Oleh : Muhammad Taufiq *
Dimuat di Harian Joglosemar, 7 Desember 2012
Atlet
meninggal di tanah air sudah lumrah. Namun yang menimpa Diego tentu
berbeda,sebab ia adalah pemain bola profesional asing dan meninggal
dalam posisi pihak yang mempekerjakannya masih menunggak gaji. Diego
meninggal dunia dalam keadaan terlunta-lunta,sehingga alih-alih mendapat
asupan gizi yang layak, untuk bayar kos pun ia tidak mampu. Sebagaimana
diketahui eks Strikers Persis Solo versi PT.Liga Indonesia Diego
Mendieta meninggal dunia, Senin(3/12) malam,di RS Dr.Moewardi Solo.
Dengan demikian tentu saja tidak cukup kita hanya mengucap duka atau
menyesalkan peristiwa itu. Sebagai bangsa yang beradab kita tentu saja
memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi hak Diego. Saat Diego
meninggal dunia Persis Solo versi PT.Liga Indonesia memiliki tunggakan
sebesar Rp.131.000.000—(Seratus tiga puluh satu juta rupiah). Angka itu
meliputi kewajiban manajemen Persis kepada Diego yang meliputi nilai
sisa kontrak sebesar Rp.47 juta,- serta tunggakan gaji selama empat
bulan masing-masing sebesar Rp.21 juta,-,meski akhirnya dibayar setelah
Diego meninggal dunia.. Soal nunggak nampaknya hampir semua pemain klub
manapun pernah mengalami,karena selain badan hukum sepakbola kita tidak
profesional. Sepak bola kita dinilai belum menghasilkan uang sebagaimana
basket. Di sisi lain banyak diantaranya yang memang tidak
memiliki manajemen yang bagus alias amburadul ,sehingga tidak mampu
memenuhi secara utuh gaji pemain saban bulannya.
Permintaan
Diego sebelum meninggal terbaca dalam pesan terakhirnya yang disebarkan
oleh mantan kapten PSIM, Nova Zaenal dan pemain PSS Sleman, Anang Hadi,
dalam pesan lewat balackberry messanger Diego hanya mengharapkan
dirinya bisa memiliki ongkos pulang ke tanah airnya guna bersua dengan
ibunda dan keluarganya sebelum tutup usia. Sungguh membuat kita haru.
Sebab permintaan itu tak terpenuhi hingga ia menutup mata.
"Aku gak minta gaji full, aku cuma minta tiket pesawat biar bisa
pulang.” “ Ketemu mama dan mati di negara saya. RIP#Diego Mendieta."
Kasus Diego Mendieta bukan pertama terjadi di Indonesia. Masih segar di
ingatan kita di mana November lalu, mantan gelandang Persita Tangerang,
Bruno Zandonadi, meninggal karena radang selaput otak. Mirisnya lagi,
pemain berdarah Brasil tidak memiliki biaya untuk membayar rumah sakit.
Akhirnya, rekan-rekan Bruno berinisiatif urunan untuk membiayai
tunggakan rumah sakitnya. Lain lagi dengan cerita Syilla Mbamba, Camara
Abdoulaye Sekou, dan Salomon Begondo. Mereka terpaksa
mengamen akibat gaji yang belum dibayarkan oleh Persipro(Probolinggo) ,
mereka hanya menerima 15 persen dari nilai kontrak. Mereka tidak malu
mengemis dan mengamen di depan Kantor Walikota Probolinggo agar tetap
bisa hidup. Sementara Jorge Paredes dari Persbul Buol harus meminta
bantuan lewat media massa untuk memenuhi biaya yang dibutuhkan untuk
proses persalinan istrinya.Ketiga kasus tersebut membuktikan bahwa masih
rendahnya jaminan terhadap para pemain dan karut marutnya pengelolaan
dana klub-klub sepakbola di Indonesia. Berpulangnya Diego Mendieta jelas
menunjukkan kembali betapa lemahnya perlindungan pemain dalam hal
jaminan kesehatan di dalam kontrak dengan klub .APPI (Asosiasi Pemain
Profesional Indonesia), melalui akun jejaring sosial resmi milik mereka.
Pesepakbola HARUS mendapat jaminan kesehatan dari klubnya masing2,
ironinya sekarang jangankan kesehatan, gaji pun tidak dibayar. Kasus ini
juga tak lepas dari konflik para elite sepakbola Indonesia yang tak
kunjung menemui kata selesai. Para elit yang sibuk mengurus kisruh
organisasi tak sempat mengawasi kinerja klub, yang menjadi
anggotanya,apalagi memperhatikan kesejahteraan pemain. Sementara itu
klub, seperti Persis Solo, kesulitan mendapatkan sponsor karena para
sponsor ragu berinvestasi di tengah kondisi sepak bola yang karut
marut,juga sepak bola yang dinilai belum mampu mendulang uang. Menurut
catatan yang dimiliki oleh APPI, setidaknya ada 21 klub di dua kompetisi
tersebut yang masih menunggak gaji pemainnya. Artinya jangankan mereka
memperoleh standar hidup yang layak. Gaji sesuai kontrak pun belum bisa
dicukupi oleh pemilik klub. Kondisi ini menjadi semakin parah manakala
otoritas sepak bola pun terjadi dualisme.
PERLU SANKSI HUKUM YANG KERAS
Kondisi
yang tidak ideal di atas ditambah tidak tegasnya otoritas olah raga di
tanah air,membuat banyak atlit menjadi korban. Sehingga mereka tidak
tahu harus mengadu kepada siapa.Banyak pemain sepak bola yang tidak
mengetahui hak-haknya. Padahal semua profesi di Indonesia sepanjang
dibolehkan di tanah air (termasuk atlet sepak bola dan tinju ) ia akan
tunduk pada undang undang. Yakni Undang Undang Ketenagakerjaan No.13
tahun 2003,harap dimaklumi Indonesia belum memiliki undang undang khusus
yang mengatur tentang olah raga. Dengan demikian aturan kontrak kerja
selain tunduk pada perjanjian perdata juga mengacu pada Undang Undang
No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Di mana undang undang itu selain
mengatur syarat-syarat mempekerjakan tenaga asing,ia juga mengatur hak
dan kewajiban bagi tenaga kerja asing. Dengan asumsi ini maka pemain
sepak bola itu pekerja dan klub adalah majikan yang mempekerjakan
mereka. Dengan demikian sanksi ketenagakerjaan juga bisa diberlakukan. Termasuk tentu saja sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 35,- ayat 2 pihak
yang memperkerjakan wajib memberikan perlindungan sejak rekruitmen
sampai penempatan tenaga kerja. - ayat 3,pemberi kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib
memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan,keselamatan,dan
kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Ketika
ada pemain sepak bola sampai tidak bisa berobat atau nunggak sewa kamar
tentu saja itu kelalaian. Dengan demikian nampak bahwa para pengelola
klub sepak bola di tanah air telah dengan sengaja mengabaikan
kewajiban yang menjadi hak para pemain. UU No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan. Dengan logika tersebut maka para pemain sepak bola juga
harus disamakan dengan tenaga kerja. Di mana mengharuskan setiap
pemilik atau pengelola klub sepak bola untuk memberikan
kesejahteraan termasuk di dalamnya berhak mendapatkan layanan kesehatan.
Maka sangat tidak masuk akal ada seorang pemain sepak bola profesional
ia harus berhutang atau dibayari temannya untuk beaya pengobatan,sebab
sesungguhnya itu kewajiban klub. Memang Persis dan PT.Liga Indonesia
telah membantu pemulangan Diego Mendieta,namun demikian saran penulis.
Klub dan pengelola atau penyelenggara kompetisi sepak bola harus dihukum
tidak saja sanksi larangan tidak boleh bertanding. Jika perlu klub-klub
itu diaudit keuangannya. Dan jika tidak mampu untuk bermain di sebuah
kompetisi lebih bagus dibubarkan. Agar tidak memakan korban lebih
banyak. Sanksi hukum harus diberikan pada klub atau pengelola kompetisi.
Namun jika dualisme kepengurusan tetap dipelihara . Jangan berharap ada
sanksi atau hukuman. Upaya itu hanya dapat terwujud manakala hukum itu
ditegakkan secara keras. Daripada memakan banyak korban dan prestasi
sepak bola kita tidak maju-maju.. Semoga saja, kasus Diego Mendieta dan
para pemain lainnya menjadi bahan pembelajaran berharga bagi para elit
sepakbola Indonesia agar lebih awas dalam mengurus sepakbola, bukannnya
sibuk memaksakan kepentingannya sendiri. Sehingga lupa pada kewajiban
bahwa pemain sepak bola itu juga seorang manusia. Ia punya keluarga yang
juga wajib ditanggung kebutuhannya dan dinafkahi.
Solo, 6 Desember 2012
Muhammad Taufiq,
Advokat,Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS.