WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Selasa, 09 Maret 2010

Mafia hukum dan revitalisasi tugas polisi )*

Oleh : Muhammad Taufiq**

Seperti biasanya SBY melontarkan ide segar yang sebenarnya mubazir. Baru – baru ini ada gagasan bergulir tentang perlunya Satgas Mafia Hukum. Satgas ini harus berkoordinasi dengan penegak hukum. Jika bicara dengan menyebut penegak hukum. Maka pintu pertama yang harus dilalui adalah lembaga kepolisian. Sebab kepolisian di manapun, lebih-lebih di negara yang hukum belum menjadi panglima, keterlibatan polisi begitu penting. Karena semua aspek melibatkan polisi.

Polisi adalah super power, mungkin banyak yang tidak setuju dan mengkernyitkan dahi membaca awal tulisan ini. Namun jika mencermati undang-undang Kepolisian baik yang lama (UU No.13 tahun 1961) lebih-lebih yang baru ( UU No.2 tahun 2002 ) orang akan mempercayainya). Mengapa ? Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat Negara penegak hukum yang terutama bertugas memelihara kemanan dalam negeri. Secara rinci dapat dibaca pada pengertian umum tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Yakni alat negara yang berperan memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,menegakkan hukum, memberikan perlindungan ,pengayoman,dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Begitu luas dan mungkin tak terbatas cakupan wewenang polisi.

Dalam sistem hukum nasional kita ,ketika berbicara soal penegakkan hukum. Korp polisi juga menempati suatu kedudukan sangat istimewa, bukan karena dibikin istimewa, melainkan karena peranan yang dijalankannya dalam penegakkan hukum tersebut. Menurut Sacipto Rahardjo(177: 1988) kalau hukum sebagaimana dituliskan dalam peraturan itu disebut sebagai hukum yang “tidur”, maka polisi itu hukum yang hidup. Peraturan apapun bentuknya sejatinya hanya memuat janji-janji bahwa ia akan melindungi warga negara , bahwa ia akan menghukum orang yang berbuat kejahatan dan sebagainya, tetapi baru di tangan polisilah janji tersebut menjadi kenyataan. Polisilah yang akan menentukan siapa orang yang harus dilindungi dan siapa yang ditindak atau ditangkap, bagaimana perlindungan itu akan diberikan, seberapa besar dan sebagainya itu semua wewenang polisi. Jadi dalam satu perkara yang sama bisa saja mendapat perlakuan berbeda. Dalam kondisi ini polisi seringkali membuat standar ganda dalam penanganan perkara. Oleh karena itu bisa dipahami mengapa Polisi dalam satu perkara menahan tersangka sementara dalam perkara yang lain tidak dikenakan tindakan apa-apa. Bisa dilihat perbandingan kasus Bibit Samad Riyanto dan Candra M Hamzah dengan kasus Anggodo Widjojo. Tekanan apapun untuk meminta menahan Anggodo tidak membuat polisi bergeming.

Berkenaan dengan karakteristik pekerjaan penegakan hukum yang demikian itu, maka pekerjaan polisi bisa dilihat sebagai suatu pekerjaan berkualitas ganda, malah majemuk. Batasan dalam aturan birokratis kadang tidak berlaku disini dan oleh karena itulah disebut berkualitas majemuk dan multi tafsir. Dalam keseharian polisi memiliki fungsi sebagai juru tafsir dan transformator hukum, seperti dalam contoh menghidupkan hukum tersebut di atas . Hukum tertulis yang semula bersifat umum dan abstrak itu, di tangan polisi memperoleh bentuknya yang nyata, artinya apa yang dikehendaki oleh hukum menjadi kenyataan. Meski seringkali berbeda antara apa yang dibuat legislator dan yang dikerjakan oleh polisi. Transformasi tersebut dilakukan oleh polisi dengan cara menghubungkan rumusan hukum yang umum dan abstrak itu dengan kenyataan. Ini sebuah proses yang tidak sederhana, dalam arti peran dan kreativitas pribadi begitu menonjol. Di sini proses interaksi atau pertukaran antara hukum dengan kenyataan berlangsung dengan kuat sekali sehingga seringkali muncul improvisasi atau “ kreatifitas “ polisi yang berlebihan dalam menangani suatu perkara.

Penulis asing Jerome H. Skolnick (178:1988), memakai istilah “justice without trial” untuk menjelaskan pekerjaan polisi yang bersifat ganda tersebut. Dengan ungkapan doing justice tersebut ia hendak menyatakan bahwa dalam proses pertukaran yang intensif dengan kenyataan sehari-hari , polisi tidak hanya menjalankan pekerjaan kepolisian saja melainkan pada hakekatnya merupakan pekerjaan mengadili dan menjatuhkan keputusan. Dalam kasus yang dihadapi oleh polisi ketika aturan hukum dalam KUHAP tidak ditemukan atau memang tidak diatur , kita menjumpai peristiwa yang demikian itu. Bahkan tidak hanya mengadili, melainkan juga membuat peraturannya sekaligus. Sebagai contoh kasus adalah dibuatnya ketentuan wajib lapor. Meski banyak ahli hukum menentang terutama advokat,mereka tidak berani menyarankan kliennya untuk tidak datang dalam wajib lapor. Sebab meski KUHAP tidak mengatur, jika seorang tersangka tidak datang dan tidak melakukan wajib lapor seringkali ia ditahan .

Penerapan pemikiran sistemik dalam penyelenggaraan hukum pidana menempatkan polisi pada kedudukan pos terdepan yang berfungsi sebagai pintu masuk ke dalam proses penyelenggaraan hukum pidana atau proses peradilan pidana tersebut. Apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh polisi akan mempengaruhi keseluruhan kerja sistem. Artinya ketika seseorang berurusan dengan hukum pidana nasibnya ditentukan oleh pekerjaan polisi. Kerja polisi yang keras akan menghasilkan perkara ke pengadilan begitu pula sebaliknya jika polisi tidak bekerja keras tidak akan ada perkara ke pengadilan. Artinya perbaikan kinerja penegak hukum termasuk ekses yang timbul seperti mafia hukum. Yang pertama sekali dibenahi adalah polisinya.

Revitalisasi polisi
Pertanyaan selanjutnya bagaimana peran yang demikian ini dibatasi untuk proses penegakkan hukum yang lebih baik ? Keinginan mereposisi dan merevitalisasi polisi sesungguhnya sudah berlangsung dari waktu ke waktu . Dan jika dirunut sama tuanya dengan usia negara ini. Pada masa Kerajaan Majapahit, patih Gajah Mada untuk melindungi keselamatan raja dan kerajaan membentuk pasukan yang diberi nama Bhayangkara. Pada masa pendudukan Belanda dibentuk Corps Politiedenaar. Pembentukan ini bertujuan melindungi pemerintah pendudukan dari ancaman orang-orang pribumi. Begitu pula di masa pendudukan Jepang, polisi dan kejaksaan dijadikan satu di bawah induk Organisasi Departemen Kehakiman. Pada pra kemerdekaan PPKI( Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia ) menempatkan polisi dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri dengan nama Jawatan Kepolisian. Presiden Soekarno dengan Maklumat Pemerintah No.11/SD/1946 tanggal 25 Juni 1946 menyatakan bahwa Kepolisian tidak lagi berada dalam lingkungan Departemen Dalam Negeri,tetapi sesuai corak pemerintahan saat itu polisi langsung bertanggung jawab kepada perdana menteri. Dengan Keppres Nomor.290 tahun 1946 polisi memasuki fase luar biasa. Kesatuan polisi yang kala itu bernama AKRI (Angkatan Kepolisian Republik Indonesia) dimasukkan ke dalam ABRI sebagai angkatan keempat(buku pintar calon/anggota polisi:5,2009). Polisi saat itu benar-benar tidak mandiri,karena polisi selalu disebut anak bungsu dalam tubuh ABRI. Di masa Pemerintahan BJ Habibie tepatnya tanggal 1 April 1999 polisi direposisi sepenuhnya menjadi orang sipil dengan maksud polisi lebih professional dan sejajar dengan polisi di negara beradab lainnya. Namun keinginan tersebut tidak sejalan dengan idealisme yang tumbuh dan berkembang di kalangan internal polisi sendiri. Wewenang luar biasa dalam tertib sipil menjadikan polisi sebagai pemain tunggal dalam proses pemidanaan menurut konsep ketatanegaraan kita. Kemandirian polisi menjadikan institusi itu tertutup dan seolah bekerja sendiri. Polisi yang modern mestinya tidak hanya sekedar harus bependidikan S1 dan S2 . Melainkan ia mampu mengelola tanggung jawab keamanan dalam negeri dalam bentuk memberikan rasa aman pada negara, harta benda masyarakat dari tindakan kriminal dan melindungi masyarakat dari bencana alam. Tuntutan reposisi dan revitalisasi hendaknya bukan dianggap sebagai ancaman eksistensi polisi. Di masa SBY polisi memperoleh keleluasaan luar biasa baik anggaran dan terutama peran. Dalam sejarah BIN ( Badan Intelejen Negara ) baru kali ini seorang Purnawirawan Polisi( Jend.Sutanto) menduduki pos tersebut, karena memang job itu lebih cocok untuk tentara. Paradigma polisi mesti diluruskan bukan sebagai alat penguasa melainkan untuk kepentingan masyarakat. Kegagalan Gus Dur menjadikan polisi sebagai alat penguasa janganlah diulang di era SBY. Reposisi dan revitalisasi tugas polisi haruslah dijawab dengan perilaku dan tampilan sebagai pelindung,pengayom dan pelayan masyarakat. Sehingga fungsi penegak hukum yang bersumber pada kepentingan penguasa atau alat kontrol negara kepada masyarakat berubah menjadi penegak keadilan. Jika demikian menjadikan polisi dan jaksa dalam satu wadah di salah satu kementrian bukan hal aneh. Jika semangat itu dimiliki niscaya peradilan sesat seperti dalam kasus Imam Hambali di Jombang dan Minah di Purwokerto bisa dieliminir. Dan Satgas pemberantas Mafia Hukum tidak diperlukan, karena titik lemah penegakan hukum sudah dibenahi.

Surakarta,15 Desember 2009

*Disampaikan dalam seminar akademik “ MEREFORMASI PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA SEBAGAI UPAYA MEMBERANTAS MAFIA PERADILAN” yang diselenggarakan BEM FH UNS,15 Desember 2009
** Muhammad Taufiq, SH MH , Mahasiswa S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH – UNS
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar