WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Senin, 22 Februari 2010

Likuidasi Polwil dan revitalisasi tugas polisi

Oleh : Muhammad Taufiq*

Rencana Likuidasi Polwil(Kepolisian Wilayah) di seluruh Indonesia termasuk eks Karesidenan Surakarta bagian yang tidak terpisahkan dari kebijakan Kapolri yang tertuang dalam Skep Kapolri No.15 tanggal 31 Desember 2009. Likuidasi ini ditarget selesai hingga akhir Februari 2010. Proses likuidasi secara teknis mudah dilakukan namun tidak mudah terkait sumber daya manusianya.Sebab persiapan likuidasi tidak hanya sekedar pembubaran organ Polwil yang tidak lagi pemegang komando Polres( Kepolisian Resort) dalam penganan perkara seperti selama ini. Likuidasi setidaknya mencakup pula hal-hal sebagai berikut seperti : pelimpahan perkara dari Polwil ke Polres terdekat,pengelolaan dan pengalihan asset, penataan sumber daya manusia termasuk rolling perwiranya dan yang paling penting merubah behavior hingga tidak ada lagi falsafah 86( tahu sama tahu) dalam setiap penanganan perkara. Jika bicara likuidasi dan mengaitkan dengan sebutan penegak hukum. Maka pintu pertama yang harus dilalui memang lembaga kepolisian. Sebab kepolisian di manapun, lebih-lebih di negara yang hukum belum menjadi panglima, keterlibatan polisi begitu penting. Karena semua aspek melibatkan polisi. Maka wajar kita bertanya out put keadilan apa yang akan diperoleh masyarakat pasca likuidasi Polwil ini?

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengkernyitkan dahi membaca statemen ini. Namun jika mencermati undang-undang Kepolisian baik yang lama (UU No.13 tahun 1961) lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.

Dalam sistem hukum nasional kita ,ketika berbicara soal penegakkan hukum. Korp polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut. Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara , bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya, tetapi baru di tangan polisi janji tersebut menjadi sebuah peristiwa nyata. Polisi yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu semua wewenang polisi. Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara.

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku di sini dan oleh karena itu disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir. Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut di atas( Satjipto Rahardjo: 1997) . Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan “ kreatifitas pribadi “ begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.

Dalam system hukum pidana kita polisi berada pada garda terdepan. Artinya apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Artinya likuidasi Polwil ini tidak akan memiliki arti apapun jika tidak mampu menyentuh perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti 86 dan mafia hukum.

Revitalisasi polisi
Pertanyaan selanjutnya bagaimana peran yang demikian ini diperbaiki untuk proses penegakkan hukum yang lebih baik ? Keinginan mereposisi dan merevitalisasi polisi sesungguhnya sudah berlangsung dari waktu ke waktu . Dan jika dirunut sama tuanya dengan usia negara ini. Pada masa Kerajaan Majapahit, patih Gajah Mada untuk melindungi keselamatan raja dan kerajaan membentuk pasukan yang diberi nama Bhayangkara. Pada masa pendudukan Belanda dibentuk Corps Politiedenaar.. Begitu pula di masa pendudukan Jepang, polisi dan kejaksaan dijadikan satu di bawah induk Organisasi Departemen Kehakiman. Pada pra kemerdekaan PPKI( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) menempatkan polisi dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nama Jawatan Kepolisian. Presiden Soekarno dengan Maklumat Pemerintah No.11/SD/1946 tanggal 25 Juni 1946 menyatakan bahwa Kepolisian tidak lagi berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri,tetapi sesuai corak pemerintahan saat itu polisi langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri. Dengan Keppres Nomor.290 tahun 1946 polisi memasuki fase luar biasa. Kesatuan polisi yang kala itu bernama AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) dimasukkan ke dalam ABRI sebagai angkatan keempat(buku pintar calon/anggota polisi:5,2009). Polisi saat itu benar-benar tidak mandiri,karena polisi selalu disebut anak bungsu dalam tubuh ABRI. Di masa Pemerintahan BJ Habibie tepatnya tanggal 1 April 1999 polisi direposisi sepenuhnya menjadi orang sipil dengan maksud polisi lebih professional dan sejajar dengan polisi di negara beradab lainnya. Namun keinginan tersebut tidak sejalan dengan idealisme yang tumbuh dan berkembang di kalangan internal polisi sendiri. Wewenang luar biasa dalam tertib sipil menjadikan polisi sebagai pemain tunggal dalam proses pemidanaan menurut konsep ketatanegaraan kita. Kemandirian polisi menjadikan institusi itu tertutup dan seolah bekerja sendiri. Polisi yang modern mestinya tidak hanya sekedar harus berpendidikan S1 dan S2 . Melainkan ia mampu mengelola tanggung jawab keamanan dalam negeri dalam bentuk memberikan rasa aman pada negara, harta benda masyarakat dari tindakan kriminal dan melindungi masyarakat dari bencana alam. Tuntutan reposisi dan revitalisasi hendaknya bukan dianggap sebagai ancaman eksistensi polisi. Di masa SBY polisi memperoleh keleluasaan luar biasa baik anggaran dan terutama peran. Dalam sejarah BIN ( Badan Intelejen Negara ) baru kali ini seorang Purnawirawan Polisi( Jend.Sutanto) menduduki pos tersebut, karena memang job itu lebih cocok untuk tentara. Paradigma polisi mesti diluruskan bukan sebagai alat penguasa melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kegagalan di masa lalu yang menjadikan polisi sebagai alat penguasa janganlah terulang. Reposisi dan revitalisasi tugas polisi termasuk pembubaran Polwil ini haruslah dijawab dengan perilaku dan tampilan sebagai pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat. Sehingga fungsi penegak hukum yang bersumber pada kepentingan penguasa atau alat kontrol negara kepada masyarakat berubah menjadi penegak keadilan. Jika demikian likuidasi ini harus dijawab bahwa polisi juga humanis dan beradab. Artinya dalam proses penanganan perkara tidak serta merta menjadikan tersangka itu harus menghuni penjara. Terori cost and benefit harus digunakan sebagai ilmu dalam penyidikan, sehingga istilah delapan enam sudah tidak dipakai lagi,melainkan manfaat bagi Negara dalam setiap penangana perkara pidana . Jika semangat itu dimiliki niscaya peradilan sesat seperti dalam kasus Imam Hambali di Jombang dan Minah di Purwokerto dan kasus-kasus lain di penjuru tanah air bisa dieliminir.

Surakarta,08 Februari 2010
* Muhammad Taufiq, SH MH , Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH – UNS hp: 081 22 96 1011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar