Senin, 24 Januari 2011
Warga Banjarsari Berharap Keadilan
Harian Joglosemar Sabtu, 22/01/2011
SOLO—Terpidana kasus pencemaran nama baik Winoto alias Tode (54), warga Jalan Sabang, Banjarsari, Solo berharap adanya keadilan bagi dirinya. Winoto, Jumat (21/1) mengajukan penangguhan penahanan kepada Kejaksaan Negeri Surakarta, untuk menyikapi rencana eksekusi yang akan dilakukan kejaksaan. Dasar penangguhan tersebut adalah adanya beberapa hal terkait administrasi surat penetapan hukuman dari Pengadilan Negeri (PN) Solo yang mengalami kesalahan.
Kepada Joglosemar, Jumat (21/1) malam, Winoto menjelaskan ada beberapa hal yang mendasari permohonan penangguhan yang diajukannya, yakni pengaduan kepada Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Pengawas. Pengaduan itu seputar kejanggalan dalam surat panggilan terpidana yang diterimanya.
Kedua, pada surat penetapan PN Solo 27 Oktober 2010 terdapat kesalahan penggunaan dasar hukum. Tode mengatakan walaupun sudah diganti dengan surat penetapan PN Solo 20 Desember 2010, namun belum ada pembatalan atau revisi dari Ketua PN Solo terhadap kesalahan itu. Dalam surat awal PN Solo menuliskan dasar hukum hukuman adalah pasal 45A ayat 2 UU No 4 Tahun 2004, padahal UU No 4 tahun 2004 sudah tak berlaku.
Ketiga, MA dalam suratnya ke pengacara Winoto, Muhammad Taufiq SH, sudah menjelaskan bahwa terdapat kesalahan ketik. Dasar hukum seharusnya adalah pasal 45A ayat 2 UU No 5 Tahun 2004. Keempat, Winoto meminta adanya perlindungan hukum untuk tidak melakukan eksekusi sampai adanya pencabutan atau revisi surat penetapan PN tertanggal 27 Oktober 2010.
“Sebenarnya ada kejanggalan lain misalnya surat panggilan terpidana pertama yang disampaikan Kejaksaan tanpa tanggal, kemudian surat panggilan kedua tanpa nomor surat. Ini surat resmi, menyangkut hidup manusia, masak tidak ada tanggal atau nomor surat,” kata Winoto.
Diberitakan Rabu (12/1), Wiwik warga Kerten mempertanyakan eksekusi jaksa terhadap Winoto yang belum dilakukan hingga pekan lalu.
Kamis, 20 Januari 2011
Dituduh langgar kode etik, pengacara digugat
SOLOPOS Edisi : Kamis, 20 Januari 2011 , Hal.8 |
|
Solo (Espos) Pengadilan Negeri (PN) Solo menggelar persidangan gugatan kode etik advokat dengan tergugat, pengacara Heru S Notonegoro, Wawan Ardianto, dan Liek A Palali, Rabu (19/1) pukul 13.35 WIB. |
Hal menarik dalam materi gugatan yakni penggugat minta majelis hakim menghukum tergugat untuk membeli satu buah tasbih dan satu buah sempoa. Berdasarkan pantauan Espos di PN Solo, sidang perdana perbuatan melawan hukum tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis, Herman Hutapea. Turut hadir dalam persidangan yang hanya berjalan kurang dari 10 menit, yakni penggugat Drs H Ma’ruf Iranto SH, warga Jalan Nakula I/14, Wonogiri dan kuasa hukum tergugat Heru S Notonegoro, Wiyono dan tergugat II, Liek A Palali. Berdasarkan materi gugatan dengan Nomor 210/Pdt.G/Plw/ 2010/PN. Ska tanggal 2 Desember 2010, Ma’ruf Irianto menggugat perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Heru S Notonegoro, Wawan Ardianto, dan Liek A Palali. Di mana, para tergugat dituduh melanggar kode etik yang telah disahkan Mei 2002 di Jakarta dan mengkhianati penggugat di Baran, Cawas, Klaten tanggal 4 Juli 2010. Gugatan moral Gugatan sendiri bermula saat dilangsungkannya Pilkada Wonogiri, yakni terbentuknya Koalisi Besar Wonogiri Bersih (KBWB) oleh tiga pengusung koalisi (PKS, Demokrat, dan Golkar). Pada saat itu, penggugat bersama-sama calon bupati dan wakil bupati yang diusung KBWB telah dirugikan senilai Rp 138 juta. “Karena, dalam rentetan urusan pencalonan itu, tergugat suatu hari dengan cara tidak sopan mendatangi saya tengah malam di Klaten yang ujung-ujungnya mencari keuntungan,” jelas Ma’ruf. Gugatan bukan semata-mata mencari materi, sebaliknya, apa yang sedang dilakukan merupakan suatu bentuk gugatan moral. “Nantinya, saya hanya berharap Heru S Notonegoro membeli sebuah alat tasbih senilai Rp 5.000 untuk istigfar dan sebuah alat sempoa senilai Rp 10.000 untuk menghitung fee yang diterimanya,” jelasnya. Menyikapi hal tersebut, Herman Hutapea mempersilakan masing-masing penggugat dan tergugat menempuh jalur mediasi terlebih dahulu. Hal itu sesuai dengan ketentuan yang berlaku di persidangan. Tergugat II, Liek A Palali menyambut baik langkah yang diambil majelis hakim. Pasalnya, saat sidang perdana kali ini, turut tergugat I, Wawan tidak hadir di tempat. “Memang seharusnya diawali dari mediasi terlebih dahulu. Saya menyerahkan semuanya pada jalannya persidangan nanti,” katanya. - Oleh : pso |
Senin, 10 Januari 2011
Pemkot Solo Mendua
Dimuat di Pos Pembaca SOLOPOS Selasa, 11 Januari 2011 Sebagai warga Solo, saya merasa kecewa dan diombang-ambingkan sikap Pemkot, terutama Kepala Dinas Tata Ruang Kota yang mendua. Pada 5 Agustus 2010, kami mewakili Ir Ayub Trenggono dkk, warga Fajar Indah VII, Solo mengirimkan surat perihal pengaduan tentang pemanfaatan rumah tinggal di Fajar Indah untuk gudang yang nyata-nyata mengganggu lingkungan. Kepala Dinas Tata Ruang Kota, pada surat 9 Agustus, memerintahkan agar Suwanto, penduduk Fajar Indah RT 6/RW VII, Jajar, Laweyan, Solo untuk menghentikan kegiatan pergudangan yang tidak sesuai izin. Namun karena tidak ada tindak lanjut untuk menutup, kegiatan itu terus berlanjut. Pada 7 September 2010, kami mengirimkan surat keberatan lagi dan pada 27 September 2010 dijawab dengan surat yang isinya menolerir yang bersangkutan untuk membuat izin. Saya sudah bosan mengadu termasuk menulis laporan ke Polsek Laweyan karena tidak ada hasil. |
Muhammad Taufiq SH MH Jl Kawung No 1 Solo (Selasa, 11 Januari 2011 ) |
Mengapa Narkoba Naik?
Tak bisa dimungkiri kejahatan narkoba di tanah air sepanjang tahun 2010 naik fantastis bak deret ukur dengan pemidanaannya yang seperti deret hitung. Angka ini didapat sebagaimana mengutip pernyataan dari Ditjen Bea dan Cukai Kementerian Keuangan yang menyebutkan telah menindak 156 kasus penyelundupan narkoba sepanjang tahun 2010.Jumlah tersebut meningkat hampir 100% jika dibandingkan dengan tahun 2009 yang berjumlah 82 kasus.
Direktur Penindakan dan Penyidikan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) Kementrian Keuangan, Frans Rupang menyatakan, jenis narkotika yang diselundupkan ke Indonesia terbanyak adalah sabu-sabu. Dari semua kasus penindakan, narkotika mengalami kenaikan 100 persen jika dibandingkan tahun 2009. Tahun2009 lalu 82 kasus, sekarang(tahun 2010) 156 kasus. Frans memaparkan, berdasarkan data Ditjen Bea Cukai per 30 Desember 2010,pihaknya telah berhasil mengumpulkan 405.140,08 gram dan 1.030 mililiter narkotika dari berbagai jenis dalam 155 kasus.
Dari jumlah itu total nilai penyelundupan narkotika sepanjang tahun 2010 diperkirakan mencapai angka Rp 600 miliar.Khusus untuk sabu-sabu yang berhasil ditindak sebanyak 251,6 kilogram yang nilainya bisa mencapai sekitar Rp 1,5-2 miliar per kilogrdam.
Meski besar nilai penyelundupan ini tidak bisa dimasukkan sebagai potensi kerugian karena tidak masuk sebagai penerimaan negara. Namun patut disimak dengan jumlah rupiah yang besar itu menunjukkan kepada kita bahwa transaksi narkoba di tanah air bukan turun, justru naik. Sisi lain ini menggambarkan betapa leluasanya pergerakan tata niaga narkoba dan betapa cepatnya jumlah korban. Dari data yang ada jenis narkotika yang paling banyak diselundupkan ke Indonesia adalah sabu yang totalnya seberat 251.693,59 gram dan sabu cair sebanyak 1.030 mililiter. Jika dicermati kenapa sabu? Tentunya selain ia begitu banyak diminati konsumen karena efek fly cepat dan terkesan lebih ” beradab”. Selain itu rendahnya hukuman dan lamanya proses eksekusi turut menjadi daya tarik maraknya penyelundupan narkoba. Sebagai perbandingan Negara Iran dalam seminggu saja tak kurang mengeksekusi lebih dari delapan orang untuk tingkatan penyelundupan obat bius. Sementara di Indonesia kelompok Bali Nine( WN Australia) tak kunjung dieksekusi meski sudah ditangkap sejak 17 April 2010. Malah mantan model Corby mendapat keringanan hukuman menjadi kurang dari 20 tahun meski di tingkat Mahkamah Agung ditambah lima tahun untuk bukti 4,5 kilogram mariyuana. Rangking berikutnya ditempati Amphetamine mencapai 292,5 gram, ekstasi seberat 17.982,37 gram, ephedrine seberat 2.011,6 gram, erimin five seberat 10.748 gram, ganja seberat 3.700 gram, hasish seberat 5.987 gram, heroin seberat 19.263,68 gram, ketamine seberat 96.895,6 gram, dan kokain seberat 203 gram. Dari kasus tersebut jika diamati asal kewarganegaraan, Warga Negara Indonesia ternyata tercatat paling terbanyak menyelundupkan narkotika dengan total tersangka sebanyak 60 orang. Pelaku penyelundupan narkotika terbanyak berikutnya ditempati warga negara Irak sebanyak 27 orang dan Malaysia sebanyak 23 orang. Sisanya adalah negara lain dengan penyelundupan dibawah 10 orang seperti Iran dan China.
Narkoba & Pencucian Uang
Terpisah, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Gories Mere, menyatakan bahwa lembaganya berhasil mengungkap, praktik pencucian uang dalam penyelundupan sabu ke Indonesia. Total aliran dana mencapai sekitar Rp 4 miliar yang mengalir dari pemesan ke bandar besar dan kurir. Modus ini baru kali pertama ditemukan di Indonesia. Gories Mere mengatakan, uang beredar ke bank dan ke tempat penukaran uang yang dilakukan jaringan narkoba India, Nepal, Malaysia dan Indonesia. Tiga orang tersangka, salah satunya berinisial N, ditangkap dan menjalani penyidikan di Direktorat Narkotika Alami BNN. Empat orang lainnya masih masuk daftar pencarian. Gories mengatakan, ini adalah modus baru penyelundupan Narkoba ke Indonesia. Modus kejahatan Narkoba semakin canggih agar semakin mudah lolos dari pemeriksaan petugas jaga di pos-pos transit transportasi dan perbatasan negara.
Deputi Pemberantasan BNN, Tommy Sagiman, mengatakan kasus ini terungkap berdasarkan penyelidikan peredaran narkoba dan penyidikan sejumlah tersangka yang pernah ditangkap. Di mana dimulai dari adanya peredaran kiloan sabu di pasaran. Ketika dilakukan penangkapan tidak kurang dari 4 kilogram sabu senilai Rp 8 miliar diamankan sebagai barang bukti. Tommy menyatakan sejumlah kurir bertugas menerima uang berjumlah miliaran rupiah dari kurir di Jakarta. semula uang itu adalah hasil transaksi separuh pembayaran Narkoba yang diantar ke Indonesia.
Pada kenyataanya dari hasil pemriksaan didapatkan bukti mencengangkan uang mereka berasal dari sisa penjualan narkoba yang disimpan di sebuah bank di Indonesia dan di beberapa negara.
Jika di Indonesia, maka uang ditransfer dari bank luar negeri ke bank di Indonesia. Uang akan dibiarkan dulu berbunga. Ketika kurir sampai di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia uang kemudian diambil dari Bank dan ditukarkan bebas kepada Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Biasanya banyak TKI yang ingin mengirimkan uang untuk keluarga di kampung. Merekalah incaran para tersangka di Malaysia. Maka tidak mengherankan ada pelaku yang sesungguhnya korban dari jaringan ini adalah para TKI yang bekerja di Malaysia atau Singapura. Dari hasil penukaran uang itu, para tersangka mendapat keuntungan yang berbeda. Dengan modus yang seperti ini ketika tertangkap para tersangka dengan sengaja mengambinghitamkan para TKI. Tentu saja mereka tahu sebab para TKI ini tentu berkeinginan memperoleh nilai tukar rupiah secara cepat. Dan dari proses inilah yang mereka tempuh tanpa sadar risiko apa itu money loundry. Sehingga dengan mudah para tersangka mengetahui nama-nama TKI yang membawa uang rupiah hasil penukaran dengan tersangka.
Kenapa TKI ini gampang dipengaruhi? Birokrasi bank yang tidak mereka pahami yang menyebabkan mereka menerima saja hasil penukaran ini. Fakta yang bisa diungkap bahwa para TKI yang menukarkan uang kepada mereka akan menjadi korban pencurian, bahkan perampokan saat tiba di Indonesia kalau mereka tidak ditangkap polisi. Artinya mereka masuk lubang buaya ke luar masuk mulut harimau. Oleh karena itu mereka merasa terbantu dengan model transaksi seperti ini. Jika polisi cermat pelaku perampokan sesungguhnya adalah anggota atau kaki tangan jaringan narkoba internasional. Oleh karena sifat hukum pidana ini adalah hukum materiil, maka siapa pun yang terlibat meski pada awalnya tidak tahu ia akan diringkus dan kemudian diposisikan sebagai kurir atau malah bandar. Sehingga seringkali terjadi peradilan yang aneh seorang TKI/TKW duduk sebagai pesakitan dan didakwa sebagai kurir narkoba. Meski sebenarnya mereka layak disebut korban ketimbang pelaku sebab dengan penghasilan mereka bertahun-tahun sebagai TKI/TKW mereka tanpa menukarkan uang pun tetap jutawan. (***)
Pegiat Antinarkoba,
Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS