WELCOME TO MUHAMMAD TAUFIQ'S BLOG, THANKS FOR YOUR VISIT

Kamis, 06 Desember 2012

Kasus Diego dalam Aspek Hukum

Dimuat di harian Solopos edisi 6 Desember 2012
Oleh : Muhammad Taufiq *


Orang meninggal dalam kejadian apapun adalah peristiwa biasa. Namun jika yang meninggal adalah orang asing dan dalam posisi kontrak kerja yang belum dilunasi tentu bukanlah persoalan biasa. Melainkan sudah menjadi perkara hukum,sebab ia datang dan bekerja pada pihak yang menaunginya. Hal tersebut tertuang jelas dalam UU Ke

tenagakerjaan No.13/2003,khususnya pasal 35 dan 186 karena tidak adanya perlindungan dan jaminan kesehatan sejak rekruitmen hingga kontrak berakhir. Terbukti orang itu meninggal dunia dalam keadaan terlunta-lunta,sehingga alih-alih mendapat asupan gizi yang layak, untuk bayar kos pun ia tidak mampu.
Peristiwa mengharukan itu sekarang tengah menimpa Diego Mendieta yang meninggal dunia, Senin(3/12) malam,di RS Dr.Moewardi Solo. Atlet meninggal di tanah air sudah lumrah. Namun yang menimpa Diego tentu berbeda,sebab ia adalah pemain bola profesional asing dan meninggal dalam posisi pihak yang mempekerjakannya masih menunggak gaji. Dengan demikian tentu saja tidak cukup kita hanya mengucap duka atau menyesalkan peristiwa itu. Sebagai bangsa yang beradab kita tentu saja memiliki kewajiban untuk memenuhi apa yang menjadi hak Diego. Saat Diego meninggal dunia Persis Solo versi PT.Liga Indonesia memiliki tunggakan sebesar Rp.120.000.000--. Soal nunggak nampaknya hampir semua pemain pernah mengalami,karena selain badan hukum sepakbola kita tidak profesional. Banyak diantaranya yang memang tidak memiliki manajemen yang bagus,sehingga tidak mampu memenuhi secara utuh gaji pemain saban bulannya. Pihak Mendeita sudah berulang kali menagih haknya kepada manajemen Persis Solo. Namun bisa diduga hampir semua klub sepak bola tanah air menggantungkan pendapatan dari dana APBD. Pasca dilarangnya klub dibeayai APBD, tentu tak cukup memiliki uang untuk menggaji pemain ekspatriat seperti Diego. Nasib Diego memang tidak sebaik mereka yang memperoleh hak kewarnegaraan istimewa( naturalisasi ) pemain naturalisasi tentu mendapat perhatian dari pemerintah (PSSI) sejak ia datang hingga kembali ke klub asal. Pesepakbola seperti Diego ini untuk menyambung hidup tidak malu main Tarkam ( antar kampung), bahkan pemainPersibo( Bojonegoro ) rela ngemis di jalan karena gaji meraka juga tidak dibayar.
Bagaimana keberadaan mereka dilihat dari aspek hukum?
Apapun profesi mereka sepanjang pekerjaan itu halal dan dibolehkan di tanah air,maka siapapun pekerja itu dan siapa yang mempekerjakan ia akan tunduk pada undang undang. Yakni Undang Undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003. Di mana undang undang itu selain mengatur syarat-syarat mempekerjakan tenaga asing,ia juga mengatur hak dan kewajiban bagi tenaga kerja asing. Termasuk tentu saja sanksi bagi mereka yang melanggarnya. Dalam UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada pasal 35,
- ayat 2 disebutkan :pelaksanan penempatan tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memberikan perlindungan sejak rekruitmen sampai penempatan tenaga kerja.
- ayat 3,pemberi kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam mempekerjakan tenaga kerja wajib memberikan perlindungan yang mencakup kesejahteraan,keselamatan,dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja. Dari ketentuan di atas jelas bahwa Diego Mendieta tidak mendapatkan itu semua, yakni jaminan kesehatan,keselamatan apalagi kesejahteraan. Terbukti hingga menghembuskan napas terakhir eks striker Persis Solo versi PT.Liga Indonesia belum menerima haknya berupa gaji atau atau sisa kontrak kerja sebesar Rp.120.000.000,-. Dengan sendirinya ia tidak mampu memperoleh pengobatan yang layak. Dalam posisi demikian uluran tangan untuk membayar beaya pengobatan dan beaya pemulangan tentu saja patut disambut baik. Tetapi menurut hemat penulis ,uluran bantuan itu barulah bersifat sosial, belum merupakan pemenuhan haknya sebagai pemain, seperti yang diatur dalam UU No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan . Sebagai tenaga kerja asing yang bekerja dalam dunia sepak bola tentu saja ia harus memperoleh apa yang menjadi haknya. Yakni pemenuhan gaji dan juga sederet kesejahteraan termasuk di dalamnya berhak mendapatkan layanan kesehatan, jadi sungguh tragis jika untuk bayar rumah sakit saja ia harus berhutang. Karena itu semua menjadi kewajiban pihak yang menaunginya,yakni Persis Solo dan PT.Liga Indonesia .
Nampaknya sebagai bangsa yang beradab dan kerap merasa gerah manakala TKI atau TKW kita diperlakukan sewenang-wenang di negara jiran. Kita tentu saja harus peduli dan tidak boleh menyepelekan hak-hak tenaga kerja sebagaimana Diego di Persis Solo. Agar tidak berulang pada pemain bola lainnya,termasuk pemain bola lokal. Tindakan hukum sebagai shock teraphy pada pengelola sepakbola tanah air perlu diberlakukan. Dalam Undang Undang Ketenagakerjaan No.13/2003 jelas ada sanksi bagi pelanggarnya. Pasal 186 ayat(1) jelas menyebut- barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) dan ayat (3) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1(satu) bulan dan paling lama 4 (empat) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.10.000.000,-(sepuluh juta rupiah) atau paling banyak Rp.400.000.000,- (empat ratus juta rupiah ).
Jika melihat kronologi meninggalnya Diego Mendieta,patut diduga Pengurus Persis Solo yang mempekerjakan Diego dan direktur PT.Liga Indonesia selaku penyelenggara kompetisi layak dihukum karena telah lalai memberikan hak-hak seorang pekerja sepakbola seperti Diego Mendieta sehingga ia sakit dan meninggal dalam kondisi tidak dipenuhi hak-haknya. Pasoepati dan siapapun bisa melaporkan kasus ini ke kepolisian Republik Indonesia,karena kasus ini sudah masuk ranah pidana dan sifatnya bukan delik aduan. Artinya siapapun yang mengetahui kejahatan atau pelanggaran itu boleh melaporkannya.

Solo, 5 Desember 2012

Muhammad Taufiq,
Pemerhati sepakbola,Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar