WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 24 Februari 2010

Behavior of law masyarakat Indonesia*

Oleh : Muhammad Taufiq **



Meski memuat aturan yang tidak boleh. Tetapi esensi dari aturan sesungguhnya memiliki tujuan, entah terlaksana atau tidak. Yakni membuat hidup lebih mudah,aman,nyaman dan bahagia.Donal Black[1] mengatakan jika norma melarang berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, tujuannya dimaksudkan untuk kepentingan orang lain pula. Hukum boleh memaksa agar seseorang melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu bahkan secara ekstrim hukum bisa merampas dan menghilangkan nyawa seseorang . Selain melarang ada cara lain yang secara elegan bisa ditempuh sehingga memudahkan orang melakukan perbuatan hukum.

Hukum yang membuat standar baku, orang membuat kontrak,wasiat dll. Hukum dan proses hukum sangat penting bagi masyarakat kita. Dalam keadaan normal, tiada perang atau bencana besar hukum selalu berkaitan dengan undang-undang yakni aturan dan peraturan. Donal Black penulis buku The Behavior Of Law. Ia mengemukakan definisi yang ringkas . Yakni hukum diartikan sebagai kontrol sosial pemerintah kepada warga negara. Kontrol sosial diartikan sebagai aturan dan proses sosial yang mencoba mendorong perilaku yang baik dan berguna dan mencegah perilaku yang buruk. Sistem peradilan pidana kita jelas mengarah kepada pemahaman dimaksud. Semua aturan dalam tingkatan apapun sesungguhnya memiliki maksud atau pedoman bagaimana cara berperilaku. Dalam kasus di atas sikap massa yang menuntut pemekaran dan merangsek maju memukui beramai-ramai Ketua DPRD bukanlah bagian dari struktur,substansi dan budaya masyarakat Indonesia. Sebab tuntutan masyarakat dan sikap yang diperlihatkan selama ini dalam demo yang berakhir ricuh tidak bertujuan untuk tujuan perubahan atau kesinambungan. Perubahan dalam masyarakat hukum yang beradab hanya dapat terjadi bila dilakukan teratur,rapi dan terpola. Dan tidak ada yang seperti lampu schock light.

Berbicara tentang kelemahan pendekatan hukum tradisional,dengan sangat menarik dikemukakan oleh IS Susanto, dalam tulisannya Lembaga Peradilan dan Demokrasi , makalah dalam Seminar Nasional, “ Pendayagunaan Sosiologi Hukum dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global “, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Diponegoro , Semarang 12-13 November 1996 ,hal 5 I.S Susanto mengemukakan bahwa studi hukum tradisional (dengan pendekatan normatif ), memfokuskan studinya pada aspek formal dari hukum ( undang-undang ) dan karenanya tidak mau tahu realitas peradilan ( pidana) sebagai sistem sosial, sebagai komunitas yang terlibat dalam menjalankan kegiatan tertentu , untuk dan bagi masing-masing satu sama lain, tentunya cara kajian demikian tidak dapat mengungkapkan realitas yang sebenarnya, dalam arti bagaimana bekerjanya kekuatan-kekuatan ,kepentingan-kepentingan, tawar menawar, dan variabel-variabel keorganisasian yang membentuk sistem sosial dari peradilan (pidana) dan jaringan birokrasinya. Akibatnya , kita tidak dapat memahami dengan baik persoalan-persoalan dan permasalahan-permasalahan di bidang hukum yang cukup “ membingungkan “ masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, Van Dorn menyatakan organisasi merupakan kebersamaan dan keadaan keterikatan dari sejumlah manusia yang tidak hanya ke luar dari kerangka organisasi karena manusia selalu cenderung ke luar dari bentuk konstruksi organisasi , tetapi juga karena setiap kali terjatuh di luar (skema organisasi) disebabkan ia cenderung untuk memberikan tafsirannya sendiri mengenai fungsinya dalam organisasi berdasarkan kepribadiannya, asal usul sosial, dan tingkat pendidikannya , kepentingan ekonominya, serta keyakinan politik dan pandangan hidupnya sendiri[2]. Jadi jelas apa yang dikemukakan Van Dorn tentang peran manusia dalam penegakan hukum merupakan sesuatu yang sangat menentukan. Namun hal ini tidak dapat kita temukan jika menggunakan pendekatan tradisional. Itulah sebabnya, maka perlu pendekatan lain yang bersifat non tradisional. Berdasarkan uraian di atas, diperoleh gambaran bahwa paradigma yang digunakan oleh sociological jurisprudence dan aliran legal realism sangat jauh berbeda dengan pardigma lama yang digunakan oleh pendekatan tradisional. Dalam paradigma lama ditekankan bahwa hukum adalah apa yang diatur dalam undang-undang dan peran hakim sebagai corong perkataan undang-undang semata (letterkenechten der wet ) demi terciptanya kepastian hukum. Sedangkan dalam paradigma baru yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence dan legal realism ditekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat dan peran hakim tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja, tetapi harus mampu merespon perkembangan dalam masyarakat.

Pemikiran tentang hukum

Istilah historical juris prudence lazimnya dihubungkan dengan suatu mahzab khususnya dalam lapangan renungan (pemikiran) tentang ilmu hukum. Exponen paling mashur dari mahzab ini adalah Friedrich Karlvon Savigny. Akan tetapi mahzab itu hanyalah mewakili suatu aspek khusus dari pada pengelompokan yang menghubungkan hukum dan sejarah. Sekurang-kurangnya terdapat suatu aliran penting lain dalam disiplin hukum yang didasarkan pada suatu interpretasi makna sejarah dalam hubungan dengan hukum.



Muhammad Taufiq , Mahasiswa program doctor ilmu hukum UNS

[1] Donald Black, Penulis Buku The Behaviour of Law

[2] Satjipto Rahardjo, masalah Penegakkan Hukum : Suatu Tinjauan Sosilogi, Bandung, Tanpa tahun hal.26.

STEMPEL MAHAL ITU BERNAMA TERORIS

Oleh : Muhammad Taufiq *



Bom kembali meletus di JW Mariott dan Ritzl Carlton, hotel yang rencananya akan ditempati para pemain Manchester United. Maklum hotel ini penghuninya kebanyakan memang ekspatriat. Ledakan bom itu seakan menghentakkan kita dari tidur yang nyenyak, setelah pemilu hinggar bingar yang berakhir tanpa kerusuhan. Memang sebelum Paemilu dan Pilpres 2009 lalu,warning tentang upaya penggagalan Pemilu oleh kelompok teroris Noerdin Moh Top santer diungkap sejumlah kalangan, termasuk Kapolri. Namun hingga selesai Pilpres teroris penggagal pesta politik itu tak juga muncul. Naasnya justru beberapa hari menjelang pengesahan perhitungan suara Pilpres yang penuh kontroversi itu bom kembali menyalak. Dengan dibayang-bayangi isu bahwa AFP (Australia Federal Police ) ikut membantu menemukan teroris.Seakan tak mau dibilang terlambat Densus 88 bergerak cepat. Lewat Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Nano Sukarna polisi menggelar jumpa pers bahwa pelakunya berinisial N ( Nur Sahid ). Segala cara dilakukan untuk mendukung teori polisi bahwa pelakunya adalah pria berinisial N. Tapi apa lacur dari tes DNA sama sekali tak cocok. Akhirnya polisi menangkap perempuan bernama Arina yang diduga istri Noordin Moh Top, karena menurut versi polisi suaminya mirip buron kakap tersebut, namun lagi-lagi gagal. Seakan tiada putus asa , polisi menengok jaringan teroris yang dari waktu-kewaktu tak jelas mana ujung dan pangkalnya dengan meminta bantuan pendapat dari asing. Baik yang berhubungan dengan Pondok Pesantren Al Mukmin, Ngruki, maupun Darus Syahadah di daerah Simo Boyolali. Termasuk info terbaru yang mengklaim sebagai Noordin Moh Top via internet, yang belakangan ketahuan dari Amerika Serikat.

Adalah Sidney Jones yang namanya populer kembali setelah sebelumnya pernah dicekal masuk Indonesia,merangkai cerita tentang teroris, meski bagi yang faham tak ada yang baru dalam analisisnya. Intinya ia menegaskan bahwa pelakunya adalah Jamaah Islamiyah.

Jika dicermati gambaran yang cukup menyeramkan soal teroris sesungguhnya bukan hanya dari Sidney Jones saja. Dalam rentang waktu 15 tahun cukup banyak buku atau artikel yang memberi cap “ menyeramkan” terhadap dunia Islam dibanding yang memujinya. Tengok saja Islam Militan (GH.Jansen,1981) atau The Class of Civilization ( Hutington,1983), meski ada pula publikasi yang agak obyektif seperti Islamic Trheat ?( Esposito,1983), The Next Trheat, ( Hippler,1995) ataupun yang cukup simpatik memberikan pembelaan seperti yang dilakukan Edward Said , ( Orientalism 1988 dan Covering Islam, 1982). Namun demikian bila menyangkut tindak kekerasan dan radikalisme ,secara umum bisa dikatakan opini yang berkembang di masyarakat Barat bahwa Islam atau Arab identik dengan Radikalisme dan terorisme. Di banyak negara barat seperti Inggris dan Swedia, stereotype Islam sebagai dalang terorisme cukup kental mewarnai pemberitaan media massanya. Fenomena ini bisa saja secara intelektual mengindikasikan kekurang mengertian masyarakat yang bersangkutan mengenai masalah politik Timur Tengah, Arab dan Islam secara lebih obyektif . Tapi penglihatan yang demikian ini bisa saja disengaja karena untuk berbagai tujuan terutama politik dan militer.Sejauh ini politik labelisasi atau pencitraan,baik lewat film maupun tulisan-tulisan merupakan senjata ampuh yang digunakan Amerika Serikat dan Barat pada umumnya untuk menekan banyak negara yang tidak sejalan dengan kepentingan politik negara adi daya tersebut. Melalui labelisasi yang didukung oleh kampanye secara besar-besaran dan sistematis. Maka besar kemungkinan sesuatu yang semula hanya kira-kira atau dugaan atau prasangka,sesuatu yang sebelumnya tidak ada apa- apapanya. Bisa berubah menjadi fakta dan realitas yang pada gilirannya menjadi sebuah hukuman atau sanksi atas nama kemanusiaan. Bila hukuman itu tidak cukup maka akan ada sanksi tambahan sabagai negara teroris atau pendukung teroris itu sendiri. Dan sama –sama dimaklumi, bahwa negara dimaksud adalah negara muslim. Meski pada saat yang sama mereka akan mengatakan menolak jika disebut telah menebarkan benih kebencian kepada terhadap kaum muslim atau Islam itu sendiri. Dalam kasus bom Kuningan memang keduanya berbeda. Tapi dalam prakteknya sangat sulit untuk dibedakan, apalagi jika pelakunya adalah memiliki latar belakang historis yang bermusuhan serta secara kultural dan agama berbeda. Ada kecurigaan yang cukup kuat bahwa rasa permusuhan yang dialamatkan kepada Islam atau negara berpenduduk mayoritas Islam. Fakta ini menurut Samuel Hutington bagian dari sebuah konflik peradaban. Sebagai buktinya negara barat melalui jaringan medianya secara sistematis dan terencana memposisikan setiap gerakan Ummat Islam( pencitraan media tentang kehebatan Jamaah Islamiyah) bertentangan dengan secara diametrikal dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sedang diklaim dan diusung oleh Amerika Serikat.

Sikap apriori dan penghakiman terhadap gerakan Islam ini jelas telah menafikan catatan sejarah bahwa dalam setiap agama atau kelompok sosial manapun dan di manapun, tentu akan ada perorangan atau sekelompok individu tertentu yang mempunyai sikap ekstrim dan radikal. Jadi secara sosiologis apa yang dituduhkan dilakukan oleh ummat Islam itu juga sudah pasti dilakukan oleh ummat, bangsa dan kaum lainnya. Baik sejak dulu hingga sekarang,miskin atau kaya, bodoh atau terpelajar. Singkat kata sikap ekstrim atau radikal merupakan fenomena universal, fenomena kemanusiaan yang lahir sebagai respon terhadap politik kekerasan dan ketidakadilan yang masih ada. Karena di Jerman ada Bader Meinhoff, di Jepang ada Tentara Merah,di Amerika ada Klux Klux Klan, artinya di negara yang berperadaban maju pun ditemukan sekelompok masyarakat yang berpeilaku ekstrim atau radikal.(Tulisan pernah dimuat di harian umum Solo Pos, Jumat-7 Agustus 2009 )



Surakarta, 1 September 2009



Muhammad Taufiq, SH MH

Mahasiswa doktor ilmu hukum FH UNS.

Penulis buku Terorisme dalam demokrasi.

Senin, 22 Februari 2010

Penyadapan dan Diskresi ( Kebebasan Bertindak ) KPK

Dimuat di harian Solopos Selasa, 15 Desember 2009
Oleh : Muhammad Taufiq*

Koalisi partai yang ditandai dengan kontrak politik pada awal terbentuknya Kabinet Bersatu jilid II. Pada akhirnya menggiring kongsinya untuk bersikap tunduk dan patuh atau taklik pada kabinet yang didukungnya. Meski taklik itu terhadap sesuatu yang tidak popular sekalipun. Ini tercermin setidaknya dalam Rapat Kerja Komisi III dengan Kapolri dan Kejaksaan Agung yang dinilai masyarakat Pimpinan Komisi menjadi jubir kedua institusi hukum itu dalam menghadapi tekanan masyarakat terkait sikap kontroversi dalam penanganan Kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah. Ketika itu lewat statemen resmi Komisi III mendukung penahanan Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah. Maka ketika upaya parlemen gagal melemahkan KPK terbukti dengan terbitnya SKPP( Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan ) oleh Kejaksaan Agung dalam kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah. Cara lainpun ditempuh salah satunya dengan kewajiban ijin penyadapan dari Departemen Kominfo . Sebenarnya bukan kali ini saja kewenangan KPK secara konstitusi akan dilemahkan. Kewenangan KPK pernah diuji lewat Mahkamah Konstitusi ketika dengan mudah lembaga pemberantasan korupsi ini dinilai bisa menyadap siapa saja lagi-lagi gagal.

Pertanyaannya mengapa Tifatul dan departemennya begitu getol? Sebagai ketua partai ( PKS)pendukung Kabinet Indonesia Bersatu jilid I dan II ia jengah juga manakala kadernya pernah dipaksa ke luar masuk KPK. Yakni Fahri Hamzah dalam perkara bagi-bagi dana hibah Departemen Kelautan dan Perikanan yang menggiring menterinya Rohmin Dahuri ke penjara.

Dalam kontek ini Rancangan Peraturan Pemerintah ( RPP) Intersepsi atau penyadapan sesungguhnya memiliki potensi melanggar konstitusi. Sebab Pengaturan Penyadapan secara konstitus berdasarkan urutan peraturan seharusnya diatur dalam undang-undang, bukan peraturan pemerintah. Selain itu, RPP Penyadapan yang kini serius dibahas Departemen Komunikasi dan Informasi ( Depkominfo) di bawah kepemimpinan Tifatul Sembiring itu juga mengancam eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen. Hal itu terungkap dalam jumpa pers di kantor Indonesia Corruption Watch (ICW) Minggu 6 Desember 2009 lalu , yang dihadiri mantan wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, praktisi hukum Iskandar Sonhaji, peneliti ICW Febri Diansyah. Iskandar Sonhaji mengatakan mekanisme penyadapan harus diatur dalam undang-undang, bukan dalam bentuk peraturan pemerintah. Hal itu jelas disebutkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2006 tentang permohonan uji materiil UU KPK. “artinya pemerintah tidak boleh membuat regulasi yang bertentangan dengan putusan MK sebagai salah satu lembaga kekuasaan kehakiman” tegasnya. Menurutnya, jika pemerintah menyatakan bahwa RPP Penyadapan tidak mempersempit kewenangan KPK, maka pemerintah dapat dinilai telah menyebarkan kabar tidak benar. Sebab, faktanya RPP membatasi dan mempersempit ruang KPK dalam melakukan penyadapan, misalnya hanya pada saat proses penyidikan. Pegiat anti korupsi Febri menambahkan, banyak persoalan dalam draft RPP Penyadapan yang disusun Depkominfo sejatinya merupakan bentuk intervensi eksekutif terhadap lembaga penegak hukum, khususnya KPK. Febri mencontohkan dalam Pasal 4 Ayat 4 disebutkan teknis operasional penyadapan dilaksanakan melalui Pusat intersepsi Nasional (PIN). Lembaga ini nantinya dikelola dan dibentuk pemerintah, dengan Keppres. Dalam Pasal 5 Ayat 6 juga diatur intersepsi rekaman innformasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui PIN. Begitu juga dewan intersepsi nasional bertanggung jawab kepada presiden. Tugas lembaga ini mengawasi pelaksanaan intersepsi di kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Rencana penggunaan pasal-pasal ini jelas akan mengancam independensi KPK. Bukan tidak mungkin jika RPP ini diberlakukan sedikit orang yang akan mau menjadi pimpinan KPK.

Keabsahan Diskresi KPK

Seberapa besar fungsi penyadapan dan keberhasilannya mengungkap dan membongkar kasus korupsi setidaknya dapat digambarkan dari penjelasan Erry Riyana. Mantan Wakil Ketua KPK ini mengaskan, mekanisme penyadapan di KPK sangat ketat dan memiliki internal check yang juga ketat. Dia menambahkan, lebih dari 50% keberhasilan penanganan kasus korupsi oleh KPK berasal dari proses penyadapan. Kasus tertangkapnya jaksa Urip Tri Gunawan dan mantan Kabareskrim Suyitno Landung juga tak lepas dari kewenangan penyadapan yang dimiliki lembaga ini. Maka alasan menghindari saling sadap antar institusi bukan alasan yang tepat. Bukan suatu masalah jika antar aparat penegak hukum saling menyadap, yang terpenting tetap dalam aturan hukum dan untuk kepentingan penegak hukum. Jika Penegak hukum di indikasikan melakukan korupsi, masa tidak boleh disadap. Adapun Agus Sudibyo berpendapat, langkah Depkominfo menyusun RPP Penyadapan patut dipertanyakan, karena mandat Depkominfo adalah sebagai media komunikasi dan informasi kebijakan pemerintah.

Dibawah ini adalah contoh pasal-pasal perlemahan KPK lewat RPP Penyadapan yang dirancang Depkominfo.

Pasal-pasal kontroversial di RPP Penyadapan

Pasal 4 ayat (4) : Teknis operasional penyadapan dilaksanakan melalui Pusat Intersepsi Nasional (PIN)

Pasal 5 ayat (6) : hasil Intersepsi rekaman informasi disampaikan secara rahasia kepada aparat penegak hukum melalui Pusat Intersepsi Nasional

Pasal 8 Sertifikasi alat dan perangkat diatur dalam peraturan menteri

Pasal 11 ayat (2) : dewan Intersepsi Nasional bertanggung jawab kepada Presiden ( tugas mengawasi pelaksanaan intersepsi di polisi jaksa dan KPK).

Pasal 21 ayat (2) : sebelum PIN dibentuk menteri dapat membentuk tim Audit Independen

Pasal 21 ayat (6) : Jika PIN sudah terbentuk Intersepsi yang dilakukan penegak hukum harus melalui PIN.

Dimuat di harian Solopos Selasa, 15 Desember 2009
Oleh : Muhammad Taufiq

Terkait dengan penyadapan, maka privasi pejabat publik memang menjadi terbatas, karena terkait dengan upaya transparansi dan akuntabilitas, termasuk di dalamnya penanganan kasus korupsi. Hal ini karena pejabat publik mendapat gaji dari Negara yang menggunakan dana Negara Jika konsekuen denagn janji seratus hari memberantas korupsi .Pemerintah sebaiknya memakai skala prioritas dan memliki target dalam percepatan pemberantasan korupsi. Melindungi hak individu penting, namun jauh lebih penting melakukan upaya pemberantasan korupsi. Sesuai pasal 50 dan 51 KUHP penegak hukum diperbolehkan melakukan diskresi. Dan setiap yang melakukan diskresi berdasarkan kewenangan undang-undang tidak bisa dipidana. Sebab perbuatan yang dilakukan dalam rangka menjalankan peraturan undang-undang. Dalam kondisi sekarang diskresi sah-sah saja dilakukan demi tercapainya percepatan pemberantasan korupsi.

Muhammad Taufiq, SH MH advokat dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS

Likuidasi Polwil dan revitalisasi tugas polisi

Oleh : Muhammad Taufiq*

Rencana Likuidasi Polwil(Kepolisian Wilayah) di seluruh Indonesia termasuk eks Karesidenan Surakarta bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan Kapolri yang tertuang dalam Skep Kapolri No.15 tanggal 31 Desember 2009. Likuidasi ini ditarget selesai hingga akhir Februari 2010. Proses likuidasi secara teknis mudah dilakukan namun tidak mudah terkait sumber daya manusianya.Sebab persiapan likuidasi tidak hanya sekedar pembubaran organ Polwil yang tidak lagi pemegang komando Polres( Kepolisian Resort) dalam penganan perkara seperti selama ini. Likuidasi setidaknya mencakup pula hal-hal sebagai berikut seperti : pelimpahan perkara dari Polwil ke Polres terdekat,pengelolaan dan pengalihan asset, penataan sumber daya manusia termasuk rolling perwiranya dan yang paling penting merubah behavior hingga tidak ada lagi falsafah 86( tahu sama tahu) dalam setiap penanganan perkara. Jika bicara likuidasi dan mengaitkan dengan sebutan penegak hukum. Maka pintu pertama yang harus dilalui memang lembaga kepolisian. Sebab kepolisian di manapun, lebih-lebih di negara yang hukum belum menjadi panglima, keterlibatan polisi begitu penting. Karena semua aspek melibatkan polisi. Maka wajar kita bertanya out put keadilan apa yang akan diperoleh masyarakat pasca likuidasi Polwil ini?

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengkernyitkan dahi membaca statemen ini. Namun jika mencermati undang-undang Kepolisian baik yang lama (UU No.13 tahun 1961) lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.

Dalam sistem hukum nasional kita ,ketika berbicara soal penegakkan hukum. Korp polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut. Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara , bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya, tetapi baru di tangan polisi janji tersebut menjadi sebuah peristiwa nyata. Polisi yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu semua wewenang polisi. Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara.

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku di sini dan oleh karena itu disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir. Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut di atas( Satjipto Rahardjo: 1997) . Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan “ kreatifitas pribadi “ begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.

Dalam system hukum pidana kita polisi berada pada garda terdepan. Artinya apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Artinya likuidasi Polwil ini tidak akan memiliki arti apapun jika tidak mampu menyentuh perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti 86 dan mafia hukum.

Revitalisasi polisi
Pertanyaan selanjutnya bagaimana peran yang demikian ini diperbaiki untuk proses penegakkan hukum yang lebih baik ? Keinginan mereposisi dan merevitalisasi polisi sesungguhnya sudah berlangsung dari waktu ke waktu . Dan jika dirunut sama tuanya dengan usia negara ini. Pada masa Kerajaan Majapahit, patih Gajah Mada untuk melindungi keselamatan raja dan kerajaan membentuk pasukan yang diberi nama Bhayangkara. Pada masa pendudukan Belanda dibentuk Corps Politiedenaar.. Begitu pula di masa pendudukan Jepang, polisi dan kejaksaan dijadikan satu di bawah induk Organisasi Departemen Kehakiman. Pada pra kemerdekaan PPKI( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) menempatkan polisi dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nama Jawatan Kepolisian. Presiden Soekarno dengan Maklumat Pemerintah No.11/SD/1946 tanggal 25 Juni 1946 menyatakan bahwa Kepolisian tidak lagi berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri,tetapi sesuai corak pemerintahan saat itu polisi langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri. Dengan Keppres Nomor.290 tahun 1946 polisi memasuki fase luar biasa. Kesatuan polisi yang kala itu bernama AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) dimasukkan ke dalam ABRI sebagai angkatan keempat(buku pintar calon/anggota polisi:5,2009). Polisi saat itu benar-benar tidak mandiri,karena polisi selalu disebut anak bungsu dalam tubuh ABRI. Di masa Pemerintahan BJ Habibie tepatnya tanggal 1 April 1999 polisi direposisi sepenuhnya menjadi orang sipil dengan maksud polisi lebih professional dan sejajar dengan polisi di negara beradab lainnya. Namun keinginan tersebut tidak sejalan dengan idealisme yang tumbuh dan berkembang di kalangan internal polisi sendiri. Wewenang luar biasa dalam tertib sipil menjadikan polisi sebagai pemain tunggal dalam proses pemidanaan menurut konsep ketatanegaraan kita. Kemandirian polisi menjadikan institusi itu tertutup dan seolah bekerja sendiri. Polisi yang modern mestinya tidak hanya sekedar harus berpendidikan S1 dan S2 . Melainkan ia mampu mengelola tanggung jawab keamanan dalam negeri dalam bentuk memberikan rasa aman pada negara, harta benda masyarakat dari tindakan kriminal dan melindungi masyarakat dari bencana alam. Tuntutan reposisi dan revitalisasi hendaknya bukan dianggap sebagai ancaman eksistensi polisi. Di masa SBY polisi memperoleh keleluasaan luar biasa baik anggaran dan terutama peran. Dalam sejarah BIN ( Badan Intelejen Negara ) baru kali ini seorang Purnawirawan Polisi( Jend.Sutanto) menduduki pos tersebut, karena memang job itu lebih cocok untuk tentara. Paradigma polisi mesti diluruskan bukan sebagai alat penguasa melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kegagalan di masa lalu yang menjadikan polisi sebagai alat penguasa janganlah terulang. Reposisi dan revitalisasi tugas polisi termasuk pembubaran Polwil ini haruslah dijawab dengan perilaku dan tampilan sebagai pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat. Sehingga fungsi penegak hukum yang bersumber pada kepentingan penguasa atau alat kontrol negara kepada masyarakat berubah menjadi penegak keadilan. Jika demikian likuidasi ini harus dijawab bahwa polisi juga humanis dan beradab. Artinya dalam proses penanganan perkara tidak serta merta menjadikan tersangka itu harus menghuni penjara. Terori cost and benefit harus digunakan sebagai ilmu dalam penyidikan, sehingga istilah delapan enam sudah tidak dipakai lagi,melainkan manfaat bagi Negara dalam setiap penangana perkara pidana . Jika semangat itu dimiliki niscaya peradilan sesat seperti dalam kasus Imam Hambali di Jombang dan Minah di Purwokerto dan kasus-kasus lain di penjuru tanah air bisa dieliminir.

Surakarta,08 Februari 2010
* Muhammad Taufiq, SH MH , Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH – UNS hp: 081 22 96 1011

Sabtu, 20 Februari 2010

Reposisi Organisasi Polisi

(Dimuat di harian Joglo Semar Rabu,4 Desember 2009 halaman 16)

Oleh : Muhammad Taufiq*

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengkernyitkan dahi membaca awal tulisan ini. Namun jika mencermati undang-undang Kepolisian baik yang lama

(UU No.13 tahun 1961) lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.

Dalam sistem hukum nasional kita ,ketika berbicara soal penegakkan hukum. Korp polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut. Menurut Sacipto Rahardjo(177: 1988) kalau hukum sebagaimana dituliskan dalam peraturan itu disebut sebagai hukum yang tidur”, maka polisi itu hukum yang hidup. Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara , bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya, tetapi baru di tangan polisilah janji tersebut menjadi kenyataan. Polisilah yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu semua wewenang polisi. Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa Polisi dalam satu perkara menahan tersangka sementara dalam perkara yang lain tidak dikenakan tindakan apa-apa. Bisa dilihat perbandingan kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah dengan kasus Anggodo Widjojo. Tekanan apapun untuk meminta menahan Anggodo tidak membuat polisi bergeming.

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku disini dan oleh karena itulah disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir. Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut di atas . Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.

Penulis asing Jerome H. Skolnick(178:1988), memakai istilah “justice without trial” untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut. Dengan ungkapan doing justice tersebut ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif dengan kenyataan sehari-hari , polisi tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian saja melainkan pada hakekatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan. Dalam kasus yang dihadapi oleh polisi ketika aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur , kita menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus. Sebagai contoh kasus adalah dibuatnya ketentuan wajib lapor. Meski banyak ahli hukum menentang terutama advokat,mereka tidak berani menyarankan kliennya untuk tidak datang dalam wajib lapor. Sebab meski KUHAP tidak mengatur, jika seorang tersangka tidak datang dan tidak melakukan wajib lapor seringkali ia ditahan .

Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada kedudukan pos terdepan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan.

Bagaimana reposisi polisi?

Pertanyaan selanjutnya bagaimana peran yang demikian ini dibatasi untuk proses penegakkan hukum yang lebih baik ? Keinginan mereposisi dan merevitalisasi polisi sesungguhnya sudah berlangsung dari waktu ke waktu . Dan jika dirunut sama tuanya dengan usia negara ini. Pada masa Kerajaan Majapahit, patih Gajah Mada untuk melindungi keselamatan raja dan kerajaan membentuk pasukan yang diberi nama Bhayangkara. Pada masa pendudukan Belanda dibentuk Corps Politiedenaar. Pembentukan ini bertujuan melindungi pemerintah pendudukan dari ancaman orang-orang pribumi. Begitu pula di masa pendudukan Jepang, polisi dan kejaksaan dijadikan satu di bawah induk Organisasi Departemen Kehakiman. Pada pra kemerdekaan PPKI( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) menempatkan polisi dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nama Jawatan Kepolisian. Presiden Soekarno dengan Maklumat Pemerintah No.11/SD/1946 tanggal 25 Juni 1946 menyatakan bahwa Kepolisian tidak lagi berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri,tetapi sesuai corak pemerintahan saat itu polisi langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri. Dengan Keppres Nomor.290 tahun 1946 polisi memasuki fase luar biasa. Kesatuan polisi yang kala itu bernama AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) dimasukkan ke dalam ABRI sebagai angkatan keempat (buku pintar calon/anggota polisi:5,2009). Polisi saat itu benar-benar tidak mandiri,karena polisi selalu disebut anak bungsu dalam tubuh ABRI. Di masa Pemerintahan BJ Habibie tepatnya tanggal 1 April 1999 polisi direposisi sepenuhnya menjadi orang sipil dengan maksud polisi lebih professional dan sejajar dengan polisi di negara beradab lainnya. Namun keinginan tersebut tidak sejalan dengan idealisme yang tumbuh dan berkembang di kalangan internal polisi sendiri. Wewenang luar biasa dalam tertib sipil menjadikan polisi sebagai pemain tunggal dalam proses pemidanaan menurut konsep ketatanegaraan kita. Kemandirian polisi menjadikan institusi itu tertutup dan seolah bekerja sendiri. Polisi yang modern mestinya tidak hanya sekedar harus bependidikan S1 dan S2 . Melainkan ia mampu mengelola tanggung jawab keamanan dalam negeri dalam bentuk memberikan rasa aman pada negara, harta benda masyarakat dari tindakan kriminal dan melindungi masyarakat dari bencana alam. Tuntutan reposisi dan revitalisasi hendaknya bukan dianggap sebagai ancaman eksistensi polisi. Di masa SBY polisi memperoleh keleluasaan luar biasa baik anggaran dan terutama peran. Dalam sejarah BIN ( Badan Intelejen Negara ) baru kali ini seorang Purnawirawan Polisi ( Jend.Sutanto) menduduki pos tersebut, karena memang job itu lebih cocok untuk tentara. Paradigma polisi mesti diluruskan bukan sebagai alat penguasa melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kegagalan Gus Dur menjadikan polisi sebagai alat penguasa janganlah diulang di era SBY. Reposisi dan revitalisasi tugas polisi haruslah dijawab dengan perilaku dan tampilan sebagai pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat. Sehingga fungsi penegak hukum yang bersumber pada kepentingan penguasa atau alat kontrol negara kepada masyarakat berubah menjadi penegak keadilan. Jika demikian menjadikan polisi dan jaksa dalam satu wadah di salah satu kementrian bukan hal aneh. Jika semangat itu dimiliki niscaya peradilan sesat seperti dalam kasus Imam Hambali di Jombang dan Minah di Purwokerto bisa dieliminir.

· D

· A*Advokat dan Mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS

MEMBEDAKAN WILAYAH PUBLIK DAN PRIVAT

(Dari Luna Maya Hingga George Adi Tjondro)

Oleh : Muhammad Taufiq *

Isu menonjol di penghujung tahun 2009 selain persoalan korupsi dengan segala variabelnya , maka tidak ada yang menyanggah jika sajian infotainment yang melibatkan artis Luna Maya begitu menarik disimak. Disusul kemudian buku “ Membongkar Gurita Cikeas “ . Kesemuanya di atas bicara tentang pencitraan seseorang. Di mana ketokohan terutama yang baik tidak bisa lepas dari peran media. Dan media selalu ingin tahu apa yang dilakukan tokoh tersebut sekalipun barangkali dinilai tabu, jika yang diburu sudah merupakan wilayah privat. Setiap jurnalis sesungguhnya memiliki panduan dalam karya jurnalistiknya. Salah satu panduan penting dan sudah diratifikasi Pemerintah Indonesia adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Indonesia. Berkaitan dengan permasalahan tersebut pada tahun 1999 The Asia Foundation, Asian Institute for Development Communication ( Aidcom) dan LSPP/ Lembaga Studi Pers dan Pembangunan pernah menerbitkan buku berjudul : The Universal Declaration of Human Rights A Guide for Journalist . Pemahaman tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau biasa disingkat DUHAM. Merupakan hal yang mendasar untuk mencapai masyarakat madani yang demokratis. Pemahaman akan hak-hak paling dasar itu,idealnya dapat dipahami oleh seluruh masyarakat tanpa terkecuali . Termasuk Pekerja pers sebagai bagian dari komunitas yang mempunyai kekuatan membentuk opini demokratis tersebut. Perdebatan antara mereka yang menganggap hak asasi manusia itu bersifat universal dan sebagian lain menganggap itu representasi nilai-nilai barat ,rasanya sampai kini tak berkesudahan. Di Indonesia sebagian ulama malah telah memfatwakan haram atas nilai-nilai barat itu termasuk produk kerja medianya seperti infotainment.

Saat ini isu mengenai hak-hak perempuan juga memperoleh tempat penting di dunia internasional. Suatu gerakan positif yang menunjukkan bahwa wanita membutuhkan perlindungan yang lebih dan berbeda dibanding pria. Hal ini disebabkan wanita lebih rentan terhadap kekerasan contoh kasus adalah : Mbok Minah yang dituduh mencuri 3 biji kakao, dalam KDRT / Kekerasan Dalam Rumah Tangga Oky Agustina istri Pasha Ungu, Cici Paramida isteri Ahmad Suhaebi keduanya dipukul suami masing-masing dan barangkali ratusan ibu rumah tanggan lainnya di seluruh Indonesia. Oleh karena itu untuk memperoleh dan membuat berita yang akurat dan jernih mengenai masalah-masalah di atas,para pekerja pers perlu memahami konsep-konsep HAM dan ketentuan lain yang mengatur hal tersebut. Pasal 19 DUHAM memang menjamin setiap orang memiliki kebebasan mencari,menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang bata-batas wilayah. Namun jangan lupa bahwa pada Pasal 29 juga membatasi dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, yakni harus tunduk pada pembatasan-pembatasan undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk pengakuan serta penghormatan pada kebebasan dan hak-hak orang lain.

Batasan privat dan publik

Menurut pengertian formal yang kita pahami selama ini maka yang dimaksudkan dengan batasan privat adalah hukum yang mengatur tentang hukum sipil atau pribadi dan sebaliknya hukum publik adalah hukum yang mengatur hubungan warga negara dengan negara. Dengan demikian secara kategori terang jika persoalan artis Luna Maya atau siapapun yang terkait dengan urusan perkawinan, hobby dan percintaan sesungguhnya memang wilayah privat . Artinya tidak ada hak informasi yang harus dipublikasikan ke hadapan umum jika memang Luna Maya tidak berkenan atau tidak menghendakinya. Namun sangat berbeda jika pemahaman itu diberlakukan kepada penyelenggara negara atau pejabat pemerintah atau pejabat politik. Di mana letak perbedaannya? Sulfikar Amir seorang peneliti dari Reselaar Polytechnic Institute di Troy, New York secara tegas menyatakan untuk mebuat perbedaan wilayah publik dan privat selain dibutuhkan paradigma birokrasi dan perbaikan infrastruktur administrasi . Maka pengertian tentang privat dan publik adalah bahwa batas antara negara dan masyarakat menjadi terbuka. Dengan demikian sebuah buku berjudul “ Membongkar Gurita Cikeas “ karya George Aditjondro lepas dari akurat atau tidak akurat jika dilihat dari sustansi informasinya , maka masuk kategori publik.

Artinya ia mencoba memfaktakan informasi tentang diri seorang pejabat publik. Dalam hal ini adalah presiden. Dengan demikian adalah sebuah kewajiban bagi seorang pejabat publik untuk membuktikan apakah tuduhan itu benar atau tidak? Sebaliknya tidak ada sekalipun kewajiban Luna Maya untuk menjelaskan kepada infotainment atau siapapun tentang kehidupan pribadinya. Karena Luna bukan pejabat publik atau pejabat birokrasi. Namun persoalan akan menjadi lain ketika dua pihak melihat sebuah masalah dari kepentingan masing-masing. Infotaintmen bagian dari sebuah bisnis besar yang bernama industri media memposisikan Luna sebagai komoditas yang layak dijual . Dan persoalan ini menjadi rumit manakala dua kepentingan ini mencoba menyelesaiakan lewat jalur hukum. Pasalnya hukum positif yang kita kenal selama ini cenderung atau berorientasi untuk menghukum atau upaya balas dendam bagi pelakunya dan tidak pernah sedikitpun berbicara tentang korban. Coba kita tengok Prita Mulya Sari ia yang seharusnya korban nyata-nyata justru dihukum. Pertanyaan selanjutnya kalau saja proses hukum dari sebuah laporan ke polisi itu ditindaklanjuti siapakah sesungguhnya yang telah menjadi korban? Wartawan hiburan atau justru Luna Maya? Maka solusi yang paling baik tentang Luna Maya dan Buku “ Membongkar Gurita Cikeas” bukan lewat jalur hukum apalagi hukum pidana yang cenderung balas dendam. Melainkan membuat keseimbangan informasi antara keduanya sehingga tidak ada yang win atau loss. Dalam ilmu hukum disebut restorativei justice. Yakni memulihkan keadaan seperti sedia kala, bukan malah menambah masalah baru. Dan upaya ini layak dicoba untuk Luna dan SBY.

Surakarta, 7 Januari 2010

Muhammad Taufiq, SH MH* advokat dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS

GELAR “PAHLAWAN” UNTUK SIAPA ?

Oleh : Muhammad Taufiq*

Belakangan ini sejumlah pihak terutama partai politik saling bergiat membuat kriteria untuk mencalonkan Gus Dur dan pak Harto sebagai pahlawan. Pahlawan sebuah predikat istimewa ,sehingga tak sembarang orang mampu menyandang gelar pahlawan. Salah satu kriteria penting yang wajib dimiliki sesuai UU No.20/2009 untuk dijadikan pahlawan , adalah orang yang bisa mengubah arah sejarah. Pengorbanan , buah pikiran,cita-cita dan perjuangannya, serta teladan perbuatannya begitu dominan dalam perjalanan sejarah suatu bangsa. Yang pasti ia menonjol dibanding anggota masyarakat atau bahkan pemimpin-pemimpin yang lain karena tidak tercela dalam karirnya. Dan kriteria yang paling up to date ia tidak boleh terlibat perkara kriminal dengan ancaman lima tahun penjara termasuk korupsi. Dengan sederetan kriteria tersebut pahlawan adalah orang yang super selektif; Karena itu ia kemudian layak mendapat gelar sebagai pahlawan.

Namun demikian apakah pahlawan itu selalu putra terbaik dari sebuah proses demokrasi ? Bukankah dalam proses demokrasi, setiap manusia harus meletakkan dirinya dalam kedudukan yang sama dan sederajat dengan manusia lainnya . Termasuk dalam proses penciptaan sejarah, dan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kebangsaaan. Tentu saja bukan cita-cita dan ambisi pribadi sang pahlawan atau kelompok pendukung yang dilekatkan dan diklaim seolah sebagai cita-cita bersama. Banyak tokoh pembuat sejarah yang memaksakan, dengan cara kasar ,atau seolah halus idenya tentang perjalanan sejarah sebuah bangsa, agar mendapat pengakuan dan dicatat sebagai arah perjalanan yang dicita-citakan bersama.

Dalam hal ini bisa dibaca rekam jejak George W Bush, Gamal Abdul Nasser, Adolf Hitler, Benitto Mussolini, Marcos atau Kemal Attaturk bahkan Ramos Horta penerima Nobel Perdamaian . Mereka orang-orang besar dari zamannya. Mereka diaku pahlawan di saat berkuasa. Tetapi jelas mereka musuh-musuh demokrasi. Dalam demokrasi, asas yang paling dasar ialah bahwa semua warganegara berpartisipasi dalam menentukan yang terbaik yang terbaik bagi dirinya yang terbaik bagi kesejahteraan bersama, yang terbaik sebagai arah perjalanan sejarahnya. Lalu asas partisipasi ini dikaitkan dengan harapan dan kepercayaan bahwa , pada gilirannya, rakyat akan memilih pemimpinnya. Yaitu pemimpin yang bisa membawa kesejahteraan bersama dan arah perjalanan sejarah yang dikehendakinnya itu. Tetapi dalam demokrasi , rakyat dianggap lebih mulia kalau ia bisa dan memanfaatkannya kesempatan untuk menentukan sendiri nasib dan arah perjuangan mewujudkan kebahagiannya, daripada menyerahkan perkara itu sepenuhnya kepada orang lain. Biarpun orang itu tokoh yang mereka pilih dan mereka dukung dengan mati-matian sekalipun.

Oleh sebab itu , di samping diperlukan konstitusi dan kriteria umum, dalam alam demokrasi tetap harus dijaga adanya institusi pengambilan keputusan yang melibatkan wakil-wakil rakyat berbagai tingkatan. Bahkan adakalanya keputusan itu masih harus dijajaki dengan riset dan observasi sebagai bagian pengambilan keputusan yang obyektif.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya , bagaimana masyarakat dalam sebuah Negara demokratis bisa melahirkan seorang pahlawan? Pahlawan, dalam sebuah Negara demokrasi, pertama-tama harus menerima dulu tesis demokrasi. Yang berbunyi bahwa kedaulatan rakyat berada di tangan rakyat, dan dilaksanakan oleh wakil- wakilnya,dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk mensejahterakan rakyat tetapi hal ini tidak berarti mereka kehilangan hak untuk mengambil bagian dalam national discourse.(Sucipto Wirosarjono,1991) Tesis itu harus diakui dulu, sebelum orang “melamar” atau dilamarkan sebagai pahlawan.

Ujian jiwa demokratis utama di antara tokoh yang cerdas dan bervisi tajam ialah kesetiannya pada suara mayoritas. Terutama tatkala ia yakin bahwa suara terbanyak itu jelas-jelas salah dan berbahaya. Di situ ia di uji kesabaran dan demokratisnya. Apakah ia akan memaksakan kehendak, mengabaikan suara terbanyak itu dan mengajak “musyawarah” saja. Untuk memaksakan kehendaknya?

Ataukah ia bisa , dengan sabar menerima kenyataan itu sebagai bagian dari keharusan demokrasi?. Bisa juga ia orang yang ingin segala sesuatunya berjalan cepat, memanfaatkan momentum yang tepat dan bekerja dengan efektif dan efisien. Karena itu lalu tidak sabar dengan proses demokrasi yang bertele-tele. Kalau tidak sabar, bisa jadi tokoh semacam ini akan memilih jalan teknokrasi, dan memaksa kekuatan nondemokratis seperti senjata , ekstorsi, dekrit, teror atau menakut-nakuti, untuk menekan proses demokrasi agar lebih “efektif dan efisien’. Lalu si “pahlawan potensial” itu bisa tenang dan bekerja melaksanakan obsesi kejuangannya. Kalau demikian, tokoh itu akan gagal menjadi pahlawan demokrasi. Ia bisa menjadi despot yang menghabiskan daya dan tenaganya untuk dan atas nama kemaslahatan orang banyak, tetapi sesungguhnya lebih meladeni naluri kecongkakan “kebesarannya”. Memang saya pun tidak percaya demokrasi bisa di tegakkan dalam masyarakat yang sakit, yang dikuasai rasa takut atau yang dihantui budaya despotism. Tatkala kita menganggap demokrasi pilihan tatanan yang kita nilai sesuai dengan peradaban modern masyarakat kita, disana terkandung pengakuan pengertian bahwa masyarakat kita tidak sakit, bukan penakut , dan emoh despotism. Tetapi ketika, dalam perjalanan sejarah demokrasi utnuk menegakkan prinsip demokrasi bersama-sama dengan proses pendidikan demokrasi. Dengan kriteria dimaksud maka terang jalan menuju predikat atau gelar pahlawan sungguh panjang dan bukan sekedar wewenang administrasi Menteri Sosial belaka.

Kenyataannya, meskipun orang sudah dibebaskan dari rasa takut dan despotism, masih ada inklinasi manusiawi yang mengancam bekerjanya proses demokrasi. Inklinasi itu ialah, bahwa orang cenderung mementingkan diri sendiri. Bila dasar kepentingan diri sendiri itu dihimpun begitu saja, keputusan terbanyak niscaya merupakan petaka penindasan bagi yang lain.

Dalam demokrasi, suara terbanyak memang penting tetapi belum cukup. Yang masih harus ada ialah pengakuan akan keabsahan semua anggota dan kelompok masyarkat untuk berperan serta secara bebas dan bertanggung jawab, dalam permusyawaratan sebagai wahana merundingkan pemecahan perbedaan pendapat dan konflik kepentingan. Tidak seorang warga Negara atau satu kelompok pun boleh dikucilkan dari peluang itu. Bila naluri mengucilkan dan menyungkurkan masih bersemayam di dada calon pahlawan, niscaya ia gagal menegakkan diri dalam tatanan masyarakat yang demokratis. Jika demikian maka hiruk pikuk tentang gelar Pahlawan untuk Gus Dur dan Pak Harto selayaknya tak beranjak jauh dari national discourse tersebut , karena saya yakin keduanya tidak menghendaki predikat itu.

Surakarta, 8 Januari 2010

Muhammad Taufiq, SH MH* advokat dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS.

Kamis, 18 Februari 2010

KEADILAN SEPANJANG GALAH

Oleh : Muhammad Taufiq

Hiruk pikuk memperingati seratus hari pemerintahan SBY-Boediono dapat diukur setidaknya dari dipenuhinya janji tentang penegakkan hukum. Yang dicerminkan dari out put berupa produk keadilan yang memihak pada suara rakyat yang tumbuh dari peradilan mandiri . Menegakkan keadilan tidak sama dengan menegakkan hukum ,yang satu berada pada tataran moral yang satu lagi bersumber pada hukum formal. Tataran moral bersumber pada nilai-nilai yang dianut masyarakat. Tataran formal bersumber pada kemauan penguasa.

Sudah merupakan sifat dasar atau karakteristik setiap pengadilan di semua lingkungan Peradilan di Indonesia bahwa di dalam melakukan pemeriksaan dan mengadili perkara harus memiliki sikap mandiri. Putusan pengadilan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat tidak dapat terwujud apabila dalam proses penjatuhan keputusannya hakim mendapat pengaruh kuat atau tekanan dari pihak diluar kekuasaan kehakiman. Putusan yang jauh menyimpang dari rasa keadilan masyarakat akan menyebabkan berkurang atau bahkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap dunia peradilan. Eksistensi lembaga pengadilan yang tidak mendapat simpati masyarakat akan berpengaruh langsung pada kinerja lembaga pengadilan itu sendiri. Apabila sementara ini pengadilan diharapkan mampu menjalankan fungsinya sebagai benteng terakhir keadilan, maka tidak tertutup kemungkinan dapat bergeser fungsinya menjadi benteng terakhir kekuasaan kehakiman. Terlebih lagi dengan adanya komitmen bangsa dan negara ini untuk mendeklarasikan secara aklamasi sebagai negara hukum seperti yang tertuang dalam dalam Undang Undang Dasar 1945. Maka adanya lembaga peradilan bebas merupakan salah satu pilar yang tidak dapat ditinggalkan di samping pilar lainnya yaitu adanya pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di segala aspek dan juga adanya prinsip legalitas dalam arti hukum dalam segala hal adalah mutlak sangat diperlukan keberadaannya.

Sesungguhnya sejak dahulu hingga sekarang masalah kemandirian lembaga peradilan , termasuk peradilan militer sudah lama diperbincangkan banyak orang. Fungsi pengadilan sebagai benteng terakhir untuk memperoleh keadilan sudah lama diidam-idamkan oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Masyarakat sangat berkepentingan terhadap peran lembaga yang mau dan mampu mengayomi masyarakat. Lembaga pengadilan yang ideal adalah lembaga yang dapat menyerap aspirasi masayarakat tentang makna keadilan dan kebutuhan hukum masyarakat yang nantinya akan diterjemahkan ke dalam putusan yang dijatuhkannya. Ketidakpercayaan dan apatisme masyarakat kepada dunia peradilan dapat dipakai sebagai indikator akan runtuhnya cita-cita bangsa dan rakyat Indonesia untuk mengatasnamakan negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) . Tidak dapat dipungkiri bahwa praktek peradilan akhir-akhir ini disinyalir telah menunjukkan adanya keberpihakan. Sikap keberpihakan adalah sangat bertentangan dengan jiwa semangat eksistensi lembaga pengadilan itu sendiri yang wajib memperhatikan,memperlakukan, dan memberikan kesempatan yang sama kepada pihak yang bersengketa ( equality before law). Mengenai pentingnya kebebasan pengadilan di era penegakan hukum dan peningkatan supremasi hukum saat ini , pemerintah sebenarnya sudah menyadari adanya kelemahan struktur lembaga pengadilan di masa lalu. Dimulai dengan adanya Undang Undang No.19 tahun 1964 yang memberi peluang Presiden maupun penempatan Mahkamah Agung di bawah kekuasaan Presiden, yang kemudian dicabut dengan UU No.14 tahun 1970. Dalam Undang Undang No.14 tahun 1970 dapat diketahui bahwa secara non judicial masing-masing lingkungan peradilan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen dan dalam menjalankan fungsi judicial berada di bawah kendali Mahkamah Agung. Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Badan Peradilan di bawahnya dan oleh Mahkamah Konstitusi. Badan Peradilan di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

Yang menjadi pertanyaan apakah serangkaian peraturan yang menjadi hukum positif tersebut telah mengatur secara tegas tentang jalan ke luar yang ditempuh apabila realitas menunjukkan telah terjadi pertentangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum ? Pada perkara ini ,nilai manakah yang harus diprioritaskan? Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa hal tersebut tidak secara tegas diatur secara eksplisit dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai hukum positif. Meski dalam rancangan atau konsep KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana ) baru telah dicantumkan tentang adanya keseimbangan antara kepastian hukum yang merupakan hukum formal dan nilai keadilan yang bersifat patokan materiil. Perancang KUHP(baru) nampaknya menyadari bahwa keduanya,yakni keadilan dan kepastian hukum akan menjadi sumber konflik atau pertentangan. Dan akhirnya perancang KUHP meyakini dalam konflik ini tentunya harus ada salah satu yang dimenangkan,yakni adalah nilai keadilan.
Dari penjelasan di atas , telah nyata gambaran yang kita peroleh bahwa sesungguhnya pada yuris atau ahli hukum kita menghendaki terciptanya keseimbangan antara nilai keadilan dan kepastian hukum. Dan jika kemudian timbul konflik antara keduanya tentu keadilan yang harus mendapat pemihakan. Namun dilemma muncul apakah demi keadilan harus mengorbankan kepastian hukum? Jawabannya sudah barang tentu tidak. Dengan demikian tugas hakim ke depan tidaklah seperti mesin robot yang bekerja secara mekanis. Sebab ia harus menegakkan keadilan dan sekaligus menegakkan hukum. Senyampang dengan itu untuk menilai proses penegakkan keadilan di seratus hari pemerintahan SBY-Boediono tentunya ukuran yang paling mudah adalah seberapa besar putusan pengadilan yang ada selama ini mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya proses pengadilan ini seperti perjalanan panjang dan out put atau produk keadilan hanyalah sepanjang galah.

Surakarta, 4 Februari 2010
Muhammad Taufiq, SH MH. Advokat mahasiswa S3 Ilmu Hukum

Mafia hukum dan revitalisasi tugas polisi

(Dimuat diharian Suara Merdeka tanggal 4 Desember 2009 halaman 6)

OLeh : Muhammad Taufiq

Seperti biasanya SBY melontarkan ide segar yang sebenarnya mubazir. Baru – baru ini ada gagasan bergulir tentang perlunya Satgas Mafia Hukum. Satgas ini harus berkoordinasi dengan penegak hukum. Jika bicara dengan menyebut penegak hukum. Maka pintu pertama yang harus dilalui adalah lembaga kepolisian. Sebab kepolisian di manapun, lebih-lebih di negara yang hukum belum menjadi panglima keterlibatan polisi begitu penting. Karena semua aspek melibatkan polisi.

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengkernyitkan dahi membaca awal tulisan ini. Namun jika mencermati undang-undang Kepolisian baik yang lama
(UU No.13 tahun 1961) lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.

Dalam sistem hukum nasional kita ,ketika berbicara soal penegakkan hukum. Korp polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut. Menurut Sacipto Rahardjo(177: 1988) kalau hukum sebagaimana dituliskan dalam peraturan itu disebut sebagai hukum yang “tidur”, maka polisi itu hukum yang hidup. Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara , bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya, tetapi baru di tangan polisilah janji tersebut menjadi kenyataan. Polisilah yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu semua wewenang polisi. Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa Polisi dalam satu perkara menahan tersangka sementara dalam perkara yang lain tidak dikenakan tindakan apa-apa. Bisa dilihat perbandingan kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah dengan kasus Anggodo Widjojo. Tekanan apapun untuk meminta menahan Anggodo tidak membuat polisi bergeming.

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku disini dan oleh karena itulah disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir. Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut di atas . Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.

Penulis asing Jerome H. Skolnick (178:1988), memakai istilah “justice without trial” untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut. Dengan ungkapan doing justice tersebut ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif dengan kenyataan sehari-hari , polisi tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian saja melainkan pada hakekatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan. Dalam kasus yang dihadapi oleh polisi ketika aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur , kita menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus. Sebagai contoh kasus adalah dibuatnya ketentuan wajib lapor. Meski banyak ahli hukum menentang terutama advokat,mereka tidak berani menyarankan kliennya untuk tidak datang dalam wajib lapor. Sebab meski KUHAP tidak mengatur, jika seorang tersangka tidak datang dan tidak melakukan wajib lapor seringkali ia ditahan .

Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada kedudukan pos terdepan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Artinya perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti mafia hukum. Yang pertama sekali dibenahi adalh polisinya.

Surakarta, 30 November 2009
• Muhammad Taufiq, SH MH Advokat dan mahasiswa S3 Ilmu Hukum FH UNS.