WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 08 Desember 2011

KEGAGALAN KUHAP DALAM MENEGAKKAN KEADILAN

Harian Jawa Pos edisi Rabu, 7 Desember 2011


Oleh : Muhammad Taufiq *

Kontroversi dalam penegakan hukum pidana berdasarkan KUHAP sering terjadi, sementara para penegak hukum masih berkutat dalam paradigma formalisme, sehingga banyak kasus-kasus yang semestinya dapat diadili menjadi menguap begitu saja karena keterbatasan pemikiran tentang pelaksanaan penegakan hukum. Contoh : Kasus Century,menguapnya Nunun , ex Deputi Senior BI Miranda Goeltom tidak tersentuh hukum anggota DPR-RI yang didakwa menerima suap atas pencalonannya sudah menjalani pidana. Namun sebaliknya perkara kecil atau remeh justru naik dan terjadi penjatuhan pidana. Padahal tujuan utama dari penegakan hukum adalah mewujudkan kebenaran dan keadilan. Selama aparat penegak hukum tidak mengubah pemikiran bahwa tujuan utama dari penegakan hukum pidana adalah untuk menwujudkan kebenaran dan keadilan, maka pelaksanaan KUHAP akan tetap sering terjadi kontroversi.
Wajar jika belakangan ini sering muncul ketidakpuasan terhadap hukum positif di Indonesia. Dengan mengikuti sistem hukum yang mengedepankan kepastian hukum dalam bentuk aturan normatif semata banyak mempengaruhi pemikiran para Sarjana Hukum di Indonesia yaitu mengikuti aliran positifis. Begitu banyak dampak yang kita rasakan bila semua penegak hukum dan sarjana hukum berpikiran positifis, yaitu suatu masalah selalu dicari kepastian hukum atau sumber hukumnya terlebih dahulu untuk menyelesaikannya. Belum lagi prosedur yang juga diatur dalam hukum positif. Suatu kasus yang seharusnya dapat diselesaikan cepat melalui cara di luar aparat menjadi lama dengan hukum positif. Belum lagi tidak terjaminnya harmonisasi sosial melalui proses seperti ini padahal hal yang ingin dicapai dalam proses hukum ialah terciptanya harmonisasi sosial. Jika harmonisasi sosial tersebut sudah tercipta melalui penyelesaian secara kekeluargaan tidak seharusnya proses hukum merusak itu semua. Inilah yang selama ini dirasakan begitu lemah dan kurang adanya rasa keadilan dan hati nurani dari hukum positif yang lahir dari proses politik. Pasca reformasi hampir dipastikan semua produk undang undang adalah lahir dari proses politik seperti sinyalemen yang kita dengar selama ini.
Gustav Radbruch, seorang filosof hukum Jerman mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum, yang oleh sebagian pakar diidentikkan juga sebagai tujuan hukum. Dengan kata lain tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Bagi Radbruch, ketiga unsur itu merupakan tujuan hukum secara bersama-sama, yaitu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum. Namun demikian timbul pertanyaan, apakah ini tidak menimbulkan masalah dalam kenyataan, di mana seringkali antara kepastian hukum terjadi benturan dengan keadilan, atau benturan antara kepastian hukum dengan kemanfaatan. Sebagai contoh, dalam kasus-kasus hukum tertentu, kalau hakim menginginkan keputusannya “adil” (menurut persepsi keadilan yang dianut oleh hakim) bagi si pelanggar atau tergugat atau terdakwa, maka akibatnya sering merugikan kemanfaatan bagi masyarakat luas, sebaliknya kalau masyarakat luas dipuaskan, maka perasaan keadilan bagi orang tertentu terpaksa “dikorbankan”. Oleh karena itu, Radbruch mengajarkan bahwa kita harus menggunakan asas prioritas, di mana perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir perioritas pertama selalu “keadilan”, barulah “kemanfaatan”, dan terakhir barulah “kepastian”.
Ketika terjadi pelanggaran hak yang dilakukan oleh seseorang maka akan menimbulkan konsekuensi bahwa hukum tersebut akan dicabut dari dirinya berdasarkan putusan pengadilan yang adil. Selama ini kita mendapatkan konsepsi yang salah mengenai penegakan hak asasi manusia. Seolah dalam keadaan apapun dan dalam hal apapun hak tersebut tidak dapat terhapuskan. Padahal sebagaimana konsepsi hak yang telah dipaparkan oleh para filsuf Yunani menyatakan bahwa hak selalu diimbangi dengan kewajiban. Ketika ada seseorang yang melakukan tindak pidana orang tersebut harus mendapatkan sanksi yang sesuai. Sanksi juga bertujuan untuk mengembalikan ketenteraman yang sempat terganggu akibat dilakukannya perbuatan tersebut. Sehingga pidana perlu ditegakkan dengan sebaik mungkin. Masalah yang muncul adalah adanya disparitas penjatuhan pidana oleh hakim. Sebenarnya apakah yang menjadi alasan adanya disparitas tersebut. Sebagian besar hasil penelitian menunjukkan bahwa hal tersebut ditentukan oleh sikap batin dan rasa keadilan yang dimiliki oleh hakim. Menurut Suteki, seringkali sebagian masyarakat memahami hukum hanya sekedar sebagai perangkat peraturan hukum positif yang tercerabut dari pemahaman dari aspek filosofi dan sosiologisnya, sehingga gambar hukum yang ditampilkan tidak utuh melainkan hanya sebuah fragmen atau skeleton, yakni peraturan perundang-undangan saja. Hal tersebut mendorong munculnya anggapan bahwa apabila kita telah menyelenggarakan hukum sebagaimana tertulis yang berupa huruf-huruf mati (black letter law) seolah-olah pekerjaan pencarian keadilan itu telah selesai. Akibatnya banyak muncul kasus yang mencerminkan kondisi bahwa keadilan substansial telah teralienasi dari hukum. Hukum tidak membumi, bahkan menciderai rasa keadilan dalam masyarakat.

· Muhammad Taufiq ,advokat dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar