang mengatur perbuatan tertentu.
Pendekatan yang dilakukan oleh Hans Kelsen disebut The Pure Theory of Law, mendapatkan tempat tersendiri karena berbeda dengan pendekatan dua kutub antara mazhab hukum alam dengan positivisme empiris. Apabila kita berpikir mengenai sesuatu maka berlakulah hukum-hukum yang logis (rasional). Akan tetapi dalam kebingungan atau kepanikan maka banyak di antara kita lupa atau melupakan pemikiran logis.
Sehingga hukum hadir bukan lagi untuk melayani masyarakat dan mendatangkan kesejahteraan bagi manusia, melainkan hadir demi dirinya sendiri. Absolutisme pemikiran yang begitu kuat telah menempatkan hukum modern sebagai realitas yang dikonstruksikan. Jadi, muncullah dua macam realitas. Pertama, yang dibentuk oleh hukum modern dengan sekalian pengawalnya yang terdiri atas negara modern, pemerintahan administrasi yang hierarkhis, dan penegak hukum yang memegang kepastian hukum sebagai senjata utama dalam menjalankan fungsinya. Kedua, yang ada senyatanya dalam kehidupan masyarakat, termasuk ketidakmampuan rakyat kecil menggapai keadilan karena status sosial dan nasibnya yang buruk. Suteki menyebutnya sebagai poor justice. Kondisi ini semakin diperburuk dengan tampilan penegak hukum bukan sebagai enforcement justice tapi justru sebagai predator justice, terbukti banyak kasus remeh dengan nilai kerugian ribuan atau puluhan ribu justru memenuhi jadwal persidangan. Sementara untuk kasus korupsi atau yang melibatkan masyarakat terpelajar banyak yang diloloskan. Fakta ini sebagai akibat kegagalan dari hukum modern. Karena ia membuat suatu kebenaran yang tidak boleh diganggu gugat meskipun kemudian ternyata bahwa suatu teori tidak boleh menyatakan diri sebagai sesuatu absolut. Pada zamannya, ia bisa saja mendapatkan ruang yang begitu besar dalam membentuk masyarakat, tetapi ketika perubahan terjadi dan masyarakat menuntut sesuatu, ia harus merendahkan diri untuk menyatakan ketidakmampuannya dan memberikan tempatnya bagi kehadiran teori lain yang dapat menjawab kebutuhan manusia.
Penerapan hukum berarti juga memfungsikan hukum agar sesuai dengan kenyataan sosial (verkelijkheid). Roscoe Pound sebagai pelopor aliran fungsional atau dikenal juga dengan aliran sosiological jurisprudence, mengatakan bahwa persoalan-persoalan pelik harus dianalisa dengan mendalam untuk dapat memahami perkembangan hukum, penghargaan terhadap perkembangan hukum dipandang sebagai kunci untuk mengenal sifat hukum. Yang kita butuhkan saat ini, hukum tidak hanya merupakan kumpulan norma-norma abstrak tetapi juga merupakan sustu proses untuk mengadakan keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang saling bertentangan dan menjamin pemuasan kebutuhan yang maksimal dengan pengorbanan yang minimal. Pound menggunakan analogi social enginering. Pendapat Pound ini bertujuan agar peraturan hukum itu berlaku secara efektif sesuai dengan tujuan untuk apa peraturan itu dibuat, maka dalam hal ini hukum yang berlaku dalam masyarakat boleh tidak sama dengan hukum yang ada dalam buku-buku atau dengan kata lain law in book tidak sama dengan law in action.Itulah yang harus kita raih sehingga melahirkan aparatur yang pro keadilan dan bukan predator yang justru merusak keadilan.
Muhammad Taufiq, Advokat, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS