Dimuat di Harian Joglosemar edisi Rabu, 6 Februari 2013
Oleh : Muhammad Taufiq*
Sejumlah media menulis dengan tulisan besar Jaksa Janji Tak Istimewakan Rasyid. Seperti
diketahui Muhammad Rasyid Amrullah Hatta Rajasa( 22) secara malu-malu
ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya setelah mobil mewah
yang dikendarainya jip BMW X5,Nomor polisi B-272-HR menghajar angkot
Luxio dari belakang di jalan tol Jagorawi. Dalam kecelakaan itu dua
penumpang Luxio tewas di tempat. Rasyid adalah putra bungsu Menko
Perekonomian yang juga Ketua PAN Hatta Rajasa sekaligus juga besan
Presiden SBY. Kejaksaan Agung tidak akan memberikan perlakuan khusus
atau istimewa terhadap Rasyid,artinya ia akan diperlakukan sebagaimana
seorang terdakwa atau pesakitan yang lain dalam kasus laka lantas.
Sebagai praktisi hukum yang pernah menangani kasus kecelakaan
serupa,tentu dalam benak penulis muncul pertanyaan untuk menguji ucapan juru
bicara Kejaksaan Agung,benarkah Rasyid diperlakukan sama dengan warna
negara biasa lainnya ? . Dalam hal membuat argument kita tidak pernah
meragukan kemampuan aparat hukum kita untuk beralasan. Sepintas apa yang diucapkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan diperbuat
penyidik Kepolisian serta Jaksa Penuntut Umum Republik Indonesia sangat
logis dan masuk pertimbangan hukum yang dibenarkan oleh
KUHAP,tentang kenapa Rasyid tidak pernah mencicipi sel tahanan. Yakni
disebabkan oleh 3 hal : tidak melarikan diri,tidak menghilangkan barang
bukti ,serta ada jaminan dari pihak keluarga.
Jika dicermati dari awal Rasyid memang mendapatkan sangat banyak perlakuan istimewa,pertama dirahasiakannya Rumah Sakit tempat ia dirawat,kedua mobil Rasyid tak pernah dipublikasi ke luar,ketiga kasus yang jadi sorotan luas itu polisi tidak pernah melakukan rekonstruksi,keempat dalam setiap tingkat penyidikan Rasyid tidak pernah ditahan , kelima berkas Rasyid dikebut kurang dari 20 hari sudah
dinyatakan lengkap untuk dibawa ke persidangan. Dari fakta-fakta
obyektif yang diungkap penulis jelas bahwa ucapan juru bicara Kejaksaan
Agung dengan proses penanganan Rasyid dua hal yang saling bertolak
belakang. Karena dengan lima perbedaan perlakuan tadi jelas Rasyid
adalah warga negara yang teramat istimewa. Dalam kasus lain seperti
Lanjar Sriyanto yang pernah diadili di Pengadilan Negeri Karanganyar
pada tahun 2010 ia sempat merasakan tahanan
kepolisian,kejaksaan dan pengadilan. Pada saat itu ia didakwa telah
lalai dalam mengemudikan kendaraan sehingga menyebabkan isterinya
meninggal dunia,meski semua orang tahu isteri Lanjar meninggal karena
ditabrak mobil Phanter milik anggota Kepolisian Ngawi. Namun hukum tidak
pernah berpihak pada orang kecil seperti Lanjar dan mungkin banyak
Lanjar lain tidak pernah memperoleh keistimewaan sebagaimana yang
diterima Rasyid Amrullah Rajasa. Sistem Peradilan Pidana kita memang
memberikan kekuasaan yang sangat kuat sedemikian rupa kepada penegak
hukum untuk memberikan penafsiran tentang kapan hukum itu diberlakukan.
Dalam kondisi tertentu polisi dan jaksa selain berfungsi sebagai
penyidik dan penuntut umum mereka kerap dengan leluasa menjalankan tugas
sebagai hakim,yakni menentukan hukum tersendiri tentang siapa yang
layak ditahan dan siapa yang layak tidak ditahan. Jika hanya 3 alasan
normative seperti,tidak melarikan diri,tidak menghilangkan barang bukti dan ada jaminan dari keluarga
seperti yang diungkap Jubir Polda Metro Jaya, Kombes Rikwanto,tentunya
bukan hanya Rasyid yang boleh menghirup udara bebas. Sebab syarat itu
sangat mudah dipenuhi oleh siapapun. Dalam kasus Rasyid jelas tidak
berlaku one mechanism for all ( semua orang diberlakukan sama) .Disparitas (perbedaan) perlakuan dalam hukum pidana kita
menjadi-jadi karena disokong oleh pemikiran yang dianut mayoritas
sarjana hukum kita yang berpaham positifistik,artinya hukum itu dianggap
telah ditegakkan jika serangkaian proses administrasi hukum sudah
dijalankan,artinya ada orang diperiksa polisi, berkas diteliti jaksa dan
kemudian diadili hakim. Para jurist itu tidak perlu menghiraukan apakah
yang mereka lakukan telah sesuai dengan hati nurani atau telah memenuhi
rasa keadilan masyarakat atau tidak. Paham positifistik hanya
menitikberatkan pada kewenangan pemerintah untuk membentuk lembaga hukum
dan menjalankan hukum sesuai perintah undang-undang. Dalam kondisi
demikian sangat wajar muncul tragedi kemanusiaan dalam bidang
hukum,pencuri semangka,pencuri sandal jepit,pencuri ayam atau kotak amal
masjid dihukum . Bahkan kadang dipukuli hingga babak belur sebelum
dibawa ke polisi, sementara banyak koruptor tidak tersentuh hukum.
Sebab
hukum seperti kacamata kuda ,sejurus mata memandang seorang penegak
hukum itulah yang disebut hukum. Ia tidak melihat perubahan di
masyarakat ,cara-cara memandang dan memperlakukan hukum seperti itu
sudahlah terlambat atau ketinggalan jaman. Hukum modern bukanlah
kacamata kuda, hukum modern haruslah sejalan dengan perkembangan
jaman,juga nilai-nilai ekonomi ,ia harus menoleh ke samping kanan dan
kiri. Sebab hukum modern bisa bersumber di luar
undang-undang tertulis. Pedomannnya sederhana,yakni hati nurani dan rasa
kepuasan masyarakat. Oleh karena itu penegak hukum selalu berorientasi
pada keadilan yang dituntut masyarakat. Ia boleh mengesampingkan
peraturan tertulis kalau apa yang ia lakukan dengan hukum tertulis
justru bertentangan dengan nurani. Hukum modern itu selalu dimulai
dengan semangat terciptanya 3 hal, pertama keadilan,kedua kemanfaatan
,yang ketiga barulah kepastian hukum. Dengan demikian maka politik hukum
kita harus diarahkan pada terciptanya keadilan ,kemanfaatan dan baru
kepastian hukum. Sebab ,jika kita berhasil menegakkan keadilan maka
dengan sendirinya hukum akan tegak. Dan itulah yang dimaksudkan oleh
Undang Undang Dasar 1945 yang berbunyi Keadilan Yang Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian perlakuan dan peradilan
terhadap Lanjar maupun Rasyid anak Rajasa adalah sama.Sayangnya itu
hanya sekedar tulisan di awal kalimat pembacaan putusan
hakim dan belum tercermin dalam kualitas putusan. Dalam kasus Rasyid di
mana ia dijerat pasal 10 ayat (4) dan (3) juncto (jo) pasal 283 Undang
Undang No.2/ 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan.
Di mana penyidik berwenang menahan,namun mengingat pelaku adalah anak
seorang pejabat tinggi negara ,maka ketentuan itu dikesampingkan.
Alhasil one mechanism for all,yang merupakan sendi dalam
pelaksanaan sistem peradilan pidana menjadi mandul atau tidak berlaku
manakala yang dihadapi atau pelakunya adalah keluarga pejabat tinggi
negara. Maka ketentuan tersebut seolah bisa dikesampingkan. Padahal
ancaman dalam pasal 310 ayat(4) tidaklah main-main. Sebagaimana kutipan
berikut ini “dalam hal kecelakaan sebagaimana sebagaimana dimaksud pada
ayat (3),yang mengakibatkan orang lain meninggal dunia,dipidana dengan
pidana penjara paling lama 6( enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp.12.000.000,-
(Dua belas juta rupiah). Meski bisa dipidana toh Rasyid hingga perkara
dilimpahkan ke kejaksaan tidak pernah mencicipi fasilitas hotel prodeo.
Dari sisi perlakuan dan pasal Afriyani dan Rasyid memperoleh perlakuan
yang sangat berbeda. Afriyani dipenjara sejak awal penanganan kasus.
Sementara untuk Rasyid sejak disidik hingga perkara dinyatakan lengkap
tidak pernah semenitpun merasakan pengapnya hotel prodeo. Kala itu
Afriyani dikenakan pasal 311 ayat dengan ancama maksimal 12 tahun
penjara. Memang tidak mudah mengadili anak atau keluarga pejabat. Meski
secara teori bahwa hukum positif kita menganut asas equality before the
law, artinya seseorang dalam kondisi apapun adalah sama di depan hukum
tanpa terkecuali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar