WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Jumat, 30 September 2011

Tak Sekedar Tegakan Hukum tapi Keadilan

Harian Joglosemar, Kamis, 29/09/2011 23:19 WIB - Anisaul Karimah

Profesi sebagai advokat hukum, memang sangatlah berat. Bukan karena kesibukan atau rasa lelah yang menyelimuti, namun banyak tantangan yang harus dihadapi seorang advokat. Biasanya tantangan paling berat justru berasal dari dirinya sendiri, bagaimana advokat itu bisa menjaga dirinya untuk tetap berjalan di jalan yang benar dan memperjuangkan sebuah keadilan yang sesungguhnya.
Apalagi ditambah dengan kondisi hukum di Indonesia, yang sudah semakin jauh dari harapan rakyat. Beberapa kasus hukum yang ada di Indonesia justru banyak mengecewakan masyarakat terhadap hukum. Karena hukum tak lagi bisa berjalan secara benar, banyak aparat hukum yang berusaha menegakkan hukum, namun tidak menegakkan keadilan. “Fenomena ini tentu sangat berpengaruh pada SDM hukum yang benar-benar ingin memperjuangkan keadilan. Misalnya profesi advokat selama ini yang banyak bergerak untuk benar-benar memperjuangkan keadilan,” kata Ketua Ikadin Surakarta, Muhammad Taufiq, kepada Joglosemar, Senin (26/9).
Ia mengatakan, advokat di kawasan Surakarta telah membentuk suatu ikatan untuk memperkuat jati diri profesinya. Seperti halnya advokat tingkatan nasional, maka Solo secara tingkat kota atau daerah juga memilikinya, yakni Ikadin Surakarta. “Profesi ini merupakan profesi yang terhormat. Untuk Surakarta, anggotanya terdiri dari sekitar 237 anggota. Yang berdomisili di Surakarta atau Solo,” papar Taufiq.
Diakuinya, profesi advokat memang banyak tantangan. Apalagi saat ini banyak anggapan advokat sudah tak lagi menegakkan hukum, bahkan tak peduli keadilan sehingga memunculkan sindiran Maju Tak Gentar Membela yang Bayar. Hal ini sangatlah ironi, karena tidak semua advokat seperti itu. Ikadin Surakarta berusaha menjalankan profesinya secara benar sesuai dengan slogan Ikadin Walaupun Langit Akan Runtuh Keadilan Harus Ditegakkan.
Taufiq mencontohkan, misalnya kasus Lanjar, seorang suami dituduh menghilangkan nyawa istrinya akibat kecelakaan yang menimpa mereka berdua. Dalam kasus itu, istrinya meninggal bukan karena terbentur di aspal, namun karena ditabrak mobil yang saat itu lewat. Namun hukum berkata lain, akhirnya Lanjar sempat dipenjara. Sebagai advokat, yang merasa harus memperjuangkan keadilan, akhirnya Taufiq mengeluarkan Lanjar dari penjara dan membuktikan bahwa ia tak bersalah.
Lebih lanjut dikatakan, paling marak saat ini, yakni pengaruh partai politik (Parpol) yang menyebabkan hukum di Indonesia semakin rumit dan sulit dipercaya. Sehingga bagaimanapun juga, advokat dilarang ikut berpolitik. “Politik adalah awal kehancuran sebuah hukum, tak perlu menjadi pelaku. Tugas kita adalah menegakkan keadilan, bukan lainnya,” ujar dia.

Anisaul Karimah

Deklarasi anti Kekerasan



Harian Joglosemar, Kamis, 29/09/2011 - Anisaul Karimah

Terjadinya beberapa aksi kekerasan di beberapa wilayah seperti di Ambon, Jakarta, ataupun terjadinya insiden peledakan bom bunuh diri di GBIS Kepunton beberapa waktu lalu, menggerakkan hati Ikatan Advokat Indoensia (Ikadin) Surakarta untuk mendeklarasikan antikekerasan. Deklarasi itu dilakukan usai menggelar halalbihalal di Plymra Resto bersama beberapa kawan profesi lainnya, seperti para pengusaha dan artis.
“Kita bersama beragam profesi lainnya, mendeklarasikan, pertama, menolak segala bentuk kekerasan, dengan latar belakang apapun. Kedua, menolak upaya memaksakan kehendak dengan dalih apapun, Ketiga, menolak sikap yang tidak taat pada hukum, Keempat, menyatakan bahwa hukum tetap menjadi panglima. Kelima, meminta aparat bertindak serius dan sungguh-sungguh agar tidak terjadi aksi yang meluas. Dan keenam, meminta aparat bekerja dengan institusi lain menjaga dan memelihara keamanan negara,” paparnya bersama anggota Ikadin lainnya.
Dalam deklarasi itu, Ikadin bersama beberapa artis dan pengusaha, melakukan penandatanganan komitmen antikekerasan. Beberapa artis yang sempat hadir yakni Ki Mantep dan Djudjuk Srimulat. “Sebagai advokat, tentu kita mendukung gerakan antikekerasan. Kekerasan adalah tindakan yang merugikan dan menyakiti orang lain, sehinga dianggap berdosa dan bukan langkah yang benar,” tegas Taufiq. Ia menambahkan, deklarasi itu juga memberikan semangat kepada aparat hukum untuk bertindak tegas dan memperjuangkan keadilan yang sebenarnya.

Minggu, 18 September 2011

Korban Pembunuhan Massal di Rawagede Menang di Belanda

Harian Joglosemar Kamis, 15/09/2011 00:37 WIB - Tri Hatmodjo

DEN HAAG—Pengadilan Den Haag, Rabu (14/9) kemarin, mengabulkan tuntutan dari keluarga korban kejahatan perang di Desa Rawagede, Jawa Barat, tahun 1947 untuk penggantian kerugian yang diderita.
Seperti dikutip dari laman Radio Netherland Siaran Indonesia, pengadilan menolak alasan pihak Kerajaan Belanda yang menyatakan bahwa kasus ini telah kedaluwarsa. Namun, catatan diberikan oleh pihak pengadilan yakni hak pengganti kerugian hanya diperuntukkan bagi keluarga korban langsung dari pembantaian itu.
Sebelumnya, keluarga korban pembantaian Rawagede mengajukan gugatan kepada pemerintah Belanda. Gugatan didaftarkan di Pengadilan Distrik The Hague pada Rabu 9 Desember 2009, tepat 62 tahun peringatan pembantaian Rawagede, yang kini bernama Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang. Letaknya di antara Karawang dan Bekasi.
Pembantaian Rawagede diyakini merupakan tindakan kriminal paling kejam, paling brutal, dan paling berdarah yang dilakukan Belanda dalam kurun waktu 1945 sampai 1949.
Guru Besar Ilmu Hukum Internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menanggapi positif dikabulkannya tuntutan para keluarga korban tragedi Rawagede dari pihak pemerintah Belanda.
Menurutnya, terdapat dua hal yang menjadi catatan positif. Pertama, gugatan ganti rugi yang notabenenya ialah sisi perdata dapat dimenangkan tanpa melalui gugatan pidana terlebih dahulu. ”Karena kalau menunggu proses pidana lalu perdata akan memakan waktu cukup lama. Bisa saja, pelaku sudah tidak ada lagi (meninggal),” ujarnya, dikutip Vivanews.
Kedua, keputusan pengadilan yang tidak menerima argumen pemerintah Belanda yang menyatakan kasus ini telah kedaluwarsa merupakan suatu terobosan. Dengan adanya keputusan pengadilan ini membuka harapan bagi kasus-kasus lain untuk diungkap.
”Seperti korban kasus Westerling di Sulawesi Selatan dapat melakukan gugatan juga. Sebab, banyak kasus-kasus yang dilakukan Belanda saat berusaha merebut kekuasaan setelah Indonesia merdeka,” tuturnya.

Tri Hatmodjo

Selasa, 13 September 2011

BK DPRD Periksa Mobil untuk Angkut Ciu Disayangkan, Tersangka Dilepas

Harian Joglosemar Rabu, 14/09/2011 21:57 WIB - Muhammad Ismail

SUKOHARJO—Praktisi hukum M Taufik menyayangkan dilepaskannya tersangka Wiji yang dipergoki membawa 180 liter ciu dalam mobil dinas DPRD AD 82 B. Semestinya, tersangka bukan hanya dijerat tindak pidana ringan (Tipiring), namun UU Kesehatan No 36 tahun 2009 sehingga bisa dilakukan penahanan. Hal tersebut didasari pada ciu minuman yang berbahaya dan memabukkan.
“Pelaku seharusnya tidak hanya di jerat dengan Tipiring karena dianggap juga melanggar Perda,” ujar Taufik, Selasa (13/9).
Menurut dia, kadar alkohol yang terkandung dalam minuman ciu sudah jelas sangat memabukkan dan jika dikonsumsi dengan berlebihan bisa mengakibatkan kematian. “Sudah banyak korban yang meninggal hanya gara-gara meminum ciu. Tapi, ini kenapa ada pelaku yang terbukti membawa ciu dan ditangkap kemudian dibiarkan bebas begitu saja,” keluhnya.
Taufik menambahkan seharusnya pemberian tindakan yang lebih berat untuk menjadikan efek jera diberikan. Jika itu dilakukan bagi pelaku lainnya tentunya tidak akan berani.
Kapolres Sukoharjo AKBP Pri Hartono El melalui Kapolsek Mojolaban AKP Agus Subekti mengatakan apa yang dilakukan dengan melepaskan tersangka sudah didasari atas hukum. Katanya, kalau dilakukan penahanan justru pihaknya yang salah. “Kasusnya hanya Tipiring, sehingga pelepasan sudah benar sesuai dengan prosedur hukum yang ada,” katanya Agus saat ditemui di sela-sela menerima kunjungan Badan Kehormatan (BK) DPRD di Polsek Mojolaban, Selasa (13/9).
Bon Pinjam
Disinggung apakah adanya intervensi dari pihak tertentu mengingat, tersangka dan pemilik AD 82 B berasal dari partai pemenang Pemilu 2009, Agus menyatakan tidak ada sama sekali. “Tidak ada intervensi sama sekali dari pihak manapun dan kami bekerja profesional,” tegasnya.
Ketua BK DPRD Purwadi mengatakan kedatangannya untuk mencari sumber informasi dan mengumpulkan fakta di lapangan terkait keterlibatan mobil AD 82 B milik Anggota DPRD yang dipakai mengangkut ciu.
“Harapannya baik kepolisian dan BK saling bekerja sama serta berkomitmen bersama untuk menyelesaikan kasus ini sampai tuntas,” katanya.
Anggota BK Sumarsono mengusulkan agar DPRD untuk mengajukan permohonan bon pinjam barang bukti berupa mobil dinas. “Usulan peminjaman barang tersebut diperbolehkan pihak kepolisian dengan syarat harus membuat surat pernyataan yang intinya tidak akan menghilangkan barang bukti,” jelasnya.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya mobil dinas milik Ketua Komisi II DPRD Sukoharjo, R Eka Junaedi dipinjam Wiji untuk mengangkut ciu. Kemudian, mobil tersebut berhasil ditangkap Polsek Mojolaban, Minggu (11/9).

Muhammad Ismail

Taufik : Mestinya Tersangka Ditahan

Harian Suara Merdeka, Rabu 14 Sept 2011

  • Mobil Dinas AD-82-B Angkut Ciu

SUKOHARJO - Tidak ditahannya tersangka pembawa ciu 180 liter dengan mobil dinas AD 82 B disayangkan. Sebab, seharusnya tersangka bisa dijerat dengan UU Kesehatan No.36 tahun 2009.

Menurut praktisi hukum sekaligus pengacara M Taufik SH MH, seharusnya polisi tidak hanya menjerat pelaku dengan Tipiring karena melanggar Perda.

Sebab, apa yang dibawa oleh pelaku merupakan minuman yang mengandung zat yang tidak berizin, serta berbahaya untuk kesehatan.

"Seharusnya tersangka juga ditahan, karena ini barang atau cairan yang bisa membayakan kesehatan dan tidak punya izin. Terlebih jumlahnya juga banyak lo," ujar M Taufik menanggapi tidak ditahannya tersangka oleh polisi.

Menurut dia, barang yang dibawa di dalam enam jerigen tersebut merupakan ciu yang sudah sering mengakibatkan korban mati.

Apalagi barang itu bukan barang yang bebas diperdagangkan.

Karena itu, seharusnya ada pemberian tindakan yang lebih berat untuk menjadikan efek jera. "Jangan hanya dijerat dengan Perda atau tipiring, mestinya beri efek yang lebih tegas," ujar kandidat Doktor Ilmu Hukum ini.

Salah

Menanggapi hal tersebut, Kapolsek Mojolaban AKP Agus Subekti disela-sela kunjungan anggota Badan Kehormatan (BK) DPRD Sukoharjo mengatakan, prosedur itu sudah sesuai dengan peraturan, sehingga kalau dilakukan penahanan justru pihaknya yang salah.

"Pelanggarannya kan Perda, jadi kasusnya tindak pidana ringan (Tipiring), sehingga kalau tersangka ditahan justru kami yang salah," tegas AKP Agus.

Saat ditanya apakah hal itu dilakukan karena ada intervensi dari pihak tertentu mengingat, tersangka dan pemilik AD 82 B berasal dari partai pemenang Pemilu nasional, Agus menyatakan tidak. "Sejauh ini tidak ada intervensi dari pihak manapun," tandasnya.

Bagi pelanggar Perda no. 4 tahun 1994 tentang Pajak dan Izin Penjualan Minuman Keras, diancam kurungan enam bulan dan denda Rp 50 ribu.

Ketua BK Purwadi dalam kesempatan itu mengatakan, pihaknya akan segera melakukan tindakan terkait dengan hal tersebut. Untuk diketahui, Ketua Komisi II sendiri merupakan anggota BK DPRD Sukoharjo.

"Ini bukan berarti jeruk makan jeruk. Kami ke sini untuk memastikan bahwa itu memang AD-82-B," ujar Suryadi, salah satu anggota BK. Untuk diketahui, beberapa saat lalu mobin Ketua Komisi II DPRD Sukoharjo AD-82-B diamankan Polsek Mojolaban karena mengangkut ciu 180 liter.

Wj, sopir yang membawa mobil itu diamankan bersama barang bukti namun tidak ditahan.(H46-34)

Jumat, 09 September 2011

Tim Verifikasi Harus Diperiksa

Dimuat di Jawapos Radar Solo, Kamis 8 September 2011

Terkait Lolosnya Ijazah Palsu Untung saat Pilkada

SRAGEN-Kasus dugaan ijazah palsu mantan Bupati Sragen Untung Wiyono bergulir bak bola salju. Pihak-pihak yang memverifikasi berkas ijazah Untung saat mencalonkan sebagai bupati di dua periode layak diperiksa.

Hal ini diungkapkan Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo M. Taufiq, SH MH. Taufig menyatakan, proses hukum dugaan ijazah palsu yang tangani Polda Jateng saat ini sudah tidak murni sebagai upaya penegakan hukum. Akan tetapi hal tersebut hanyalah sebagai luapan emosional dan sikap arogansi aparat penegak hukum.

‘‘Kenapa saat Pak Untung dalam kondisi terjatuh hal itu kembali diungkap. Kok tidak dulu-dulu. Padahal kasus tersebut sudah ditangani kepolisian bertahun-tahun,“ ujar Taufiq kepada Radar Solo tadi malam (7/9).

Taufiq menambahkan, lambannya penanganan dugaan ijazah palsu ini tidak lain adalah buah kesalahan aparat penegak hukum (polisi). Dia menilai kasus tersebut bukan semata-mata kesalahan Untung. Ia juga tidak menampik kalau selama ini Untung sengaja dimanfaatkan oleh sejumlah oknum pejabat kepolisian dalam perkara tersebut. ‘‘Karena itu jika kini mantan bupati itu kembali diperiksa, maka penyidik-penyidik yang dulu-dulu menangani kasus tersebut juga harus diperiksa, “ tutur Taufiq.

Taufiq menegaskan, kewenangan untuk menentukan bahwa ijazah mantan bupati Sragen palsu sebenarnya sudah berada ditangan polisi sejak lama. Ini didasarkan pada hasil penyelidikan dan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi dan barang bukti. Namun saat yang bersangkutan masih menjabat sebagai bupati, ternyata hal itu tidak dilakukan. ‘‘Yang ada Kapolda (saat itu) malah menggelar lomba pacuan kuda, dan lomba voli di Sragen,‘‘ Sindir Taufiq.

Disinggung mengenai adanya pihak lain yang bakal terseret, jika ternyata ijazah ini terbukti palsu, Taufiq menyatakan seluruh pihak yang terlibat dalam pembuatan dan meloloskan Untung pada saat verifikasi pencalonan bupati juga harus diperiksa.

Taufiq menegaskan bahwa persoalan ijazah palsu dengan jabatan bupati adalah dua hal yang berbeda. Mengenai ijazah palsu, itu berkaitan dengan pribadi Untung wiyono yang jika terbukti bersalah maka yang bersangkutan tidak berhak menggunakan gelar. ‘‘Namun kalau soal jabatan sebagai bupati, saya pikir sudah sah, karena dia dipilih dengan cara yang sah. Anggota DPRD yang memilih saat itu adalah memiliki hak untuk memilih,“ ungkapnya.

Sementara itu, mencuatnya kasus ijazah palsu ini tindak lantas membuat sejumlah Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sragen panik. Mereka yakin proses pendaftaran pasangan Untung Wiyono-Agus Fatchurrahman (UA) untuk periode kedua pada 2006 lalu sudah sesuai prosedur.

Ketua KPUD Sragen Agus Riewanto saat dikonfirmasi kemarin (7/9) mengungkapkan, proses pendaftaran pasangan UA pada 2006 lalu telah dilakukan sesuai prosedur yang berlaku. Terkait dugaan penyalahgunaan ijazah palsu yang dilakukan Untung Wiyono, Agus menyatakan hal tersebut berada di luar kewenangan KPUD.

Mengenai penentuan keabsahan ijazah yang digunakan, kata Agus, sepenuhnya menjadi kewenangan pihak atau lembaga yang mengeluarkannya tersebut. “Dan setelah diverifikasi di masing-masing lembaga yang mengeluarkan ijazah tersebut, semuanya menyatakan sah dan dilengkapi dengan surat keterangan,” ujar Agus.

Disinggung soal ijazah terakhir yang dipergunakan Untung Wiyono saat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon bupati periode kedua Agus menyatakan yang bersangkutan tak lagi menggunakan ijazah SMA. Namun ijazah sarjana. “Seingat saya saat mendaftar di periode kedua, dia menggunakan ijazah sarjana dari sebuah universitas di Jakarta. Tapi saya lupa nama universitasnya. Semua ijazah baik dari SD, SMP, SMA hingga universitas sudah diverifikasi,” ungkapnya.

Agus mengungkapkan, jika penggunaan ijazah palsu sudah digunakan Untung mendaftar kali pertama, seharusnya pihak DPRD yang lebih tahu. Sebab saat menjabat sebagai bupati Sragen berdampingan dengan Agus Fatchurrahman, proses pemilihan masih dilakukan di DPRD. “Jadi saat itu KPU belum lahir,” kata dia.

Terpisah, Kapolres Sragen AKBP I.B. Putra Narendra menyatakan, saat ini semua berkas pemeriksaan sudah ditangani Polda Jateng. Dia tak bisa berkomentar banyak tentang proses hukum kasus dugaan ijazah palsu ini.(in/nan)

Pukul Istri, Pengacara Terancam Dibui,

Dimuat di Jawapos Radar Solo, Kamis 8 September 2011

Pukul Istri, Pengacara Terancam Dibui

Sukoharjo – Salah satu pengacara kondang asal Kota Makmur, Antonius Putut Kuntadi terancan hukuman penjara akibat memukuli istrinya sendiri, Herlina. Kemarin (7/9), kasus tersebut disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Sukoharjo dengan agenda pembacaan dakwaan.

Dalam sidang yang dipimpin Hakim Ketua Asminah SH tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU), Taufik mendakwa warga Kertonatan, Kartasura itu dengan Pasal 44 Ayat 1 Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT).

Saat membacakan dakwaannya, JPU memaparkan peristiwa pemukulan tersebut dipicu saat Herlina meminta uang Rp 10 ribu kepada terdakwa. Oleh Antonius permintaan tersebut tidak dituruti. Hingga, akhirnya Herlina masuk kamar dan mengambil celana suaminya bermaksud mengambil uang yang diminta. Namun, oleh terdakwa dihalang-halangi.

Bahkan Antonius menampar dan memukul korban. Setelah itu, terdakwa memberikan uang Rp 50 ribu. Usai memberikan uang tersebut, Antonius bertanya tentang kunci mobil. Lagi-lagi, pria tersebut menarik baju istrinya dari belakang kemudian memukul dada Herlina berulang-ulang sampai terjatuh.

“Berdasarkan hasil visum rumah sakit, korban mengalami luka pada bagian dada, kepala, paha serta lengan karena benturan benda tumpul,” ujar Taufik saat membacakan dakwaan..

Sementara itu, Antonius yang saat sidang didampingi seorang pengacara menyatakan tidak akan mengajukan eksepsi terkait dakwaan yag ditujukan padanya. Hanya, ia menegaskan dakwaan yang dibacakan JPU ada yang benar namun ada juga yang salah. Sidang ditunda dan dilanjutkan 13 September mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi.

“Mohon JPU nanti menghadirkan saksi korban untuk yang pertama,”jelas Asminah. (vj/ito).