WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Minggu, 31 Oktober 2010

PERADI Solo Peroleh Dukungan Moral

Harian Solopos, 29 Oktober 2010

Solo (Espos)–Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Solo mendapatkan dukungan moral dari Peradi pusat terkait desakan pengusutan kasus pemerasan oknum jaksa dalam beberapa waktu terakhir. Di sisi lain, Peradi Solo tetap berkomitmen membongkar kasus yang telah merugikan kliennya, terdakwa kasus Narkoba, Yokhanan.

Demikian diterangkan, Ketua Peradi Solo, Muh Taufiq kepada Espos, Jumat (29/10). Upaya nyata yang telah dilakukan Peradi menanggapi pengaduan dari keluarga Yokhanan, yakni mengirim transkip rekaman pemerasan yang dilakukan oknum jaksa ke Kejari beberapa hari lalu. Diharapkan, dari pengiriman transkip tersebut, pimpinan di Kejari Solo dapat menindaklanjuti secara arif dan bijaksana.

“Benar, upaya kami juga sudah didengar oleh Peradi pusat (Jakarta -red). Mereka, menyatakan bentuk dukungannya kepada kami. Kalau memang kasus ini tidak diungkap secara jelas, maka sudah menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum,” kata dia.

Menurutnya, selain mengirimkan transkip rekaman ke Kejari Solo, dirinya juga mengirim tembusan ke Kejagung. Hal itu dilakukan agar instansi yang ada di atas Kejari Solo dapat memonitor apa yang terjadi di suatu daerah. Dengan demikian, segera dikirim tim khusus untuk menangangi kasus dugaan pemerasan.

“Kecuali ke Satgas mafia peradilan, seluruh transkip rekaman juga sudah kami kirim ke Kejagung. Rencananya, Satgas mafia peradilan tetap kami beri transkip itu, tapi soal waktunya masih menyusul,” ulas dia.

Berdasarkan data yang dihimpun Espos, Tim Advokasi Anti Pemerasan (TKAP) menantang Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Solo, Sugeng H untuk berani mengusut kasus pemerasan yang dilakukan oknum jaksa.

Guna memudahkan langkah tersebut, tim advokasi mulai menyerahkan bukti transkip rekaman yang berisi tentang pemerasan oknum jaksa terhadap keluarga terdakwa kasus Narkoba, Yokhanan senilai Rp 30 juta. Penyerahan transkip dilakukan Selasa (26/10) dan diwakili oleh Budi Kuswanto, Badrus Zaman, dan Muh Syaifudin. Diharapkan, dari pengiriman transkip itu, Kajari Solo (Sugeng H) dapat meyakini bahwa tudingan tim adkovat benar adanya.
Selanjutnya, Kajari mengambil sikap tegas kepada oknum jaksa yang bersangkutan.
“Dalam transkip itu sangat jelas disebutkan, bahwa ada oknum jaksa memeras keluarga Yokhanan meminta uang senilai Rp 30 juta sebagai ‘uang pelicin’. Hal ini tidak dapat dibenarkan dan harus diusut secara total,” kata Budi Kuswanto.

Selasa, 26 Oktober 2010

TKap serahkan transkrip rekaman pemerasan jaksa

Harian Solopos, Selasa, 26 Oktober 2010 , Hal.8
Solo (Espos) Tim Advokasi Anti Pemerasan (TKap) mendatangi gedung Kejaksaan Negeri (Kejari) Solo, Selasa (26/10) pukul 14.00 WIB.

Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut keadilan terkait kasus pemerasan oleh oknum jaksa terhadap terdakwa kasus Narkoba, Yokhanan. Ketua Tkap Peradi, Budi Kuswanto, kepada Espos, Senin (25/10), berharap kedatangannya dapat diterima dengan baik oleh pihak Kejari. Pada saat yang bersamaan, dirinya bakal menyerahkan transkrip rekaman beserta bukti pendukung lainnya untuk membuktikan bahwa terdapat oknum jaksa yang berusaha memeras Yokhanan.

Terpisah, saat Espos meminta keterangan terhadap Kajari, Sugeng H dirinya sedang tidak berada di ruangan. Saat Espos meminta klarifikasi terkait penyikapan kasus dugaan pemerasan yang dilakukan oknum jaksa tersebut via layanan pesan singkat (SMS), dirinya tidak menjawab. - Oleh : pso

Dugaan Pemerasan


Harian Solopos, 16 Oktober 2010
JIBI/SOLOPOS/Agoes Rudianto

DUGAAN PEMERASAN-Ketua Tim Advokasi Anti Pemerasan Perhimpunan Advokasi Indonesia (Tkap Peradi) Solo, Budi Kuswanto (kanan) bersalaman dengan Kasi Pidum, Pardiono saat mendatangi Kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Solo, Jumat (15/10). Mereka mengadukan kasus dugaan percobaan pemerasan yang dilakukan oknum jaksa dalam perkara Nomor 70/Pidsus/2010/PNSK, kasus kepemilikan Narkoba dengan terdakwa Yokhanan Sabar Riyanto.

Law Firm M Taufiq selenggarakan diskusi sepak bola

, 22 Oktober 2010

Solo (Espos)–Law Firm M Taufiq & Partners bekerjasama dengan PT PLN Solo akan menyelenggarakan diskusi sepak bola dengan tema “Sepak Bola Indonesia: Miskin Prestasi atau Naturalisasi”, Jumat (22/10) pukul 13.00-15.00 WIB, di Meeting Room Gedung PT PLN Solo Jl Slamet Riyadi No 468 Solo.

Acara itu diadakan dalam rangka berpartisipasi untuk meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia.

Managing Partner Law Firm M Taufiq & Partners menuturkan ada tiga orang yang rencananya menjadi pembicara pada diskusi tersebut.

Taufiq selaku Ketua Persatuan Sepak bola Peradi Solo akan menyampaikan topik Terobosan hukum proses naturalisasi pemain asing di Indonesia.

“Hadir juga sebagai pembicara Dosen Pendidikan Kewarganegaraan FKIP UNS Solo Triyanto SH MHum dengan topik kendala yuridis proses naturalisasi pemain asing di Indonesia. Selain itu, Pelatih Persis Junior, Chaidir Ramly yang menyampaikan tentang urgensi naturalisasi pemain asing untuk meningkatkan prestasi sepak bola Indonesia, ” terang Taufiq pada rilis yang diterima Espos, Rabu (20/10).

Sepakbola Masih Miskin Prestasi

Harian Joglosemar, Sabtu, 23/10/2010 09:00 WIB - Arifin

Perkembangan Sepakbola Indonesia saat ini sangat ironis lantaran prestasinya yang semakin menurun. Banyaknya perhelatan Sepakbola akbar di Tanah Air tak mampu menciptakan pertandingan yang berkualitas. Sebaliknya, sejumlah pertandingan justru sering diwarnai dengan aksi kerusuhan dan masalah intern klub.
Keadaan ini membuat sejumlah pengamat dan pemerhati sepakbola Indonesia, khususnya Kota Solo ikut angkat bicara untuk mengkritisi hal tersebut. Dilihat dari kondisi Timnas Indonesia, ada beberapa kesimpulan mengenai penyebab kegagalan prestasi tersebut. Antara lain, para pemain, perangkat pertandingan dan PSSI Pusat yang kurang mampu menjaga kedisiplinan.
“Ketidakdisiplinan itu sering terjadi seperti penetapan jadwal pertandingan dan tim yang berubah-ubah, penetapan divisi-divisi untuk Liga Indonesia yang tidak dapat dipastikan. Dari hal itu semakin menunjukkan kinerja PSSI yang tidak profesional,” ujar Chaidir Ramli, salah seorang Pembina Sekolah Sepakbola Solo, Jumat (22/10).
Selain itu, para pemain timnas memiliki karakter yang keras dan cepat puas atas prestasi kecil yang sedang diraihnya membuat pemain sulit mengembangkan kemampuannya.
Chaidir mengatakan dengan banyaknya pecinta sepakbola di Indonesia dari kalangan rakyat jelata, pengusaha, hingga elite politik seharusnya sepakbola mengalami perubahan melalui proses naturalisasi.
Ketua Persatuan Sepakbola Peradi Solo, Muhammad Taufiq bahkan menyampaikan pendapat yang hampir sama. Menurutnya, prestasi kecil yang diraih oleh timnas Indonesia sangat tidak sebanding dengan pengorbanan yang dilakukan PSSI dan pemerintahan Indonesia. Pasalnya, sepakbola Indonesia setidaknya telah menelan sebanyak 15 persen dari anggaran APBD. “Sangat ironis sekali, anggaran sebesar itu tidak diimbangi dengan hasil prestasi yang baik. Bahkan, menurut catatan FIFA menunjukkan sepakbola Indonesia menempati peringkat ke-151 sedunia. Peringkat ini masih sangat jauh dari harapan masyarakat Indonesia dan para pecinta sepakbola,” imbuh Taufiq. (Arifin)

Selasa, 19 Oktober 2010

Peradi Khawatir Kasus GLA Jadi Opera Sabun

Solo Metro, 20 Oktober 2010

KARANGANYAR-Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Surakarta Muhammad Taufiq mengkhawatirkan kasus dugaan korupsi Griya Lawu Asri (GLA) hanya akan menjadi opera sabun dan cerita tiada akhir.

Hal itu dikatakan Taufiq mengingat ada pengacara yang menjadi penasihat hukum dua terdakwa sekaligus, yakni Handoko Mulyono dan Tony ''Iwan'' Haryono.
Pengacara yang dimaksud Taufiq adalah Heru S Notonegoro. ''Hal itu tidak etis. Karena saat Handoko sebagai terdakwa, Tony menjadi saksi. Begitu juga sebaliknya,'' kata dia di PN Karanganyar, Selasa (19/10).

Selain tidak etis, dia mengatakan pengacara yang dobel itu telah melanggar pasal 172 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa seseorang yang sebelumnya sudah mendengarkan keterangan saksi, tidak boleh mendengarkan keterangan terdakwa. ''Padahal si pengacara mendampingi keduanya.''
Kode Etik Dengan kondisi semacam itu, dikhawatirkan kasus dugaan korupsi GLA hanya buih saja dan tanpa ada esensi, sehingga hanya berputar-putar. Untuk itu, Taufiq meminta jaksa untuk mengajukan keberatan atas masalah tersebut kepada majelis hakim. Sebab jika dibiarkan, nantinya bisa terjadi kondisi kasus gugur demi hukum.

Heru S Notonegoro menanggapi bahwa dirinya sebagai advokat dalam menjalankan profesi dibingkai suatu kode etik profesi. ''Saya menjadi pengacara Handoko karena Handoko yang minta. Saya jadi pengacara Tony karena Tony yang minta,'' tuturnya.

Disinggung kemungkinan dirinya mengkondisikan ending persidangan? Dia menyampaikan bahwa pengadilan tersebut merupakan lembaga peradilan yang dihormati oleh semua pihak. Heru justru mempertanyakan bagaimana dirinya bisa mengondisikan hal tersebut.

Menurut Heru, dirinya memang mengkondisikan terdakwa dan saksi yang diminta untuk memberikan keterangan supaya kliennya bisa dibebaskan. ''Kalau keberatan terhadap saya, saya memiliki organisasi profesi. Silakan diajukan,'' tegasnya.
Kasi Pidsus Kejari Bambang Tedjo Manikmoyo menolak berkomentar perihal masalah tersebut. Menurutnya, wewenang untuk mengajukan keberatan berada ditangan Kejaksaan Tinggi Jateng.

Salah satu jaksa penuntut umum (JPU) dalam kasus Handoko dan Tony yakni Faizal Banu menyatakan pihaknya akan cermat dalam penanganan tersebut. ''Kami cermati. Kami akan pelajari dengan baik. Yang jelas semua harus sesuai koridor hukum.''(H7-73)

Minggu, 17 Oktober 2010

Peradi Minta 3 Jaksa Kejari Solo Ditindak


SOLO (Suara Karya) Diduga melakukan upaya pemerasan terhadap keluarga terpidana, tim advokasi antipemerasan dari Per-himpuan Advokat Indonesia (Peradi) Cabang Solo mendatangi kantor Kejaksaan Negeri (Kejari) Solo, Jumat (15/10).

Mereka meminta kepada Kepala Kejari Solo untuk memberikan sanksi kepada tiga oknum jaksa yang diduga melakukan upaya pemerasan tersebut Menurut Ketua Tim, Budi Kuswanto, tiga oknum jaksa tersebut yang berinisial Sy, Pts, dan Bn diduga telah melakukan pemerasan terhadap keluarga Yokhanan Sabar Riyanto, terpidna kasus narkoba jenis sabu-sabu.

Ketiga oknum jaksa tersebut meminta sejumlah uang kepada keluarga terpidana sebelum agenda pembacaan putusan majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Solo. "Ketiga oknum jaksa tersebut meminta Rp 200 juta, tetapi pihak keluarga tidak menanggapinya. Lantas ketiganya menurunkan menjadi Rp 30 juta, permintaan ini pun tidak ditanggapi oleh keluarga hingga pada akhirnya putusan vonis dibacakan dengan menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara dan denda sebesar Rp 800 juta," kata Budi Kuswanto seusai bertemu dengan Kepala Seksi Pidana Umum, Pardiyono dalam pertemuan di ruang Kab-subsi Pra Penuntutan Kejari Solo untuk menyampaikan permintaan pemberian sanksi kepada tiga oknum jaksa tersebut

Vonis hakim tersebut menurut keluarga Yokhanan sangat berat dan tidak adil. Sebab dua orang terpidana dalam kasus serupa yakni Ozi dan Otorig hanya divonis masing-masing tiga dan delapan bulan penjara. Pihak keluarga telah memberikan surat kuasa kepada tim advokasi Peradi untuk menindaklanjuti kasus tersebut. "Dari analisa kami, telah terjadi upaya pemerasan atau sekurang-kurangnya ada pelanggaran etika dalam penanganan perkara serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, "jelasnya.

Pihaknya berharap agar Kepala Kejari menindaklanjuti permintaan tersebut dengan memberikan sanksi kepada ketiga oknum jaksa tersebut. Sanksi yang diberikan menurut Budi, minimal adalah sanksi administrasi. Apalagi pihaknya telah mengantongi bukti-bukti yang menguatkan adanya upaya pemerasan oleh jaksa tersebut. Sementara itu Pardiyono mengatakan pihaknya telah menerima permintaan yang diajukan Peradi Solo atas kasus tersebut. Selanjutnya hal itu akan dilaporkan kepada atasan, karena pihaknya tidak memiliki wewenang untuk memberikan tanggapan. e(Endang Kusumastuti)

Tiga Jaksa Coba Peras Keluarga Terpidana

SOLO--MICOM: Tim Advokasi Anti Pemerasan Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Cabang Solo, Jawa Tengah, meminta Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Solo menjatuhkan sanksi kepada tiga jaksa yang diduga beupaya memeras.

Permintaan tersebut disampaikan Ketua Tim Advokasi Anti Pemerasan Peradi Solo Budi Kuswanto melalui Kepala Seksi Pidana Umum Kejari Solo Pardiyono dalam pertemuan di ruang Kabsubsi Pra
Penuntutan kejaksaan setempat, Jumat (15/10).

Ketiga jaksa tersebut berinisial Sy, Prs, dan Bn. Mereka diduga mencoba meemeras keluarga Yokhanan Sabar Riyanto, terpidana kasus sabu. Ketiganya diduga meminta uang Rp200 juta
pada 15 September lalu.

Menurut Budi, Keluarga Yokhanan diminta menyerahkan uang tersebut sebelum agenda pembacaan putusan oleh Pengadilan Negeri Solo. Karena tidak ada tanggapan dari pihak keluarga, jaksa akhirnya menurunkan jumlah permintaan menjadi Rp30 juta.

Namun, pihak keluarga Yokhanan tidak juga memenuhi permintaan tersebut. Hingga akhirnya Yokhanan dijatuhi vonis empat tahun penjara dan denda Rp800 juta.

Tetapi, keluarga Yokhanan menilai hukuman itu tidak adil, karena dua terpidana lainnya dalam kasus tersebut, yakni Ozi dan Otong, hanya dijatuhi hukuman tiga dan delapan bulan penjara.
Dari analisa yang dilakukan Tim Advokasi Anti Pemerasan Peradi tim, kata Budi, terlihat jelas bahwa dalam kasus ini telah terjadi percobaan pemerasan. Sekurang-kurangnya, ada pelanggaran etika dalam penanganan perkara serta penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan.

"Harapan kami tidak terlalu lama Kepala Kejari Solo bisa menjatuhkan sanksi terhadap ketiga jaksa tersebut, minimal administrasi," tegas Budi dalam pertemuan yang juga diikuti enam pengurus Peradi Cabang Solo itu. (OL-01)

Rabu, 13 Oktober 2010

Kajari Janji Usut Kasus Jual Beli Tuntutan Peradilan

Harian Solopos, Kamis 14 Oktober 2010

Solo (Espos)–Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Solo, Sugeng Hariyanto, berjanji akan mengusut dugaan kasus jual beli tuntutan peradilan terdakwa Ossy dan Otong dan pemerasan yang diduga dilakukan oleh oknum jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Solo terhadap keluarga Yokhanan Sabar Riyanto, terdakwa kasus kepemilikan sabu-sabu yang telah divonis empat tahun penjara subsider Rp 800 juta.

Demikian disampaikan Kajari saat ditemui wartawan seusai mengikuti upacara pembukaan TNI Manunggal Membangun Desa (TMMD) 85 di Lapangan SMAN 6 Solo, Rabu (13/10).

Kajari mengaku terkejut dengan pemberitaan yang menyebutkan jaksa di tubuh Kejari diduga melakukan jual beli tuntutan dan pemerasan. Untuk mengetahui kebenarannya, Kajari akan meminta penjelasan dan klarifikasi kepada jaksa yang bersangkutan. Apabila terbukti bersalah, pihaknya akan melaporkannya ke Jaksa Muda Pengawas Kejaksaan Tinggi (Kejakti), Semarang. Karena, lanjut Kajari, yang berwenang dan memeriksa adalah Kejakti.

“Saya baru saja mendengar berita itu. Untuk mengetahui kebenarannya, saya akan memastikan dulu kepada yang bersangkutan,” jelas Kajari.

Menanggapi perubahan tuntutan atas kasus kepemilikan narkoba yang dituntut lebih ringan dari yang seharusnya, seperti yang terjadi di persidangan Ossy dan Otong, terdakwa kepemilikan sabu-sabu, Kajari menilai itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh jaksa manapun. Pasalnya, tuntutan hukuman itu sudah diatur dalam Undang-undang (UU).

Namun, imbuh Kajari, apabila ditemukan adanya perubahan tuntutan yang didasari hal tertentu, hal itu merupakan pelanggaran. Menurutnya, tuntutan hukuman yang kurang dari empat tahun dapat dilakukan apabila terdakwa terbukti hanya sebagai korban atau pengguna saja.

“Dalam kasus kepemilikan narkoba yang dikenai Pasal 112 UU Psikotropika tidak mungkin terdakwa dituntut dengan hukuman kurang dari empat tahun, karena di dalam UU itu menyebutkan minimal hukuman adalah empat tahun. Apabila memang ada kasus perubahan tuntutan itu berarti ada jaksa yang melanggar,” kata Kajari.

Kendati demikian, Kajari mengaku belum mempelajari fakta-fakta persidangan atas terdakwa Ossy, Otong dan Yokhanan Sabar Riyanto, apakah ada kejanggalan atau tidak, sehingga ia tidak dapat memberikan konfirmasi lebih rinci.

Seperti yang telah diberitakan, kasus jual beli tuntutan dan pemerasan yang dilakukan oknum jaksa mencuat menyusul adanya aduan keluarga Yokhanan ke Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) Solo, Selasa (12/10) lalu.

Keluarga Yokhanan yang diwakili Dwi Nugroho mengadukan bahwa Yokhanan telah diperlakukan tidak adil dalam tuntutan di persidangan kasus kepemilikan sabu-sabu yang dihadapinya.

Yokhanan telah di vonis dengan hukuman empat tahun penjara subsider Rp 800 juta, padahal Yokhanan terbukti hanya sebagai pengguna saja. Sedangkan, terdakwa lain yang ditangkap bersama Yokhanan atas kasus yang sama, Ossy dan Otong, yang terbukti sebagai pengedar dan penyuplai, masing-masing hanya divonis tiga bulan penjara dan delapan bulan penjara.

Selain itu, keluarga Yokhanan juga mengadukan pemerasan jaksa terhadap keluarga Yokhanan yang meminta keluarga membayar uang Rp 200 juta agar jaksa dapat merubah tuntutan menjadi lebih ringan.

Mengaku Diperas Jaksa, Orangtua Mengadu ke PERADI

13/10/2010
Liputan6.com, Solo: Subroto Atmo Sumitro dan Sri Sunaryati, orangtua terdakwa kasus kepemilikan shabu, Yokhanan Sabar Riyanto, mengadu ke Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) cabang Solo, Jawa Tengah, Rabu (13/10). Warga Kartasura, Sukoharjo itu tak terima anaknya dituntut hukuman lebih berat dari pengedar dan pemasok shabu.

Pengadilan Negeri Solo memvonis hukuman empat tahun satu bulan penjara plus denda sebesar Rp 800 juta kepada Yokhanan. Sementara Ozi sebagai pemasok divonis hukuman tiga bulan penjara. Sedangkan Otong dijatuhi delapan bulan penjara. Ketiganya ditangkap saat sedang bertransaksi shabu, pertengahan tahun silam.

Orangtua Yokhanan menduga, vonis tersebut karena keluarga tak mau memberikan uang sebesar Rp 200 juta seperti yang diminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) berinisial PRS. Sebelumnya permintaan itu disampaikan JPU agar dipenuhi sebelum penetapan agenda putusan pengadilan, 15 September silam. Karena merasa berat, jaksa sempat menurunkan harga untuk memperingan hukuman hingga Rp 30 juta. Namun karena tak mempunyai cukup uang, keluarga tak bisa memenuhinya.

Sebagai bukti, keluarga Yokhanan menyertakan sebuah rekaman pembicaraan keluarga dan PRS berisi permintaan itu.

Menyusul pengaduan ini, PERADI cabang Solo akan segera membentuk tim khusus. Ketua PERADI cabang Solo Muhammad Taufiq mengatakan akan melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung. Keluarga berharap kasus mafia peradilan ini bisa segera dibongkar.(AIS)

Ubah Pasal, Jaksa Minta Rp 200 Jt

Harian Joglosemar, Rabu, 13/10/2010 09:00 WIB

SOLO—Oknum jaksa Kejaksaan Negeri Surakarta, berinisial SY, diadukan orangtua terdakwa kasus kepemilikan narkotika golongan I bukan tanaman, Yokhanan Sabar Riyanto alias Nanto (31), ke Peradi, Selasa (12/10). Orangtua Yokhanan, Subroto Atmo Sumito (81), mengaku pernah dimintai uang sebesar Rp 200 juta oleh oknum jaksa untuk mengubah pasal yang didakwakan.
Subroto mendatangi kantor M Taufik yang merupakan Ketua Peradi Solo bersama istrinya Sri Sumartini dan pendampingnya Dwi Nugroho, Selasa (12/10). Dwi mengaku jika keluarga selama proses pemeriksaan dan persidangan telah dimintai uang oleh oknum jaksa sebesar Rp 30 juta.
Menurutnya, dalam proses pelimpahan berkas dari kepolisian ke kejaksaan pihak keluarga pernah diminta untuk menyerahkan uang sebesar Rp 200 juta untuk mengubah pasal yang dikenakan agar lebih ringan. Namun karena ditolak kemudian diturunkan menjadi Rp 100 juta. “Terakhir saya ketemu SY di PN setelah sidang pledoi. Di sana dia meminta uang sebesar Rp 30 juta dan memberi batas sampai tanggal 15 September sebelum vonis,” ungkap Dwi kepada Joglosemar.
Vonis, lanjutnya, berdasarkan putusan dibuat tanggal 16 September dan dibacakan tanggal 23 September. Namun karena permintaan tersebut tidak dipenuhi, Yokhanan dijatuhi hukuman selama 4 tahun 1 bulan penjara.
Keluarganya menilai vonis bagi Yokhanan sangat tidak adil hanya karena tidak mampu membayar. Dua teman Yokhanan, Ossy dan Otong yang juga terlibat kasus yang sama hanya dijatuhi vonis selama 3 bulan dan 8 bulan. “Ossy yang pengedar katanya bayar Rp 25 juta dan punya keluarga di kejaksaan, sedangkan Otong yang penyuplai kabarnya membayar antara Rp 75 juta -Rp 100 juta,” jelas Dwi.

Hal inilah, menurutnya tidak adil, Yokhanan yang hanya sebagai pengguna malah dijatuhi hukuman lebih berat dibanding pengedar dan penyuplai. “Anak saya memang salah, tapi jika jaksa meminta uang untuk mengubah pasal, itu yang tidak dibenarkan,” kata Subroto, Selasa (12/10).
Menurut dia, Yokhanan dikenakan Pasal 112, 114 dan 131 UU Narkotika. Sedangkan menurut Dwi, kedua orang yang mau membayar seperti Ossy dan Otong, pasalnya diubah dan hanya dikenai Pasal 127 UU yang sama sehingga menjadi lebih ringan.
Menanggapi pengaduan, M Taufik mengatakan akan membentuk tim untuk menyelesaikan kasus ini. Nantinya, satu tim bertugas untuk mendampingi Yokhanan mengajukan banding ke PT Semarang. Kemudian, satu tim lagi akan mengurusi pemerasan yang dilakukan oknum jaksa ini. “Faktanya mafia peradilan masih terjadi dan harus diberantas. Di sini berarti telah terjadi disparitas dan hukum tidak dimenangkan oleh benar dan salah, tapi oleh menang kalah dengan uang,” tegas Taufik.
Taufik mengaku akan mengadukan kasus ini ke pihak Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta.
Terpisah, Kajari Sugeng Haryono saat dihubungi Joglosemar mengatakan tidak tahu menahu soal adanya anak buahnya yang meminta uang. Menurut dia, sejauh ini belum ada laporan yang masuk. (riz)

Bayar Rp 30 Juta, Dijanjikan Vonis Ringan

  • Dugaan Mafia Peradilan di Pengadilan Solo

Suara Merdeka,12 Oktober 2010

Solo, CyberNews. Mafia peradilan disinyalir terjadi dalam proses hukum di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta. Mafia peradilan diyakini justru dari oknum institusi penegak hukum.

Mafia peradilan tersebut dibuktikan dengan hasil rekaman terkait soal jual-beli perkara yang terekam pada awal September 2010.

Dalam transkrip rekaman antara Dwi Nugroho (40), salah satu keluarga terdakwa Yokhanan Sabaryanto dengan jaksa penuntut umum (JPU) Kejari Surakarta berinisial Sym membuktikan, apabila keluarga terdakwa menyediakan uang sekitar Rp 30 juta, maka hukuman bagi Yokhanan alias Nanto (31) warga Ngabeyan, Kartasura dapat diperingan.

Isi rekaman dimulai dengan saling memberikan nomor telepon antara Dwi Nugroho dengan Jaksa Sym. Tak lama kemudian, transkrip itu menyinggung soal nominal uang atas permintaan jaksa Sym kepada Dwi Nugroho. Uang sebanyak Rp 30 juta yang diminta oleh jaksa Sym untuk diserahkan sebelum tanggal 15 September atau sebelum putusan perkara dibacakan.

Jaksa Sym menjanjikan akan merubah tuntutan bagi terdakwa yang semula empat tahun enam bulan, menjadi lebih ringan pada sidang berikutnya.

Bukti rekaman itu oleh Dwi Nugroho diputar ulang dan diperdengarkan kepada sejumlah wartawan di Kantor Peradi Surakarta, Mangkuyudan, Laweyan, Solo, Selasa (12/10) sore.

Namun berhubung keluarga Yokhanan tidak dapat menyediakan uang seperti yang diminta jaksa, hukuman Yokhanan sebagai terdakwa pengguna sabu-sabu (SS) tetap berat. Sebab berdasar putusan majelis hakim yang dipimpin M Sukri SH di Pengadilan Negeri (PN) Surakarta, pada Kamis (23/9) lalu, Yokhanan divonis 4 tahun penjara, denda Rp 800 juta subsider satu bulan kurungan.

Sinyalemen bahwa mafia peradilan sudah berlangsung sebelumnya. Sebab dua terdakwa lainnya yakni Otong (27) selaku pengedar SS dan Rogatianus alias Ozi (31) yang menjadi pemasok SS yang disinyalir memberikan uang kepada jaksa, hanya divonis ringan.

Berdasar putusan majelis hakim, Otong yang dikabarkan memberikan uang kepada jaksa kurang lebih Rp 25 juta, hanya divonis delapan bulan, yang semula dituntut jaksa satu tahun tiga bulan.

Adapun Rogatianus alias Ozi yang dikabarkan memberikan uang kepada jaksa berinisial Prs sekitar Rp 100 juta, divonis majelis hakim tiga bulan. Dugaan penyuapan kepada jaksa berinisial Prs itu dikemukakan Dwi Nugroho saat menyampaikan perkara tersebut kepada sejumlah wartawan baik media cetak, elektronik dan radio, petang tadi.

Dwi Nugroho bersama kedua orang tua Yokhanan yakni Subroto Atmo Sumitro (80) dan Sri Sunaryati (72) datang ke Kantor Peradi bermaksud untuk meminta perlindungan hukum. Mereka ditemui oleh Ketua Peradi Surakarta Muhammad Taufiq SH MH.

Pada kesempatan itu, Taufiq menandaskan, bahwa kasus mafia peradilan tersebut harus dibongkar. "Selain adanya perbedaan perlakuan hukum atau disparitas hukum terhadap ketiga terdakwa, adanya dugaan pemerasan yang dilakukan jaksa terhadap keluarga terdakwa," tegasnya.

Kasus pemerasan ini, lanjut dia, tentunya akan dilaporkan ke Kejaksaan Agung (Kejagung). ''Sedang dugaan mafia peradilan, juga akan kami akan tindaklanjuti dengan membentuk tim khusus,'' paparnya.

PENGUMUMAN PERADI TENTANG VERIFIKASI/DATA ULANG ADVOKAT DAN PENYELESAIAN MASALAH CALON ADVOKAT KONGRES ADVOKAT INDONESIA (“KAI”)



PENGUMUMAN

Menindaklanjuti Pengumuman PERADI tentang Verifikasi/Data Ulang Advokat dan Penyelesaian Masalah Calon Advokat Kongres Advokat Indonesia (“KAI”) di Harian Umum KOMPAS edisi Rabu, tanggal 22 September 2010, dengan ini diumumkan bahwa PERADI telah mengambil kebijakan untuk menyelesaikan persoalan calon Advokat KAI (selanjutnya disebut “Calon Advokat”) sebagaimana tersebut dalam Pengumuman dimaksud dengan ketentuan sebagai berikut:

I. Ketentuan-ketentuan

1. Kebijakan PERADI tersebut di atas hanya berlaku satu kali saja (einmalig); dan

2. Hanya berlaku bagi calon advokat KAI yang sudah terdaftar di KAI per tanggal 24 Juli 2010.

II. Verifikasi Calon Advokat

Syarat-syarat dan tata cara pendaftaran:

1. Pendaftaran dilakukan di alamat kantor Dewan Pimpinan Cabang (“DPC”) PERADI sesuai dengan domisili hukum calon advokat (alamat DPC terlampir);

2. Dalam hal di kota/kabupaten calon Advokat belum terdapat DPC PERADI, pendaftaran dapat dilakukan di kantor DPC PERADI terdekat atau termudah untuk dicapai oleh calon advokat;

3. Jangka waktu pendaftaran untuk verifikasi adalah 1 (satu) bulan dan dimulai pada tanggal 20 Oktober 2010 s/d. 19 November 2010 pada hari dan jam kerja;

4. Membayar biaya sebesar Rp. 450.000 (empat ratus lima puluh ribu Rupiah) melalui setoran ke rekening:

Bank : Bank Central Asia KCP Mangga Dua

No. Rekening : 335.3024848

Atas nama : Perhimpunan Advokat Indonesia

dengan mencantumkan nama lengkap dan kota pada kolom berita/keterangan di slip setoran.

5. Mengisi Formulir Pendaftaran yang dapat diperoleh di kantor Sekretariat DPC PERADI setempat atau diunduh (download) di situs www.peradi.or.id

6. Menyerahkan Formulir Pendaftaran dalam 2 (dua) rangkap ke kantor DPC PERADI sesuai dengan domisili masing-masing dengan melampirkan dokumen-dokumen sebagai berikut:

a. Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih berlaku;

b. Fotokopi ijazah sarjana strata satu (S1) berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum yang dilegalisir oleh perguruan tinggi yang mengeluarkan;

c. Pas photo berwarna ukuran 3 x 4 sebanyak 3 (tiga) lembar;

d. Fotokopi sertifikat Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan oleh PERADI. Bagi calon Advokat yang belum mengikuti PKPA PERADI, membuat dan menandatangani surat pernyataan bersedia mengikuti PKPA khusus yang dilaksanakan PERADI;

e. Surat pernyataan (i) tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), anggota TNI atau Kepolisian RI atau pejabat Negara, dan (ii) tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (tahun) atau lebih;

f. Surat Keterangan telah menjalani magang selama 2 (dua) tahun yang dibuat dan ditandatangani advokat yang telah berpraktek 5 (lima) tahun atau lebih; dan

g. Fotokopi bukti setor biaya pendaftaran Rp. 450.000.- (empat ratus lima puluh ribu Rupiah).

h. Fotokopi kartu tanda pengenal yang diterbitkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Kongres Advokat Indonesia (DPP KAI), dengan menunjukan aslinya;

7. Setelah diterimanya formulir pendaftaran berikut lampiran persyaratan tersebut di butir (6) dan selama proses verifikasi berlangsung, DPN PERADI akan menerbitkan Tanda Pengenal Sementara Advokat (TPSA) dengan masa berlaku selama 1 (satu) tahun.

8. Calon Advokat yang dinyatakan memenuhi syarat tersebut dalam butir (6), berhak untuk mengikuti “UJIAN KHUSUS” yang akan diselenggarakan oleh PERADI.

9. Calon Advokat yang dinyatakan memenuhi persyaratan tersebut pada butir 8 di atas, akan diangkat sebagai Advokat dan diusulkan ke Pengadilan Tinggi untuk diambil sumpah atau janji.

III. Data Ulang Advokat

Bagi para advokat yang sudah terdaftar di dalam Buku Daftar Anggota PERADI tetapi belum melakukan pendaftaran ulang, dapat melakukan pendaftaran ulang untuk memperpanjang Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) PERADI yang telah habis masa berlakunya, dengan mengisi Formulir Data Ulang Advokat dengan syarat yang dapat diunduh di www.peradi.or.id.

Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Sekretariat Nasional PERADI di gedung Grand Soho Slipi, Lantai 11, Jalan S. Parman Kav. 22-24, Jakarta Barat 11480, Telepon (021) 259-45192. - 95.

Jakarta, 13 Oktober 2010

Perhimpunan Advokat Indonesia

Ttd. Ttd.

Dr. Otto Hasibuan, S.H., M.M. Hasanuddin Nasution, S.H.

Ketua Umum Sekretaris Jenderal

Selasa, 12 Oktober 2010

Keluarga Yokhanan mengadu ke Peradi

Harian Solopos, 13 Oktober 2010

Solo (Espos)--Keluarga Yokhanan Sabar Riyanto alias Nanto, terdakwa kasus penyalahgunaan narkoba yang divonis empat tahun subsider Rp 800 juta, mengadu ke Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Cabang Solo, Selasa (12/10).

Pengaduan itu atas perbedaan perlakuan hukum yang dikenakan kepada Yokhanan dan pemerasan yang dilakukan pihak jaksa penuntut umum (JPU) terhadap keluarga Yokhanan.

Keluarga Yokhanan yang diwakili Dwi Nugroho, di kantor Peradi Solo, kepada wartawan mengungkapkan, keluarga Yokhanan tidak terima dengan putusan Pengadilan Negeri Solo yang dibacakan Kamis (23/9) lalu, yang memvonis terdakwa dengan hukuman empat tahun subsider Rp 800 juta tersebut.

Padahal, dua orang lainnya, Ossy dan Otong, terdakwa lain atas kasus yang sama, terbukti sebagai pengedar dan penyuplai justru dikenai hukuman lebih ringan, yakni masing-masing divonis tiga bulan dan delapan bulan.

“Ini jelas tidak adil. Yokhanan yang hanya sebagai pengguna justru divonis berat, sedangkan pengedarnya divonis ringan. Selain itu, Yokhanan di dalam persidangan tidak dikenai pasal sebagai pengguna Narkoba melainkan dikenai dengan pasal pengedar, yakni Pasal 112 dan Pasal 114 UU Psikotropika, serta Pasal 131 UU Narkotika. Padahal, dengan jelas ada surat keterangan dari dokter bahwa Yokhanan harus menjalani rehabilitasi. Tapi fakta-fakta itu tidak dihiraukan. Pasti ada permainan,” jelas Dwi.