WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Rabu, 22 Juni 2011

Ruyati dan Hukum Progresif

Dimuat di Harian Jawa Pos pada hari Kamis, 23 Juni 2011


Oleh : Muhammad Taufiq*


Pemerintah RI kembali kecolongan. Sabtu(18/6) lalu Arab Saudi telah memenggal leher Ruyati binti Satubi Saruna. TKI asal Kampung Serengseng Jaya, Sukadarma,Sukatani, Bekasi. Yang meninggal di tangan algojo negeri petro dollar yang memang tidak pernah adil pada orang asing,terutama Indonesia. Dan celakanya kabar itu pun kita peroleh bukan lewat perwakilan diplomatik kita,Dubes atau Konjen RI di sana, melainkan lewat situs berita di internet. Kita pun Cuma teriak histeris dan berencana menggelar demo. Sebegitukah kita bersikap terhadap ketidakadilan hukum di negara lain?

Dalam paradigma lama ditekankan bahwa hukum adalah apa yang diatur dalam undang-undang dan peran hakim sebagai corong perkataan undang-undang semata (letterkenechten der wet ) demi terciptanya kepastian hukum. Sedangkan dalam paradigma baru yang digunakan oleh aliran sociological jurisprudence dan legal realism ditekankan bahwa undang-undang harus disesuaikan dengan kenyataan-kenyataan dalam masyarakat dan peran hakim tidak boleh menjadi terompet undang-undang saja, tetapi harus mampu merespon perkembangan dalam masyarakat.

Sebagai bangsa yang besar dan memiliki problem yang begitu banyak kita telah terlena untuk melakukan pembaharuan hukum, dimulai dari hal paling kecil yakni memperbaiki prasyarat kerja agar WNI yang menjadi TKI atau TKW dibekali pengetahuan cukup tentang budaya dan perilaku negara yang dituju termasuk hukum yang berlaku di sana. Dalam banyak kasus hukum di Negara Saudi Arabia seperti hukum pancung sesungguhnya bisa dikategorikan hukum modern atau progresif karena melibatkan pihak ketiga yakni,keluarga korban dan pelaku bisa melakukan upaya perdamaian. Artinya dalam kondisi tertentu tekanan pada perasaan/ kesadaran hukum rakyat yang berlawanan dengan aksara mati dari pada Undang Undang dan preseden yang tampak sesunguhnya bisa “dimainkan” ,termasuk pada hukuman mati baik di Saudi maupun di Malaysia.

Pada saat itu masalah praktis menurut Savigny tentang kodifikasi yang merupakan rasio melawan tradisi, sejarah melawan pembaruan, tindakan-tindakan manusia yang kreatif dan disengaja melawan pertumbuhan lembaga-lembaga ( institution ) secara organisatoris memiliki kaitan yang begitu erat.

Ini tesis Savigny sebagai berikut “ bahwa semua hukum asal mulanya terbentuk dengan cara “, walau tidak seluruhnya tepat, seperti kaidah kebiasaan, bahasa dibentuk, yaitu mula-mula ia berkembang melalui kebiasaan dan keyakinan rakyat, kemudian ilmu hukum. Jadi di mana-mana oleh kekuatan-kekuatan intern yang bekerja diam-diam, bukanlah melalui kesewenang-wenangan dari pembuat undang undang.

Hukum tidaklah mempunyai daya laku atau penerapan yang universal. Tiap bangsa mengembangkan kebiasaan hukumnya sendiri sebagaimana yang mereka lakukan dalam bidang bahasa, tingkah laku dan konstitusi. Savigny menekankan kesejajaran antara bahasa dan hukum. Namun kedua-duanya tidak bisa diterapkan kepada bangsa-bangsa dan negeri lain .“ Volgeist” ( Jiwa bangsa), menjelmakan dirinya pada hukum rakyat ; karena itu perlu kita mengikuti perkembangan Volkgeist melalui penelitian sejarah hukum.

Doktrin-doktrin pokok dari mahzab sejarah sebagaimana diutarakan Savigny dan para pengikutnya , dapat disimpulkan sebagai berikut : Hukum yang mulai tumbuh sebagai hubungan hukum yang sudah dipahami dalam masyarakat primitif ke arah hukum yang lebih kompleks dalam peradaban modern, menyebabkan kesadaran hukum rakyat tak dapat lagi menjelma secara langsung, tetapi diwakili oleh sarjana hukum, yang merumuskan prinsip-prinsip hukum secara teknis.

Dengan begitu sarjana hukum tetap merupakan alat kesadaran rakyat yang bertugas untuk memberikan bentuk dari bahan-bahan mentah yang didapatnya. Pembentukan undang-undang adalah hal yang terakhir; oleh karena itu para sarjana hukum secara relatif merupakan sarana pembentuk hukum yang lebih penting/ berperan daripada pembuat undang-undang /DPR.

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa studi ilmu hukum tentang perilaku ( behavioral jurisprudence ) adalah suatu studi yang mempelajari tingkah laku aktual masyarakat dalam proses peradilan. Tingkah laku tersebut dipelajari dalam interaksi dan interelasi antara orang-orang yang terlibat dalam pengambilan keputusan tersebut satu sama lain. Dengan demikian pusat perhatian bukan pada hukum tertulis dan putusan hakim yang bersifat formal, melainkan pada pribadi hakim dan peran-peran sosial masyarakat dalam pengambilan keputusan. Dan itulah yang tidak pernah kita lakukan hingga hari ini.

Lain halnya dengan Arab Saudi yang menganut hukum progresif atau modern seperti yang dikatakan Savigny, karena melibatkan pihak ketiga (keluarga korban bisa menentukan hukuman). Seharusnya, pemerintah Indonesia dalam kasus Ruyati, memanfaatkan celah itu. Kedubes kita di sana semestinya secara gencar bisa melakukan upaya-upaya hukum, termasuk berbicara dengan keluarga korban (warga Arab Saudi) untuk menyelematkan Ruyati dari tiang gantung. Penerapan hukum progresif Arab Saudi bisa kita lihat pada kasus Darsem yang juga divonis mati. Keluarga korban Darsem sudah memberi lampu hijau untuk memaafkan. Ini pun masih menjadi taruhan bagi Indonesia.


*Muhammad Taufiq, SH MH, advokat,Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS Solo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar